Hai luka... apa kabar?
Nampaknya kau betah tinggal di sana.
Kapan akan pergi? Aku tak suka engkau.
Terus dan terus kau merongrong hatiku,
Sampai semuanya engkau yang menguasai.
Biarkan aku meletakan senyum di sana.
Hai luka,
Senangkah engkau melihat tetesan airmata?
Atau justru kau sedang tertawa?
Baiklah, kalau begitu akan aku tertawakan engkau,
Sampai kau lelah, bosan dan pergi.
Di sudut sepi SMA Cendrawasih, Reina Fillosa.
Reina menatap sinis pada curahan hati yang ditulisnya. Dia sedang mentertawakan luka yang bersarang di hatinya. Lihat saja nanti, Reina pasti menang dan luka akan kalah. Reina akan meletakan milyaran senyum di dalam hatinya untuk menggantikan luka yang sekarang masih bertahta di sana.
Tidak! Reina tidak akan kalah.
Dia akan menang melawan luka itu.
Jadi biarkan sekarang luka itu tersenyum, cepat atau lambat Reina akan menang.
Buku bersampul kulit berwarna cokelat tua itu kembali dia tutup, ada banyak isi hatinya yang tertulis di sana. Sejak merasa tak ada siapapun yang sanggup mendengar keluh kesahnya, buku itulah yang akhirnya menjadi tempat Reina menumpahkan isi hatinya tanpa membebani siapapun.
Tangan mungilnya meraba lehernya untuk mendapatkan apa yang selalu terpasang di sana. Sedikit menundukan kepalanya Reina melihat pada liontin kalung berbentuk ranting dengan satu bunga dan daun. Kalau pemberian Aresh. Satu-satunya yang bisa dia genggam seutuhnya.
Satu-satunya bukti bahwa pernah ada orang yang begitu menyayanginya. Pernah ada orang yang menganggap keberadaannya. Orang yang selalu bangga, tersenyum dan memeluknya. Kalung itu adalah bukti yang mengingatkan dia untuk tetap kuat.
“Di saat sekolah heboh, lo malah duduk nyantai di sini,” ucap Mia yang sengaja datang mencari Reina. Cewek itu menatap sekelilingnnya. “Apa enaknya di sini sih, Rein? Gudang nyeremin gini lo jadiin tempat nongkrong.”
“Enak tahu, sepi. Lagian nih, ya gue di sini bisa dapet inspirasi.”
“Inspirasi apaan? Inspirasi bikin onar?”
“Emang kesannya gue suka bikin onar ya?”
“Nih,” Mia menunjukan ponselnya. “Itu video baru aja diunggah sama salah satu anak IPA. Gue mau tanya, itu seriusan?”
Reina memandangi layar ponsel Mia yang menampilkan gambar dirinya, Riga dan Tiara. Kejadian beberapa saat yang lalu. Harusnya dia menyadari bahwa jaman sekarang apa-apa direkam terus dipublikasikan biar viral.
“Gue pasti viral,” ujar Reina dengan kekehan. “Gitu aja dibesar-besarin, nih.” Reina kembali menyerahkan ponsel itu pada Mia. Reina nampak sangat tak tertarik dengan kehebohan yang terjadi di kolom komentar akun Instagram tersebut.
“Lempeng banget lo.”
“Gue lagi rindu berat, gak tertarik ngebahas begituan.”
“Hubungan lo sama Riga.”
“Biasa aja.”
“Tapi, di video kalian bilang pacaran.”
“Anggap aja itu benar.”
“Ish, gimana sih?” Mia menggaruk tengkuknya. Cewek itu terlihat bingung, ingin sekali menanyakan banyak hal mengenai video itu, namun Mia tahu kalau Reina tidak pernah membahas kehidupan pribadinya dengan siapapun termasuk dirinya.
Meski sudah mengenal Reina sejak masuk SMA Cendrawasih, nyatanya waktu tiga tahun tak cukup bagi Mia untuk mengenal sisi lain dari seorang Reina. Mia sendiri bukan tipe orang yang terlalu ingin tahu. Dia bertanya ketika begitu merasa penasaran, tapi tidak memaksa Reina untuk menceritakan semuanya.
“Tadi Tiara ke kelas nyariin lo. Kayaknya dia mau bikin perhitungan deh sama lo.”
“Gue udah ke temu di kamar mandi, hampir ribut malah.”
“Oh ya?”
“Hmmm. Minggu ini ada film baru gak di bioskop?”
“Mau nonton?”
“Iya,” Reina meletakan buku harian di atas pangkuannya. “Tapi nunggu duit gue banyak.”
“Emang lo gak punya duit? Kan nyokap lo kaya.”
“Itukan uang nyokap, bukan punya gue. Udah ah, gue ke kantin dulu ya, laper.” Reina meninggalkan tempat duduknya. Dia tersenyum ketika melihat Mia yang memasang raut bingung sebelum benar-benar dirinya menjauh.
Bisik-bisik terdengar di telinganya. Reina tahu kalau mereka sedang membicarakannya, meski sedikit terganggu Reina tetap berjalan ke kantin. Begitu masuk ke kantin dirinya langsung merasa seperti penyanyi terkenal yang langsung disorot oleh lampu tembak begitu naik ke atas panggung.
Kenapa pada ngelihatin gue kayak gitu? Batinnya berbicara. Dia memang tak menyangka akan sebegitu hebohnya. Membuang rasa kesalnya lewat hembusan nafas tiba-tiba saja Reina merasa tangannya digenggam seseorang.
“Eh?”
“Ikut gue.” ucap Riga menarik Reina pergi menjauh dari kantin. Seketika murid-murid yang berada di kantin kembali heboh. Mereka menerka-nerka apa yang sekiranya akan terjadi.
Riga membawa Reina ke belakang sekolah, gudang tempat cewek itu biasa menyendiri. “Mulai sekarang lo jadi cewek gue.”
“Dih? Kok jadi nafsu gitu tiba-tiba? Yang diperpuskan gue cuma pura-pura.”
“Karena itu sekarang lo harus jadi pacar gue gak pake pura-pura.”
“Tapi, gue gak cinta.”
“Urusan nanti.”
Reina diam beberapa saat memikirkan ucapan Riga. Sudah terlanjur basah dirinya mengaku kekasih Riga, jika hal itu ketahuan pura-pura rasanya pasti akan memalukan. Bukan hanya untuk dirinya tapi, juga akan berdampak pada Riga.
“Oke deh, tapi ke kantin ya, gue laper.”
Bukan tanpa alasan Riga tiba-tiba meminta secara serius pada Reina untuk menjadi kekasihnya. Pertama Riga tak mau menjadi bahan pembicaraan berkepanjangan ketika mereka tahu kalau dirinya tak benar-benar berpacaran dengan Reina. Kedua ada untungnya jika di mempunyai kekasih, yaitu terbebas dari gangguan Tiara. Maka dari itu dia harus memastikan bahwa Reina mau menjadi kekasihnya tanpa pura-pura.
Kejadian hari ini seakan memberitahu Reina bahwa Riga cukup populer untuk ukuran cowok yang kurang pandai bergaul. Diam-diam Reina melirik Riga yang berjalan di sampingnya. Rahang tegas, hidung mancung, bola mata yang hitam pekat, bibir yang terlihat manis.
“Gue baru sadar kalau lo ganteng.” lirih Reina.
Sesaat Riga melirik cewek itu. Bibirnya berkedut menahan senyum. “Dari dulu.” ucap Riga datar.
“Bisa narsis juga lo, tapi dalam kamus kehidupan gue, lo itu orang ganteng di nomor urut empat.”
“Kenapa gak satu?”
“Soalnya yang pertama itu ayah, kedua kak Aresh, ketiga Abdi, dan terakhir lo.”
“Oh,”
“Ooooo itu bulet.”
***
Reina berlari mengahampiri mobil Riga ketika melihat cowok itu sudah berada di sana bersiap untuk meninggalkan sekolah. “Riga tunggu,” Reina berusaha menghentikan mobil itu dengan nafas terengah-engah.
“Ada apa?” tanya Riga menurunkan kaca mobilnya.
“Kita kan pacaran, kok lo tega ninggalin gue.”
Lupa! Riga melupakan fakta satu itu. “Masuk.”
Selalu senyuman yang Riga dapatkan ketika berhadapan dengan Reina. Senyuman yang diam-diam menghangatkan hatinya. Senyuman yang tanpa disadari selalu berhasil membuat dirinya ikut tersenyum merasakan aura bahagia dibaliknya.
Riga memperhatikan Reina yang masuk ke mobilnya, duduk di sampingnya dan mengenakan sabuk pengaman. “Akhir-akhir ini lo selalu bawa mobil ke sekolah. Motor lo rusak?” tanya Reina begitu mobil Riga bergerak menjauh meninggalkan sekolah.
“Enggak.”
“Terus kok lo gak bawa motor lagi, padahalkan lo kelihatan seribu persen lebih keren kalau naik motor. Gue juga suka sensasinya. Waktu pertama kali naik motor lo, gue bisa ngerasain perasaan yang bebas kayak angin yang niup-niup rambut gue.” celoteh Reina mengungkapkan bahagianya ketika duduk di atas motor.
“Sekalian pamerin paha lo ke orang-orang, gitu?”
“Paha?” Reina berfikir sejenak lalu dia tersenyum. “Cieee... ternyata lo udah peduli sama gue sejak awal.” cewek itu menggoda Riga. Dengan tak tahu malu Reina menjawail dagu Riga membuat cowok itu melotot.
“Jangan pegang-pegang!”
“Kalau cium boleh?”
“Enggak!”
Reina tertawa menikmati raut kesal wajah cowok tampan di sampingnya. Setelah menikmati tawanya sendiri kemudian Reina terdiam mengingat sesuatu, ah.. dia lupa rasanya kapan dirinya bisa tertawa lepas seperti beberapa saat yang lalu. Sudah sangat lama.
Tiba-tiba saja pandangannya kabur, airmata sudah menggenang menutupi penglihatannya. Tak ingin terlihat menangis di depan Riga, cepat-cepat Reina memalingkan pandangannya ke samping melihat jalanan lewat jendela kaca. Tangannya bergerak menyeka airmatanya. Tidak seorangpun yang boleh melihatnya menangis.
“Udah sampai.” ucap Riga mengehentikan mobilnya tepat di depan rumah Reina.
“Ke rumah lo aja ya, di rumah sepi. Gue takut.”
“Turun.”
“Enggak mau, gue mau ikut sama lo. Ya ya ya, ikut ya.” Reina memasang wajah memelas dan menampilkan pupy eyes yang siapapun melihatnya tidak akan tega untuk menolak.
Satu desahan lolos dari bibir Riga. Cowok itu mengalah dan kembali menjalankan mobilnya ke rumahnya. Hal itu tentu saja membuat Reina tersenyum senang, cewek itu kembali melupakan kesedihannya.
Bukannya dia tidak ingin pulang, hanya saja dia tahu kalau hari ini ibunya pulang. Untuk saat ini Reina tidak ingin bertemu dengan ibunya dulu. Dia tidak ingin kembali mendapatkan sorot mata yang menatapnya penuh dengan kebencian. Menatapnya dingin dan merasa tidak berarti.
Kedua remaja itu turun dari mobil melangkah masuk ke dalam rumah. Riga berjalan mendahului Reina seakan melupakan keberadaan cewek itu. “Mama mana bi?” tanya Riga pada asisten rumah tangganya.
“Lagi ada pekerjaan di butiknya, mau bibi ambil kan minum?”
“Hmmm,” Riga mengangguk sebelum menaiki anak tangga menuju kamarnya.
Merasa diabaikan Reina mendengus sebal menatap punggung cowok itu. Reina menuju dapur mengikuti bi Ina. “Aku saja yang buatin minum, bi.”
“Oh boleh.”
“Riga biasanya minum apa bi?
“Kalau pulang sekolah biasanya minum jus jeruk.”
Reina membuka lemari es dua pintu itu mengambil sebotol orange juice dan menuangkannya ke dalam gelas tinggi itu. Di sisi lain bi Ina memperhatikan gerak-gerik Reina. Sebagai seorang yang sudah berkecimpung lama menjadi asisten rumah tangga bi Ina tahu kalau Reina tak semanja wajahnya.
Entah apa yang menjadi penilaiannya, tapi yang jelas keluesan Reina di dapur cukup terlihat baik dimata bi Ina. “Non, Reina pacarnya den Riga ya?”
“Iya, baru aja pacaran,” Reina kembali menyimpan botol jus jeruk itu ke dalam lemari es. Lalu mengambil beberapa buah-buahan. “Riga orangnya kayak gimana sih bi?”
“Emangnya non Reina gak tahu?”
“Aku tahunya dia itu galak sama aku bi.” cewek itu mengupas Apel dan memotongnya menjadi beberapa bagian kecil. Bi Inah masih setia memperhatikan Reina, cara Reina memegang pisau dan mengupas Apel menambah kuat keyakinannya kalau cewek satu itu bisa diandalkan di dapur.
“Den Riga itu anak tunggal, dari kecil dimanja sekali sama tuan dan nyonya. Suka kebersihan, gak suka kalau dipegang-pegang, tapi den Riga itu baik banget. Bibi aja kalau masih mudah pasti mau dinikahin sama den Riga.” bi Ina tertawa geli diakhir kalimatnya.
“Emang Riganya mau sama bibi?” tanya Reina bercanda.
“Harus mau, kalau enggak nanti bibi pelet pakai jaran goyang.”
Reina tersenyum mendengar penuturan wanita bertumbuh tambun itu. Dia sudah memotong beberapa buah-buahan yang disatukan dalam sebuah mangkuk, lalu memcampurnya dengan yogurt. Diletekannya mangkuk itu di atas nampan yang sama dengan dua gelas jus jeruk yang sudah siap diantarkan ke kamar Riga.
“Kamar Riga sebelah mana ya bi?”
“Dari tangga belok kanan, lurus aja. Pintu paling ujung itu kamarnya den Riga.”
“Makasih ya bi.”
Menurut bi Ina cara Reina membawa nampan berisi dua gelas jus dan satu mangku besar berisi salad buah sudah cukup menunjukan kalau remaja itu cukup mandiri. Wajahnya yang terkesan imut dan manja itu berbanding terbalik dengan sikapnya. Satu hal lagi yang menjadi nilai sempurna seorang Reina di mata bi Ina.
Reina menyusuri lorong rumah kediaman Riga. Di lantai dua rumah ini ada tiga ruangan. Satu ruangan di dekat tangga adalah perpustakaan pribadi milik Riga, satu ruangan lainnya berisi barang-barang koleksi cowok itu dan satu lagi adalah kamar Riga.
Tok tok
Pintu bercat putih itu dibuka setelah beberapa kali diketuk. Riga diam melihat keberadaan Reina di depannya. “Masuk.” ucapnya kemudian.
Reina masuk dan langsung meletakan nampan itu di atas nakas. Matanya menjelajah kamar Riga yang sekarang menjadi kekasihnya. Kamar yang luas didominasi warna abu-abu dan putih.
Satu tempat tidur berukuran besar berada ditengah ruangan, pada sisi kanan dan kirinya ada nakas berwarna abu-abu senada dengan papan tempat tidur itu. Sedangkan seprai, selimut sampai gorden semuanya berwarna putih. Walking closet dengan pintu kaca bernuanasa abu-abu dibiarkan terbuka menampilakn jajaran pakaian milik Riga seperti di sebuah butik mewah.
Sliding door kaca menjadi pengguhubung kamar dengan balkon. Satu meja belajar yang menempel pada dinding dan satu pintu kayu yang Reina yakini itu adalah kamar mandi. Setelah puas melihat-lihat seisi kamar Riga, cewek itu berjalan menggeser sliding door menuju balkon. Seketika angin langsung menerpa wajahnya.
“Waaah, enak banget di sini. Adem,” katanya riang. Dia menoleh melihat Riga yang sedang sibuk mengeluarkan buku-bukunya dari dalam tas. “Lo gak kesel tinggal di rumah sebesar ini sendirian?”
Riga hanya menggelang sebagai jawaban. Cowok itu duduk kemudian menekuni buku-bukunya. Mengulang kembali beberapa pelajaran dan mengerjakan tugas-tugas sekolahnya. Sudah menjadi kebiasaan Riga yang langsung mengerjakan tugas-tugasnya begitu sampai di rumah. Cowok itu bisa tahan seharian berdiam diri di kamarnya, jika Alexa tidak memaksanya keluar.
Reina melangkah masuk. Dia mengambil segelas jus yang belum disentuh itu. “Minum dulu nih. Gue gak mau ya kalau pacar gue dehidrasi.”
Mendengar kata pacar Riga langsung mengehentikan aktifitasnya. Menatap tajam pada Reina, cowok itu mengambil gelasnya dengan kasar sebelum menghabiskan jusnya dalam sekali tenggak.
“Wah, ternyata pacar gue kehausan,” Reina terkekeh lalu mengambil gelas itu dari tangan Riga dan meletakannya kembali di atas nampan. “Gue buat salad buah, lo mau?”
“Enggak.”
“Ya udah kalau gitu ini buat gue aja.”
Membiarkan Riga tetap sibuk dengan tugas-tugasnya, Reina menikmati salad buahnya. Dirasa sudah cukup Reina kembali meletakan mangkuk itu yang masih menyisakan isinya. Dia mulai merasa mengantuk Reina merebahkan dirinya di atas tempat tidur Riga. Posisinya menyamping menghadap Riga yang masih serius dengan buku dan tugasnya.
Perlahan mata itu terpejam membantu melupakan sejenak setiap lara di hati Reina. Deru nafas yang semakin teratur menunjukan bahwa tidur cewek itu benar-benar nyenyak. Kini keduanya membisu dalam denting waktu yang terus berdetak.
Ceritamu menarik dari awal, apalgi pggmbran tokohmu. manusiawi bget, (ada kelamahnnya) suka. tapi aku baca masih bnyak yg typo. bnyk hruf yng kurang juga.
Comment on chapter Pertemuan Yang Burukdan ini kan chapternya sudah ada judul, jdi di body text kya'nya gk perlu ditulis lgi judul chpternya. kalau mau di tulis enternya kurang kebawah. semangat yaaa