“Kode merah! Ada laporan pembunuhan di apartemen Palm Suit, jalan Gajah Mada. Segera ke TKP bagi yang sedang bertugas di sekitar!” Suara radio di alat komunikasi milik Johan berbunyi.
“Waduh pembunuhan! Aku lebih baik ngurusin jalanan macet deh daripada pembunuhan, rada ngeri sama mayat yang jadi korban,” keluh Johan ke temannya sesama polisi lalu lintas.
“Ya, gimana lagi pak. Kita kan yang terdekat sama lokasi. Ayolah kita berangkat! Nanti kalau dipecat, makan apa keluargaku?” balas temannya yang langsung mengendarai mobil polisi ke apartemen yang dimaksud.
Sesampainya di TKP Johan bertemu dengan detektif Bram yang biasa menangani masalah pembunuhan. Ia pun segera memberi hormat.
“Menurut laporan petugas keamanan apartemen, korban datang sendiri dan menerima tamu seorang wanita, sayangnya tidak diketahui siapa dia karena memakai jaket penutup kepala.” Johan menjelaskan pada Bram, setelah mendapat informasi ketika ia datang ke tempat kejadian.
“Jadi, kasus sakit hati lagi ya. Sepertinya korban mata keranjang alias playboy. Sayang, hidupnya berakhir mengenaskan seperti ini. Kasihan keluarganya,” ujar Bram mengambil kesimpulan.
Bau amis menyengat dalam ruangan sempit itu. Darah korban mengotori seluruh lantai, terlihat tusukan yang mendalam di bagian perutnya. Alat pembunuhan pun tidak ditemukan di lokasi kejadian. Tak lama berselang, petugas medis dan ahli visum datang. Mereka segera melakukan tugasnya demi menemukan sebab dan waktu kematian korban.
“Kamu sudah boleh bertugas lagi, Johan. Terima kasih, sudah mau membantu kami.” Bram mengusir Johan setelah semua petugas datang. Tapi, Johan tidak bergeming. Ia tetap di tempatnya berdiri, karena sudah terlanjur berada di lokasi kejadian.
“Lapor, Pak! Ada bukti seorang wanita dalam tayangan kamera CCTV!” Seorang petugas bagian kriminal datang tergopoh-gopoh.
***
Menjelang malam Rian merasa bosan. Ia menyalakan televisi dan melihat beberapa saluran tidak ada acara seru yang membuatnya terhibur. Secara tidak sengaja tangannya menyentuh saluran tentang berita terbaru malam itu.
“Berita terkini! Telah ditemukan sesosok mayat di sebuah apartemen, di Jalan Gajah Mada. Pria tersebut diperkirakan berusia 45 tahun. Ketika ditemukan, kondisi korban telah bersimbah darah di seluruh tubuhnya tanpa pakaian. Diduga ia dibunuh oleh kekasihnya yang sakit hati. Terlihat dari beberapa foto pria tersebut dengan seorang wanita seusianya sedang bermesraan.” Mendengar berita itu seketika jantung Rian berdegup kencang tanpa jelas dan tiba-tiba perasaannya jadi tidak enak. Segera ia mengambil jaket dan kunci motornya lalu melesat ke TKP.
Sesampainya di TKP suasana sangat ramai. Entah dengan alasan apa Rian merasa ada sesuatu di tempat itu yang membuatnya penasaran. Dengan memberanikan diri, ia bertanya kepada salah satu polisi yang sedang bertugas untuk memeriksa tempat kejadian.
“Permisi Pak, siapa laki-laki itu?” tanya Rian penasaran.
“Pak Wiryo seorang pengusaha tambak ikan, Adik kenal?” jawab polisi tersebut.
“Kenal Pak, beliau adalah ayah teman saya,” jelas Rian kepada polisi. Akhirnya terjawab rasa penasarannya yang datang dengan tiba-tiba. Seperti ada feeling untuk segera datang ke TKP dan kini ia mencoba menghubungi Sandara.
“Halo San, kamu dimana?” tanya Rian di telepon.
“Iya Yan? Aku di tempat kerja, gak kedengeran nih, ada apa?” tanya Sandara yang sedang bekerja di sebuah diskotik. Suara musik menghentak dengan volume tinggi.
“Aku jemput kamu, sekarang!” Rian langsung memutuskan telepon.
“Halo Yan, gak kedengeran! Yah, dimatiin. Ada apa sih Rian, tumben tiba-tiba telepon?” gumam Sandara dan melanjutkan pekerjaannya.
“Pak, tolong korban jangan diapa-apakan dulu ya. Saya kenal dengan keluarga korban dan segera jemput anaknya.” Rian minta tolong kepada polisi yang bertugas tersebut.
“Ya Dik, jangan lama ya. Nanti saya dimarahi atasan saya kalau kelamaan,” jawabnya.
Rian segera mengendarai motornya menuju tempat kerja Sandara.
***
“Lho, kamu masih di sini. Ada apa Han, tadi itu siapa?” tanya detektif Bram melihat Johan yang masih di tempatnya dan sedang menjaga korban.
“Oh, itu tadi salah satu kerabat korban Pak. Katanya dia kenal sama keluarganya dan langsung menjemput mereka,” jelas Johan, polisi yang tadi bercakap-cakap dengan Rian.
“Terus mayatnya mau diapakan? Kok gak dibawa ke RS buat diotopsi?” tanya Bram lagi.
“Anak muda itu minta tolong mayatnya jangan diapa-apakan dulu, Pak. Sampai keluarganya datang,” jawab Johan bingung.
“Daripada kamu bingung lebih baik bawa dulu aja mayatnya ke Rumah Sakit, biar nanti keluarganya lihat di sana tanpa melihat TKP. Kasihan keluarganya, kalau melihat mayat korban terbunuh di apartemen dengan bersimbah darah tanpa sehelai baju,” jelas Bram yang langsung dituruti oleh Johan.
“Baik Pak! Saya akan minta bagian medis untuk segera membawanya,” jawab Johan bergegas menghampiri pihak medis.
***
“Sandara!” panggil Rian sesampainya di tempat Sandara kerja.
“Hei, tumben kamu malam-malam ke sini. Bete yah atau habis putus dari pacar kamu?” ledek Sandara sambil tertawa.
“Aku serius San. Aku udah minta ijin sama bos kamu tadi. Kamu harus segera pulang sekarang, ini penting!” jelas Rian dengan wajah serius.
“Rian kamu becandanya berlebihan ah, ada apa sih? Ibu ya? Kenapa dengan ibu Yan?” Tiba-tiba Sandara teringat ibunya. Seketika dadanya sesak. Air di pelupuk matanya pun hampir tumpah.
“Ibu kamu baik-baik aja, San. Tapi, ada yang lebih penting dan aku gak bisa jelasin di sini sekarang.” Rian menjelaskan sambil menarik tangan Sandara yang sedang terisak, karena mengkhawatirkan ibunya.
“Rian, kasih tau aku ada apa? Biar aku gak khawatir gini.” Sandara memohon di motor.
Rian mengacuhkan, karena menurutnya berbahaya jika memberitahu Sandara dalam perjalanan.
Nanti Sandara pingsan lebih bingung lagi, pikir Rian praktis.
-bersambung-