Mengerjap beberapa kali sebelum benar-benar penghelihatannya kembali jernih. Reina bangun dari tidurnya, duduk bersandar pada headboard memperhatikan baik-baik ruangan yang terasa asing baginya. Sedetik kemudian dia baru menyadari kalau dirinya berada di kamar Riga.
“Gue ketiduran,” lirihnya menyibak selimut yang menutupinya. Keningnya mengkerut menatap selimut putih itu. “Riga pasti nyelimutin gue, baik banget.”
Beranjak dari tempat tidurnya karena tidak mendapati Riga di dalam kamar, Reina membuka pintu dan keluar. Dia tidak tahu sudah berapa lama dirinya tidur, yang jelas siang tadi saat ke rumah Riga dirinya benar-benar mengantuk. Menuruni anak tangga yang langsung terhubung dengan ruang keluarga Reina melihat ada Alexa dan seorang laki-laki.
“Itu Reina, pah.” ucap Alexa begitu menyadari kehadiran Reina. Laki-laki yang duduk di sampingnya langsung berdiri menatap Reina dari ujung kaki sampai kepala, kemudian tersenyum.
“Jadi kamu gadis yang berhasil membuat Riga jatuh cinta?”
“Jatuh cinta?” lipatan di kening Reina adalah tanda bahwa dirinya sedang berpikir. “Emang Riga jatuh cinta sama aku, om?”
“Sini, sini.” laki-laki bernama Djorgi itu menepuk-nepuk sofa agar Reina mau duduk di sebelahnya.
Reina mengangguk duduk di sebelah Djorgi dengan seragam sekolah yang masih melekat ditubuhnya, juga dirinya yang baru saja bangun tidur. Kondisi yang sebenarnya tidak membuat Reina merasa nyaman apalagi ada kedua orang tua Riga. Jika posisinya sebagai calon menantu itu pasti memalukan.
“Riga itu gak pernah bawa temannya ke rumah, apalagi perempuan,” tutur pada Djorgi Reina. Cewek itu sebenarnya sudah mendengar kalimat itu dari Alexa tapi, dia tetap mendengarkan Djorgi dengan antusias. “Kamu juga orang pertama yang masuk dan tidur di kamar Riga, itu artinya kamu istimewa.”
Mendengar kata tidur di kamar Riga membuat dirinya tidak enak, itu terkesan seakan dirinya benar-benar tidur dengan Riga dalam konteks negatif. “Oh, gitu ya om? Terus terus?”
Sama seperti Alexa, Djorgi pun menyambut dirinya dengan hangat. Hanya saja ayah dari Riga sangat jauh dari ekspektasinya. Dia pikir kalau Djorgi menyeramkan, dingin sama seperti Riga, nyatanya Djorgi sosok yang hangat. Tipe-tipe ayah gaul jaman now.
“Weekend besok kamu ikut kita ya jalan-jalan.” ajak Djorgi dengan semangatnya.
“Kemana om?”
“Ke puncak, di sana ada Villa punya keluarga om. Kamu juga bisa menunggang kuda.”
“Oke, kalau gitu aku ikut.”
“Yes!” seru Alexa dan Djorgi bersamaan.
Reina tersenyum melihat kedua orang tua Riga. Djorgi benar-benar mengingatkannya pada sosok ayahnya yang selalu hangat padanya. Tidak seperti ibu dan Sheila. Membuang kisah masa lalu yang melintas dalam benaknya, Reina semakin mengambangkan senyumnya melihat pasangan suami istri tersebut.
“Riga dari mana?” tanya Reina begitu melihat Riga masuk. Pandangannya turun pada kantong plastik putih yang ditenteng Riga. “Riga beli makanan ya?”
“Yuk makan, tadi tante suruh Riga beli sup iga bakar.” ajak Alexa seraya merangkul pundak Reina dan menuntunnya ke arah meja makan.
Dengan senang hati Reina ikut bergabung untuk makan malam bersama keluarga Riga. Cowok itu sendiri terlihat biasa-biasa saja, seakan sudah terbiasa dengan kehadiran Reina disekitarnya. Cowok itu duduk di sebelah Reina menunggu Alexa yang sedang menyiapkan makan malam.
Reina ikut membantu wanita itu dengan menyiapkan piring lalu diletakan di atas alas piring. Gerak gerik Reina tak lepas dari pengamatan Djorgi. “Kamu rajin sekali, di rumah suka bantuin mamanya ya?”
“Kalau lagi pengen aja, kalau lagi males mendingan nonton tv aja.” jawab Reina bercanda. Setelah selesai menyiapkan piring Reina mengambil gelas dan menuangkan air ke dalamnya. Sekarang Reina terlihat seperti menantu idaman.
“Pantesan aja Riga jatuh cinta, ternyata kamu benar-benar mandiri.”
“Aslinya enggak, om. Ini semacam pencitraan aja di mata om sama tante Alexa,” lagi-lagi Reina menimpali ucapan Djorgi dengan candaan. Tentu saja hal itu membuat Djorgi dan Alexa semakin menyukai gadis itu.
“Duduk Rein, kita makan.” Alexa meminta Reina untuk segera duduk.
Menikmati makan malam seperti ini rasanya sudah sangat lama tidak Reina rasakan. Sejak kejadian itu dia menghabiskan makan malamnya seorang diri. Tidak ada obrolan hangat yang menanyakan harinya di sekolah seperti saat ini. Menahan rasa sesaknya Reina membuang jauh-jauh ingatan tentang keluarganya yang dulu.
Setelah acara makan malam selesai Reina diantar pulang oleh Riga. Awalnya cowok itu ogah-ogahan tapi, melihat sorot mata kedua orang tuanya yang penuh harap itu akhirnya dia mengalah dan mau mengantarkan Reina pulang tanpa kendaraan.
Karena jarak rumah Reina yang tidak begitu jauh, Riga memilih untuk berjalan kaki saja sambil menikmati angin malam. Namun tidak halnya dengan pikiran Reina, cewek itu menuduh Riga yang masih ingin berlama-lama dengan dirinya.
Jalanan dikawasan perumahan elite itu sangat sepi. Lampu-lampu berjajar di sepanjang jalan sebagai penerangan. Cahayanya yang kekuning-kuningan seakan menciptakan suasana romatis tersendiri. Keduanya melangkah begitu pelan seperti menunjukan bahwa keduanya memang sedang menikmati waktu bersama.
“Bokap lo seru ya. Diajakin ngobrol apa aja nyambung,” tutur Reina kembali mengingat pertemuan pertamanya dengan Djorgi. “Awalnya gue kira om Djorgi nyeremin, ternyata sebaliknya. Sama kayak ayah, seru.”
Ketika Reina menyebut ayahnya, Riga bisa menangkap raut sedih di wajah Reina. Seperti ada sebuah dorongan yang begitu kuat akhirnya Riga menanyakan sesuatu tentang ayah dari Reina. “Bokap lo ada di rumah?”
“Gak ada.”
“Kemana?”
Reina berhenti melangkah, kepalanya mendongak dan jari telunjuknya dia angkat ke udara. “Ayah ada di sana,” katanya kemudian. “Udah hampir tiga tahun ayah pergi dan menetap di sana. Tempat yang gak bisa gue gapai,”
Riga tahu dengan apa yang dimaksud Reina tentang ayahnya. Dia faham bahwa setiap orang yang ditinggalkan pergi oleh orang yang dicintainya pasti akan terluka dan bersedih, tapi dari mata Reina, cowok itu bisa menangkap bahwa kesedihan dan kehilangan itu begitu mendalam. Tak bisa dilupakan begitu saja.
“Ayah pergi gara-gara gue. Kalau aja waktu itu gue nurut, lo pasti masih bisa ketemu sama ayah. Duduk di teras sambil main catur.” ucap Reina penuh dengan penyesalan. Sangat, sangat menyesal, meski ada senyum di wajah manis itu nemun senyuman itu terasa begitu getir di mata Riga.
Tak tahu dari mana keinginan itu tiba-tiba saja Riga menarik Reina ke dalam pelukannya. Menyandarkan tubuh Reina pada dada bidangnya, mengusap lembut surai panjang itu. Menyalurkan kehangatan dan ketenangan sekaligus. Awalnya Reina tak membalas pelukan itu, tapi dirasa bahwa pelukan itu Tulus dengan segera Reina membalasnya memeluk sama eratnya.
Keduanya saling berpeluk di bawah pijar lampu jalan. Menikmati kesunyian diantara mereka karena keduanya saling diam. Riga tahu bahwa sesuatu dalam dirinya berubah, sesuatu yang membuat detak jantungnya tak menentu dan dia tahu jenis perasaan apa yang sekarang menjalar ke hatinya.
***
Matahari pagi mencuri celah untuk menyusup ke dalam kamar seorang gadis yang masih terlelap dibalik selimut tebalnya. Enggan untuk beranjak, tapi sesuatu mengingatkannya membuat segera bangun.
“Ya ampun gue kesiangan,” ucap Reina pada dirinya sendiri. “Handuk mana ya? Ah.. itu.” Seakan diburu waktu Reina dengan tergesa masuk ke kamar mandi. Cewek itu tak membutuhkan waktu yang lama untuk bersiap-siap.
Lima menit untuk mandi sudah sangat cukup bagi Reina. Keluar dari kamar mandi Reina sudah berpakaian. Celana jean dipadukan dengan kemeja merah yang memanjang pada bagian belakangnya. Tangannya meraih ransel yang berada di atas kursi berisi pakian yang sudah dia siapkan semalaman.
Mengambil dan memakai sepatu cats yang berwarna senada dengan kemejanya membuat Reina melupakan polesan di wajahnya. Cewek itu beranjak. “Ya ampun!” Reina menepuk keningnya dengan cukup keras.
Berdiri di depan cermin Reina memakain pelembab wajah, lalu bedak yang disapukan tipis-tipis dan terakhir lipgloss. Tak banyak yang Reina butuhkan untuk memoles wajah yang sudah mulus terbebas dari jerawat dan flek hitam.
Setelah siap Reina keluar dari tiny house miliknya, menuju rumah utama lewat dapur. Di sana ada asisten rumah tangganya yang sedang membuat nasi goreng. “Maaf ya bi, aku kesiangan jadi gak bisa bantuin bibi.”
“Ini masih jam enam kurang, masih pagi.”
“Bunda sama kak Sheila belum bangun?”
“Nyonya sudah, tadi lagi di ruang kerjanya. Kalau non Sheila masih tidur.”
“Aku ke bunda dulu ya, bi.”
Walau Reina tahu akan berakhir seperti apa ketika berhadapan dengan ibunya, cewek itu tetap mengetuk ruang kerja ibunya. Sampai sebuah suara dari dalam mempersilahkannya masuk, barulah Reina melangkah mendekati ibunya.
Miranda mendongak menatap pada putrinya. Tatapan dingin dan penuh ketidaksukaan sama seperti sebelumnya. Wanita paruh baya itu mengabaikan Reina, sama seperti Sheila yang menganggapnya tidak ada.
Reina berdiri tak jauh dari meja kerja Miranda. Pandangannya menatap lurus pada wanita yang sedang sibuk membolak-balikan kertas ditangannya, lalu sesekali mencoret kertas itu dengan tinta hitam.
Tapi, sebagai anak Reina tetap harus meminta izin pada ibunya. Mencengkram kuat-kuat tali ranselnya Reina berkata. “Bunda, orang tuanya teman aku ngajakin aku ke puncak. Besok malam kayaknya baru pulang. Bunda jangan lupa makan dan istirahat yang cukup ya,” airmatanya sudah menumpuk di pelupuk matanya tapi, tak ada respon sedikitpun dari Miranda.
“Bunda tenang aja, Reina janji gak akan macam-macam. Gak akan buat nama bunda jelek. Bunda, Reina pergi dulu ya. Reina sayang bunda.”
Membalikan badannya Reina memejamkan matanya membiarkan airmata itu jatuh membasahi pipinya. Melangkah dengan kesedihan di hatinya karena kembali diabaikan oleh wanita yang paling di sayanginya.
Di ruang tamu Reina melihat Sheila yang sedang mengambil koran pagi yang baru saja di kirim. “Sheila udah bangun, aku mau ke puncak. Kamu ikut?” tanya Reina antusias, tapi Sheila diam. “Atau mau titip sesuatu? Aku beliin deh.”
Membanting koran ditangannya ke atas meja dengan cukup keras seakan menunjukan bagaimana kebencian Sheila pada Reina. “Gak usah sok baik!” Sheila berlalu setelah mengucap kalimat itu.
Lagi dan lagi Reina kembali merasa tersakiti. Ingin menangis sekencang mungkin, tapi dia sadar itu tidak akan membuat keadaan membaik. Mendengar suara klakson mobil, Reina langsung bergegas keluar. Cewek itu langsung masuk begitu mendapat perintah dari Riga lewat matanya.
“Selamat pagi om, tante, Raja singa.” sapa Reina senang begitu dia masuk ke dalam mobil milik Arman yang di kemudikan Riga. Djorgi duduk di sebelah putranya dan Reina duduk di belakang bersama Alexa.
“Pagi, orang tua kamu belum pulang?” tanya Alexa mengusap lembut rambut Reina.
“Belum tante.” jawabnya bohong. Bukan bermaksud berbohong, hanya saja Reina tidak ingin siapapun mengetahui kalau keluarganya begitu membencinya. Tidak, sampai semuanya membaik. Reina tidak ingin kehilangan keluarga yang baru saja ditemukannya.
Ceritamu menarik dari awal, apalgi pggmbran tokohmu. manusiawi bget, (ada kelamahnnya) suka. tapi aku baca masih bnyak yg typo. bnyk hruf yng kurang juga.
Comment on chapter Pertemuan Yang Burukdan ini kan chapternya sudah ada judul, jdi di body text kya'nya gk perlu ditulis lgi judul chpternya. kalau mau di tulis enternya kurang kebawah. semangat yaaa