Matahari telah condong ke sebelah barat. Udara sejuk perlahan juga mulai menyisip di kolong langit sebelah selatan kota Jakarta. Hal ini menandakan bahwa kelas terakhir yang tengah Yoga dan Hendi ikuti telah hampir usai dilaksanakan.
Suasana kampus hari ini tampak biasa saja. Proses belajar mengajar juga berjalan sebagaimana mestinya. Semua tampak normal-normal saja; benar-benar tak ada yang begitu istimewa dengan Kamis ini. Bahkan, Patrick, si penjaga perpustakaan, pun mukanya tetap kelihatan mesum seperti yang sudah-sudah. Maka, usai mengikuti kelas terakhirnya, dua sahabat setia yang suka makan sepiring berdua itu pun tak ingin berlama-lama. Mereka langsung capcus menuju parkiran sepeda motor di halaman kampus.
“Jadi, kan, kita langsung ke Mall?” kata Hendi sambil terus menampilkan ekspresi semringahnya. Tubuhnya yang lumayan gempal kali ini tak menjadi penghalang untuk membuatnya melangkah dengan gesit. Maklum, kebetulan hari ini adalah jadwal rilis edisi terbaru dari serial komik yang paling digemarinya.
“Aduh, sorry banget, bro… gue ada acara. Besok aja, yah?” sahut Yoga, meski menampilkan ekspresi menyesal, namun pandangannya tetap fokus pada timeline aplikasi X di handphone-nya.
“Lha, gimana, sih? Kan semalem lo udah janji?”
“Yah, besok-besok kan bisa. Nggak bakal kehabisan ini, kan?”
Hendi mood-nya berubah. “Ah, nggak asyik banget, lo, bro… lagian tumben banget, pake ada acara segala. Acara apaan, sih?”
“Anak-anak teater ngajak gue meeting.”
“Lho, bukan katanya lo udah nggak ikutan lagi? Apa lagi-lagi ini demi si gadis impian lo itu?”
“Gitu deh….” Yoga nyengir.
“Di mana? Di sini?”
“Bukan, di kafe deket Taman Ria Rio,” jelas Yoga sembari menutup layar handphone-nya, sementara mereka telah berhenti tepat di depan sepeda motor milik Hendi yang terselip di antara barisan motor lainnya yang tersusun rapi. “Mending lo ikut gue aja, lah! Kan kalo si Sandra hadir, kemungkinan besar si Erin juga ada. Siapa tahu aja ini hari keberuntungan kita.”
Mendengar Yoga menyebut nama Erin, Hendi menghela napas. Raut semangat yang tadi sempat membingkai, kini berganti lesu.
“Kayaknya gue mau nyerah aja, deh, buat dapetin si Erin. Kalau nasihat om gue sih, katanya gue itu harus bisa lebih sadar diri. Perbedaan dia sama gue itu udah kayak langit dan bumi. Dia di sana, aku di sini. Lagian, kayak nggak ada cewek yang lain aja. Masih banyak janda-janda muda di luar sana yang membutuhkan perhatian dan belaian pria.”
“Yah, payah, lo, bro… berarti lo belum pernah baca puisinya Jalaluddin Rumi, yang menjelaskan bahwa langit dan bumi itu sebenarnya adalah simbol dari sepasang kekasih, karena mereka saling melengkapi.”
Hendi pun terdiam, merasa begitu sulit untuk menerima ataupun membantah ucapan Yoga yang cukup menohok itu.
“Ah, tahu deh,” Hendi tetap lesu. “Ya udah deh, kalo gitu, gue balik duluan aja.”
“Oke deh, kalau memang begitu. Hati-hati, yah! Jangan lupa, kalau di tengah jalan ada razia jomblo, segera putar balik!”
“Sue…,” pekik Hendi melotot. “Kayak lo sendiri bukan jomblo aja.”
* * *
Seperti halnya Hendi, Yoga juga bergegas meninggalkan kampus untuk langsung menuju lokasi tempat meeting diadakan. Kali ini, dia memang harus naik TransJakarta. Maklum, motor tuanya sudah hampir tiga bulan dibiarkan menginap di bengkel. Sebenarnya sih, rusaknya nggak parah-parah amat, cuma dompetnya aja yang lagi kering, kayak kulit dijemur. Ah, tapi untuk urusan yang ada hubungannya dengan si cantik Sandra, dia tetap memberanikan diri untuk pinjam uang buat pegangan sama teman sekampusnya yang lain. Maklum, kalau sama si Hendi, sudah tak terhitung lagi.
Seperti biasanya, di waktu petang, TransJakarta selalu dibanjiri penumpang. Walau belakangan masih kerap terbetik kabar tindak kriminal pelecehan seksual terhadap perempuan, tampaknya hal menyeramkan semacam itu tak mungkin terjadi di dalam bus yang tengah Yoga naiki, karena yang mendominasi, rata-rata hanyalah wanita paruh baya. Ada juga sih yang kelihatan seksi, tapi itu cuma banci remaja yang lagi ikut-ikutan tren Korean style kayak di TV-TV.
Entah mungkin karena saking khusyuknya menikmati musik dari headset yang terhubung dengan HP Android-nya, Yoga tak sadar kalau halte tujuannya turun sudah terlewati. Dia baru engah ketika bus telah kembali berhenti di halte berikutnya. Tentunya, mau tidak mau, dia harus segera turun untuk berpindah ke halte yang ada di seberang jalan, agar dapat kembali pada rute tujuan. Biar nggak kelihatan bego, dia terus melangkah dengan begitu santainya, sambil sesekali bergaya mengikuti alunan irama musik yang menggema di telinganya.
Tak sama dengan beberapa halte yang sudah sempat ia sambangi, halte ini tampak sepi. Cuma ada empat orang: tiga orang perempuan dan satu orang pria. Dua orang perempuan yang sudah ibu-ibu, serta seorang pria yang belum terlalu tua, duduk satu baris di bangku panjang di belakang, sementara perempuan yang satunya lagi berdiri tepat di depan pintu masuk penumpang, sambil asyik memainkan jari di atas layar touchscreen smartphone canggihnya.
Yoga memilih berdiri di depan pintu masuk penumpang, tentunya agar dapat segera masuk saat bus datang. Ibu-ibu cantik yang berdiri tepat di sebelahnya tampak begitu sedap dipandang. Penampilannya terlihat nyentrik, bak biduan dangdut di acara-acara hajatan. Walau sudah tak terlalu muda, namun masih begitu menggoda. Mungkin inilah yang sering disebut-sebut oleh kids zaman now dengan istilah mahmud. Meski demikian, Yoga tetap tampak tenang berdiri. Sekalipun semerbak harum aroma parfum yang tercium dari tubuh si mahmud sempat menimbulkan desiran kuat di dadanya, namun rupanya dia cukup mampu menahan diri untuk tidak bertingkah gila.
Tak diduga, beberapa menit berselang, tiba-tiba si mahmud teriak histeris.
“Copet…! Copet…!”
Yup, tidak salah lagi, si mahmud tasnya dicopet. Pencopetnya tidak lain adalah pria yang duduk di belakang tadi. Menyadari itu, Yoga pun terperanjat, hingga refleks bergegas mengejar si pencopet laknat. Dia berlari cepat beriringan dengan si mahmud. Namun, saat baru sampai di mulut pintu keluar halte, tiba-tiba ia memutuskan menghentikan langkahnya. Rupanya, dia berubah pikiran. Menurutnya, mengejar si pencopet itu akan membuatnya jadi terlambat menghadiri meeting. Lagipula, saat kembali masuk ke halte nanti, dia musti bayar lagi. Pastinya, itu masalah besar buatnya yang sementara ini memang sedang amat sangat bokek.
“Kenapa, Mas? Kok berhenti, sih?” ujar si mahmud, juga ikut menghentikan langkahnya, sementara si pencopet terus berlari semakin jauh tanpa ada satu pun orang yang coba mengejarnya.
“Aduh, maaf, Mbak, saya baru inget. Saat ini saya sedang buru-buru.”
“Lho, kok tega banget, sih, Mas?” sungut si mahmud, jidatnya makin mengerut.
“Maaf, Mbak, bukannya saya nggak mau peduli, tapi ini menyangkut masa depan saya.”
“Aduh... tolongin deh, Mas!” si mahmud wajahnya berubah memelas, bahkan hampir terlihat menangis. “Kalau uangnya sih nggak masalah, yang penting barang berharga saya.”
Yoga mengernyit sambil garuk-garuk kepala. “Aduh, gimana, ya, Mbak?”
“Berapa pun saya bayar deh, Mas, yang penting barang berharga saya bisa balik.”
Yoga pun tersentak mendengar tawaran menggiurkan itu. Tapi, kemudian dia segera menyimpulkan bahwa apa yang diucapkan si mahmud itu tidak lain hanyalah sebuah ekspresi biasa dari orang yang sedang panik. Seandainya pun benar dibayar, ya, paling cuma gocap. Dia pun hanya diam.
“Apa 100 juta cukup?” lanjut si mahmud, pasang muka serius.
Yoga matanya melotot, hingga hampir copot.
“Ah, yang bener, Mbak?”
“Iya, serius... apa perlu saya kasih uang mukanya dulu biar si Mas percaya?”
Yoga tak begitu saja langsung mengubah pikirannya. Malah, dia sempat berpikir, bisa jadi ini adalah sebuah modus penipuan, yang mana target sebenarnya adalah dirinya. Tapi, di sisi lain, dia juga cukup tertarik. Betapa tidak? Dengan uang 100 juta, tentu dapat mengubah hidupnya. Yah, minimal, dia jadi punya kesempatan untuk segera turun takhta dari gelar jones-nya.
Walau sebenarnya masih begitu ragu, namun akhirnya Yoga memutuskan bahwa itu layak dicoba. Lagipula, sekalipun benar ini sebuah modus penipuan, dia nggak terlalu khawatir, karena total uang yang ada di sakunya cuma 40.000 perak, dan barang paling berharga yang dia bawa cuma HP butut merek Cina yang belakangan sudah sering error.
Yoga pun kembali berlari mengejar si pencopet. Dia kerahkan seluruh tenaganya, dipusatkan pada kedua kakinya, hingga membuatnya dapat berlari bak seekor kuda betina liar yang tak suka digoda si pejantan hidung belang. Namun, sayang, si pencopet itu sudah terlalu lama hilang dalam pandangan, sehingga tentu tak mudah untuk kembali menggapainya.
Telah hampir setengah jam ia berlari ke sana-kemari, namun tak jua tampak batang hidung orang yang ia cari. Segeralah terbesit di hatinya untuk menyudahi pengejaran ini, agar tak terlalu banyak menghabiskan waktu yang tak berarti. Namun, tak disangka, saat baru dua langkah ia hendak kembali, ia pun terkejut setengah mati. Yup, rupanya dia berhasil mendapati kembali wujud si pencopet brengsek itu.
“Pucuk dicinta, ulam pun tiba. Kalau udah rejeki, emang nggak kemana,” suara kecil menggumam dari bibir Yoga. Dia begitu girang bukan kepalang. Seandainya saja tak ada orang, mungkin dia sudah melompat-lompat bak orang kesurupan.
Seakan tak berdosa, si pencopet terlihat begitu santainya duduk di sebelah gerobak penjual es cendol yang tengah mangkal di tepi jalan. Tanpa ragu, Yoga pun bergegas menghampirinya dengan wajah garang, seakan si pencopet itu mau ditelannya mentah-mentah.
Menyadari kedatangan Yoga, si pencopet itu pun bergegas melarikan diri tunggang langgang masuk ke dalam gang. Mungkin dia sudah gila? Si pencopet berlari tanpa peduli dengan apa pun yang ada di depannya; semua dihempasnya. Tetapi, tentu Yoga tak membiarkannya. Dia terus mengejar ke mana pun si pencopet itu pergi. Dia juga tak peduli meski harus ikut melompati barang-barang dagangan para PKL di tepi jalan, bahkan hingga ikut masuk ke dalam pekarangan rumah orang.
Di luar dugaan, rupanya kemampuan berlari cepat pria berusia empat puluhan itu tak sepadan dengannya, hingga akhirnya dia pun kehilangan jejaknya. Di sebuah persimpangan sepi, Yoga memutuskan berhenti. Dia sudah tak sanggup lagi berlari. Dia berdiri membungkuk memegang lutut, menahan rasa yang begitu sesak di dadanya. Napasnya megap-megap, hingga mengeluarkan suara mirip kucing bengek.
Beberapa saat kemudian, saat Yoga masih terpaku di persimpangan, dari kejauhan sayup-sayup terdengar seruan suara perempuan. Ya, tentu tidak salah lagi, itu memang si mahmud. Dia terus memanggil-manggil sambil berlari kecil mendekatinya.
“Mana copetnya, Mas?” kata si mahmud, masih terlihat begitu cemas saat telah berada tepat di hadapan Yoga. Namun, rupanya Yoga belum sanggup menjawab. Napasnya masih begitu sulit diatur. Dia pun hanya memberi isyarat tangan agar si mahmud bersabar dulu sementara.
Tenggorokannya begitu kering, hingga liurnya terasa pahit. Beruntung, tangan kanan si mahmud kebetulan menggenggam sebuah paper cup putih berisi minuman yang masih ditutup rapi, sehingga membuatnya tanpa ragu untuk minta diberi.
Tak seperti yang dia kira, ternyata si mahmud skeptis ekspresinya, bahkan dia agak menarik paper cup-nya supaya menjauh dari jangkauan tangan Yoga yang tengah memberi isyarat meminta.
Melihat itu, Yoga pun kecewa, merasa tak dihargai upayanya. Tapi, rupanya dia belum mau langsung menyerah, karena rasa haus sudah terasa hampir membunuhnya. Wajahnya pun berubah memelas, dengan tubuh melemas, berharap si mahmud berubah ikhlas.
Akhirnya, mungkin lantaran takut dianggap pelit, si mahmud pun membiarkan minumannya diraih Yoga. Yoga pun amat gembira. Dengan tergesa-gesa, langsung saja dia buka tutup paper cup-nya, lalu bergegas meneguk isinya. Namun, sungguh di luar dugaannya, dalam waktu sepersekian detik saja, dia pun segera menyemburkannya, dengan kedua bola mata yang seperti hendak keluar dari tempatnya.
“Sue…,” pekik Yoga keras, yang kemudian segera mengipas-ngipas mulutnya yang menganga dengan sebelah tangannya. Rupanya, isi paper cup itu adalah kopi susu yang baru saja diseduh, yang pastinya langsung membuat mulutnya melepuh.
“Kenapa nggak bilang-bilang sih, Mbak?” erang Yoga sambil terus mendelik.
“Habis, si Masnya kelihatan maksa banget sih. Aku kan nggak kuat kalau dipaksa sama cowok. Apalagi berondong,” sahut si mahmud terdengar manja, seakan meleleh.
Si mahmud bergerak lebih mendekat, membantu Yoga mengipas mulutnya yang melepuh.
“Terus gimana tas saya, Mas?”
“Aduh, saya nyerah deh, Mbak. Tuh copet larinya cepet banget, kayak bukan orang.”
Mendengar itu, si mahmud pun menangis, yang rengekannya terdengar seperti anak gadis manja yang keinginannya nggak dikabulin mamanya.
“Gimana dong, Mas…?”
“Ikhlasin aja deh, Mbak!” balas Yoga sok bijak. Namun, rupanya itu justru malah membuat tangis si mahmud semakin hebat. “Yah, mau bagaimana lagi?” lanjutnya sambil menggaruk kepala. “Memangnya apa sih, barang berharganya?”
“Itu lho, Mas… di dalam tas itu ada foto saya yang sedang bermesraan dengan selingkuhan saya.”
Yoga terkesiap, hingga kepalanya hampir melesak.
“Tapi jadi bagus dong, karena barang bukti menjadi lenyap.”
“Itu dia masalahnya, Mas...,” si mahmud masih dengan suara merengek. “Si pencopet itu sebenarnya suami saya. Sebetulnya dia sudah lama curiga, cuma selama ini dia nggak pernah bisa menunjukkan buktinya.”
Yoga kembali terkesiap, hingga kembali menyemburkan kopi yang sedang coba diminumnya lagi pelan-pelan. “Wah, kalau begitu ceritanya sih, saya nggak mau ikut-ikutan deh, Mbak.”
Si mahmud tangisnya semakin dahsyat, hingga membuatnya segera meraih tangan Yoga, dan kemudian tanpa ragu menyandarkan kepala tepat di dada Yoga yang lumayan bidang.
“Gimana dong, Mas...? Saya takut. Pokoknya kalau saya sampai jadi janda, Mas harus tanggung jawab.”
Lagi-lagi Yoga terkesiap, bahkan kali ini lebih hebat. Tadinya sih, dia sempat berniat membiarkan si mahmud cukup lama dalam dekapannya, tapi setelah mendengar ucapan anehnya itu, dia pun bergegas melepaskan diri dari cengkramannya. Memang sih, wajah serta penampilan si mahmud cukup membikin hatinya sedikit cenat-cenut. Ah, tapi dia masih terlalu idealis untuk bisa takluk begitu saja dengan perempuan yang menurutnya nggak bener itu. Dia pun segera melarikan diri secepat kilat menjauhinya. Walau raungan tangis si mahmud terdengar semakin keras, dia tak menggubris. Dia benar-benar tak peduli.
* * *
Yoga telah kembali berada di tepi jalan raya. Dia begitu menyesal karena telah melakukan hal yang benar-benar tak berguna dan banyak membuang-buang waktu pula. Dia pun kembali fokus pada tujuannya semula. Saat melirik jam tangannya, rupanya dia sudah terlambat setengah jam dari jadwal meeting yang telah diberitahukan. Walau sempat menjadi ragu, dorongan kuat dari keinginan untuk bertemu pujaan hatinya membuat semangatnya kembali bergelora.
Kembali menaiki TransJakarta tentu membuatnya malah semakin terlambat, karena menunggu kedatangan busnya saja cukup lama, belum lagi nanti dia musti berjalan cukup jauh dari halte tempatnya turun sampai ke lokasi. Beruntung, di pertigaan jalan beberapa ratus meter dari tempatnya berdiri, terlihat sebuah pangkalan ojek. Dia pun bergegas menghampirinya.
“Ojek, Pak!” seru Yoga kepada salah seorang tukang ojek kurus berpenampilan lusuh yang tengah duduk santai di atas sepeda motor jadulnya sambil senyam-senyum sendiri menatap layar handphone-nya.
“Sorry, Mas, lagi nggak narik,” sahut si tukang ojek, tetap fokus pada layar handphone-nya.
Mendengar itu, Yoga pun segera melirik ke arah tukang ojek lain yang tengah asyik bercanda ria tak jauh di sebelah kanannya.
“Percuma, Mas.” Si tukang ojek lusuh mendongak. “Kita semua lagi nggak narik.”
“Lho, nggak narik kenapa pada mangkal, Pak?” Yoga mengernyit bingung.
“Ini jam istirahat. Kami semua di sini sangat memegang komitmen untuk selalu taat terhadap peraturan serta sistem yang telah diberlakukan. Yah, sekalipun untuk beberapa faktor tetap ada dispensasi juga sih. E… jadi, kalau Mas mau, silakan tunggu hingga pukul delapan belas kosong-kosong nanti!”
“Waduh, lama amat, Pak.”
“Kenapa tidak coba ojek online saja, Mas?”
“Kelamaan, Pak. Nunggu tukang ojeknya dateng aja bisa lebih dari setengah jam. Aduh... gimana, ya? Saya lagi buru-buru banget soalnya. Emm... apa Bapak nggak bisa tolong bantu saya?” Yoga pasang muka memelas.
“Urgen, nggak?”
“Banget, Pak!” Yoga melotot.
“Emm... oke deh kalau begitu,” si tukang ojek akhirnya berubah pikiran. Lalu, dia pun bergegas memakai jaket kulit rombengnya, juga helm buluknya. “Bro… klien urgen, nih!” lanjutnya berteriak ke arah tukang ojek lainnya, sembari menunjuk Yoga dengan jempol tangannya ke belakang.
“Yo… hati-hati, bro!” seru salah satu temannya yang mengenakan kacamata hitam bulukan, yang mukanya hampir mirip Adam Jordan kepanasan, sementara yang lainnya hanya memberi isyarat mengangkat jempol tangan.
“Emm… nggak jadi dobel kan, Pak, bayarnya?” Yoga takut ongkosnya dimahalin.
“Tenang saja, Mas, kami profesional kok,” sahut si tukang ojek cukup meyakinkan, membuat perasaan Yoga kembali tenang.
Mereka melaju cukup cepat menuju kafe tujuan. Cara mengendarai si tukang ojek cukup dapat diandalkan. Dia cukup mahir memanfaatkan setiap ruang gerak sempit untuk berselap-selip melewati kendaraan lainnya.
Alangkah riangnya hati Yoga, karena sebentar lagi bakal berjumpa dengan gadis impiannya, Sandra. Baru membayangkannya saja, jantungnya sudah berdegup begitu kencang, apalagi kalau nanti sampai bertemu dan duduk saling memandang. Yah, dia memang tengah dimabuk kepayang. Tiap malam, wajah cantik nan anggun Sandra selalu terbayang-bayang. Sejak pertama kali bertemu, hanya dialah satu-satunya gadis yang ia mau, meski pada kenyataannya, ngobrol berdekatan dengannya pun belum pernah.
Di tengah laju dengan kecepatan penuh, tiba-tiba si tukang ojek perlahan menurunkan kecepatannya, yang tak lama kemudian memutuskan untuk menepi di sisi kiri.
Yoga mengernyit heran. “Lho, kenapa berhenti, Pak?”
“Sepertinya ban belakang saya bocor, Mas.”
Yoga pun bergegas turun untuk menelisik ban belakang motor.
“Wah, bener Pak.”
“Tenang saja, Mas. Don’t panic! Itu, ada tukang tambal ban,” ucap si tukang ojek santai sembari menunjuk jarinya ke arah depan. “Tolong bantu dorong, ya, Mas!”
“Lho, kenapa mesti didorong, Pak? Kan tinggal di gas aja sedikit sambil dituntun,” Yoga memberi ide.
“Sayang bensinnya, Mas.”
Walau sedikit bete, Yoga tetap menurut, karena tukang tambal ban memang hanya berjarak dua puluh meter saja dari tempat mereka berhenti.
“Waduh, kalau begini caranya, saya bisa telat, Pak,” keluh Yoga saat ban belakang motor itu mulai ditangani. “Emm, kalau begitu, saya turun di sini aja deh! Kebetulan udah deket kok. Paling nggak sampai satu kilo lagi. Kalau saya lari, sebentar juga sampai.”
“Wah, jangan dong, Mas… Nanti reputasi saya bisa rusak karena dianggap telah gagal membawa klien sampai ke tujuan. Wah, bisa ditertawai nanti oleh seluruh rekan-rekan saya.”
“Yah, kan nggak ada yang tahu ini, Pak,” Yoga mulai sedikit muak.
“Aduh, jangan dong, Mas…! Nanti saya kasih diskon, deh.”
Yoga bingung memutuskan. Tentu bukan karena soal potongan harga yang ditawarkan, melainkan merasa tidak enak dengan si tukang ojek. Walau sejak pertama dia sudah menyadari keanehannya, tetapi dia cukup suka dengan sikap profesionalitasnya. Itu cukup inspiratif menurutnya.
“Tenang saja, Mas! Paling nggak sampai 15 menit kok. Si Lay, tukang tambal ban ini, sangat profesional. Jam terbangnya sudah tahunan,” ucap si tukang ojek, mencoba menenangkan Yoga yang tampak gelisah mondar-mandir seperti orang lagi nunggu istrinya melahirkan.
Tak lama kemudian, akhirnya prosesi penambalan pun usai dilaksanakan. Mereka bergegas kembali melanjutkan perjalanan. Melaju dengan kecepatan penuh di jalanan yang cukup lenggang, membuat mereka tiba di tempat tujuan dalam waktu kurang dari sepuluh menit. Seperti yang telah dijanjikan, Yoga diberi diskon sebesar 20%. Tentunya, Yoga merasa senang. Selain profesional, rupanya dia juga kredibel. Saking terkesimanya, Yoga sempat meminta kartu namanya, berharap suatu saat dapat menggunakan kembali jasanya.
* * *
Jantungnya kembali berdebar-debar saat dia menatap muka kafe. Sebelum memutuskan untuk masuk, dia menyempatkan diri membeli sebuah Aqua gelas di warung kelontong tak jauh di seberang kafe. Bukan untuk diminum, melainkan untuk mencuci wajahnya serta membasahi rambutnya supaya terlihat lebih segar.
Matanya berbinar-binar, wajahnya berseri-seri, dan tak henti cengar-cengir sendiri ketika dia mulai melangkah menuju pintu masuk kafe. Dia benar-benar berharap momen ini menjadi sebuah langkah awal yang baik untuk menggapai mimpi indahnya bersanding dengan Sandra. Tapi sayang, rupanya perasaan bahagia itu terlalu cepat menghilang. Saat posisinya masih cukup jauh dari pintu masuk kafe, tiba-tiba dia terperanjat hingga segera menghentikan langkahnya. Dari pintu kafe, dia melihat Sandra keluar bersama sahabatnya, Erin, yang kemudian juga disusul oleh Aprizal dan Murodi.
Yoga bergegas menyembunyikan dirinya di balik salah satu mobil yang terparkir, sembari terus mengamati mereka berempat. Di satu sisi, dia merasa sedikit bingung: kenapa acara meeting itu terlalu cepat berakhir? Padahal biasanya, anak-anak muda kalau sudah nongkrong di kafe bisa sampai berjam-jam, sekalipun cuma pesan kopi secangkir saja.
Sandra dan ketiga rombongannya terus bergerak, hingga akhirnya masuk ke dalam sebuah sedan mewah, lalu sedan mewah itu pun membawa mereka pergi jauh meninggalkan kafe.
Yoga bersedih hati. Setelah Sandra pergi, tak ada lagi keinginannya untuk masuk ke dalam kafe guna menemui yang lainnya yang kemungkinan masih menanti. Tak perlu lama, ia memutuskan untuk segera meninggalkan kafe.
Dia terus melangkah menyusuri jalan dengan perasaan penuh kekecewaan. Rasa perih begitu terasa menggores ulu hati, hingga rasanya ingin segera gantung diri di atas pohon kecapi. Sebenarnya, yang paling membuat hatinya teriris adalah ketika dia melihat keberadaan Aprizal tadi. Sepertinya rumor yang beredar di kampus memang benar adanya, bahwa Sandra dan Aprizal tengah PDKT. Baginya, tentu ini masalah besar. Pasalnya, Aprizal itu cowok yang perfect banget: selain tampan, dia juga dikenal sebagai anak yang cerdas, humoris, pintar ngoceh, jago main gitar, jago main basket, suka menolong, tidak sombong, nggak suka nyolong. Dan yang paling penting, dia itu dari kalangan kaum tajir melintir, yang sumber keuangannya selalu mengalir kayak air. Yah, sepertinya saat ini dia memang harus mempertimbangkan ucapan Hendi sebelum berpisah tadi, bahwa dia harus bisa lebih sadar diri.
Saat melintas di depan Taman Ria Rio, Yoga memutuskan untuk masuk ke dalam, berharap keindahannya dapat sedikit menenangkan pikirannya yang tak karuan.
Karena bukan hari libur, suasana di dalam Taman Ria Rio tampak sepi. Hanya ada beberapa pasang muda-mudi berseragam SMA yang terlihat asyik berlarian ke sana-kemari; selebihnya, cuma beberapa orang petugas kebersihan yang tengah berkumpul menanti jam pulang. Yoga memilih duduk sendirian di kursi panjang menghadap ke arah waduk. Dia terus melongo kayak orang dongok. Bibirnya memang terdiam, namun di hatinya sedang terjadi pertempuran antara harus segera melupakan Sandra atau tetap terus berusaha meraih cintanya.
Sebenarnya, dia itu nggak culun-culun amat. Untuk ukuran anak kampung, tampangnya lumayan keren. Dia juga bukan tipe cowok yang dingin terhadap cewek. Meski bukan orang yang humoris, cukup banyak yang menganggap kalau dia itu lucu, sehingga cukup layak dijadikan pasangan untuk diajak kondangan. Sebetulnya, dia sudah sering jalan bareng cewek. Yah, meski yang paling dia inginkan adalah Sandra, biar bagaimanapun menurutnya kehidupan harus tetap berjalan sebagaimana mestinya.
Tampangnya yang lumayan keren tentunya cukup mampu memesona beberapa mahasiswi di kampusnya. Tapi lucunya, nggak ada satu pun yang sampai bertahan lama. Habis jalan sekali, besoknya langsung keki. Suatu hari, dia pernah jalan sama cewek bernama Intan—cewek berkacamata yang lumayan manja. Berhubung dia nggak punya banyak uang, dia cuma berani ngajak si Intan nongkrong di salah satu taman kota, yang pastinya nggak perlu banyak makan biaya. Biasanya, kalau sedang kencan, si cowok mentraktir si cewek makan; tapi waktu itu dia tidak melakukannya. Tentu, bukan karena dia pelit, melainkan karena uang yang dia punya memang cuma sedikit. Untuk itu, dia menyiasatinya dengan membawa bekal dari rumah. Bekalnya berisi Indomie goreng. Alasan yang dia ungkapkan sih lumayan keren: katanya, biar lebih romantis karena bisa main suap-suapan seperti di sinetron-sinetron. Kalau di kafe atau di restoran kan malu, banyak yang lihat. Yah, namun tentunya si Intan bukan cewek bego yang gampang dikadalin gitu aja. Dia juga bukan gadis desa yang cuma diajak muter-muter keliling sawah sudah bahagia. Akhirnya, nggak butuh waktu lama bagi si Intan untuk minta segera diantar pulang. Keesokan harinya, si Intan tobat. Jangankan diajak jalan lagi, sekadar diajak ngobrol pun ogah. Seperti itulah kira-kira kisahnya dengan si Intan berakhir. Dan bukan cuma dengan si Intan saja; dengan si Rida, Sinta, Dewi, Agus (cewek), serta Maya, ceritanya pun hampir sama.
Nampaknya, titik persoalan yang tengah ia hadapi memang ada pada sisi keuangannya. Sementara ini, dia memang tengah menyandang status mahasiswa ter-bokek di kampusnya. Sebenarnya, dia punya pekerjaan sampingan, yang sampai saat ini masih coba ia tekuni. Dia itu seorang novelis. Walau otaknya tak seencer William Shakespeare dalam menggubah syair, dia sudah menjadi novelis sejak masih SMP. Sejauh ini, sudah enam buah cerita fiksinya yang berhasil diterbitkan. Namun, sayang: zaman telah berubah. Saat ini, sudah terlalu banyak anak-anak muda yang juga jago bikin cerita fiksi, sehingga persaingan pun semakin tak terkendali. Di samping itu, anak-anak ABG sekarang—dari bangun tidur sampai mau tidur lagi—lebih suka mantengin sosial media daripada baca buku cerita. Alhasil, kemampuannya menulis itu pun kini tak lagi menghasilkan banyak uang. Saat ini, dia hanya bisa mengandalkan uang saku bulanan dari orang tuanya, yang tentu saja jumlahnya pas-pasan. Yah, kalau saja dia nggak bokek, mungkin dia sudah punya banyak koleksi kekasih. Mungkin?
* * *
Hehehe... lucu, lucu, lucu....
Comment on chapter JONES (Jomblo Ngenes)