Aretha membanting pintu kamarnya, tidak peduli dengan panggilan-panggilan dari ibunya atau saudara-saudara ibunya. Kenapa perasaannya bisa sekacau ini hanya karena memikirkan reaksi Aram? Apa dia mulai suka pada Aram?
Aretha menjatuhkan dirinya di tempat tidur, menaikkan selumut sampai menutupi kepalanya. Pikirannya kacau memikirkan berbagai hal, termasuk kemungkinan dia kalah taruhan yang dibuatnya sendiri.
Aretha menghempaskan selimutnya, bangkit duduk, perempuan itu mengambil laptop-nya dan mulai menonton film seri yang belum selesai ditonton. Setidaknya film itu bisa mengalihkan pikirannya untuk saat ini. Dia menghiraukan pesan dan panggilan yang masuk dalam handphone-nya.
Pukul sepuluh malam, Aretha mendengar ketukan pintu kamarnya, tapi ketukan pintu itu hanya ia diamkan sampai akhirnya ketukan itu hilang. Suara ketukan yang akhirnya hilang itu membuat Aretha menyimpulkan orang yang mengetuk pintunya tadi adalah kembarannya yang malam ini menginap di rumahnya.
Aretha mendengus saat ia mendengar suara ketukan pintu untuk kedua kalinya. Perempuan itu berniat tidak mengacuhkan suara ketukan pintu itu, tapi berubah pikiran saat mendengar suara laki-laki yang berkata, "Aretha, ini gue, lo gak kangen sama gue?"
Aretha membuka pintu kamarnya lalu bergeser saat laki-laki yang mengetuk pintu kamarnya tadi sudah berjalan menerobos masuk ke dalam kamarnya.
"Kenapa oleh-oleh dari gue ada di lantai semua?" protesnya kesal.
"Oh, buat gue." Aretha menatap malas kakaknya yang sedang sibuk memindahkan beberapa paper bag ke atas meja. "Gue kira lo mau kasih Aletha, tapi salah kamar."
"Ngambek," ejek kakaknya dengan senyum jahil.
"Siapa yang ngambek?" Aretha memutar bola mata malas. "Puas pacarannya, Alvaro?"
"Gak sopan banget sih sama yang lebih tua." Laki-laki yang dipanggil Alvaro itu menoyor pelan kepala Aretha.
"Ngapain sopan sama kakak kayak lo?"
"Jangan ngambek dong, kerjaan lo ngambek doang ya?"
"Siapa ya yang balik ke Indo tapi gak ngasih tau gue?" sindir Aretha sambil tersenyum sinis.
"Gue sibuk banget, serius. Ini gue bisa balik buat tiga hari aja udah bagus banget." Alvaro menampilkan cengiran lebarnya.
"Tapi Aletha bisa tau ya?" tanya Aretha sinis. "Lo gak ngasih tau Rachel juga kan?" Pertanyaan Aretha yang selanjutnya dijawab dengan gelengan Alvaro. "Tadi dia pasti marah."
"Berhasil dapetin maafnya, jadi gak pa-pa."
"Awas kalo lo sampe selingkuh, Rachel temen gue, gak ada maaf buat lo kalo sampe lo selingkuh."
Ingat Rachel? Teman Aretha yang terciduk bermain bingo bersama Aretha saat pelajaran. Singkatnya, Rachel dan Alvaro—kakak Aretha, berpacaran. Mereka berpacaran sejak Rachel kelas sembilan, saat itu Alvaro kelas dua belas, lalu mereka berpacaran jarak jauh sejak Alvaro memutuskan untuk kuliah di luar negeri.
"Gak akan," ujar Alvaro yakin. "Tidur sana, besok lo masih sekolah kan. Eh, nanya satu lagi boleh kan? Lo ada apaan sama Aram?"
"Bukan urusan lo."
"Gak mungkin gak ada apa-apa dong, jelas-jelas gue liat drama kejar-kejaran tadi."
"Mau ada sesuatu atau nggak, itu bukan urusan lo."
"Galak amat."
"Udah kan? Keluar sana," usir Aretha mendorong Alvaro keluar kamarnya lalu menutup pintu kamarnya dan menguncinya.
Setelah itu, Aretha begadang sampai pagi. Perempuan itu menonton film di laptop-nya, namun terkadang mem-pause filmnya dan uring-uringan di tempat tidurnya memikirkan perasaannya pada Aram.
t h e b e t
"Bangun!" Tidur Aretha terusik saat selimut yang menutupi tubuhnya ditarik secara paksa.
Aretha baru tidur kurang lebih dua jam, perempuan itu begadang menonton film, bahkan laptop-nya masih berada di atas tempat tidurnya dengan keadaan menyala dan film yang masih terputar. Namun sekarang, saat ia baru tertidur selama kurang lebih dua jam, sudah ada yang mengusik ketenangannya.
"Bangun, lo harus sekolah!"
Kakaknya, Aretha tau itu adalah suara Alvaro karena tidak mungkin itu suara ayahnya. Satu-satunya keluarga yang akan mengurusi Aretha seperti ini adalah kakaknya. Padahal niat Aretha untuk bolos sudah bulat dan karena itu dia begadang sampai pagi.
"Gimana caranya lo bisa masuk? Perasaan gue udah kunci pintunya."
"Ini rumah gue, gue punya kunci cadangannya," ucap Alvaro. "Bangun! Ini hari kamis bukan hari sabtu."
"Bolos," gumam Aretha malas sambil mengganti posisi tidurnya.
"Gak boleh bolos! Lagian lo mau kalah taruhan sama guru biologi?" tanya Aram membuat Aretha langsung melotot.
"Ulangan biologi," desis Aretha sambil bangkit dari tidurnya. "Lo tau darimana?" tanya Aretha saat sadar seharusnya Alvaro tidak tau tentang taruhan itu.
"Aram nungguin lo di bawah." Satu kalimat yang membuat Aretha langsung menjatuhkan tubuhnya di tempat tidur dan menarik selimutnya lalu kembali memejamkan mata. "Katanya ada ulangan biologi, kenapa malah tiduran lagi?" tanya Alvaro heran.
"Gak peduli, kalo kalah ya udah. Hari ini gue bolos," ucap Aretha dengan nada tidak ingin dibantah.
"Dan ngecewain Aram yang udah ngajarin lo seminggu penuh?"
"Apaan sih?! Bukan urusan lo juga, jadi biarin aja gue bolos."
"Kalo lo gak mau sekolah, gue bakalan minta mama, papa dan Aletha buat nginep lagi malem ini," ancam Alvaro yang membuat Aretha langsung beranjak berdiri sambil menggerutu kesal.
"Hidup gue lebih tenang kalo lo di luar negeri. Mending lo tinggal di luar negeri dan gak usah balik ke sini lagi."
t h e b e t
Aretha keluar dari kamarnya saat sudah selesai bersiap-siap untuk ke sekolah, perempuan itu melewati ruang makan saat melihat ada ayah, ibu dan kembarannya di sana, sementara kakaknya sedang duduk di ruang keluarga sambil menonton televisi.
"Aletha ikut kamu ke sekolah hari ini," perintah ayahnya membuat langkah Aretha terhenti, memutar tubuhnya dan menatap ayahnya yang berada di ruang makan.
"Aku gak bawa mobil."
"Tinggal bawa mobil kan bisa."
"Temen aku udah nunggu di luar."
"Kalo gitu Aletha sekalian ikut kan bisa."
"Biar aku yang anter Aletha." Alvaro menengahi sebelum terjadi pertengkaran di pagi hari, dia tau sifat ayahnya dan Aretha sama keras kepalanya.
Aretha berbalik lalu berjalan keluar dari rumahnya. Mobil Aram terparkir di depan rumahnya, laki-laki itu menunggu di dalam mobilnya sambil memainkan handphone-nya. Aram menoleh saat Aretha membuka pintu tempat duduk sebelahnya.
"Semalem belajar gak?" tanya Aram sambil mulai menjalankan mobilnya.
"Nggak, sebenernya hari ini gue mau bolos."
"Kenapa?"
"Gue gak akan menang taruhan itu, lagian nilai matematika gue gak mungkin seratus."
Hening, diantara Aram dan Aretha tidak ada yang memulai pembicaraan. Aretha diam karena mood-nya sedang buruk, sementara Aram, untuk kali ini dia sadar situasi dengan tidak mengganggu Aretha.
Aram memarkirkan mobilnya, lalu mereka berdua keluar dari mobil dan berjalan menuju gedung sekolah mereka. Aretha berjalan masuk ke dalam kelasnya tanpa berbicara pada Aram. Mungkin nanti atau besok pagi dia akan kembali ke sikapnya yang seperti biasa, jika tidak ada yang membuatnya kesal lagi.
"Arethaaaa! Lo kenapa sih kemaren?" tanya Rachel, karena yang lainnya belum datang.
Aretha meletakkan tasnya di kursi lalu mengeluarkan laptop-nya. "Emang gue kenapa?"
"Lo aneh," jawab Rachel. "Gue tau lo gak suka dibanding-bandingin sama kembaran lo dan kemaren Rion dengan begonya malah ngebanding-bandingin lo sama Aletha."
"Karena gue gak suka ngeliat dia gak pake kacamata, rambutnya gak dikuncir, gue gak suka seakan ngaca kalo ngeliat dia. Gue gak suka kalo gue ngeliat dia yang ada di otak gue cuman seberapa pinter dia dan seberapa bego gue." Mata Aretha kembali berkaca-kaca.
Aretha berbeda hari ini, perempuan yang biasanya terlihat angkuh itu, saat ini terlihat rapuh. Rachel sempat terdiam beberapa detik sebelum akhirnya melihat ke sekitar dan menyadari tidak ada yang memperhatkan kejadian langka itu.
"Wih! Gak biasanya Aretha dateng jam segini." Sharla dan Tris berjalan ke arah Aretha dan Rachel.
Rachel memberi gelengan pelan, tanda untuk Tris dan Sharla agar mereka tidak mengganggu Aretha. Mereka benar-benar bingung dengan sifat Aretha yang berubah belakangan ini. Aretha yang mereka kenal adalah Aretha yang suka melawan guru dan bolos pelajaran, bukan Aretha yang sensitif seperti ini.
t h e b e t
Aretha berjalan ke arah meja guru, saat sudah berdiri di depannya, Aretha melempar kertas ulangan yang sudah ia isi. Perempuan itu selesai menjawab semua soal dalam waktu setengah jam.
"Saya periksa sekarang." Guru tersebut mengambil kertas Aretha dengan senyum miringnya, lalu mulai memeriksa jawaban Aretha. Sementara Aretha tetap berdiri sambil menunggu guru tersebut selesai memberi nilai.
Lima menit kemudian, guru tersebut kembali menatap Aretha lalu berkata, "seratus." Guru tersebut menyodorkan kembali kertas ulangan itu pada Aretha yang langsung Aretha terima. "Tapi kamu kalah." Guru tersebut menyodorkan kertas lainnya pada Aretha.
Aretha menerima kertas itu, tanpa dia sadari tangannya meremas kertas ulangan itu sampai lecak. Ulangan matematika, sembilan puluh delapan. Usaha kerasnya tidak terbayar, tapi bukan itu yang Aretha pikirkan saat ini. Pikirannya dipenuhi dengan pertanyaan, apa Aram akan marah?
"Saya kasih kamu keringanan, cukup kelas ini saja."
"Aletha." Aretha berbicara hampir berteriak, membuat satu kelas memberikan atensinya pada Aretha. "Iya, Aletha yang kalian kenal, Aletha anak kelas duabelas, Aletha yang selalu ngewakilin sekolah kalo ada olimpiade. Dia... kembaran gue. Iya gue iri karena dia pinter, sementara gue nggak dan karena itu gue gak mau ngakuin dia sebagai kembaran gue."
Sekuat tenaga, Aretha menahan tangisnya. Perempuan itu berjalan ke arah tempat duduknya, memasukkan semua barang-barangnya dengan asal ke dalam tas. Setelah itu Aretha berjalan keluar kelas, masih dengan kertas ulangan matematika ditangannya.
Aretha berjalan melewati Aram dan teman-temannya yang sedang berdiri di koridor. Jika ada jalan lain, Aretha tidak akan memilih jalan itu karena dia tidak ingin bertemu dengan Aram, tapi mau gimana lagi, satu-satunya jalan untuk menuju tangga adalah melewati koridor itu.
Aram memperhatikan Aretha yang berjalan, dia pikir Aretha akan berhenti di hadapannya, tapi perempuan itu malah berjalan melewatinya. Aram berlari kecil untuk mengejar Aretha yang mulai menjauh, laki-laki itu menahan tangan Aretha saat jaraknya sudah dekat.
"Kenapa?" tanya Aram saat Aretha berbalik dan menatapnya, mata perempuan itu berkaca-kaca seperti semalam.
Aretha tidak menjawab pertanyaan Aram, dia hanya menatap kertas di tangannya yang masih dicengkram Aram. Aram mengikuti arah pandang Aretha, laki-laki itu melepas cengkramannya di tangan Aretha lalu mengambil kertas yang di tangan Aretha.
"Kalah," gumaman Aram semakin membuat Aretha kacau.
"Lo... marah?" cicit Aretha.
"Kenapa lo mikir gitu?" tanya Aram buru-buru. "Kenapa gue harus marah cuman karena masalah kayak gini?"
"Lo ngajarin gue seminggu penuh."
"Gue ngajarin lo karena kemauan gue sendiri, jangan mikir gue akan marah karena masalah kayak gini."
"Gue tau, gue gak pinter kayak Aletha. Tapi lo janji ya..., jangan tertarik sama Aletha cuman karena dia pinter."
***
Aretha lagi bad mood gengs :)
Tinggalkan like dan comment ya. Kutunggu.