Sudah dua jam lebih Reina menunggu Riga di dalam perpustakaan pribadi cowok itu. Rumahnya masih sepi, hanya ada asisten rumah tangga. Riga memintanya untuk menunggu dengan alasan bahwa dirinya masih ada urusan di luar rumah. Hanya saja Riga tidak memberi tahu Reina kemana dan dengan siapa dia pergi.
Saat dia tanya lewat telpon cowok itu hanya terkekeh yang berakhir dengan kekesalan Reina. Cewek itu sudah bosan menunggu. Dia tidak tertarik dengan deretan buku-buku yang berjajar rapi di dalam ruangan itu. Reina duduk di atas sofa tanpa lengan dan sandaran yang menempel pada dinding dekat jendela.
Jendela kaca itu Reina buka. Dia menumpukan kedua tangannya pada daun jendela yang dia jadikan bantalan untuk kepalanya. Angin sore berhembus, Reina menatap pada langit yang dihiasi burung-burung swallow. Beterbangan di langit sana seperti tak tentu arah.
Pasti menyenangkan jika mempunyai sayap. Bisa terbang bebas kemanapun dia mau. Namun untuk apa kebebasan, jika tanpa keluarganya di dalamnya? Setidaknya itulah yang bersemayam dalam otak cantik Reina. Keluarga adalah hal yang paling dia inginkan diatas segalanya.
Begitu terhanyut dalam lamunannya, Reina tak menyadari jika Riga sudah datang. Cowok itu berdiri dengan kedua tangan yang dimasukan kedalam saku celananya. Pandangannya tertuju lurus pada Reina yang masih asyik memandangi langit dengan pikiran yang sudah jauh berkelana.
Akhir-akhir ini Riga sering melihat Reina melamun, dia jadi jarang mendengar celotehan kekasihnya itu. Riga mendekat, duduk di sebelah Reina. "Langitnya bagus," ujar Riga menarik perhatian Reina.
"Kapan kamu masuk? kok aku gak tahu?"
"Kamu melamun," Riga mengulurkan tangannya merapikan helaian rambut Reina. "Kamu gak perlu mikirin aku terus, aku udah ada di hadapan kamu. Gak usah dipikirin lagi."
"Receh," kata Reina tapi, dia malah memeluk Riga. Menggesek-gesekan hidungnya pada dada bidang Riga, menghirup aroma yang menguar dari tubuh yang selalu membuatnya nyaman.
"Kamu bilang ditelpon katanya mau nunjukin sesuatu,"
Reina langsung melepaskan pelukannya. "Oh iya, hampir aku lupa!"
Dengan segera Reina beranjak untuk mengambil kotak kayu miliknya. Sedangkan Riga tetap pada tempatnya sampai Reina kembali dan menyerahkan kotak itu padannya.
"Apa ini?"
"Kenangan. Kotak kenangan."
"Boleh aku buka?"
"Tentu, aku ngasih ini biar kamu buka."
Sesaat Riga memandang Reina, lalu dia membuka kotak itu. Isinya memang bukan sesuatu yang mahal, tapi Riga tahu kalau semua itu sangat berharga bagi Reina. Cowok itu mengambil sepatu bayi dan membaliknya, ada nama Reina Fillosa yang tertulis pada bagian bawah sepatu itu.
"Dulu kaki kamu sekecil ini?" tanya Riga bercanda.
"Namanya juga bayi."
"Pasti imut,"
"Sekarang juga masih imut."
"Tahu,"
Sama seperti yang Reina lakukan. Riga juga mengamati foto-foto hasil USG dan membaca setiap kata yang tertulis pada bagian belakangnnya. Setiap selesai membaca Riga memperhatikan Reina. Kekasihnya itu terlihat biasa saja, tapi Riga tetap tahu betapa dalamnya luka yang tersembunyi dibalik sorot mata sayu itu.
Sesaat Riga memperhatikan kotak musik sebelum akhirnya pandanganya tertuju pada dua lembar surat yang dilipat rapi tanpa amplop. Riga mengambilnya. "Untuk Reina, untuk Laksana putra."
"Laksana Putra itu nama ayahku."
Riga membaca terlebih dahulu surat yang ditujukan pada seseorang bernama Laksana Putra.
Untukmu, mas.
Mau sampai kapan lari? Tidakkah kau lelah? Jujur, aku saja yang menunggumu lelah.
Mas, aku tidak marah dengan apa yang kamu lakukan padaku sekalipun aku harus terusir. Ku anggap itu dosa terindahku, mas.
Tapi, aku akan marah bila suatu saat nanti kamu bertemu dengan Reina dan kamu tidak mengakuinya. Surat ini aku buat sebelum aku mempertaruhkan nyawaku untuk mempertahankan Reina.
Dokter mengatakan jika bukan aku yang selamat, maka Reina yang selamat dan aku memilih untuk menyelamatkan putri kita, putrimu mas. Dia cantik, aku tahu itu bahkan sebelum aku melihat dan mendengar tangisannya.
Sisa-sisa kenangan yang pernah aku miliki bersamamu ku titipkan pada sahabatku sebelum diberikan pada Reina.
dan Reina adalah bukti nyata kenangan bahwa kita pernah bersama dan mencintai.
Mas, jika suatu saat entah kamu atau Reina yang menemukan, ku mohon rawatlah dia. Dia berharga bagiku, mas sama seperti kamu yang selalu aku cintai sampai hembus nafas terakhirku.
Bahagia selalu, sayang.
Ada sesak yang Riga rasakan saat membaca kata demi kata yang tertulis dalam surat itu. Surat yang ditulis tangan. Riga tak bisa membayangkan bagaiman perihnya ibu kandung Reina saat menuliskan surat itu. Sendiri, kesepian tanpa cinta. Menyakitkan.
Ikut merasakan betapa terlukanya Reina, Riga mendekatkan dirinya untuk memeluk kekasihnya itu. "Aku yang akan menjagamu. Jika suatu saat nanti aku lupa akan hal, tolong ingatkan tentang hari ini."
"Ingatkan aku juga." balas Reina seraya menenggelamkan dirinya dalam pelukan Riga.
***
Sekali pembawa sial! selamanya tetap pembawa sial!
Pesan singkat yang Reina terima beberapa menit yang lalu. Dia mengerutkan keningnya melihat deretan angka yang tidak dikenalnnya. Saat mencoba untuk menghubungi nomor itu sudah tidak aktif. Satu pesan masuk lagi, Reina pikir itu dari nomor asing tapi, dari Mia.
Miamie : Lo jadi ikut ke bali, Na?
Reina : Enggak, gue mau pacaran aja sama Riga. ahahha
Miamie : Tahu deh yang punya pacar. Abdi sakit, Na?
Reina : Sehat, dia baik-baik aja. Kenapa kok lo nanya gitu?
Miamie : Kemarin gue lihat bokapnya Abdi di rumah sakit Harapan
Reina tak langsung membalas pesan dari Mia. Sejauh yang dia ingat Abdi dan ayahnya baik-baik saja.
Reina : Mungkin om Arman jenguk temennya,
Miamie : Iya kali ya. Hwaaaa! gue kangen Abdi, sumpah!
Sisa waktu senja Reina habiskan dengan berbalas pesan. Riga yang duduk di sebelahnya tersenyum saat kekasihnya itu tersenyum. Reina tidak memberi tahu soal pesan singkat yang masuk ke ponselnya.
"Riga, laper." Reina merengek manja menggelayuti lengan Riga.
Cowok yang sedang membaca itu langsung menutup bukunya. Mengusap lembut bahu Reina. "Mau makan apa?"
"Sate,"
"Boleh, yuk." Riga mengulurkan tangannya yang langsung disambut oleh Reina.
Dua remaja itu pergi meninggalkan kediaman Riga. Langit sudah menggelap, di atas sana bintang-bintang nampak bersinar dengan terang. Reina duduk manis di samping Riga yang sedang mengemudi.
Sebuah pesan masuk dari nomor yang tidak dikenal kembali muncul.
Dia akan mati karena kamu. Sama seperti ayahmu....
Reina langsung tegang. Dia menoleh memperhatikan Riga. Tangannya gemetar mencengkram kuat ponselnya. Riga yang begitu fokus pada jalanan sesaat melirik Reina yang memperhatikannya dengan serius.
"Kenapa?"
"Ma..makan satenya gak jadi deh, kita pulang lagi aja."
"Ini udah mau nyampe, tanggung."
Tidak, Reina tidak bisa diam saja. Dia berpikir mencari cara agar Riga mau menuruti kemauannya. Belum juga dia menemukan cara yang pas, pesan teror itu kembali masuk.
Kamu tidak akan bisa lari.
Takdirmu adalah kesialan untuk orang-orang di dekatmu.
"Na! Reina!" seru Riga menyadarkan Reina dalam lamunannya.
"Iya," Reina tergagap kaget. "Kenapa, Ga?"
Riga menghelan nafas, melepaskan sabuk pengamannya. "Kamu kenapa, sayang?" tanya Rga mengusap lembut pipi Reina.
"Fine! ayo turun, kita makan." Reina berusaha terlihat baik-baik saja, dia tidak mau Riga mencemaskannya.
Keduanya turun dari mobil tetap dengan Riga yang memperhatikan Reina. Cowok itu juga memperhatikan sekitarnya. Akhir-akhir ini dia memang merasa selalu ada yang mengintai. Entah saat sendiri atau ketika bersama Reina. Hal itu pula yang membuat Riga selalu waspada.
Sebelum duduk di warung sate tepi jalan langanan mereka, Reina diam melihat lurus pada penjual arum manis di sebrang jalan. "Riga, aku ke sana dulu ya." ucap Reina.
"Tunggu aja di sini, biar aku yang beli buat kamu."
Reina mengangguk, dia berbalik dan masuk ke dalam warung sate. Belum sempat Reina duduk suara decitan mobil dan teriakan terdengar ditelinganya. Tubuhnya serasa kaku tatkala melihat orang-orang di dalam warung sate itu berhamburan keluar.
Gadis itu berbalik lalu ikut berlari kearah orang-orang yang berkerumun di seberang jalan. Matanya mencari-cari sosok Riga, tapi tak ada. Dia menerobos masuk kerumunan orang-orang itu. Seakan detak jantungnya berhenti, Reina diam di tempatnya melihat sosok lelaki yang terkapar dengan bersimbah darah.
"RIGAAAA!!"
Satu teriakan itu berhasil membuat Reina kembali ke dunia nyata. Nafasnya memburu dengan airmata yang mengalir. Dia melihat sekelilingnya, sadar bahwa dirinya masih berada di dalam perpusatakaan pribadi Riga. Dia tertidur.
Reina segera keluar menuruni anak tangga sebab dalam ruangan itu dia tidak menemukan Riga. "Ga! Riga kamu dimana?!" teriak Reina mencari-cari kekasihnya.
Riga yang berada di dapur mendengar teriakan Reina. "Di dapur sayang."
Seakan takut mimpi itu menjadi kenyataan Reina langsung menuju dapur. Dia memeluk Riga yang baru saja mengambil air minum. Air dalam gelas itu sebagian tumpah karena dorongan Reina yang kuat ketika memeluk Riga.
Riga yang tahu Reina dalam keadaan panik langsung menyimpan gelasnya di atas meja makan. "Kamu kenapa?"
"Jangan pergi, jangan pergi." lirih Reina disela-sela isak tangisnya.
"Aku gak pergi kemana-mana, sayang."
Reina mengeratkan pelukannya. Mimpinya terasa nyata membuat dirinya merasakan sesak yang teramat di dadanya. Bagaimana darah yang keluar dari kepala Riga terasa begitu nyata, sama seperti ketika dirinya menemukan Shaka dalam kecelakaan beberapa tahun yang lalu.
Riga membiarkan Reina menumpahkan tangisannya. Tak peduli jika bajunya harus basah karena airmata kekasihnya itu. Cukup lama Reina menangis memeluknya dalam keadaan berdiri. Riga mulai merasakan kakiknya kaku. Dia mengurai pelukan menatap Reina yang mulai tenang.
Mata kekasihnya itu terlihat bengkak, Riga mengusap sisa-sisa airmata Reina. Dia membimbing Reina untuk duduk di sofa, begitu juga dengan dirinya. "Kasih tahu aku, kamu kenapa?"
"Mimpi,"
"Bad dream?"
Reina mengangguk lalu memeluk Riga, lagi. Menghirup aroma yang menenangkan dari tubuh kekar kekasihnya itu. "Aku mimpi kamu kecelakaan. Banyak darah, dan aku takut."
Riga mengecup puncak kepala Reina. "Cuma mimpi, jangan takut." Katanya untuk menenagkan kekasih hatinya itu.
Ceritamu menarik dari awal, apalgi pggmbran tokohmu. manusiawi bget, (ada kelamahnnya) suka. tapi aku baca masih bnyak yg typo. bnyk hruf yng kurang juga.
Comment on chapter Pertemuan Yang Burukdan ini kan chapternya sudah ada judul, jdi di body text kya'nya gk perlu ditulis lgi judul chpternya. kalau mau di tulis enternya kurang kebawah. semangat yaaa