Pagi tadi, rencana untuk pergi ke minimarket yang terletak di seberang sekolah harus batal karena ada guru yang berjaga di gerbang sekolah, sementara sekolah mereka tidak memiliki jalan keluar lain. Hal itu membuat Aretha dan teman-temannya berbalik dan berjalan menuju kantin, itu pun mereka harus berjalan menjauhi kantin dan masuk dari pintu kantin yang lain karena jalan ke arah kantin yang sudah dekat harus melewati ruang guru.
Lalu setelah itu, Aretha mendekam di ruang kelasnya sampai bel pulang sekolah hampir berbunyi. Tidak, Aretha tidak mendengarkan apa yang dijelaskan guru yang mengajar, dia hanya menghabiskan waktunya dengan bermain laptop jika pelajaran itu menggunakan laptop, atau tidur jika guru yang mengajar tidak memperbolehkan memakai laptop.
Sementara saat ini, Aretha sedang berjalan menuju tempat mobilnya terparkir. Koridor masih sepi karena bel pulang sekolah baru akan berbunyi sepuluh menit lagi. Guru yang mengajar pelajaran terakhir keluar lebih cepat, lalu Aretha langsung keluar dari kelasnya sesaat setelah guru tersebut keluar dari kelasnya. Hal itu membuat Aretha berjalan sendirian di koridor menuju tempat parkir.
Baru saja Aretha akan membuka mobilnya, kunci mobilnya diambil secara tiba-tiba membuatnya berdecak kesal dan menoleh ke kanan. Perempuan itu mendapati Aram yang sudah berdiri di sampingnya dengan kunci mobil Aretha yang baru saja dia rampas.
“Ngapain lo di sini?” tanya Aretha ketus.
“Masuk, gue yang nyetir,” ucap Aram tanpa menjawab pertanyaan Aretha.
“Apaan, sih?! Gue bisa nyetir sendiri,” kata Aretha sambil berusaha merebut kunci mobilnya.
Aram mengangkat tangannya yang memegang kunci mobil Aretha sedikit lebih tinggi dari kepala laki-laki itu, hanya setinggi itu saja Aretha sudah tidak bisa merebutnya padahal Aretha sudah berjinjit.
“Aram! Balikin,” perintah Aretha yang masih berusaha menggapai kunci mobilnya.
“Masuk, gue yang nyetir,” ulang Aram.
“Gak,” tolak Aretha cepat. “Gue bisa nyetir sendiri.”
Aram menurunkan tangannya, tapi tetap menjauhkannya dari tangan Aretha yang masih berusaha merebut kunci mobilnya kembali. Aram berjalan menuju pintu di sebelah kemudi lalu membukanya, setelah itu menarik tangan Aretha yang masih berusaha merebut kunci mobilnya dan mendorongnya masuk lalu menutup pintu mobilnya. Laki-laki itu memutari mobil Aretha dan masuk ke dalam.
“Mobil lo gimana?” tanya Aretha saat Aram mulai menjalankan mobil perempuan itu.
“Gue titipin sama Rion.”
“Mantan terindah?” tanya Aretha sinis.
“Sama Rion juga,” jawab Aram singkat lagi.
“Oh. Jadi bener dia mantan terindah ya?”
“Jangan mulai deh, gue lagi males debat.” Aram menoleh ke sampingnya dan menatap Aretha dengan tatapan tajamnya. “Lo kenapa, sih?” tanya Aram. “Marah?”
“Marah kenapa?” tanya Aretha acuh tak acuh.
“Jelas lo marah, gara-gara kemaren dan tadi pagi gue nganterin Sky.”
“Apa yang bikin lo mikir gue marah gara-gara itu?” tanya Aretha menatap Aram sinis.
“Lo jadi jutek,” ucap Aram sembari melirik Aretha lagi.
“Suka-suka gue lah. Lagian, kata orang-orang, gue emang jutek dari sononya.” Aretha menatap Aram sinis.
“Lo marah?” ulang Aram.
“Lo udah nanya itu berkali-kali! Bosen gue dengernya,” seru Aretha kesal. “Kalo lo masih suka sama mantan lo, balikan aja sana. Dia udah mulai nyari masalah sama gue, gue gak mau ada kejadian labrak-labrakan ala novel cuman gara-gara lo,” ucap Aretha membuat Aram menoleh menatap Aretha dengan dahi mengernyit.
“Just that? Gara-gara Sky doang, lo rela kalah?” tanya Aram melirik Aretha sambil menyeringai.
“Siapa bilang gue kalah?” tanya Aretha sewot.
“Lo ngebatalin permainan seenak lo,” balas Aram santai. “Lo yang mulai permainannya dan di permainan ini, gak ada pilihan cancel atau restart.”
“Oke! Tapi jangan salahin gue kalo sekolah jadi penuh drama cringe. Atau yang paling parah, mantan lo itu nangis-nangis minta ampun,” desis Aretha.
“Mungkin lo bisa tanya dua temen lo yang anak lama, lo dan Sky gak beda jauh. Atau mungkin, dia bisa jadi lebih bar-bar dari lo,” ucap Aram dengan nada memperingati.
“Dan merindukan kasih sayang,” desis Aretha sambil tersenyum sinis. “Ah, betewe, dia udah dua kali nyamperin gue dengan muka duanya yang berlagak baik.”
“Lo lagi ngadu ke gue?” tanya Aram membuat Aretha terkekeh geli.
“Terserah lo mau nganggep gue lagi ngadu atau apa pun. Lagian, kalo gue bantah juga lo bakal tetep nganggep gue lagi ngadu,” ucap Aretha dengan nada datarnya.
“Tumben pinter?” tanya Aram sambil terkekeh.
Aretha berdecih. Sejurus kemudian, melayangkan tatapan bertanya pada Aram yang tentunya masih melihat ke jalan di depan mereka. “Apartemen gue belok kiri, lo ngapain parkir di kafe ini?”
“Nyokap gue ada di dalem, dia maksa mau ketemu lo lagi,” jawab Aram membuat Aretha mengernyitkan dahinya.
“Diancem apa sampe lo mau dan nitipin mantan lo sama Rion?”
Aram baru saja selesai memarkirkan mobil Aretha saat perempuan itu menyelesaikan pertanyaannya. “Lo gak perlu tau,” jawab Aram singkat.
“Hm, oke,” gumam Aretha. “Ngomongin nyokap lo, dia gak tau kita cuman taruhan kan? Gue merasa gak enak ngebohongin nyokap lo,” ucap Aretha jujur.
“Lo yang bikin taruhan ini,” balas Aram acuh tak acuh. “Mau sampe kapan di mobil?” tanya Aram membuat Aretha berdecak lalu keluar dari mobilnya.
Aram keluar dari mobil Aretha lalu memberikan kunci mobilnya pada perempuan itu. Sementara Aretha menerima kunci mobilnya sambil menggerutu karena Aram sudah membuang waktunya untuk menonton seri barat yang menumpuk dan berteriak meminta untuk ditonton.
Aretha mengedarkan pandangannya ke sekeliling ruangan dan menemukan ibu Aram di pojok kanan ruangan yang sedang berbicara dengan seorang wanita yang duduk membelakangi Aretha sehingga Aretha tidak bisa melihat wajahnya.
Aretha menghentikan langkahnya saat melihat wajah wanita yang sedang mengobrol dengan ibu Aram dari samping. “Kenapa?” tanya Aram saat melihat Aretha menghentikan langkahnya, membuat laki-laki itu juga melakukan hal yang sama.
“Lo bilang nyokap lo mau ketemu gue, kenapa ada nyokap gue juga?” tanya Aretha menatap Aram tatapan menyelidik.
“Gue beneran gak tau,” jawab Aram dengan nada seriusnya.
“Gue bikin nyokap lo gak suka sama gue sekalian,” putus Aretha sambil melanjutkan langkahnya mendekati meja tujuannya. Sementara Aram, laki-laki itu menghela napasnya lalu berjalan di belakang Aretha.
“Hai, tante,” sapa Aretha dengan nada ceria.
“Aretha! Hai,” sapa ibu Aram dengan ceria.
“Kapan balik, mam?” tanya Aretha sambil menoleh ke ibunya yang duduk di hadapan ibunya Aram.
“Loh, kamu gak tau mamamu udah pulang kemaren?” sela ibu Aram membuat Aretha kembali menoleh ke arahnya. “Pake repot-repot bawa oleh-oleh gara-gara katanya kembaran kamu masuk rumah sakit yang dikelola suami tante.”
“Iya tante, kemaren Aram juga yang bantuin aku bawa Aletha ke rumah sakit,” ucap Aretha dengan senyum lagi.
“Kapan balik, mam?” ulang Aretha menatap tajam ibunya. “Kenapa aku gak tau? Tapi Aletha pasti mama kasih tau kan?”
“Aletha mana? Kenapa gak ikut kamu?” tanya ibu Aretha yang memilih untuk balik bertanya dibanding menjawab pertanyaan Aretha.
Ibu Aram melirik jam tangan yang melingkar di tangan kirinya lalu beralih menatap Aretha. “Sori banget, tante ada janji sama orang bentar lagi,” jelasnya dengan pandangan bersalah sambil berdiri dan mengambil tasnya. “Tante pergi dulu, ya. Lit, saya duluan ya,” pamit ibu Aram pada Aretha lalu pada ibunya.
“Gak apa-apa tante.”
“Lain kali jangan telat lagi!” ucapnya pada Aram membuat laki-laki itu mengernyitkan dahinya.
Apa kata ibunya tadi? Jangan telat lagi? Bagaimana bisa ini disebut telat saat bel pulang sekolah saja baru berbunyi sekitar sepuluh menit yang lalu dan biasanya perjalanan menuju tempat ini membutuhkan waktu sekitar lima belas sampai dua puluh menit. Tapi pikiran Aram terhenti disana saat laki-laki itu melihat Aretha sudah duduk di tempat ibunya duduk tadi—di hadapan ibu Aretha. Hal itu membuat Aram duduk di meja kosong yang terletak tepat di sebelah Aretha.
“Aletha mana?” ulang ibu Aretha yang masih tertangkap oleh pendengaran Aram.
“Masih di sekolah, mungkin?” Aretha balik bertanya.
“Kenapa gak sekalian ikut kamu? Udah tau dia masih sakit,” balas ibunya.
“Aku tinggal di apartemen kakak, buat nganterin dia ke rumah jalannya gak searah.”
“Tapi dia kembaran kamu, setidaknya peduli sedikit kalo dia lagi sakit,” ucap ibu Aretha sambil bangkit berdiri dan berjalan ke luar dari kafe lalu menghilang setelah masuk ke dalam mobil yang dikendarai sopir ibunya. Sementara Aram, laki-laki itu sudah duduk di tempat ibu Aretha duduk tepat saat ibunya berjalan keluar.
“Turn off humanity, enak kali ya?” tanya Aretha sembari mengalihkan pandangannya pada Aram. “Kayak Elena Gilbert,” tambah Aretha.
“Lo bukan vampir!” cetus Aram membuat Aretha menampilkan cengiran lebarnya lagi.
“Temenin gue makan,” pinta Aretha.
“Pesen sana.”
“Gak di sini, makanan di sini gak ada yang bisa bikin gue kenyang.”
***
Gak ada pilihan cancel atau restart gengs.