wuhuuuu!! I'm back, setelah gak tahu harus nulis gimana lagi?
SELAMAT membaca, sorry for the typo.
Ribuan orang mendefinisikan bahagia sendiri-sendiri. Ada yang mengatakan bahwa bahagia adalah ketika mempunyai harta berlimpah, atau jabatan yang tinggi. Juga ada beberapa orang yang mengartikan bahagia ketika bisa mengunjungi tempat-tempat yang diinginkan. Berwisata ria keliling dunia.
Lebih sederhana lagi bahagia diartikan ketika bisa melihat orang-orang tersenyum karena diri kita. Bisa membantu mereka yang tidak mampu dan bisa merasakan kebahagiaan orang yang disayangi. Sederhana, sebab bahagia tak pernah menuntut kemewahan untuk ikut serta bersamanya.
Seperti apa yang kini tengah Reina rasakan. Sejak membuka matanya pagi tadi cewek satu itu tak berhenti melengkungkan bibirnya membentuk segurat senyuman manis yang menampilkan cekungan pada kedua pipinya. Mia, teman sebangkunya itu sampai dibuat heran oleh kelakuan Reina.
Reina yang duduk di sebelahnya sedang senyum-senyum sendiri sambil membolak-balikan halaman pada buku paketnya yang berada dalam posisi terbalik. Padahal jelas kalau setelah ujian semester usai sekolah dalam keadaan bebas, tapi Reina yang tak suka belajar itu datang ke sekolah membawa semua buku pelajaran seperti biasanya. Itu sangat aneh.
“Fix! Lo udah gak waras.” tutur Mia kesal.
“Gue masih waras Miaaaa!! Lagian emang ada yang salah kalau gue senyum? Senyuman guekan manis, semua orang suka kali sama senyuman gue. Ditambah lagi lesung pipi gue dan senyum itu ibadah yang artinya gue bisa dapat pahala dengan gue tersenyum.”
“Senyum ya gak masalah, tapi yang sekarang jadi masalah adalah lo senyum-senyum kayak orang gila, dari pertama gue masuk kelas sampai sekarang lo senyum. Semua orang lo senyumin. Bahkan gara-gara kebanyakan senyum lo gak sadar kalau buku yang lo pegang kebalik.”
“Eh?” Reina langsung mengalihkan pandanganya pada buku ditangannya. “Ih,buku nih, kenapa sih lo gak bilang-bilang kalau kebalik? Kan jadi malu gue sama Mia.”
“Stres emang, buku disalahin,” Mia jadi kesal sendiri melihat Reina yang justru tertawa mendengar ucapannya. Tak tersinggung sedikitpun. Namun kekesalan Mia hilang begitu saja saat Abdi masuk ke kelas mereka. “Ya ampun Abdi makin hari makin ganteng aja.”
Mia menangkup wajah dengan kedua tangannya yang bertumpu pada meja. Cewek satu itu memang cukup lama menaruh hati pada Abdi. Hanya saja Abdi tak pernah menanggapinya. Bukan hanya Mia, tapi gadis-gadis lain yang berusaha mendekatinya. Menurut Reina, Abdi gagal move on dari cinta pertamanya. Kania.
“Dari pada ngarepin Abdi, mendingan lo sama Deenan aja.” ucap Reina yang mengerti betul apa yang selama ini Mia harapkan dari sepupunya.
Mia melepaskan kedua tangan dari wajahnya. “Gue sama Deenan itu kayak minyak sama air. Gak bakal bisa nyatu. Lagi pula gue udah terlanjur cinta sama Abdi.”
“Walaupun lo selalu dicuekin sama Abdi?”
“Tetep cinta.”
“Lo gak sakit?”
“Gue bahagia, Na.”
Reina memicingkan matanya memandang Mia lebih jelas. “Bahagia dibagian mananya?”
“Nih, ya...” Mia menjeda kalimatnya membenarkan posisi duduknya agar menghadap Reina. Lutut keduanya bertemu. “Bahagia gue itu sederhana. Bahagia gue itu gak menuntut, karena bahagia gue adalah ketika gue bisa lihat orang yang gue sayang tersenyum. Sesimpel itu.”
“Tapi, gue yakin hati lo tetep sakit kan?”
“Perihal sakit itu udah biasa. Dimana ada bahagia pasti ada derita. Ada tangis pasti ada senyuman. Mereka selalu beriringan. Dunia kita ini gak melulu tentang bahagia, Na. Ada juga luka yang gak boleh kita lupakan.”
“Intinya?”
“Intinya walaupun gue terluka karena Abdi selalu cuek sama gue, tapi luka gue itu bisa ketutup dengan gue lihat senyuman Abdi. Thats it!”
Lalu keduanya kini memperhatikan Abdi yang sedang tertawa bersama Yasha, Andre dan teman-teman cowok sekelas mereka. Cowok-cowok itu sedang merencanakan perjalanan liburan mereka yang sesekali diiringi candaan oleh Yasha. Ah, bagi Mia melihat Abdi bisa tertawa selepas itu saja sudah cukup membuatnya bahagia. Cukup bahkan lebih.
Ponsel Reina bergetar menampilkan nomor baru yang tak dikenalnya. “Halo, siapa ya ini?”
“Lupa sama aku,”
“Shaka?” Reina langsung beranjak keluar dari kelasnya. Sedangkan Mia tetap asyik memandangi Abdi sampai tak menghiraukan Reina yang meninggalkannya. Reina duduk di kursi yang berjajar di sepanjang lorong sekolah.
“Kapan ke rumah sakit? Aku kangen.”
“Pulang sekolah aku ke sana. Maaf ya, soalnya semalam ada Sheila, aku takut ganggu.”
“Aku udah bicara sama Sheila, tapi kayaknya dia masih salah faham. Mungkin butuh waktu, pelan-pelan.”
“Ayah sama bunda kamu udah datang?”
“Udah, barusan.”
Kedua sahabat yang lama tak bersua itu kini saling melepas rindu lewat telpon. Shaka menceritakan pada Reina tentang suster Ani yang membocorkan bahwa Reina selalu mengunjunginya. Tentu saja Shaka sangat terharu dan bahagia. Cowok itu bahkan tak henti mengucapkan terimakasih pada Reina.
Dan Reina sendiri mengatakan tentang kerinduannya pada Shaka. Keduanya larut dalam rindu masing-masing. Rindu yang menumpuk kini mulai berkurang. Reina merasakan bahagia luar biasa mendengar kembali alunan merdu suara Shaka. Sesederhana itu bahagia yang kini Reina rasakan.
Benar bahwa bahagia tak menuntut apapun. Apalagi kemewahan duniawi.
***
Bel tanda pulang sekolah berbunyi, Reina dengan langkah-langkah riangnya menuju kelas Riga yang berada di lantai dua. Cewek itu bersenandung menyanyikan lagu cinta yang mewakilkan isi hatinya saat ini. Satu persatu anak tangga dia tapaki hingga menginjakan kaki di lantai dua.
Rambut hitam yang diikat kebelakang bergoyang-goyang mengikuti gerakan kakinya. Namun, tiba-tiba saja Reina menghentikan langkah kakinya. Ketika Tiara dan dua temannya berhenti di hadapannya.
“Ngapain lo ke sini?” tanya Tiara penuh dengan ketidaksukaan, tapi Reina membalasnya dengan senyuman. Sebenarnya Reina sangat enggan meladeni Tiara. Tak ingin memperpanjang urusannya, Reina memilih untuk kembali melangkah menghindari Tiara.
Namun Tiara tidak rela Reina pergi begitu saja tanpa mendapatkan apa-apa darinya. Dengan sengaja Tiara menjulurkan kakinya untuk membegal kaki Reina. Terang saja yang tak menyadari itu langsung tersungkur hingga kedua lututnya menyentuh lantai dan menjadi bahan tertawaan anak-anak IPA yang berada di sana.
“Selain gak punya otak ternyata anak IPS itu juga gak punya mata. Jalan aja sampai jatuh gitu.” ucap Tiara yang memandang Reina.
Reina menahan diri untuk tidak marah. Dia segera bangkit menepuk-nepuk tangan dan lututnya yang kotor. Sementara itu Riga yang baru keluar dari kelasnya langsung menghampiri tempat keributan. Cowok itu sempat kaget saat ada Reina di sana.
“Ada apa?” tanya Riga begitu dirinya berada di sebelah Reina.
“Tadi aku jalan gak lihat-lihat, jadi jatuh deh.”
Riga tentu tak langsung mempercayai ucapan Reina, tapi cowok itu memilih untuk diam dan tersenyum. “Ayo pulang.” Riga mengulurkan tangannya meminta Reina untuk menyambutnya.
“Ayo.” Reina menerima uluran tangan Riga sebelum keduanya berlalu dari kerumunan mengambaikan Tiara yang menahan kegeramannya.
Reina tersenyum menatap pada jalinan tangan dirinya dan Riga. Ada rasa bahagia menjalar pada sekujur tubuhnya. Membuat hatinya menghangat dan jantungnya yang berdebar-debar merasakan hangat tangan kekasihnya itu.
Keduanya berjalan beriringan menyisakan tatapan-tatapan penuh tanya dari beberapa murid lainnya. Ada yang suka ada juga yang tidak, tapi itu bukan masalah bagi Reina ataupun Riga. Bahagia mereka cukup antara hati masing-masing yang kini bertaut sama seperti tangan mereka.
Riga membawa Reina duduk pada bangku di dekat tempat parkir. “Tunggu di sini,” ucap Riga sebelum berlalu menuju mobilnya mengambil sesuatu dari sana. Reina hanya diam menurut pada Riga untuk tetap menunggu.
Tak berapa lama Riga kembali dengan kotak putih berisi obat-obatan. Cowok itu berlutut di hadapan Reina. Tangannya dengan gesit mengambil kapas lalu ditetesi rivanol. Gerak-gerik Riga tak lepas dari pandangan mata Reina.
“Tahan ya,” titah Riga begitu cowok itu mulai menyecapkan cairan kekuningan itu pada lutut Reina yang lecet. Mulutnya meniup-meniup pelan untuk mengurangi rasa perih. Reina meringis meski tak bersuara. Cewek itu menggigit bibir bawahnya untuk menahan rasa sakitnya.
“Mau pakai plester?” tanya Riga begitu selesai memberisihkan luka pada lutut Reina.
“Mau, tapi plesternya yang ada gambarnya.”
Riga berdecak sambil mengambil plester dengan gambar binatang yang pernah Reina berikan padanya dulu. Cowok itu tersenyum samar mengingat bagaimana plester itu bisa berada dalam kotak P3K-nya, padahal dirinya tak menyukai plester dengan aneka gambar hewan tersebut.
“Plester ini punya kamu,” ucap Riga sambil menempelkan plester pada lutut Reina. “Tadinya mau aku buang, tapi dilihat-lihat plesternya lucu juga.”
“Kayak aku?” Reina menunduk menatap pada Riga yang kini juga memandangnya dengan tersenyum.
“Kamu lebih lucu.” Riga mendongak menatap Reina. Posisi mereka seperti seorang pangeran yang melemar putri kerjaaan. Riga berlutut dengan satu kakinya, tangannya menggenggam kedua tangan Reina dan Reina masih setia duduk di bangkunya.
“Aku tahu!” seru Reina menahan getaran di hatinya. Cewek itu berdiri menghindari tatapan Riga yang begitu menusuk jantungnya. Membuat dirinya merona malu. “Ayo ke rumah sakit.”
Riga tersenyum lalu berdiri. “Makin lucu kalau lagi malu-malu kayak gitu.”
Tak bisa lagi menahan rona merah di pipinya, Reina menggunakan telapak tangannya untuk menutupi wajahnya sebelum berkata “Udah, ah.”
“Apanya?”
“Bilang aku lucu.”
Riga tersenyum senang melihat Reina yang salah tingkah seperti itu. Dia berdiri di hadapan Reina lalu menarik kedua tangan Reina dari wajah cantiknya. Sedikit menunduk untuk menyamakan posisinya dengan Reina, Riga menatap tepat pada bola mata kecokelatan itu.
“Jangan ditutupi. Jangan buat aku gak bisa melihat rona di pipi kamu. Jangan buat aku gak bisa lihat lesung pipi dan senyuman kamu.” tutur Riga lembut.
Ingin hati Reina menunduk guna menyembunyikan rasa gugupnya, tapi mata Riga yang memandangnya begitu dalam menahan dirinya untuk tetap melihat sorot mata hangat kekasihnya itu. Sesaat keduanya saling diam memandang mata masing-masing yang sama memancarkan cinta.
Ceritamu menarik dari awal, apalgi pggmbran tokohmu. manusiawi bget, (ada kelamahnnya) suka. tapi aku baca masih bnyak yg typo. bnyk hruf yng kurang juga.
Comment on chapter Pertemuan Yang Burukdan ini kan chapternya sudah ada judul, jdi di body text kya'nya gk perlu ditulis lgi judul chpternya. kalau mau di tulis enternya kurang kebawah. semangat yaaa