Eun-Hye berdiri di depan cermin besar di kamarnya, dengan kaus tebal berwarna putih dan celana hitam yang dilengkapi dengan mantel berwarna putih salju. Ia berputar, memastikan semuanya sempurna untuk malam ini. Wajah cantik Eun-Hye dipoles makeup tipis, rambutnya yang terurai bebas serta syal yang melingkar di lehernya.
“Apa yang akan kau berikan padaku?” gumamnya sembari memandangi kalung nama Ji-Hyun. Eun-Hye memakainya, lalu bergegas turun ke lantai dasar untuk berpamitan dengan ibunya. Senyumnya membuat sang ibu menyadari ada sesuatu yang membuat Eun-Hye bahagia.
Ibunya tersenyum, tidak menyangka anaknya tumbuh secepat ini. Tapi tak apa. Ia percaya pada Ji-Hyun pasti akan menjaga putrinya dengan baik. Ibunya menghampiri Eun-Hye, lalu memegang kedua tangan anaknya. “Jangan khawatirkan apa pun. Tetaplah jadi dirimu sendiri.”
Eun-Hye mengangguk. “Semoga saja aku bisa mengendalikan perasaanku malam ini.”
Setelah memastikan semua beres, Eun-Hye bergegas memasuki mobil yang telah disiapkan oleh Woo-Hyun. Mereka sampai di halte dalam waktu dua puluh menit. Karena gugup, perempuan itu harus mengatur napasnya berkali-kali sebelum keluar dari mobil. Eun-Hye duduk di kursi halte sembari sesekali melirik ponselnya, berharap lelaki itu mengirim pesan atau semacamnya. Tidak ada. Perempuan itu menghela napas, lalu memandangi salju yang turun. Seolah menarik Eun-Hye pada pertemuan ia dan Ji-Hyun. Ketika salju turun sangat lebat dan seorang anak laki-laki memasuki kamarnya yang tidak diketahui oleh siapa pun. Ketika Eun-Hye bertanya bagaimana anak itu bisa tahu tentangnya dan kamar ini, anak itu menjawab dan membuat Eun-Hye kebingungan.
Siapa sangka mereka jadi dekat dan melengkapi satu sama lain. Perasaan ingin melindungi dan ingin bersama itu mulai tumbuh menjadi cinta. Mengingat saat-saat itu membuat air matanya mengalir. Samar-samar matanya menangkap sesosok lelaki di antara hujan salju. Ia menghapus air matanya, lalu menajamkan mata untuk mengenali sosok yang ternyata adalah Hyun-Shik alias Ji-Hyun. Lelaki itu tampak tertatih-tatih seraya memegangi perutnya yang mengeluarkan darah.
“JI-HYUN!!!” Sontak Eun-Hye langsung berlari memeluk Ji-Hyun yang hendak jatuh. Tubuh mereka merosot ke tanah. Air mata Eun-Hye tak dapat terbendung lagi ketika menyadari napas lelaki itu tersenggal-senggal sambil merintih kesakitan.
“Apa yang terjadi?! Kenapa kau seperti ini?” Eun-Hye mengusap wajah Ji-Hyun yang tak henti-hentinya berkeringat. Bahkan tak peduli dengan darah Ji-Hyun yang menempel di pakaiannya, ia berusaha memapah lelaki itu menuju tempat dudukan halte, tapi nihil. Ia tidak sanggup, terlalu lemah untuk melakukannya. Eun-Hye melepas mantelnya dan memakaikannya pada Ji-Hyun. Setidaknya lelaki itu tidak kedinginan.
Denyut nadi Ji-Hyun perlahan melemah. Eun-Hye yang tak tahu harus berbuat apa. Akhirnya ia berusaha menghubungi Woo-Hyun, tapi lelaki itu tidak mengangkatnya. Eun-Hye seperti kehilangan akal sehatnya, terutama ketika Ji-Hyun mulai terkulai lemas. Ia tidak bisa membawanya ke rumah sakit karena identitas Ji-Hyun saat ini. Hanya Jung-Im yang menjadi harapan mereka saat ini.
Sesaat kemudian cahaya lampu mobil menyorot mereka. Eun-Hye menoleh dan mendapati mobil hitam berhenti di depan mereka, lalu Chae-Yeong keluar menghampiri mereka, membantu Eun-Hye memapah Hyun-Shik ke dalam mobil. “Tenanglah, kita akan membawanya pada Jung-Im.”
Eun-Hye mengangguk, tidak peduli lagi pada apa pun saat ini. Meski rasanya ia ingin berterima kasih pada Chae-Yeong, ia tidak mampu mengatakannya. Akal sehatnya terkunci dan membuatnya tak bisa berpikir dengan tenang. Ia memangku kepala lelaki itu seraya mengusap wajahnya berkali-kali dengan tangan yang gemetar. Air mata Eun-Hye mengalir semakin deras ketika merasakan detak jantung Ji-Hyun yang melemah.
“Kau tidak boleh meninggalkanku seperti ini, kau tidak boleh pergi lagi!” Eun-Hye menjerit sekuat tenaga sembari memeluk Ji-Hyun.
“Ji-Hyun, berjanjilah padaku kau akan hidup! Bukalah matamu, jangan siksa aku seperti ini.” Eun-Hye menangis semakin kencang, tangan kirinya yang gemetar terus mengusap wajah Ji-Hyun, sedangkan tangan kanannya mencoba menghentikan darah yang tak henti-hentinya mengalir.
“Kau harus bertahan! Bertahanlah untukku!” Eun-Hye menundukkan kepalanya, bahkan ia tidak ragu mendaratkan bibirnya pada wajah Ji-Hyun, bahkan di bibir lelaki itu.
“Kau harus hidup!! Kau bilang kita akan bahagia setelah ini! Kau harus hidup untukku!! Jangan pergi!!” Eun-Hye semakin menjerit. Ia menggenggam tangan Ji-Hyun. Detik itu juga kenangan mereka kembali berputar. Berawal dari pertemuan mereka hingga kenangan mereka saat ini. Eun-Hye memejamkan mata erat, tidak bisa menahan rasa perih yang semakin menyayat hatinya ditambah rasa takut yang besar.
“Bertahanlah. Aku mencintaimu ….”
Chae-Yeong mempercepat laju mobilnya, menyalip beberapa mobil yang ada di hadapan mereka. Sesekali ia melirik dari spion tengah, mendapati Ji-Hyun yang napasnya melemah, bahkan tampak tak bernapas lagi sekarang. Ia memukul kemudi mobil dengan kesal, merasa bodoh dan tidak berguna. Harusnya lelaki itu dihentikan dan seharusnya ia tidak mengatakan hal itu padanya.
Tepat sepuluh menit kemudian mereka tiba di tempat persembunyian Ji-Hyun. Dengan cekatan, Chae-Yeong membukakan pintu dan membantu Eun-Hye memapah Ji-Hyun yang tak sadarkan diri. Mereka menggedor pintu berkali-kali hingga akhirnya pintu itu terbuka dengan otomatis.
“Jung-Im!” panggil Eun-Hye diiringi isak tangis.
Jung-Im muncul dengan ekspresi terkejut melihat kondisi Ji-Hyun dan langsung membukakan pintu kamar. “Bawa dia masuk,” ujar Jung-Im sembari mempersiapkan beberapa peralatan medis.
Eun-Hye memandangi tubuh Ji-Hyun yang terbaring kaku dengan mata tertutup. Napasnya terlalu lemah, serta jantung yang hampir tak berdetak. Air mata Eun-Hye tak bisa berhenti mengalir dan membuat Chae-Yeong tak tega melihatnya. Lelaki itu mendekati Eun-Hye, lalu mendudukkan perempuan itu di kursi.
“Tenanglah, dia akan baik-baik saja. Dia tidak akan mati semuda itu.”
Eun-Hye mengangguk, lalu menghapus air matanya. Hatinya terasa perih ketika melihat kondisi Ji-Hyun yang seperti ini. Ia selalu bertanya-tanya kenapa lelaki itu selalu menempuh bahaya? Jika tahu hal ini akan terjadi, maka lebih baik ia serahkan liontin itu pada Im Jae-Ra dan menutup kasusnya. Ia tidak ingin kehilangan Ji-Hyun lagi. Sudah cukup kehilangan lelaki itu selama sembilan tahun.
“Apa dia terluka parah?” tanya Eun-Hye khawatir.
“Tenanglah, Ji-Hyun bukanlah lelaki yang lemah. Dia pasti bisa bertahan. Jangan terlalu dipikirkan.” Jung-Im memberikan senyum tipis pada Eun-Hye.
Meski begitu, Eun-Hye masih tidak bisa tenang. Baru pertama kali perempuan itu melihat Ji-Hyun terluka separah ini. Ada empat luka tembak dan satunya terus menerus mengeluarkan darah. Pikiran-pikiran negatif terus menghantam pikirannya, tapi sebisa mungkin ia menyingkirkan pikiran itu. Ia yakin Ji-Hyun pasti bertahan.
***
Pukul tiga malam.
Jung-Im mengedarkan pandangan dan menemukan Eun-Hye yang tertidur di sofa. Ia tersenyum, lalu mendekati Eun-Hye seraya membawakan selimut dan memakaikannya pada Eun-Hye. Wajah perempuan itu tampak lelah. Harusnya mereka bahagia, harusnya Ji-Hyun melamar perempuan itu kemarin. Jung-Im menepuk pucuk kepala perempuan itu.
“Kau sudah berusaha keras,” lirihnya, kemudian berjalan menuju sofa lainnya untuk tidur.
Hari ini adalah hari yang melelahkan bagi semuanya. Bahkan Chae-Yeong memilih untuk menemani Eun-Hye yang memaksa ingin menginap di sana sampai Ji-Hyun sadarkan diri. Jung-Im sendiri telah melakukan pertolongan selama hampir tiga jam dan sekarang Ji-Hyun sedang terbaring kaku di tempat tidurnya. Masih dengan keringat bercucuran dan beberapa perban di tubuhnya. Ditambah lagi dengan hadirnya Woo-Hyun dengan keamanan yang ketat. Ia tidak bisa membiarkan Im Jae-Ra menyentuh Eun-Hye atau Ji-Hyun.
Tak lama setelahnya, Eun-Hye membuka mata dan berjalan mendekati Ji-Hyun. Ia duduk di kursi samping tempat Ji-Hyun, menggenggam tangan lelaki itu dengan erat.
“Kau tahu? Selama sembilan tahun aku menanti kehadiranmu dan aku senang ketika bertemu lagi denganmu. Meski sempat kecewa karena kau muncul sebagai orang lain, tapi aku tetap bersyukur kau masih hidup. Kau yang mengubah hidupku, menjadi alasanku untuk tetap bertahan.” Eun-Hye memejamkan matanya. “Aku mencintaimu, jadi kau harus bertahan untukku.”
“Jangan menangis. Aku baik-baik saja.” Ji-Hyun berkata lemah sembari membuka mata perlahan. Ia menggerakkan tangannya dan menghapus air mata Eun-Hye sembari tersenyum lemah.
Eun-Hye ternganga, matanya menatap Ji-Hyun tak percaya. Senyumnya mengembang lebar seiring hatinya yang menghangat. “Syukurlah kau baik-baik saja.” Eun-Hye membantu Ji-Hyun yang hendak duduk. Ia memberikan minum yang sudah disiapkan Jung-Im.
“Maaf, harusnya aku tidak datang padamu,” ujar Ji-Hyun dengan raut wajah menyesal.
Eun-Hye menggeleng. “Aku akan membunuhmu jika menyembunyikan ini dariku.”
Ji-Hyun tersenyum, lalu menarik Eun-Hye ke dalam pelukan. Ia menyandarkan dagunya pada bahu Eun-Hye, menghirup aroma perempuan itu. Di sisi lain Ji-Hyun takut Eun-Hye akan terus menerus menangis jika bersamanya dan di sisi lain ia tidak ingin hidup tanpa perempuan ini.
“Terima kasih karena tetap berada di sampingku,” bisik Ji-Hyun dengan lembut.
“Jangan terluka lagi.” Eun-Hye sambil membalas pelukan Ji-Hyun.
Ji-Hyun mengangguk. Ia mempererat pelukannya pada Eun-Hye. “Aku tidak akan mati tanpa izin darimu.”
***
“Berikan rekamannya padaku,” ujar Im Jae-Ra pada Ketua Kang yang duduk di sebelah Choi Jin-Woo. Ketua Kang menurut, ia memberikan tas hitam yang berisi rekaman yang diberikan Ji-Hyun pada Jae-Ra. Jae-Ra mengambil tas itu, kemudian mengecek semua rekaman dan surat-surat yang didapatkan oleh Seo-Jung. Dia terbahak, lalu membuang rekaman serta surat-surat itu ke tempat sampah dan membakarnya.
“Di sana ada catatan uang gelap yang kau dapatkan selama ini, kan?” tanya Direktur NSS pada Jae-Ra.
Jae-Ra mengangguk. “Semuanya. Sekarang semua bukti yang menyatakan bahwa aku adalah pelakunya telah lenyap, tidak ada lagi yang bisa menghalangiku sekarang.”
“Bagaimana jika perempuan itu memberikan kesaksiannya? Bukankah itu akan membahayakanmu?” tanya Ketua Kang.
Jae-Ra mengangkat kedua bahunya, lalu menyeringai. “Aku tinggal bilang bahwa perempuan itu gila dan mengada-ngada. Tidak ada bukti yang kuat. Orang yang memegang liontin itu sudah mati dan kau sendiri yang membunuhnya.”
“Bagaimana jika liontin itu ditemukan?”
“Aku tinggal membunuhnya saja. Tidak ada lagi yang bisa melindunginya saat ini. Kim Seo-Jung dan Han Ji-Hyun sudah meninggal. Tidak ada yang bisa melindunginya dariku.”
Ketua Kang menarik napas panjang, lalu bangkit dari duduknya. “Baiklah, kesepakatannya sampai di sini saja. Kau sudah berjanji untuk tidak menyentuh keluargaku, jadi kau harus menepatinya.” Setelah mengatakannya, Ketua Kang berjalan keluar ruangan, meninggalkan Jae-Ra dan Jin-Woo yang tertawa satu sama lain.
“Dia anak buah yang berani juga. Apa kau tidak khawatir dia akan menyerangmu suatu saat nanti?” Jin-Woo berucap seraya mengisap serutu.
“Dia harus disisakan sebagai hidangan pelengkap.”
***
Eun-Hye menatap kosong lima gelas teh di hadapannya. Tubuhnya merosot ke lantai dan rasa takut itu kembali menjalar di pikirannya. Kini perempuan itu menatap kedua tangannya. Malam itu membuat Eun-Hye teringat kejadian lima belas tahun yang lalu ketika menyaksikan kematian ayah Ji-Hyun dan dua kakaknya.
Eun-Hye menggeleng kuat. Ia tidak boleh lemah seperti ini. Ia harus kuat agar bisa menjadi kekuatan untuk Ji-Hyun. Selama ini Ji-Hyun telah melindunginya dengan taruhan nyawa. Sekarang gilirannya untuk melindungi Ji-Hyun.
“Aku tidak boleh lemah,” gumam Eun-Hye mengumpulkan seluruh tenaga, lalu membawa gelas-gelas itu dan melangkah ke kamar Ji-Hyun. Ia masuk, lalu matanya menangkap empat lelaki yang sedang berbincang dengan wajah yang serius. Eun-Hye berjalan menuju mereka, lalu memberikan teh satu per satu dan duduk di dekat Ji-Hyun.
“Jadi, intinya sekarang kau dibuang oleh NSS?” tanya Woo-Hyun.
Ji-Hyun mengangguk. “Itu hal biasa yang terjadi pada agen rahasia seperti kami. Lee Kyung-Ju dan Moon In-Soo juga mengalami hal ini.”
“Apa-apaan itu? Bisa-bisanya mereka membuang orang yang telah berjasa bagi mereka? Apa otak-otak mereka tidak bekerja?” Woo-Hyun berseru tidak terima.
“Tapi bagaimana bisa Ketua Kang melakukan ini padamu?! Ya ampun! Aku benar-benar tidak habis pikir!”
Ji-Hyun menggeleng. “Aku tidak tahu kenapa Ketua Kang bisa memihak Im Jae-Ra dan aku masih belum tahu siapa orang yang membunuh Lee Kyung-Ju dan orang yang bekerja sama dengan Im Jae-Ra. Aku yakin kalau orang itu adalah bagian dari NSS,” jawab Ji-Hyun membuat semua yang ada di ruangan itu terkejut.
“Kau bisa tahu darimana?”
“Agen rahasia yang membocorkan identitas Lee Kyung-Ju sekaligus agen rahasia yang membocorkan identitas ayahku pada Im Jae-Ra mungkin saja dia. Sekarang, mereka akan menganggapku sudah mati, jadi mereka mungkin akan mengincar Jung-Im dan Eun-Hye,” ujar Ji-Hyun sambil memandang Eun-Hye dan Jung-Im bergantian.
“Kalau begitu nyawa Eun-Hye dan Jung-Im dalam bahaya?”
Ji-Hyun mengangguk. “Jangan khawatir. Aku akan menyelesaikan semuanya.”
Eun-Hye menggeleng. “Kau tidak sendirian. Kita akan menghadapinya bersama-sama. Ini adalah masalahku juga. Nyawa ayahku dan kedua kakakku ada pada mereka, jadi aku tidak akan lari. Aku akan menghadapinya.”
***
Jung-Im memasuki ruangan Ketua Kang yang terletak di lantai dua kantor NSS. Lelaki itu sedang duduk sambil memerhatikan ponselnya. Air mukanya tampak serius, sesekali menggumamkan kekesalannya. Begitu juga Jung-Im mengepalkan tangannya, berusaha mengendalikan amarahnya.
“Ketua Kang!” Jung-Im menghampiri Ketua Kang. “Jadi bagaimana rekamannya?”
“Nanti aku akan kabari setelah selesai,” ujar Ketua Kang tanpa melihat Jung-Im. Ketua Kang bangkit dari duduk dan menghampiri rak buku yang terletak di salah satu dinding ruangan. Lelaki itu mengambil sebuah buku dan mengeluarkan sepotong kertas.
“Ketua Kang.” Jung-Im menghampiri Ketua Kang. “Siapa orang yang mengkhianati Han Nam-Shik dan Park Seo-Jung? Mereka adalah dua agen yang terampil, jika tidak ada seseorang yang mengkhianati mereka, mungkin mereka masih hidup sampai sekarang.”
“Kita akan tahu setelah rekaman itu selesai diselidiki,” ujar Ketua Kang mencoba mengelak.
“Apa ini semua rencanamu?” tanya Jung-Im lagi membuat Ketua Kang menoleh. “Apakah kau bekerja sama dengan Im Jae-Ra? Apa kau berpihak padanya?”
“Apa maksudmu?”
“Hyun-Shik menghilang setelah memberikan rekaman itu padamu. Apa kau yang membunuhnya?”
Ketua Kang menghela napas. “Lebih baik kau tidak perlu perpanjang hal itu lagi.”
“Bagaimana dengan Ji-Hyun? Bagaimana dengan kasus itu? Apa kau akan membiarkan semua ini terjadi!?” bentak Jung-Im.
Rahang Ketua Kang mengeras, jemari-jemarinya terkepal erat. Terbesit rasa bersalah dalam hatinya, tapi ia tidak punya pilihan lain. Untuk keluarganya dan semua orang yang terlibat dalam misi ini. Ia menatap Jung-Im datar. “Jika Ji-Hyun masih hidup, berikan ini padanya.” Ketua Kang memberikan potongan kertas itu pada Jung-Im.
***
“Ketua Kang ditahan?” tanya Ji-Hyun ketika Jung-Im tiba tempat persembunyiannya. Jung-Im mengangguk, lalu memberikan kertas kosong yang diberikan Ketua Kang pada Ji-Hyun. “Dia memberikanku ini, tapi kau harus hati-hati. Bisa saja ini jebakan.”
Ji-Hyun menerima kertas itu. Jemarinya mengusap permukaan kertas, lalu meneteskan cairan kimia hingga pesan rahasia dari Ketua Kang terungkap. Ia membacanya dengan senyum yang mengembang.
“Apa kau benar-benar pulih?” Jung-Im menatap Ji-Hyun tak percaya. Bahkan lelaki itu sudah beraktivitas layaknya orang biasa.
Ji-Hyun mengangguk mantap sembari menepuk bekas lukanya. “Lihat? Aku baik-baik saja. Kita harus pergi dari tempat ini sebelum mereka mengincarmu.”
“Sadar diri, dong. Kau juga sudah menjadi buronan tahu.”
“Tenang saja. Mereka menganggapku sudah mati, jadi aku akan menghantui mereka sekarang.” Ji-Hyun mencopot beberapa foto yang terpasang di kaca bening dan menghapus tulisan di sana. Ia juga membereskan beberapa berkas yang ia simpan, serta flashdisk yang akan mereka butuhkan suatu saat nanti. Termasuk mengambil senjatanya, lalu membuat tempat itu berantakan.
“Ayo pergi,” ujar Ji-Hyun. Tapi langkah mereka terhenti ketika ponsel Ji-Hyun berdering. Ia membuka pesan singkat yang dikirim oleh nomor yang tidak dikenal.
Ruangan Direktur. Ada rahasia di sana. Jangan membuang waktu atau kau akan mati.
- Han Ji-Yoon-
Mata Ji-Hyun terbelalak ketika membaca nama pengirim pesan. Han Ji-Yoon? Apa dia tidak salah? Atau pesan ini hanyalah alat untuk menipunya lagi? Memaksanya berpikir keras tentang misteri yang baru saja muncul. Bahwa Han Ji-Yoon adalah saudara kembarnya yang menghilang.
***
Duh gila. Keren banget ini mahhh
Comment on chapter Prolog