Hai hai.. ketemu lagi sama Reina dan Riga. siapa yang kangen? ada yang menanti kisah mereka?
kalau ada, Selamat membaca.
Setelah kejadian beberapa hari yang lalu Reina sepertinya memang tak bisa menyembunyikan apa yang terjadi antara keluarganya. Terlebih lagi Riga tidak seperti biasanya, cowok satu itu semakin menunjukan tingkat kepeduliannya pada Reina. Hal yang membuat Reina luluh pada Riga.
Berkas-berkas kenangan yang usang itu kembali dibuka. Di bawah pohon Angsana, Reina dan Riga duduk di atas rumput sambil selonjoran. Mata Reina terpejam mengumpulkan sedikit kekuatan yang dia miliki agar tak menangis ketika harus menceritakan hal yang sebenarnya.
Dengan pandangan yang tak pernah terlepas dari wajah berlesung pipi itu, Riga diam menanti penuh sabar untuk Reina bercerita. Halaman belakang sekolah tempat favorit Reina akan segera menjadi saksi bisu cerita masa lalu Reina.
“Gue anak angkat yang ayah bawa ke rumah waktu gue bayi,” satu kalimat itu mengawali cerita Reina tentang masa lalunya.
Ya, Reina memang anak angkat. Dia anak dari sahabat ayah angkatnya. Farish, suami Miranda membawa Reina pulang tanpa persetujuan Miranda. Farish mendapat amanat dari sahabatnya, Andara untuk menjaga Reina kecil.
Andara hamil di luar nikah, diusir oleh keluarganya dan di tolong Farish secara diam-diam. Hanya ada satu orang yang tahu tentang hal itu, yaitu Hilda adik kandung Farish. Mereka berdua bergantian mengunjungi Andara di sebuah kontrakan. Sampai suatu saat Andara melahirkan Reina, tapi sayangnya nyawa Andara tidak bisa diselamatkan.
Farishlah orang terakhir yang menjadi saksi kepergian Andara. Dengan berlinang airmata Farish menerima pesan terakhir Andara untuk membesarkan Reina. Dalam malam yang gelap diringi kilat yang bersahutan Reina kecil dibawa masuk ke dalam rumah nan hangat milik Farish.
Miranda marah ketika mengetahui bahwa suaminya pulang membawa seorang bayi yang dituduh sebagai anak dari selingkuhan Farish. Meski sudah di jelaskan berkali-kali bahwa Reina bukanlah anaknya, tapi Miranda tetap tak percaya. Wanita itu baru percaya setelah melakukan tes DNA yang dilakukan ketika Reina berusia dua tahun.
Sekalipun fakta mengatakan kalau Reina bukan anak dari suaminya, tapi Miranda tidak bisa menutupi rasa tidak sukanya pada Reina. Padahal Aresh sangat bahagia mempunyai dua adik perempuan yang cantik, di tambah lagi sepupunya Abdi.
Aresh selalu menjadi kakak bagi Sheila, Reina dan Abdi. Mereka bermain bersama, tumbuh bersama dan berbagi hal apapun bersama. Kedekatan mereka di pandang berbeda oleh Miranda. Wanita itu selalu melihat bahwa Aresh lebih menyayangi Reina dibandingkan Sheila, begitu juga dengan suaminya.
“Bunda selalu marahin gue kalau ayah dan kak Aresh enggak ada,” pandangan Reina menerawang seakan menembus daun-daun yang menghalangi penglihatannya ke langit sana. “Waktu SMP kita punya teman baru, namanya Shaka. Sheila suka sama Shaka. Shaka juga suka Shiela, tapi Sheila salah faham karena Shaka lebih dekat sama gue. Padahal Shaka kalau deket gue dia pasti nanyain Sheila. Sejak saat itu Sheila sedikit jauhin gue, dan tambah jauh lagi waktu ayah kecelakaan. Terus sejak saat itu gue diajak tinggal bareng mama Hilda, ibunya Abdi. Tiga bulan gue tinggal sama keluarganya Abdi, tapi setelah itu mama Hilda juga mengalami hal yang sama kayak ayah,”
sampai di sini Reina menceritakan kisahnya. Airmatanya sudah menggenang. Rencananya untuk tidak menangis gagal total. Mengingat kecelakaan yang terjadi dan tuduhan Miranda juga Arman padanya sangatlah menyakitkan.
“Ha.. harusnya waktu itu.. gue gak minta di jemput ayah, harusnya gue gak maksa. Harusnya gue gak tinggal bareng mama Hilda.” Reina kembali berkata dengan bergetar. Kedua tangannya meremas kuat rok seragamnya. Bahunya bergetar mengingat semua itu.
Riga langsung menarik Reina kedalam pelukanya. “Cukup, jangan diterusin kalau itu cuma buat lo sakit.” ujarnya lembut sambil mengusap-mengusap surai hitam panjang milik Reina.
“Tapi, gue.. harus dapetin maaf dari bunda, dari Sheila dan om Arman. Gue... gak mau terusan-terusan kayak gini,” Reina semakin terisaka di dalam pelukan Riga. Tangannya kini mencengkram belakang pakaian Riga. “Gue sayang mereka, Ga. Gue sayang.”
“Iya, gue tahu,” lirih Riga mengurai pelukan itu. Tangannya mengusap airmata yang meleleh di pipi Reina. “Kalau sekarang usaha lo selalu terasa gagal, suatu saat nanti biar waktu yang membuktikan kalau usaha yang lo lakukan sekarang itu gak sia-sia. Lo harus sabar.”
Riga merapikan anak rambut Reina yang menutupi wajah ayu gadis itu. Riga tersenyum sebelum mendaratkan ciuman di kening Reina, cukup lama seakan dia sedang menyalurkan kekuatan pada kekasihnya itu.
Reina yang semula terisak kini memejamkan matanya, isak tangisnya berkurang. Hanya sisa nafasnya masih tersenggal. Merasakan ciuman hangat pada keningnya, Reina merasa begitu tenang. Tak pernah sebelumnya setenang ini ketika bersama Riga.
“Better?” tanya Riga lirih begitu melepaskan ciumannya. Keduanya matanya menatap mata Reina begitu hangat.
“Hmmm,” Reina bergumam diringi anggukan kecil.
Kryuuk..kruuuk
“Lapar?” tanya Riga menatap Reina geli.
“Perut gak tahu sopan santun, suasana lagi melow begini malah demo,” Reina berbicara pada perutnya yang beberapa saat lalu bersuara meminta di isi. “Lain kali lihat kondisi ya, jangan demo sembarangan.”
Riga tak bisa menahan tawanya melihat kelakuan Reina yang menurutnya aneh itu. Cowok itu mengacak-ngacak rambut Reina dengan gemas, tapi tindakannya itu langsung membuat Reina mendelik tanda tak suka. Reina memang paling kesal kalau rambutnya disentuh oleh orang lain, apalagi sampai diacak-acak.
“Riga!! Berantakan!!” cewek itu memukul-mukul lengan Riga dengan kekuatan penuh.
“Lagi lapar aja tenaganya gede banget, gimana kalau kenyang?” Riga mengusap-ngusap lengannya yang dipukuli Reina. Cowok itu berdiri mengulurkan tangannya. “Ayo,”
“Kemana?”
“Makan.”
“Di kantin?”
“Hmmm,”
“Emang lo bisa? Yakin? Bukannya lo gak pernah ke kantin ya?”
Merasa Reina begitu lama menyambut uluran tangannya, Riga langsung saja menarik lengan Reina menyeret kekasihnya itu menuju kantin. Mereka berjalan beriringan. Langkah kaki Riga sedikit lebih cepat dibandingkan Reina, membuat cewek itu agak kesulitan menyamai langkahnya.
Berjalan di samping Riga dengan tangan yang digenggam kuat, tapi tidak menimbulkan rasa sakit membuat Reina merasa nyaman dan aman. Sekarang sepertinya Reina mulai merasakan getaran-getaran halus di dalam hatinya. Sentuhan dan perhatian Riga akhir-akhir ini selalu membuatnya gugup.
Reina tersenyum menampilkan cekungan kecil pada pipinya.
***
Bel tanda pulang sekolah berbunyi terdengar begitu nyaring di seluruh gedung sekolah. Terdengar sangat indah di telinga seluruh siswa. Satu persatu seluruh siswa keluar dari kelasnya masing-masing memenuhi lorong-lorong gedung sekolah.
Ada yang langsung menuju parkiran dan pulang. Ada juga yang bercanda di lorong menghalangi langkah beberapa siswa yang lainnya. Ada yang tergesa-gesa menurun anak tangga menuju kamar mandi karena selama di ruangan ujian menahan diri untuk tidak ke kamar mandi.
Ya itu adalah Reina. “Minggir! Minggir!” Reina berseru pada beberapa temannya yang menghalangi jalannya.
“Dasar Reina bocor!” teriak Yasha yang mengetahui kebiasaan teman sekelasnya. Bukan hanya Yasha, yang lainnya juga tahu. Dari dulu sampai detik ini hanya Reina siswi di kelas mereka yang sering bolak-balik ke kamar mandi.
“Reina! Di rumah gue ada diapers buat dewasa! Gue bawain ya!” kali ini Andre yang berteriak dari lantai dua karena Reina sudah berada di tangga paling ujung.
“Diem lo!” balas Reina mendongakan kepalanya menatap Andre yang berada di atasnya. “Gue bukan nenek-nenek yang harus pakai begituan.”
Mia, Abdi dan beberapa teman sekelas lainnya tertawa melihat Reina yang kembali berlari terbirit-birit. “Dari kelas satu gue sekelas sama Reina, sampai sekarang masih aja kayak gitu.” tutur Mia mengingat kembali bagaimana Reina yang menjadi langganan ke kamar mandi.
Meninggalkan Reina yang menuju kamar mandi. Teman-teman sekelasnya sudah terlebih dahulu pulang, bahkan Abdi sepupunya. Cowok satu itu sekarang sudah tidak mengantar-jemput Reina lagi sebab ada Riga menggantikannya. Setidaknya dia merasa tenang jika Reina berada di dekat Riga.
Soal Riga, cowok itu sudah duduk manis di balik kemudinya, menunggu Reina keluar dari kamar mandi. Riga memikirkan sesuatu tentang apa yang terjadi di dalam hidup Reina. Merasa tak tega melihat keadaan sebenarnya yang terjadi. Hidupnya selama ini selalu baik-baik saja.
Orang tua yang selalu rukun. Kasih sayang tak pernah berkurang. Harta yang lebih dari cukup dan semua hal-hal baik lainnya yang Tuhan berikan padanya. Merenungi hidupnya sendiri, cowok itu banyak-banyak mengucap kalimat syukur dalam hatinya.
Tok tok
Kaca jendela mobilnya di ketuk, Riga langsung membuka kunci mobilnya mempersilahkan Reina masuk dan duduk di sampingnya. Cewek itu tersenyum. “Lama ya?”
“Hmmm.”
“Maaf, tadi toiletnya penuh. Terus gue ke toilet yang di ujung, ternyata penuh juga. Terus gue ngantri. Di toilet rame banget tadi, ada yang ngegosip ada yang dandan. Toilet cewek itu berisik, kayak pasar. Kalau toilet cowok gitu gak?”
Riga yang sudah mengendari mobilnya itu melirik Reina sekilas. “Lo kan pernah masuk toilet cowok, lupa?”
“Hehehe,” Reina nyengir menampilkan deretan gigi putihnya. Mengingat kejadian ketika dirinya salah masuk toilet dan mendapati Riga di sana. “Tapi waktu itu gue gak lihat punya lo kok. Eh, tapi gak jelas juga sih, soalnya agak-agak...Awww!!!” Reina memekik sebelum menyelesaikan kalimatnya kareana Riga mencubit pipinya gemas.
“Jangan di bahas.”
“Malu ya?” Reina mengacungkan jari telunjuknya pada Riga. “Ayo ngaku, pasti malukan karena anu-nya ada yang lihat,” cewek itu menggoda Riga, menusuk-nusuk pipi Riga dengan jari telunjuknya. “Tenang aja, lagian gue lihatnya samar-samar, tapi punya lo kelihatan besa...”
Ciiiitt
Riga menginjak rem kuat-kuat membuat mobil itu berdecit hebat. Kepala Reina nyaris terkantuk dashboard. Riga melepas sabuk pengannya, menatap Reina yang sedang mengusap dadanya karena kaget. Perbuatan Riga yang menghentikan mobilnya secara mendadak itu berefek besar bagi Reina.
Cewek itu baru saja akan mengumpat, tapi Riga mendekatinya. Wajahnya sangat dekat dengan Riga. Reina menelan kembali segala umpatannya. “Mau lihat?” tanya Riga yang tak dimengerti Reina.
“Li..Lihat apa?” Reina tak bisa menyembunyikan rasa gugupnya. Kebawalannya tenggelam begitu saja ketika mendapati sorot tajam mata Riga.
“Yang lo lihat di toilet.”
Susah payah Reina mengendalikan dirinya karena Riga semakin mencondongkan tubuhnya sampai Reina bisa merasakan wangi mint yang berhembus dari mulut Riga. Wangi yang membuatnya berdebar tak menentu.
Dekat dan semakin dekat. Reina meremas ujung roknya saat jarak diantara dirinya dan Riga semakin menipis. Pikiran Reina mulai kacau, memikirkan segala hal yang terjadi antara sepasang kekasih. Matanya terpejam dengan detak jantung yang kuat. Memacu darahnya untuk mengalir lebih cepat, membuat pasokan udara selalu terasa kurang.
Klik
Riga melepaskan seatbelt Reina. Cowok itu sedikit menjauhkan wajahnya dari Reina yang masih memejamkan matanya. Riga terkekeh geli sebelum akhirnya menarik hidung mancung kekasihnya itu.
“Ngarep banget gue cium sampai merem-merem gitu?”
Merasa dikerjain habis-habisan oleh Riga, Reina langsung memukul dada cowok itu. “Enggak!” bentak Reina kesal. “Eh? Kita udah sampai?” Reina baru menyadari kalau dirinya sudah berada di depan rumahnya.
“Makanya jangan kebanyakan mengkhayal.”
“Apaan sih?” Reina mencebik, tapi pipinya yang putih itu tidak bisa menutupi semburat merah yang melapisi kedua pipinya.
Riga jadi semakin gemas melihat Reina yang sekarang tampak malu-malu. “Turun sana, sebelum gue ngapa-ngapain lo.”
“Dasar cowok! Dimana-mana isi otaknya sama, mesum.” kalimat terakhir yang Reina lontarkan sebelum dirinya turun dari mobil Riga. Reina tersenyum melambaikan tangannya pada Riga yang perlahan menjauhinya.
Senyuman itu terus mengembang membuat seseorang yang berdiri di persembunyiannya mengepalkan kedua tangannya. Tak suka dengan kebahagiaan yang terpancar dari wajah Reina. Seseorang yang selama ini selalu mengintai cewek itu.
Melihat Reina masuk ke rumahnya, orang tersebut pun berlalu dari persembunyiannya. Menunggu waktu yang tepat untuk menampakan dirinya. Tidak hari ini, tidak juga esok. Nanti, saat yang tepat.
Hayo!! siapa yang diam-diam mengawasi Reina?
Terimakasih untuk yang sudah membaca,
Regrads dari si amatiran yang lagi pilih-pilih menu makan siang.
Ceritamu menarik dari awal, apalgi pggmbran tokohmu. manusiawi bget, (ada kelamahnnya) suka. tapi aku baca masih bnyak yg typo. bnyk hruf yng kurang juga.
Comment on chapter Pertemuan Yang Burukdan ini kan chapternya sudah ada judul, jdi di body text kya'nya gk perlu ditulis lgi judul chpternya. kalau mau di tulis enternya kurang kebawah. semangat yaaa