Read More >>"> The Bet (The Bet | 5) - TinLit
Loading...
Logo TinLit
Read Story - The Bet
MENU 0
About Us  

Hari rabu, hari diadakannya ulangan matematika. Semua kerja keras Aretha selama seminggu penuh belajar dengan Aram akan menentukan taruhannya dengan guru biologi.

Aretha langsung mengerjakan soal ulangan saat soal dan lembar jawaban dibagi. Bahkan Aretha tidak mempedulikan panggilan-panggilan dari Sharla dan Tris yang meminta contekan, Aretha benar-benar sedang serius mengerjakan soal ulangannya. Perempuan itu tidak mau membuat Aram kecewa dan menyesal telah meluangkan waktu untuk mengajarnya jika dia tidak dapat seratus.

“Aretha!” bisik Tris yang duduk di belakangnya. “Bagi jawaban nomor tiga dong!”

Panggilan itu lagi-lagi tidak dijawab oleh Aretha, dia masih fokus mengerjakan soalnya. Bahkan saat sudah selesai mengerjakan semua soal itu, Aretha memeriksa lagi jawabannya sampai berkali-kali. Memastikan semua jawabannya benar, supaya kerja kerasnya terbayar.

Bel berbunyi, pelajaran matematika selesai. Sekarang, Aretha hanya bisa berdoa dan pasrah dengan nilai matematikanya. Aretha kembali fokus belajar, menghafal mati semua materi ulangan biologinya.

“Re, bolos, yuk.” Rachel menarik-narik tangan Aretha yang terlihat sangat fokus menghafal.

“Kalian bertiga aja, gue mau belajar.”

“Gak seru banget sih. Gue kasih liat jalan kepiting deh.” Giliran Sharla yang berbicara.

“Bener ya?” tanya Aretha tertarik.

“Iya, iya.”

“Lo suka banget sih ngeliat jalan kepitingnya Sharla,” ucap Tris sambil memutar bola matanya malas.

“Jalan kepitingnya Sharla itu paling lucu.”

Aretha berdiri dari tempat duduknya, mengambil beberapa kertas yang berisi materi ulangan biologinya besok. Ketiga temannya menatap Aretha seram. Aretha yang biasanya selalu bolos atau tidak mendengarkan penjelasan guru, tiba-tiba belajar dua puluh empat per tujuh. Bagaimana jika Aretha jadi kecanduan belajar, bahkan setelah ulangan biologi besok?

Aretha terus menunduk menatap kertasnya saat berjalan bersama tiga temannya yang berjalan menuju kantin. Tiga temannya sedang adu mulut karena sesuatu hal yang tidak penting, hanya Aretha sendiri yang tetap diam.

Sampai Aretha menabrak tubuh seseorang, membuat Aretha mendongak menatap orang yang ia tabrak. “Aram?”

“Gimana? Bisa?” tanya Aram, suaranya terdengar penasaran, tapi ekspresinya tetap datar.

“Gue yakin Aretha bakal dapet seratus.” Rachel yang menjawab. “Bahkan Tris gak dikasih contekan,” tambah Rachel sambil terkekeh geli.

“Gue gak yakin bener, daripada gue sesat, mending gue gak kasih.”

“Tapi kan, lo udah belajar seminggu penuh, sampe hari sabtu diajak jalan-jalan aja lo gak mau,” celetuk Sharla.

“Sekarang lo mau bolos?” potong Aram.

“Iya, pelajaran bahasa indonesia, males dengerin ceramah.”

Aram mengangguk. “Gue ke kelas dulu.”

Laki-laki itu lanjut berjalan melewati Aretha dan teman-temannya. Sementara Aretha kembali fokus pada kertasnya dan berjalan mengikuti ketiga temannya yang sudah berjalan lebih dulu.

Aretha duduk di sebelah Sharla, sementara Rachel dan Tris duduk di hadapan mereka. Ketiga temannya itu sedang seru membicarakan cara-cara menebalkan alis, sementara Aretha tetap fokus menghafalkan.

“Re, lo gak kecanduan belajar, kan?” tanya Tris menatap Aretha prihatin. “Aneh ngeliat lo tiba-tiba rajin belajar kayak gini.”

“Lo gila? Selesai ulangan biologi besok, gue gak akan nyentuh buku lagi, otak gue hampir meledak gara-gara belajar terus.”

“Gue kira lo bakalan terus belajar,” celetuk Sharla.

“Manusia gak berubah segitu cepet, kalo misalnya lo mau berubah jadi rajin belajar, jangan secepet ini, serem tau ngeliatnya,” komentar Rachel.

“Siapa yang mau berubah sih? Gue tau kalo gue bego dari sananya, lo pada tau prinsip gue kan. Kalo udah bego, ya, bego aja, mau seberapa keras usaha lo, pasti kalah sama yang dari sananya udah pinter, walaupun gak pernah belajar.”

Itulah cara berpikir aneh yang dimiliki Aretha. Berbeda dengan yang biasa orang akan katakan, bahwa orang yang pinter, tapi males, akan kalah sama orang yang bego, tapi berusaha keras.

“Itu mah, lo curhat,” balas Tris.

“Ya berarti, kata-kata gue udah terbukti kebenarannya, bukan sekedar omong kosong,” jawab Aretha asal.

"Aretha." panggil seseorang yang berdiri di sebelah meja yang mereka tempati.

Mereka berempat serentak menoleh menatap orang yang memanggil Aretha itu. Seorang perempuan dengan rambut yang dikuncir satu dengan kacamata tebal yang bertengger di hidungnya berdiri menatap Aretha dengan pandangan yang sulit diartikan.

"Panjang umur. Ngapain lo di sini?" tanya Aretha dingin.

"Gue mau bilang kalo hari ini ada acara keluarga, tapi karena rumah lagi di renovasi, jadi diadain di rumah kak Alvaro. Kak Alvaro juga hari ini sampe di Indo. Pulang sekolah, gue boleh ikut lo gak?"

"Gak!" tolak Aretha langsung. "Gue gak bawa mobil, lagian, kalo gue bawa mobil juga tetep aja lo gak boleh nebeng gue," lanjut Aretha dingin.

"Oh, gitu." Wajah perempuan itu berubah datar, lalu dia berjalan menjauhi meja yang Aretha dan teman-temannya tempati.

“Gak nyangka gue, lo sadis banget.” Sharla berdecak kagum.

“Alvaro gak bilang ke gue kalo dia mau balik ke Indo,” gumam Rachel.

“Tris!” Suara laki-laki yang saat ini berjalan mendekat ke arah mereka mengintrupsi Rachel yang sudah membuka mulutnya untuk memulai curhat.

“Eh, Rion. Kenapa?” tanya Tris saat laki-laki itu sudah berdiri di dekatnya.

“Pacar lo tuh. Mau ikut balapan lagi.” Laki-laki yang dipanggil Rion itu menjawab. “Baik banget kan gue. Bela-belain ijin sakit perut buat ngasih tau lo doang.”

“Kan udah gue kasih line gebetan lo,” sahut Tris kesal. “Anywaythanks infonya.”

“Gue balik kelas dulu.” Rion berjalan menjauh.

“Balapan?” tanya Aretha. “Aram?”

“Kalo gak ada Aram, gak mungkin mereka ikut gituan.” Tris mendengus kesal.

“Cieee... ada yang mulai perhatian. Awas kalah taruhan yang lo bikin sendiri,” ujar Rachel sambil menampilkan cengirannya.

“Sialan lo,” umpat Aretha menatap Rachel sinis. “Balapannya nanti malem?” Aretha menatap Tris.

“Iya, dan gue gak suka Theo ikut gituan,” ujar Tris kesal.

“Mau nonton gak? Nanti sore? Tadi lo denger kan, di rumah gue bakalan ada acara keluarga, jadi gue gak mau diem di rumah,” tawar Aretha.

“Ajak Aram dan kawan-kawan biar mereka gak jadi keluar malem ini?”

“Iyes, lo ajak aja cowok lo.”

“Oke.”

“Kacangin aja terus yang jomblo,” sinis Sharla.

Double date aja sana, gak usah ajak gue sama Sharla,” ujar Rachel jutek.

“Gak usah bawa-bawa gue. Lo masih ada cowok di luar negeri yang hari ini nyampe di Indo,” sinis Sharla.

“Kan ada Rion dan Raka juga. Gitu aja ngambek.” Tris membujuk Rachel dan Sharla yang masih menampilkan ekspresi sinis.

“Kebanyakan makan C5H8NO4Na. Jadi sensi mulu,” kata Aretha asal.

“Kurang panjang, mbak,” ucap Rachel sarkas. “Tinggal ngomong micin aja, pake acara ngomong rumus kimianya,” ucap Rachel ketus.

“Siapa ya, yang pertama kali iseng nyari rumus kimianya micin sampe diafalin?” sindir Aretha membuat Rachel nyengir lebar.

“Hehe.”

“Jadi gak nih? Nonton nanti sore?”

Please jadi. Gue bosen belajar dan gue gak mau nyasar di rumah yang isinya orang-orang yang gue sebut keluarga.” Aretha memasang muka memohonnya.

“Jadi,” ucap ketiga temannya setuju.

t h e  b e t

 

“Aram, nanti sore jam lima, jemput gue ya? Gue mau nonton sama Tris dan yang lain, lo juga ikut ya?” pinta Aretha dengan wajah sekalem mungkin.

“Gak bisa, gue ada janji sama Theo dan yang lain.” Aram menjawab sambil tetap fokus dengan jalanan di depannya.

“Tapi Tris juga ngajak Theo dan katanya Theo udah setuju?” ucap Aretha lebih seperti bertanya pada dirinya sendiri.

“Oh?”

“Gimana? Lo mau kan?”

“Hm.”

Setelah itu Aram sibuk dengan pikirannya sendiri dan memaki-maki Theo dalam hatinya. Sialan Theo, seenaknya membatalkan acara mereka. Masalahnya, mereka bisa dicap sebagai pengecut karena tidak datang dipertandingan kali ini dan anak-anak lain pasti akan berpikir mereka tidak datang karena takut dengan barang yang menjadi taruhan kali ini—sebuah mobil sport keluaran terbaru yang harus dibeli oleh yang kalah untuk diberikan pada yang menang.

Aram menghentikan mobilnya saat mereka sampai di depan rumah Aretha. Terlihat ada beberapa mobil yang terparkir di depan rumahnya. Aram menoleh pada Aretha yang masih sibuk dengan handphone-nya.

“Ada acara di rumah lo?” tanya Aram membuat Aretha mengalihkan atensinya pada Aram.

“Oh, udah sampe.”

“Kalo ada acara di rumah lo, kenapa malah ngajak nonton?” tanya Aram lagi karena Aretha tidak menjawab pertanyaannya.

“Mereka gak nganggep gue ada meskipun gue ada, jadi ngapain?” tanya Aretha. “Jam lima ya.” Aretha tersenyum lalu keluar dari mobil Aram dan berjalan masuk ke dalam rumahnya.

Begitu Aretha masuk ke dalam rumahnya, pemandangan yang menyambutnya adalah rumahnya yang sudah berubah berantakan. Beberapa anggota keluarga besar ibunya sudah berkumpul, ada beberapa yang belum karena masih di kantor atau bersekolah. Aretha berjalan tanpa menyapa siapapun.

“Aretha!” panggil ibunya menggeram marah saat melihat kelakuan putrinya yang seperti tidak mempunyai sopan santun. Tapi bukannya menegur kelakuannya, ibunya beralih bertanya, “mana Aletha? Dia gak pulang bareng kamu?”

“Aku gak bawa mobil, lagian kenapa harus sama aku? Kayak dia gak punya temen yang bisa dimintain tolong.” Aretha tersenyum sinis. “Oh, iya, lupa. Dia emang gak bisa bergaul, dari dulu kerjaannya cuman ngerebut temen aku.”

Aretha melenggang pergi dari hadapan ibunya yang sekarang memaki-makinya. Persetan dengan Aletha, kenapa dia harus peduli? Dari dulu juga memang sudah begitu, dimata orangtuanya memang selalu Aretha yang salah dan Aletha yang benar.

“Permisi?” Suara laki-laki yang dikenal Aretha membuat langkah perempuan yang baru ingin menaiki tangga untuk ke kamarnya terhenti.

Aretha menoleh, menatap Aram dengan tatapan yang sulit diartikan. Dia berjalan kembali sampai di depan Aram lalu menarik lengan laki-laki itu keluar dari rumahnya.

“Ngapain?”

“Ketinggalan.” Aram menyodorkan handphone Aretha yang tertinggal. Aretha menerima benda persegi itu, lalu Aram kembali bertanya, “itu yang di dalem... nyokap lo?”

“Iya.”

“Gue belom nyapa, lo udah narik gue keluar.”

“Gak pa-pa, lo pulang aja sana, nanti jam lima baru jemput gue,” usir Aretha secara halus, atau malah terdengar kasar?

“Hm. Tapi gue harus nyapa nyokap lo dulu.”

“Gue bilang gak usah!” ucap Aretha dengan suara meninggi. “Dia juga gak akan peduli kalo lo nyapa,” lanjut Aretha. “Karena dia cuman peduli sama kembaran gue,” gumam Aretha.

“Ya udah, iya. Gue balik dulu, nanti jam lima kan?” tanya Aram, sementara Aretha mengangguk sebagai jawaban.

Aram berjalan menuju mobilnya lalu mulai menjalankan mobilnya. Laki-laki itu membuka kaca jendelanya sambil tersenyum ke arah Aretha. Aretha balas tersenyum sambil melambaikan tangannya, sampai mobil Aram sudah tidak terlihat baru perempuan itu masuk ke dalam rumahnya.

“Siapa?” tanya tantenya yang duduk di sofa ruang keluarga.

“Bukan urusan tante.” Aretha melengos lalu berjalan menuju kamarnya.

Baru saja Aretha merebahkan tubuhnya di tempat tidur, pintu kamarnya terbuka, ibunya masuk ke dalam kamarnya sambil menatapnya dengan tatapan sinis lagi.

“Jemput Aletha sekarang!” perintah ibunya telak.

“Bisa naik taksi online kan, kenapa harus aku jemput?”

“Jangan ngebantah! Kamu pasti nolak buat nganterin Aletha pas dia minta tadi kan?”

Aretha mendengus malas, berjalan mengambil handphone dan kunci mobilnya yang berada di nakas sebelah tempat tidurnya. Aretha berjalan melewati ibunya lalu berjalan melewati ruang keluarga untuk keluar dari rumahnya. Langkahnya terhenti saat orang yang seharusnya ia jemput sekarang berdiri di hadapannya.

Tanpa menyapa, Aretha berbalik dan berjalan menuju kamarnya. Melewati ibunya yang sekarang berjalan cepat ke arah Aletha—menatap putri kesayangannya khawatir. Sementara Aretha hanya mendengus malas melihat kelakuan ibunya. Kembarannya sudah besar, tahun ini delapan belas tahun, lalu kenapa ibunya masih mengurus kembarannya seperti anak balita? Memang di luar baru saja gerimis, tapi anak berusia delapan belas tahun pasti sudah bisa mengurus diri sendiri, lalu kenapa ibunya masih begitu peduli pada Aletha?

“Muka gue sama dia sama persis, kenapa perlakuan ke dia sama ke gue selalu beda.”

***

selamat membaca. janga lupa tinggalkan vote dan commentnya.

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Soulless...
5341      1216     7     
Romance
Apa cintamu datang di saat yang tepat? Pada orang yang tepat? Aku masih sangat, sangat muda waktu aku mengenal yang namanya cinta. Aku masih lembaran kertas putih, Seragamku masih putih abu-abu, dan perlahan, hatiku yang mulanya berwarna putih itu kini juga berubah menjadi abu-abu. Penuh ketidakpastian, penuh pertanyaan tanpa jawaban, keraguan, membuatku berundi pada permainan jetcoaster, ...
DELION
2691      1048     2     
Mystery
Apa jadinya jika seorang perempuan yang ceria ramah menjadi pribadi yang murung? Menjadi pribadi yang dingin tak tersentuh, namun dibalik itu semua dia rapuh sepert bunga i Dandelion tapi dia tidak bisa menyesuaikan dirinya yang mulai hidup di dunia baru dia belum bisa menerima takdir yang diberikan oleh tuhan. Kehilangan alasan dia tersenyum itu membuat dirinya menjadi kehilangan semangat. Lal...
Blue Rose
267      223     1     
Romance
Selly Anandita mengambil resiko terlalu besar dengan mencintai Rey Atmaja. Faktanya jalinan kasih tidak bisa bertahan di atas pondasi kebohongan. "Mungkin selamanya kamu akan menganggapku buruk. Menjadi orang yang tak pantas kamu kenang. Tapi rasaku tak pernah berbohong." -Selly Anandita "Kamu seperti mawar biru, terlalu banyak menyimpan misteri. Nyatanya mendapatkan membuat ...
Thantophobia
1277      732     2     
Romance
Semua orang tidak suka kata perpisahan. Semua orang tidak suka kata kehilangan. Apalagi kehilangan orang yang disayangi. Begitu banyak orang-orang berharga yang ditakdirkan untuk berperan dalam kehidupan Seraphine. Semakin berpengaruh orang-orang itu, semakin ia merasa takut kehilangan mereka. Keluarga, kerabat, bahkan musuh telah memberi pelajaran hidup yang berarti bagi Seraphine.
Dua Sisi
7583      1765     1     
Romance
Terkadang melihat dari segala sisi itu penting, karena jika hanya melihat dari satu sisi bisa saja timbul salah paham. Seperti mereka. Mereka memilih saling menyakiti satu sama lain. -Dua Sisi- "Ketika cinta dilihat dari dua sisi berbeda"
DEVANO
590      367     1     
Romance
Deva tidak pernah menyangka jika pertemuannya dengan Mega bisa begitu berpengaruh untuk hidupnya. Dan untuk pertama kalinya setelah hari itu, Dio-mantan sahabatnya, ikut campur dalam urusannya. Padahal, biasanya cowok itu akan bersikap masa bodo. Tidak peduli pada semua yang Deva lakukan. Ternyata, pertemuan itu bukan hanya milik Deva. Tapi juga Dio di hari yang sama. Bedanya Deva lebih berun...
Sweet Notes
11291      2026     5     
Romance
Ketika kau membaca ini, jangan berpikiran bahwa semua yang terjadi disini adalah murni dari kisah cintaku. Ini adalah sekumpulan cerita-cerita unik dari teman-teman yang mau berbagi dengan saya. Semua hal yang terjadi adalah langsung dari pengalaman para narasumber. Nama sengaja disamarkan namun setting tempat adalah real. Mohon maaf sesuai perjanjian jalan cerita tidak dijelaskan seperti kisah ...
R.A
1929      977     2     
Romance
Retta menyadari dirinya bisa melihat hantu setelah terbangun dari koma, namun hanya satu hantu: hantu tampan, bernama Angga. Angga selalu mengikuti dan mengganggu Retta. Sampai akhirnya Retta tahu, Angga adalah jiwa yang bimbang dan membutuhkan bantuan. Retta bersedia membantu Angga dengan segala kemungkinan resiko yang akan Retta hadapi, termasuk mencintai Angga. - - "Kalo nanti ka...
My Chocolate
2139      927     4     
Short Story
‘Maaf’ adalah satu kata yang akan kuucapkan padamu jika aku diberi kesempatan untuk bertemu denganmu kembali.
When You Reach Me
6991      1875     3     
Romance
"is it possible to be in love with someone you've never met?" alternatively; in which a boy and a girl connect through a series of letters. [] Dengan sifatnya yang kelewat pemarah dan emosional, Giana tidak pernah memiliki banyak teman seumur hidupnya--dengan segelintir anak laki-laki di sekolahnya sebagai pengecualian, Giana selalu dikucilkan dan ditakuti oleh teman-teman seba...