Mereka terperangah saat kerumunan orang berlarian mendekat. Tanpa menghiraukan kehadiran mereka yang berdiri di mulut gang, gerombolan orang yang notabennya anak-anak itu menyenggol, menabrak, bahkan sengaja mendorong mereka sambil berteriak heboh menuju lapangan. Dentuman lagu dangdut menyentak mereka untuk menoleh. Lapangan yang beberapa menit sebelumnya sepi senyap kini dipenuhi lautan manusia. “Pesta Rakyat Desa Darma” tercetak dengan huruf kapital di spanduk yang dipasang di atas gerbang bambu yang tertancap di salah satu sisi lapangan, berfungsi sebagai jalur masuk para warga.
“Devon!” Teriakan itu langsung dikenali Devon. Cowok itu menoleh, mendapati Vino melambai di depan balai desa. Devon balas melambai, tak lama yang lain mengikuti.
Vino mendekat, memandangi mereka bergantian. Tak menyangka orang-orang dihadapannya bersatu setelah kejadian mengenaskan itu. Masih terngiang dan terbayang jelas teriakan Devon, isak tangis Ola, guncangan hebat tubuh Mora dan tatapan kosong teman-teman mereka. Setelah mendapatkan direct message instagram dari Cecil, Vino termenung semalaman. Tak menyangka permusuhan itu dipaksakan melebur karena satu alasan. Yaitu tempat itu, Amore Karaoke. Tempat yang menjadi saksi bisu kematian.
Vino mengajak mereka ke rumahnya yang terletak di belakang balai desa. Sesampainya di rumah, Mora dan Devon langsung bergiliran menjelaskan lagi maksud kedatangan mereka.
“Oh, jadi Kakek Wandi itu, kakekmu Mora?” Tanya Vino setelah Mora dan Devon menyelesaikan ceritanya.
“Kakak kenal?”
Vino mengangguk mantap. “Kakek Wandi sesekali datang. Dia sering bawain makan siang buat para karyawan. Kakak baru tahu kalau Kakeknya Devon dan Mora yang membangun Amore Karaoke.”
Mora memaksa memunculkan senyum. Kakek yang sangat disayanginya itu, yang meninggal empat tahun lalu di saat hari ulang tahunnya—rupanya tak terlalu dikenalinya. Fakta ini saja diketahuinya melalui orang lain.
“Untuk kembali ke Bandung, Kakak belum bisa jawab sekarang. Masih ada beberapa hal yang harus kakak urus di sini.”
“Pernikahan?” Devon memicingkan mata melihat sebuh cincin melingkar di jari manis kiri Vino.
Vino mengangguk samar. Jemari kanannya mengelus-ngelus cincin perak itu. “Salah satunya.” Vino berdiri, menepuk kedua pahanya. “Baiklah, kalian istirahat dulu. Kita bicarakan ini nanti malam.”
“Kakak ingat sesuatu.” Vino kembali mundur mendekat setelah beberap langkah menuju pintu. “Kakek Hasan pernah bilang karaoke itu dibangun oleh rasa cinta. Rasa cintanya pada dunia musik. Rasa cintanya pada persahabatan dengan Kakek Wandi. Rasa cintanya berbagai kebahagiaan.”
Tepukan pelan mendarat di pundak Devon dan Mora yang duduk berdampingan. “Benahi dulu hati kalian bila ingin serius menjalankan karaoke ini.”
Devon masih tenggelam dalam lautan kebencian yang kelam, gelap, tanpa kehangatan, tanpa rasa sayang dan cinta. Dia berusaha menggapai permukaan. Nyaris berhasil, namun kilatan kematian Nanzo menarik kakinya kembali menapaki dasar. Dia masih belum menyanggupi untuk mengeyahkan rasa benci itu.
Dienyahkannya telapak tangan Vino yang masih menempel di pundaknya. Dia berdiri lalu berbalik. Berlama-lama memaku diri di samping cewek itu membuatnya semakin sulit menggapai permukaan. “Di mana kamarnya, Kak? Gue pengen cepet istirahat.”
Vino memanggil adiknya untuk mengantar Devon, tak lupa menitipkan pesan untuk menyiapkan keperluan tamu-tamunya karena dia masih sibuk mengurusi Pesta Rakyat.
Mora tak melepaskan pandangannya dari Devon yang mulai menghilang di koridor rumah. Baginya sekarang setelah berhasil memaafkan sahabat-sahabatnya, membenahi hati bukanlah hal yang sulit lagi. Namun, tidak semudah itu untuk menerima Devon. Butuh banyak nyawa menghadapi cowok itu karena satu kalimat kebencian yang keluar dari mulutnya sama dengan membunuh diri Mora.
Sama halnya dengan Devon, Mora meringkuk di dasar terdalam. Namun ada yang berbeda, ada keikhlasan yang muncul sehingga menambah kehangatan di lautan kebencian itu. Mora menyadari satu hal. Alasan terbesarnya menerima kerja sama ini adalah untuk menghilangkan kebencian sekaligus untuk dimaafkan. Dan bila cowok itu mau melayangkan kata maaf kepadanya, maka hatinya terbuka untuk itu.
***
Perjalanan pagi tadi menguras tenaganya, padahal Mora tidak mengambil alih kemudi, hanya Cecil dan Ambar yang bergantian mengemudi. Sedangkan Ola telah kehilangan semangatnya semenjak kemarin dia tiba-tiba pergi ke kamar mandi saat pertemuan di Amore Karaoke. Mora berusaha menyairkan suasana hati Ola namun cewek yang setipe dengannya itu hanya menanggapi dengan tawa yang dipaksakan.
“La, kalau lo terus gini, rasanya gue menjadi orang terjahat di dunia.” Celetuk Mora di perjalanan siang tadi. Saat itulah, Ola mulai mengurangi ketegangan hatinya. Dia keluar dari kamar lalu bergabung dengan Mora dan Revi yang bersantai di teras rumah.
“Gila, pegel banget.” Revi mengelus tengkuknya. Di mobil para cowok, dia yang terlama memegang kemudi.
“Gue aja yang nggak nyupirin pegal banget nih pantat.” Sahut Mora.
“Sama, rebahan doang di kamar nggak mempan apalagi berisik banget di lapangan.” Ola yang baru datang ikut menyahuti lalu mengambil kursi di dekat Revi.
“Ambar mana?” Tanya Revi sambil celingak-celinguk ke dalam rumah.
Sikutan Ola menjawab pertanyaan Revi, alhasil cowok itu berteriak nyeri. “Awas lo coba-coba deketin dia! Gue sama Mora punya tugas yang sama pas SMP. Pembasmi play boy.”
“Gila, yang dua sangar banget, yang dua lembut banget.” Keluh Revi
“Lo kira dua cewek itu lembut? Salah besar. Kita semua sangar kalau lo mulai macem-macem.” Balas Mora.
Revi mengibaskan tangan tak peduli walaupun dia mengakui pernyataan Mora benar juga. Cecil yang baby face bersuara cempreng, jauh dari kata lembut. Ambar yang bertampang lugu rupanya mempunyai tatapan yang menusuk.
“Gimana kalau kita ikutan juga lomba di lapangan itu? Hadiahnya lumayan buat nambah penghasilan kita.” Revi menatap mereka bergantian, berharap mendapatkan persetujuan.
“Itu kan buat warga di sini. Kita cuman tamu apalagi ikutan mendapatkan hadiah, pasti rumah Kak Vino didemo.” Mora menimpali.
“Tapi kalau kita bantu mereka nggak salah kan?” Revi tak kehabisan ide.
“Maksud lo?” Tanya Ola
“Tadi gue sempet denger Kak Vino misuh-misuh gitu di telpon, pas gue tanya katanya tim RT sini kekurangan orang buat tanding futsal. Gue, Taki sama Devon mungkin bisa bantu. Ya walaupun tujuannya buat dapetin duit juga sih. Paling kita cuman dibagi beberapa ratus ribu, tapi lumayan kan. Sedikit demi sedikit lama-lama jadi bukit.”
“Emang dapat berapa? Berapa sih yang bakal kita dapat dari Pesta Rakyat kayak gini, paling hadiahnya makanan, pakaian, alat-alat rumah tangga.” Tolak Mora tegas.
“Juara satu dapat lima juta. Sisanya beda selisih satu juta doang.” Revi menaikkan ujung bibirnya. Tampangnya mengisyaratkan kalau perkataan yang akan diucapkan selanjutnya bakalah membungkam mulut cewek itu. “Keluarga Mamanya Devon asalnya dari Desa ini. Makanya dia hafal banget jalan ke sini, karena sering ke sini. Dia juga udah dikenal di sini. Aman deh pokoknya.”
Keterangan itu mulai menyadarkan Mora pada satu hal. “Berarti Nanzo juga sering ke sini..” Ucap Mora lirih nyaris berbisik. Setiap menyebutkan satu nama itu, sel-sel tubuhnya kompak membuatnya ulut hatinya nyeri.
Revi mengerjap. Terasa dibangunkan dari ketidaksadaran karena topik sensitif itu tak sengaja tersinggung. Ekor matanya refleks mengarah ke Ola yang juga tercengang dengan wajah pucat pasi. “Iyaa…” Semula dia tampak ragu, tapi karena sudah terlanjur basah, maka dilanjutkanlah kalimatnya. “Mamanya Devon dan Nanzo, adik kakak. Rumahnya dua blok dari sini kalau nggak salah.” Revi mendengus sesaat. Bohong bila hatinya tidak perih setiap membicarakan hal-hal berbau Nanzo, “Kita berempat sering liburan ke sini. Makanya beberapa warga udah menganggap kita kayak keluaraga mereka.”
Semuanya menyerang Devon bertubi-tubi, pikir Mora. Semua kenangan terpaksa diterimanya kembali saat cowok itu tertatih-tatih berdiri mencapai permukaan.
Ola membenarkan posisi duduknya. Dia menarik napas pelan sebelum menyunggingkan senyuman lebar. “Kalau gitu kalian harus bikin tim RT sini menang.” Ola menunjuk-nujuk Revi dengan tampang yang mengharuskan cowok itu memenangkan idenya.
“Tapi uang itu bukan hak kita. Kita bisa mulai cari uang besok pas balik ke Bandung.” Mora tetap pada pendiriannya.
“Gue nggak mau perjalanan kita ke sini sia-sia. Kita ke sini sekalian refreshing juga.” Devon yang muncul dari balik pagar, nimbrung menambah suara bagi ide Revi. “Gue baru aja dari balai desa, mendaftarkan lo sama Taki. Pertandingannya besok pagi. Inget Rev, tujuan kita main bukan agar kita dibagi duit, tapi bantuin RT sini.”
Revi mengangguk tak minat. “Yayaya…eh..Lo nggak ikut tanding?”
“Lo mau kita kalah? Kalian berdua yang paling jago olahraga.”
Revi hanya terkikik menanggapi, begitu pula dengan Ola yang mendengus pelan. Cowok ini tampangnya saja keren dengan rambut spike dan rahangnya yang tegas, tapi nyalinya tidak sepadan dengan gayanya.
Kursi yang Mora duduki berderit kencang saat dia berdiri. Cacian sudah mengantre untuk diluncurkan, tapi sebagian hatinya menahan hasrat itu. “Loh, ko ngambil keputusan sendiri sih? Lo itu kerja dengan enam orang.”
“Kelamaan.” Dikibaskan-kibaskan tangannya, karena tak ada hasrat menimpali protes cewek itu, Devon memilih melangkah ke dalam. “Lagian nggak ada warga yang protes. Btw Rev, ide lo emang keren,” Imbuhnya sambil lalu.
“Lo nggak mikirin rekan kerja lo ya. Sebelumnya kita udah sepakat, besok pagi kita harus udah berangkat lagi ke Bandung karena Ambar sama Cecil ada jadwal kuliah.”
Devon menolehkan kepala, menyunggingkan senyum tak peduli. “Bilang ke mereka, satu hari aja izin nggak masuk kelas, nggak bakal bikin bodoh, kan?”
Mora menarik napas panjang, ditendangnya ke belakang kursi yang didudukinya. “Gimana karaoke kita bakal jalan kalau lo nggak peduli sama sekali dengan rekan kerja lo!” Mora yang setengah berteriak menarik perhatian Devon yang hendak berbalik lagi.
Devon terkekeh, namun hanya dalam dua detik langsung tersembur menjadi tawa. Tawa yang jelas-jelas sangat dipaksakan. Tawa yang paling menakutkan bagi Revi-Ola—penonton eksklusif perang Devon-Mora sore ini. “Kita? Karaoke itu bukan milik lo, tapi sepenuhnya milik gue!” Tawa itu berubah menjadi suara yang lantang. “Apa yang lo tahu soal karaoke ini sih? Lo cuman figuran di sini!”
Pecah. Darah yang mengaliri pembuluh darah mengebut menuju ubun-ubun, memecahkan ketenangan yang telah berusaha Mora ciptakan di benaknya. Bergerombol pula menyerang dadanya hingga sangat sulit untuk didefinisikan rasa nyerinya. Mora hanya mampu bergeming saking terlalu lemah tubuhnya merespon kekerasan verbal itu. “Harusnya lo nggak usah balik badan lalu menyodorkan map itu ke hadapan gue, kalau lo emang nggak mau adanya kehadiran gue.” Lirihnya
“Gue udah bilang kalau lo nggak bakal tahan.” Devon membalas dengan sentakan.
“Faktanya bukan gue yang nggak mampu bertahan. Tapi diri lo sendiri, lo nggak tahan menerima kenyataan kematian itu lalu melimpahkan segala kesalahannya ke gue.” Mora melirik Ola. Rautnya mengisyaratkan permintaan maaf karena membawa-bawa lagi kematian itu. Tapi memang sampai kapan pun, permasalan antara Devon dan Mora tidak jauh dari persoalan kematian itu.
Ola hanya mengangguk. Dia terlalu syok dengan adu mulut bernada tinggi di depannya itu. Sedangkan Revi melongo, tidak memisahkan dua makhluk yang dari kemarin tidak berhenti saling mengecangkan suara dan urat. Karena memang tak ada niatan memisahkan mereka, dia sedang berbahagia melihat Devon yang perlahan mendapatkan jiwanya kembali setiap bersinggungan dengan cewek itu.
Hati Devon tersengat menyadari kalimat cewek itu adalah jawaban atas kekalutannya menjalankan Amore Karaoke. Dia tidak mampu bertahan. “Kita tunjukan siapa yang paling bertahan? Lo atau gue?” Tantang Devon.
Cowok itu berbalik, tak menunggu jawaban Mora atas tantangannya karena sebenarnya yang sedang dia lawan adalah hatinya sendiri yang dipenuhi ketakutan.
***
fresh banget ceritanya hehe. ditunggu kelanjutannya ya :)
Comment on chapter Chapter 1