Ini hari pertamaku memasuki dunia perkuliahan setelah tiga hari yang lalu ospek begitu menyiksaku. Aku berangkat bersama sahabatku, Viona. Aku sering memanggilnya ‘Vio’ dia satu kampus denganku tapi kami tidak di fakultas yang sama, aku di fakultas ilmu pengetahuan budaya sedangkan dia masuk fakultas hukum. Meski begitu, kami sering berangkat bersama karena Vio selalu datang menjemputku, dia tahu keluargaku hanya memiliki satu mobil yang sering digunakan oleh ayah.
Aku cukup gugup untuk masuk ke kelas seorang diri namun dosen yang berjalan menuju ke kelasku mendorongku agar masuk padahal dia tak berkata apapun hanya saja aku yang ketakutan. Mulutku menganga mendapati seisi kelas dipenuhi oleh pria dan hanya ada delapan orang wanita termasuk aku, dosen yang sempat kulihat tadi sebut saja bu Tenti. Dia sudah duduk di meja lalu membuka buku untuk mengabsen anggota kelas, kedatangannya cukup menyalamatkanku dari situasi yang sempat membuatku tak nyaman tadi. Andai saja Vio menemaniku pasti aku takkan merasa seperti ini, pikirku.
“Grace Deawinata.” Panggil bu Tenti membuyarkan lamunanku, aku segera mengangkat tanganku membuat seisi kelas menatapku seperti tatapan yang mereka berikan saat aku datang tadi, sontak aku menunduk merasa tak nyaman. Aku yakin tatapan mereka tertuju pada segi fisik-ku yang kebulean, mungkin sebagian yang menatapku sinis mengira bahwa aku memakai pewarna rambut karena rambutku tak berwarna hitam seperti mereka. Ada dua darah yang mengalir pada tubuhku, aku campuran Indo-Jerman dari segi fisik aku lebih mirip ayah yang berketurunan Jerman, tubuhku tinggi sepantar dengan tinggi standar pria Indonesia dan mataku berwarna biru hanya saja aku menutupinya dengan softlens hingga menjadi kecokelatan. Bukan minder, jika aku tak menutupinya dengan softlens pasti banyak yang iri padaku lagi pula mataku juga minus.
Setelah mata kuliah berakhir Vio telah menungguku di area parkir, begitu aku masuk dia bertanya lagi padaku apa yang akan kulakukan malam ini. Dia seperti memaksaku untuk ikut makan malam dengannya tapi aku tak berminat, aku tahu yang Vio lakukan adalah kencan buta tapi Vio menyamarkannya dengan menyebut makan malam. Ini salah satu yang tak kusuka dari Vio, selalu memaksaku untuk ikut kencan buta padahal aku telah memiliki Dirga. Vio berkata Dirga tak akan mengetahuinya jika aku melakukannya karena Dirga berada di kampus yang berbeda. Padahal makan malam tak dilakukan di kampus, mengapa Vio berbicara seperti itu, pikirku.
“Ayolah Grace, kumohon ikut denganku sekali saja..” Vio merengek seraya menarik-narik lenganku.
“Akan kupikirkan lagi nanti.” Ucapku seraya memutar bola mata agar Vio cepat melajukan mobilnya.
Tiba di rumah aku cukup terkejut karena terdapat beberapa mobil pengakut barang di depan rumahku, barang-barang dari rumahku sudah berada di halaman dan sebagian tengah diakut ke mobil. Vio yang merasa heran mengikutiku turun dari mobil.
“Ma, ada apa?” tanyaku menghampiri sang mama diikuti Vio.
“Kita akan pindah.” Jawab mama seraya mengambil kunci mobil dari meja. Kulihat seisi rumah telah melompong.
“Lagi?” tanyaku seraya mengangkat kedua alisku dan mama hanya mengangguk. Padahal baru satu tahun aku tinggal di rumah ini sekarang harus pindah lagi, tak ada alasan lain kecuali pekerjaan ayah. Ada senang dan sedih yang kurasa, aku sedih karena sudah cukup nyaman tinggal disini dan malah pindah lagi dan aku senang tak perlu susah payah untuk menolak permintaan Vio.
“Grace, di dalam hanya tertinggal beberapa barangmu juga barang di ruangan ayah. Nanti datanglah menyusul, mama akan membereskan dulu tempat tinggal yang baru.” Mama pun pergi dengan mobilnya diikuti mobil pengangkut barang.
Usai membereskan barang-barangku, aku pergi ke ruangan ayah untuk mengecek barang ayah yang tertinggal. Tak ada apa-apa di ruangannya aku hanya melihat toples kecil di sudut ruangan, aku menghampirinya dan isinya adalah kepingan-kepingan puzzle kayu yang telah usang. Aku mengangkat toples itu mengingat bahwa itu adalah puzzle yang sering aku mainkan sebelum aku masuk SD, kukira ayah telah membuangnya tapi ternyata masih ada. Aku menyimpannya ke tempat semula karena ayah tak mungkin membutuhnya.
Sopir taksi membantuku memasukkan barang ke bagasi, lalu pergi menuju alamat yang telah diberikan mama lewat pesan. Rumah baruku kini lebih kecil dari rumah sebelumnya mama berkata karena ini satu-satunya rumah yang jaraknya dekat dengan tempat kerja baru ayahku, meski kami hanya tinggal bertiga tetap saja aku menginginkan kamar yang luas. Kamarku tak seperti kamar sebelumnya, tak ada toilet di dalamnya dan hanya ada satu jendela kecil dan kasur yang cukup untuk satu orang tapi aku terlelap dengan cepat saking lelahnya.
“Grace.. Grace..!” suara ayah membangunkanku. Aku pun berjalan sempoyongan keluar kamar untuk bertanya ada apa.
“Kamu tak melihat toples di ruangan ayah?” tanya ayah seraya melepas dasi.
“Toples?” aku mencoba mengingat-ingat. “Toples berisi puzzle?” lanjutku, dan ayah mengangguk kuat.
“Aku meninggalkannya disana.” Jawabku seraya menguap.
“Kenapa kamu tak membawanya?” bentak ayah dengan mata terbelalak hingga rasa kantukku hilang seketika. Aku mengerjap-ngerjapkan mata tak percaya ayah begitu peduli dengan puzzle yang telah pantas untuk dibuang. Aku hendak bertanya tapi ayah telah pergi entah kemana.
“Ma, ayah kenapa?” tanyaku pada mama yang tengah menyiapkan makan malam.
“Kenapa kamu meninggalkannya? Padahal mama sudah bilang untuk membawa barang-barang ayahmu.”
“Puzzle itu sudah pantas dibuang ma, kenapa ayah begitu peduli?”
“Ayah tak bercerita tentang puzzle itu padamu?” tanya mama seraya mematikan kompor, aku menggeleng karena memang tak tahu apa-apa.
“Memang ada apa dengan puzzle itu?” tanyaku penasaran.
“Harusnya kamu tanyakan sendiri pada ayah.” Jawab mama seraya menepuk bahuku. Dari sorot matanya aku merasa mama menyembunyikan sesuatu dariku, aku juga mendengar mama mendesah setelah dia beranjak dari hadapanku.
Ayah kembali setelah aku menahan lapar cukup lama, sebenarnya aku ingin makan malam duluan tapi mama melarangku dan memintaku menunggu sampai ayah datang.
“Kau mendapatkannya?” tanya mama begitu ayah masuk. Ayah mengangguk seraya mengangkat toples di tangannya lalu menaruhnya di atas meja. “Syukurlah,” lanjut mama setelah melihat toples itu, membuatku semakin bertanya-tanya seberapa berhargakah puzzle usang itu? Di tengah makan malam, mama memulai obrolan dengan ayah.
“Lebih baik kau serahkan saja puzzle itu pada Grace.” Ucap mama seraya memegang tangan ayah. Aku mengernyit sudah menduga pasti mama juga tahu tentang puzzle itu tapi kenapa aku harus bertanya pada ayah? Ayah beralih pandang dari piringnya, menatapku dalam tanpa mengatakan sepatah kata pun. Tuhan, sebenarnya ada apa ini? Batinku berteriak menahan rasa penasaran.
“Lagi pula Grace telah bersama puzzle itu sejak kecil.” Ucapan sang mama seolah digunakan untuk meyakinkan ayah. “Kau ingat?” mama menoleh padaku, aku hanya mengangguk lalu melanjutkan makanku.
Ruang tengah menjadi tempat berkumpul setelah makan malam. Aku duduk lebih dulu di sofa bersama mama lalu ayah datang menyusul dengan tiba-tiba mematikan TV yang tengah asyik kutonton, aku mengernyit heran lalu ayah memberikan toples berisi puzzle itu padaku. Mau tak mau aku menerimanya, jujur saja aku telah bosan memainkan puzzle itu sejak kecil dan kini setelah usang aku harus menyimpannya, untuk apa? Setelah aku mengambilnya mama menatap toples dan aku secara bergantian lalu beralih pandang pada ayah saat aku balas menatap mama.
“Kau saja yang bicara, aku sedang lelah.” Ucap ayah pada mama seraya pergi ke kamar. Aku pun menoleh pada mama dan menatapnya begitu lama, menyimpan seribu tanya.
“Puzzle itu pemberian oma-mu.” Lirih mama seraya meraba toples yang berada di lahunanku. Aku bersandar dan meletakkan kepalaku di bahu mama, merasa tenang mama memberitahu tentang puzzle itu. Sebelum aku sempat bertanya, mama lanjut bercerita bahwa puzzle itu satu-satunya benda pusaka yang ditinggalkan oma. Dari sana aku baru tahu mengapa ayah begitu menjaganya, tunggu dulu apakah aku tak salah dengar? Mainan seperti itu disebut benda pusaka? Entahlah, aku tak mengerti lebih baik kudengarkan mama hingga usai bercerita.
“Sebelum mama melahirkanmu, oma meninggal dunia dan meninggalkan ini untukmu.” Mama mengangkat toples itu dari lahunanku. “Karena dia tak bisa menemanimu jadi dia menjadikan puzzle ini yang menemanimu.” Lanjut mama.
“Tapi ma, ini hanya mainan. Aku saja telah bosan terus memainkan puzzle ini sejak kecil. Jika oma masih ada, aku takkan bosan dengan kehadiran oma.”
“Kau tanya saja sendiri pada ayahmu.” Mama pergi meninggalkanku sendiri di ruang tengah. Mengapa mama selalu menyuruhku bertanya pada ayah padahal sepertinya mama juga tahu mengenai puzzle itu. Bagaimana bisa aku bertanya pada ayah? Sebagai seorang arsitektur dia sibuk dengan proyek pembangunan, terkadang proyek itulah yang memaksa keluargaku pindah rumah dan sepulang bekerja ayah hanya membawa lelah, kapan aku bisa bertanya? Kepergian mama menghilangkan seleraku untuk menyalakan TV lagi, jadi aku pergi ke kamar dengan membawa puzzle itu.
***
(Si puzzle) Berapa lama lagi aku akan terus seperti ini? Tak bisakah aku menjadi manusia? Aku bosan terus menjadi puzzle cacat seperti ini. Aku selalu merasa sendiri dan sepi karena aku hanya sebuah benda mati, terkadang aku bosan memohon pada tuhan untuk menjadi manusia, namun setelah Grace menyentuhku kembali, harapanku untuk menjadi manusia tumbuh lagi. Biru matanya menatapku begitu kuat dari luar toples, “Grace, telah bosankah kau bermain denganku? Aku tahu aku hanya sebuah puzzle kayu, tapi aku telah menemanimu sejak kecil.” Ucapku seraya menatap mata Grace, berharap dia dapat mendengarkanku. Namun nyatanya aku hanya dapat memerhatikan Grace.
Benarkah aku adalah benda pusaka? Aku tak salah mendengar ucapan mama Grace kan? Lantas mengapa aku hanya menjadi sebuah puzzle kayu jika aku ditakdirkan untuk menemani Grace? Entahlah, lagi pula aku tak dapat meminta mama Grace untuk mengulangi ucapannya.
“Tunggu Grace! Kenapa kau meninggalkanku begitu saja?” teriakku begitu Grace berbalik badan meninggalkan kamar. Ah, sudahlah! Aku tak tahu kapan Grace akan bermain denganku lagi. Kini aku terkurung di dalam laci bersama diary milik Grace.
Hembusan angin tiba-tiba membuyarkan lamunanku. Sebelumnya aku tak pernah merasakan angin seperti ini. Begitu aku menoleh terlihat benda-benda beterbangan bagai daun kering, aku mengernyit seraya menerka-nerka benda macam apa itu. Aku terus memfokuskan penglihatanku dan terlihatlah beribu bahkan berjuta alfabet bagai burung-burung membentuk formasi. Aku masih tak percaya dengan apa yang kulihat, lama kelamaan kumpulan alfabet itu dapat kubaca, dan ternyata itu adalah isi diary milik Grace.
“Tuhan, apakah ini pertanda adanya harapan bagiku untuk jadi manusia?” bisikku seraya terus membaca alfabet yang terususun dengan sempurna. Sesekali aku tersenyum bahkan tertawa membaca isi diary milik Grace, meski aku bukan manusia tapi dengan membacanya aku seolah hidup menjadi manusia.
***
(Grace) Embun pagi telah musnah tersinari mentari, aku terbangun dari tidur mencium aroma roti panggang yang menggoda hingga perutku berguruh mendorongku menuju ke ruang makan. Aku mendapati ayah terburu-buru berangkat bekerja dia masih mengunyah makanannya saat tengah mengenakan sepatu, kurasa ini bukan waktu yang tepat untuk bertanya jadi aku tutup mulut saja.
“Grace, kau kenapa?” tanya mama membuatku terperangah setelah ayah berangkat. Aku pun menggeleng seraya bertanya “kenapa mama bertanya begitu?”
“Dari tadi kamu terus menatap ayahmu.” Mama menyodorkan piring berisi roti padaku, aku mengambil satu seraya duduk.
“Ma, kenapa sejak dulu puzzle itu tak pernah sempurna?” tanyaku seraya melahap roti. Aku melihat mama menarik bibirnya ke dalam tampak sulit untuk menjawab.
“Kalau masalah itu hanya ayahmu yang tahu, karena puzzle itu berasal dari Jerman.” Jawab mama seraya menuangkan susu ke gelasku.
Terdengar bunyi klakson di depan rumahku saat aku tengah memakai sepatu, aku pun membuka tirai jendela dan mendapati mobil Vio di luar membuatku tersenyum lebar. Kukira dia takkan datang menjemputku setelah tempat tinggalku pindah.
“Ternyata kau masih peduli padaku.” Ucapku seraya masuk ke mobil Vio dan dia malah terkekeh seraya melajukan mobilnya.
“Kau tak tahu? Jarak rumahmu yang sekarang lebih dekat dari pada rumahmu yang dulu.” Vio tergelak melihatku melongo karena aku belum pernah mengunjungi rumah Vio. Bukan tak mau, aku hanya malu mengunjungi rumahnya tiap kali aku ingin berkunjung aku selalu bertanya apakah kakaknya ada disana? Sialnya Vio selalu mengangguk dan aku hanya bisa gigit jari. Dia tak tahu aku sempat menyukai kakaknya saat aku berada di kelas satu SMA saat itu aku belum mengenal Vio dan kakaknya telah kelas tiga saat itu, andai saja kakaknya tak tahu aku menyukainya pasti aku sudah tahu rumah Vio. Rasa sukaku padanya terbongkar karena dia membaca diary-ku yang tertinggal sepulang mengikuti ekstra kulikuler di sekolah. Aku hampir menaiki angkot untuk pulang ke rumah dan baru ingat diary-ku tertinggal, aku pun segera berlari mencarinya dan mendapati buku itu berada di tangan kakaknya Vio. Aku mematung dengan mulut terkunci, yakin dia telah membaca buku diary-ku karena tadi kudapati dia tersenyum seperti menahan tawa. Sepertinya dia tahu keadaanku jadi dia menghampiriku, mengembalikan buku diary-ku seraya tersenyum simpul.
“Kenapa Grace?” tanya Vio heran melihatku menepuk-nepuk kedua pipi. Aku menggeleng tak mau buka mulut soal rahasia ini, baru memutar memori ke masa lalu saja pipiku sudah terasa panas.
Ponselku berdering saat mata kuliah pertama berakhir, kudapati nama Dirga tertera di layar membuatku semringah dan segera mengangkatnya.
“Hai, apa kabar?” tanya Dirga dari seberang.
“Baik, kamu apa kabar? Apakah kuliahmu berjalan lancar?”
“Baik. Kuliahku juga baik-baik saja. Bagaimana denganmu Grace? Kau sudah terbiasa dengan teman-temanmu?”
Aku menggeleng pelan padahal Dirga tak ada di hadapanku. “Kapan kau bisa bertemu denganku?” tanyaku mulai merindukannya, kuliah di kampus yang berbeda membuatku sulit bertemu dengan Dirga.
“Mm.. Grace, ada yang ingin kukatakan padamu.”
“Apa? Katakan saja.”
“Kau sedang kuliah?”
“Ya, aku di kampus sekarang.”
“Baiklah, lanjutkan kuliahmu. Kurasa ini bukan waktu yang tepat untuk mengatakannya. Sampai jumpa Grace.” Dirga mengakhiri panggilan seperti terburu-buru tapi tak apa, mendengar suaranya saja sudah melegakan bagiku setidaknya aku tahu kalau dia baik-baik saja, lagi pula wajar jika dia sibuk karena dia masuk fakultas kedokteran.
Usai mata kuliah berakhir, aku menunggu Vio di area parkir padahal aku berniat pulang naik taksi tapi Vio memintaku untuk menunggu. Vio datang dengan membawa beberapa buku di tangannya mungkin dia pergi ke perpustakaan dulu sebelum datang ke area parkir. Dia terlihat kesulitan untuk membawa tasnya, jadi aku bergegas untuk membantunya. Aku mengambil beberapa buku dari tangan Vio lalu Vio segera membenarkan posisi tas-nya, sementara aku merapikan buku-buku milik Vio di tanganku, aku melihat sesuatu yang berbeda terhimpit diantara buku-buku itu. Penasaran, aku menariknya perlahan seraya berjalan membuntuti Vio ternyata sebuah undangan pernikahan, aku pun membukanya seketika itu langkahku terhenti menatap nanar nama lengkap Dirga tertera di undangan itu namun bukan dengan namaku. Tatapanku beralih pada Vio yang terus berjalan menuju mobil, tak menyadari aku berhenti jauh di belakangnya. Aku tak dapat mendeskripsikan perasaanku saat ini. Air mataku menggenang di pelupuk mata, aku menengadahkan kepalaku tak ingin air mata itu menetes tapi tetap saja aku tak dapat menghentikannya.
Sebenarnya aku sudah merasa Dirga berubah, dia lambat meresponku dan semakin lambat, dia jarang membalas pesanku dan tak pernah mengangkat telponku. Aku menganggap dia sibuk dengan aktivitasnya sebagai calon dokter dan ternyata kini dia akan menikahi wanita lain bukan aku, mungkin ini yang ingin dikatakan Dirga padaku. Mengapa dia tak mengatakannya sejak dulu? Aku tak dapat menghentikan tangisku, rasanya ada bagian yang hilang di hatiku. Sepertinya Vio menyadari ketidakhadiranku di belakangnya, kulihat dia menoleh dan segera berlari menghampiriku dengan cepat.
“Bisa kau jelaskan apa ini?” tanyaku seraya mengangkat undangan pernikahan itu. Dari raut mukanya aku bisa menebak bahwa Vio telah mengetahui ini sejak lama, dia tampak kesulitan menjawab dan dia hanya menggigit bibir bagian bawah.
“Vio, kenapa kau tak pernah mengatakan apapun padaku?” tanyaku dengan sesenggukan. “Kau selalu diam saat aku berkata bahwa aku merindukan Dirga. Apakah ini sebabnya kau selalu mengajakku kencan buta, hah?!” emosiku meluap.
“Grace, please jangan salah paham padaku.” Vio menyentuh bahuku dan aku segera menyingkirkannya. “Aku tak memiliki waktu yang tepat untuk mengatakannya padamu.” Dari jawabannya aku tahu bahwa Vio memang sudah tahu sejak lama, tapi tak juga mengatakannya padaku. Dia mencoba menjelaskan tapi rasanya aku tak dapat mencerna kata-kata yang keluar dari mulutnya.
“Sudahlah Vio, aku muak!” aku pergi meninggalkan Vio secepat mungkin dan menaiki angkot karena aku tak ingin berlama-lama menunggu taksi.
Selama perjalanan, ponselku berdering berulang kali. Vio dan Dirga menelponku secara bergantian tapi akhirnya hanya Dirga yang terus menghubungiku. Terdapat 30 panggilan tak terjawab di ponselku jadi aku segera menon-aktifkan ponselku. Sebelum tiba di rumah aku terus memandangi cermin khawatir meninggalkan jejak tangis, mama tak boleh tahu hubunganku dengan Dirga berakhir mengenaskan. Sialnya pintu rumah terkunci, aku celingukan bertanya-tanya mengapa mobil ada di garasi tapi tak ada orang di rumah, aku ingin menelpon mama tapi tak mau melihat nama Dirga tertera di layar ponselku, jadi aku menuju ke kantor satpam di area sana, ternyata mama menitipkan kunci rumah pada satpam itu tapi dia tak tahu mama pergi kemana. Aku menemukan secarik kertas di atas meja makan, mamaku pergi lagi bekerja sebagai pramugari setelah beberapa hari yang lalu cuti. Pekerjaannya itu yang membuat mama bertemu ayah, aku mendesah karena tahu jika mama telah bekerja dia akan lama untuk kembali lalu ayah kemana?
Hari mulai gelap dan ayah belum juga pulang, terpaksa aku menyalakan ponselku untuk menghubungi ayah.
“Kapan ayah pulang?” tanyaku setelah tahu ayah pergi ke Bali bersama rekan kerjanya.
“Mungkin lusa.”
“Tapi yah, mama tak ada di rumah.”
“Ayolah, kamu bukan anak kecil Grace.” Ayah mengakhiri panggilannya.
Rasanya sempurna sudah hari ini, aku hanya dapat memendam rasa sakit ini sendiri. Tak ada lagi yang dapat kuajak berbagi karena aku tahu Vio menyembunyikan sesuatu dariku, rasanya aku tak memiliki lagi seseorang yang dapat kupercaya. Tanpa terasa air mataku mengalir lagi, aku membantingkan tubuhku di sofa seraya menatap langit-langit.
***
(Si puzzle) Kini aku tak lagi terkurung di dalam laci setelah mama Grace memindahkanku ke atas meja belajar, rasanya aku dapat bernapas. “Grace, kau kenapa? Andai aku bisa keluar dari toples usang ini, aku sungguh ingin menghapus air matamu.” Ucapku spontan saat melihat Grace menangis sesenggukan di atas kasurnya. Siapakah yang tega membuatnya menangis? Sungguh aku ingin menjadi tempatmu bersandar Grace, tapi aku hanyalah sebuah puzzle usang bagimu. Cukup lama Grace membenamkan kepalanya di atas bantal, aku sangat khawatir padanya namun tak ada yang dapat kulakukan selain memohon pada tuhan. Grace tiba-tiba terbangun dan menatap ke arahku, aku terkejut karena merasa seolah saling tatap dengannya. Dia berjalan ke arahku lalu mengangkat toples usang itu. Aku dapat melihat mata sembapnya, tanganku bergerak perlahan seolah dapat menghapus air mata di pipinya namun yang kusentuh hanyalah dinding toples. Tak lama Grace menyimpan toples itu, bergegas keluar kamar.
(Grace) “Aku tak boleh terus terkurung dalam kesedihan seperti ini!” Saat itu terbersit pikiran untuk mencari udara segar dengan menggunakan mobil ayah, aku pun mengendap-endap memasuki kamarnya untuk mencari kunci mobil. Tiap laci yang berada di kamar telah kubuka tapi aku tak juga menemukan kunci mobil, mungkin lemari baju ayah akan menjadi sasaran terakhir. Sialnya aku juga tak menemukannya disana tapi mataku menemukan sesuatu yang tampak mencurigakan, sebuah amplop berwarna merah tampak seperti angpao. Aku mengambilnya dan tanganku merasakan ada sesuatu di dalamnya jadi aku membuka amplop itu dan isinya adalah kepingan puzzle yang aku cari sejak kecil.
“What the fuck?!” aku menyernyit seraya membolak-balik kepingan puzzle itu, sungguh tak mengerti mengapa ayah menyembunyikan kepingan ini dariku. Sudahlah, memikirkannya hanya menambah teka-teki bagiku lebih baik aku segera menyempurnakan puzzle itu karena aku telah menemukan kepingan yang hilang jadi aku bergegas menuju kamarku.
“Ah.. akhirnya kau sempurna juga.” Aku merasa lega tak ada lagi bagian yang kosong di puzzle itu membuat pikiranku agak tenang. Bukannya menemukan kunci mobil, aku malah menemukan kepingan puzzle yang dari dulu hilang. Kuusap lembut puzzle yang kini telah sempurna, aku tersenyum mengingat oma lalu menyimpan kembali puzzle itu di meja belajarku.
Kunyalakan musik dengan keras hingga suaranya memenuhi ruangan, aku benci keheningan yang membuatku ingat pada rasa sakit. Aku bernyanyi seolah berada di tempat karaoke dan perutku malah ikut berbunyi, aku baru ingat aku belum memakan apapun sejak siang. Akhirnya aku pergi meninggalkan kamarku untuk memasak mie instan.
“Yeah.. young dumb.. young young dumb and broke..” aku terus bernyanyi saat memasak mie instan, musik di kamarku terdengar sampai dapur, sepertinya tetanggaku juga dapat mendengarkannya. Aku baru saja hendak melahap mie yang masih mengepul tapi bunyi musik yang berhenti di kamarku membuatku menundanya, aku berderap menuju kamar untuk mengeceknya.
Kehadiran seorang pria di kamarku membuatku terkejut, dia tengah duduk di kasurku. Parasnya kebulean sepertiku dan matanya berwarna abu, aku hampir menjerit tapi gedoran pintu di waktu yang sama membuat leherku terasa tercekat hingga aku hanya bisa menganga. Mataku terbelalak menatap pintu rumah yang tak kunjung henti digedor-gedor dari luar, aku menatap pria bule itu dia memberi isyarat agar aku diam dan aku hanya dapat menurutinya meski tak tahu dia itu siapa dan dari mana asalnya. Dia berjalan melewatiku menuju pintu lalu mengintip dari jendela.
“Your boy friend.” Ucap bule asing itu seraya menunjuk pintu dengan ibu jarinya. Aku hanya bisa terdiam, mulutku yang menganga perlahan mengatup dan aku berjalan perlahan menghampiri pria itu.
“Grace! Buka pintunya! Aku tahu kau disana!” mendengar suara Dirga dari luar aku terperanjat dan spontan menutup mulut. Aku menatap lekat bule yang tak kukenal itu, dari mana dia tahu bahwa Dirga adalah pacarku? Ralat, Dirga adalah bekas pacarku sekarang. Tanpa kusadari, pria bule itu tengah menatapku juga. Dirga tak berhenti menyuruhku keluar, sementara aku tak mau lagi menatap wajah Dirga. Merasa tak ada jalan lain, aku pun meminta bule itu untuk menyingkirkan Dirga. Begitu aku hendak mengatakannya, bule itu keluar dari rumah.
Aku segera mendekatkan kepalaku ke pintu untuk mendengarkan obrolan mereka. Herannya aku tak pernah mendengar ucapan terlontar dari bule itu, yang kudengar hanya suara Dirga yang penuh emosi. Dari sana jelas sudah, aku mendengar dengan telingaku sendiri bahwa Dirga memang akan menikah dengan wanita lain itu membuatku menjauh dari ambang pintu hendak kembali menuju kamar tapi kakiku terasa lemas hingga aku terkulai di dekat sofa.
Terasa sentuhan di kepalaku, saat aku tengah menangis dengan memeluk kedua lututku. Aku yakin dia adalah pria bule yang tak kuketahui asal-usulnya, anehnya meski aku tak mengenalnya aku tak merasa takut padanya.
“Apa dia sudah pergi?” tanyaku tanpa mengubah posisiku. Tak kudengar jawaban apapun dari bule itu, akhirnya aku mendongak hingga kami saling tatap.
“Grace..” ucapnya lembut tapi membuatku terkejut. Dari mana dia tahu namaku? Aku melihat tatapannya yang teduh, dia tersenyum lalu duduk di sampingku.
“Makasih Grace.” Ucapnya lirih, aku menoleh dan mengernyit.
“Buat?” tanyaku, karena kurasa aku yang harus berterima kasih sebab dia telah mengusir Dirga.
“Kau telah membuatku menjadi manusia yang sesungguhnya.” Jawabnya. Cukup lama aku terdiam mencoba mencerna ucapannya, kurasa aku tak melakukan apapun untuknya karena aku tak mengenalnya sama sekali.
“Apa maksudmu? Aku tak mengenal siapa dirimu. Dari mana kau tahu namaku?”
“Sungguh? Padahal kau selalu menemaniku saat aku hanyalah sebuah puzzle.”
Tuhan.. sebenarnya siapa pria ini? Kenapa pembicaraannya semakin membuatku tak mengerti, batinku menjerit sempat berpikir bule ini adalah orang gila.
“Bisa kau ceritakan perlahan padaku? Aku sungguh tak mengerti.” Aku menatapnya tajam agar aku tahu apakah dia berbohong atau tidak tapi sepertinya dia berkata jujur karena dia juga membalas tatapanku. Kedua telingaku telah kupasang baik-baik untuk mendengarkan penjelasannya tapi aku sulit percaya, dia berkata bahwa dia adalah puzzle yang sering kumainkan dan yang telah kulakukan adalah menjadikannya sebagai manusia sesungguhnya karena aku telah memberikan kuncinya. Kunci apa? Tanyaku dalam hati dan dia menjawabnya bahwa kepingan yang kutemukan itu adalah kuncinya. Ya, aku memang melihat sebuah kunci tergambar di kepingan puzzle yang hilang tapi mustahil jika puzzle itu bisa mengeluarkan manusia.
“Baiklah, jika kau tak percaya coba kau cek saja puzzle itu.” Ucapnya seraya mengendikkan bahu. Aku berderap menuju kamarku ingin memastikan.
KALUT! Puzzle ini benar-benar menjadi teka-teki bagiku, bukan hanya sebuah mainan. Aku terus mengerjap-ngerjapkan mata, khawatir aku salah lihat karena aku masih tak percaya ini nyata. Benarkah bule asing itu adalah puzzle yang tadi telah kususun sempurna?
“Bagaimana? Kau sudah percaya sekarang.” Tanya pria bule itu berdiri dibelakangku. “Kau menyusunku berulang kali hingga kau menjadikanku manusia sesungguhnya untuk menemanimu.” Lanjutnya membuat pikiranku semakin semrawut, tanganku yang gemetaran spontan melempar puzzle itu ke sudut ruangan hingga menjadikannya kepingannya berjatuhan dilantai berpikir pria itu akan hilang dari hadapanku namun pria itu masih ada di hadapanku tak juga menghilang.
“Itu percuma Grace, itu tak dapat mengusirku atau menghilangkanku karena kau telah menemukan kepingan yang hilang itu. Aku menemanimu karena keinginan oma-mu.”
“DIAM!” jeritku seraya menutup kedua telingaku, makin banyak dia berkata makin bermunculan teka-teki lain di pikiranku.
“Bangun Grace, bangun!” Aku terus membentur-benturkan kepalaku ke dinding berharap aku dapat keluar dari semua kemustahilan ini, dengan cepat tangannya menghalangi keningku dari dinding membuatku mendongak.
“Hentikan Grace, ini takdirmu.” Ucapnya seraya duduk di atas kasur bersamaku. Mendengarnya menyebut-nyebut takdir membuatku berpikir bahwa aku adalah orang yang bernasib buruk. Aku menoleh padanya berulang kali untuk menguatkan penglihatanku, bagaimana pun aku menganggap mustahil seorang manusia bisa terkurung dalam puzzle jadi aku mengira pria bule ini bukan manusia.
“Aku adalah warisan turun-temurun, kau juga tahu bahwa ayahmu benar-benar menjagaku dan mengatakan bahwa puzzle itu adalah benda pusaka. Dari semua cucu yang ada, oma hanya memberikan warisan ini padamu jadi aku disini untuk menemanimu karena oma-mu tak sempat menemanimu sejak kau lahir.”
“Oma...” ucapku seraya sesenggukan mengharapkan keberadaan oma. Bule itu mendekapku hingga kepalaku bersandar di dadanya yang bidang, di tengah tangis aku mendengar bunyi detak jantung yang tak normal, membuatku berpikir bahwa bule itu memang manusia. Aku menerima pelukannya hanya untuk memastikan bahwa bule ini bukan roh gentayangan, jadi setelah tahu dia benar-benar manusia, aku segera keluar dari pelukannya dan mendorongnya menjauh dariku.
“Sebenarnya kau siapa?” tangisku semakin menjadi-jadi karena memori otakku merangkum semua kejadian hari ini begitu mengacaukan pikiranku.
“Bukankah aku sudah menjelaskannya padamu tadi, atau kau bertanya tentang namaku?”
Aku menggeleng karena aku merasa sangat kacau.
“Kau bisa memanggilku Erby.” Lanjutnya seraya turun dari kasur. “Sepertinya kau butuh waktu untuk sendiri.” Bule itu keluar dari kamarku. Kejadian hari ini merobohkanku dengan sempurna perasaanku campur-aduk bagai es krim dicampuri sambal cabe, dingin juga pedas hingga air mataku sulit berhenti dan aku tak ingat kapan aku terlelap.
(Erby) Sepertinya Grace membutuhkan waktu sendiri. Ini memang mustahil, manusia muncul dengan tiba-tiba dari sebuah puzzle, dia pasti sulit menerima bahwa ini nyata. Bahkan aku sendiri pun masih belum percaya bahwa aku telah memasuki dunia yang sama dengan Grace. Terimakasih tuhan, kau izinkan aku untuk menemani Grace sebagai manusia. Aku berjanji takkan menyia-nyiakan kesempatan ini, aku akan menjaga Grace semampuku.
Sinar mentari yang menerobos kaca membangunkanku dari tidur, sebaiknya aku segera menyiapkan sarapan untuk Grace.
“Aaah..!” Aku merasakan sesuatu yang mengganjal di bawah punggungku, begitu aku terbangun, aku mendapati sebuah peti kecil. Kuangkat peti itu, bertanya-tanya sejak kapan peti itu ada di sana. Setelah aku membukanya, aku mendapati beberapa kartu di dalam peti itu. Aku mengernyit heran, kartu itu adalah ATM, KTP, SIM, dan juga kartu dosen. Dosen? Tanyaku dalam hati. Terdapat secarik kertas di dalamnya, dan isinya adalah jadwal mengajarku. Jadwalku hari ini adalah pukul delapan tepat, sedangkan sekarang jam menunjukan pukul 07.45.
Niatku untuk menyiapkan sarapan terlupakan begitu saja, aku segera melajukan motorku yang sudah tersedia di depan rumah Grace entah sejak kapan, hanya saja aku menemukan kuncinya di dalam peti kecil tadi. Tujuan pertamaku adalah cloth store, aku hanya memiliki ATM dan tak memiliki baju lain selain yang aku pakai. Karena terburu-buru, aku hanya membeli satu baju untuk kuliah hari ini saja.
Dengan kecepatan penuh, aku melajukan motorku agar tiba di kampus tepat waktu. Dalam perjalanan, aku sempat mengingat Grace. Aku tahu tadi dia belum juga keluar dari kamarnya, maafkan aku Grace. Kulihat lagi kartu dosen milik-ku, tadi pagi aku hanya membaca namaku dan aku tak tahu aku harus masuk fakultas apa. Tertera tulisan ‘Fakultas Hukum’ di kartu itu, aku pun segera mencari kelasku. Seisi kelas menatapku dengan tatapan yang berbeda begitu aku masuk. Segera kuperkenalkan diriku di depan kelas, karena aku adalah seorang dosen pengganti di fakultas ini.
(Grace) DAMN! Aku bangun kesiangan! Aku keluar kamar dengan mengendap-endap sebab bisa jadi bule misterius itu ada di luar kamarku aku lebih berharap dia tak ada tapi saat ketiadaannya sudah pasti, aku malah bertanya-tanya kemana dia pergi. Oh tidak! Ini bukan waktunya untuk memikirkan kejadian kemarin, kini lima menit lagi kuliah masuk sedangkan aku belum bersiap-siap aku pun bergegas membersihkan diri dan segera berangkat dengan perut kosong. Mataku terus menatap arloji berulang kali berharap waktu bisa berhenti sayangnya aku terlambat, dosen yang super disiplin itu tak mengizinkanku masuk kelas.
Kakiku melangkah menuju kantin untuk mengisi perut yang telah berdemo, hanya sepiring nasi goreng dan teh manis itu sudah cukup dan aku memakannya dengan lahap saking kelaparan. Seseorang duduk di hadapanku saat aku melahap sendok terakhir nasi goreng, aku mendongak perlahan mendapati bule misterius itu, Erby ada di hadapanku aku tak dapat mengatakan apapun karena mulutku penuh.
“Grace, kunyah.” Ucap Erby menyadarkanku yang sedari tadi mengulum nasi di mulut.
“Kau mengikutiku?” tanyaku setelah meneguk teh manis, dia menggeleng membuatku makin kesal.
“Aku juga kuliah di kampus ini Grace.” Ucapnya seraya mengendikkan bahu, kurasa bule ini berbohong. Segera aku berdiri dari tempat duduk, tak mau lagi berkomunikasi dengan orang misterius. Ya, sekarang aku telah menganggapnya manusia meski otak-ku masih kesulitan untuk memahaminya.
“Jangan ikuti aku lagi!” aku membentaknya hingga dia kembali duduk dan aku berlari menuju toilet. Sebelum masuk toilet langkahku berhenti mendengar suara yang tak asing, suara Vio dia tengah bercakap dengan menggunakan ponselnya.
“Kamu harus jelasin semuanya Dirga!” suara Vio begitu terdengar jelas meski aku belum masuk ke toilet, kini aku tahu Vio bercakap dengan siapa.
“Grace menderita gara-gara kamu, dia menangis semalaman.” Ucapan Vio memang benar namun tangisku tak sepenuhnya karena Dirga, kata-kata Vio tentang diriku menjadikanku seolah sangat terpuruk karena Dirga. Aku pun dari sana karena muak mendengarkan ucapan Vio yang lebih banyak bohongnya.
Setelah aku tak memiliki lagi seseorang yang dapat kupercaya, aku pulang seorang diri meski sering mendapati Vio melewati fakultasku aku lebih baik menunggu angkot dari pada harus ikut Vio, dia menjadikanku seolah terpuruk dengan ucapannya yang dibuat-buat pada Dirga, padahal aku tak ingin menjadi pacar Dirga lagi.
“Grace, mau pulang denganku?” satu suara di belakangku membuatku menoleh. ERBY lagi! Sebenarnya dia mau apa?
“Tak usah, aku bisa sendiri.” Jawabku dengan ketus.
“Oh baiklah, aku duluan.” Ucapnya seraya menjalankan motornya dari area parkir.
Sendiri aku berjalan menuju jalan raya, dan aku tercengang mendapati Dirga disana namun aku tak dapat bergerak pergi. FUCK!
“Grace, bisa kau dengarkan aku sebentar saja?” tanya Dirga menatap penuh harap.
Aku berpaling seolah tak ada siapa pun disana. Mataku menangkap Erby belum turun ke jalan raya. Dia menghentikan motornya lalu berbincang dengan seseorang, dengan cepat aku berlari ke arahnya masa bodo mau dibilang tak tahu malu atau apa, yang penting aku menjauh dari Dirga aku perlu membuktikan bahwa diriku kuat tanpanya.
“Kau belum pulang?” tanyaku sebisa mungkin mengatur napas usai berlari untuk menghampiri. Kulihat Erby mengernyit dan aku segera tersenyum lebar, memaksa wajahku agar beraut ceria.
(Erby) Kulihat Grace berlari ke arahku, lalu berdiri di hadapanku. “Ada apa Grace?” tanyaku pada Grace yang terlihat berbeda sikapnya. Aku melihat sosok pria bernama Dirga yang tengah berjalan ke arah Grace lantas Grace segera menaiki motorku.
“Kumohon, cepat pergi dari sini.” Bisik Grace padaku. Aku segera menstarter motorku, tiba-tiba saja aku merasakan sesuatu di pinggangku, tangan Grace melingkar disana membuatku agak gugup. Namun Grace melepas tangannya dari pinggangku setelah jauh dari kampus. Sepertinya dia melakukannya untuk menghindari Dirga. Kurasa Grace membenamkan kepalanya di punggungku dan menangis disana, aku mendengar dia sesenggukan. Ingin sekali aku menyeka air matanya, namun yang dapat kulakukan hanya memegang erat sebelah tangannya lalu melingkarkannya lagi di pinggangku.
Tiba di halaman rumah, tangis Grace mereda, dia berterima kasih padaku dan meminta maaf atas sikapnya.
“Tak apa Grace, aku tahu kau bersikap seperti itu karena sulit menerima kenyataan.” Ucapku seraya mengusap lembut kepalanya.
(Grace) Kenapa dia begitu ramah padaku? Padahal aku hanya tahu namanya saja. “Aku pulang, cepat masuk!” ucap Erby seraya tersenyum.
Mama belum juga kembali, dia pasti akan pulang minggu depan, sekarang yang kutunggu hanya ayah. Aku perlu penjelasan tentang puzzle itu. Tanpa kusadari aku mendesah karena belum mengerti misteri dibalik puzzle ini.
“Oma..” bisikku seraya mengusap puzzle.
“Dug! Dug! Dug!” aku terperanjat karena ada yang menggedor pintu rumah, aku segera berlari khawatir itu adalah ayah karena aku mengunci pintunya.
Klikk! Aku mendapati Erby di balik pintu dia tampak terengah-engah dan tiba-tiba saja mencondongkan tubuhnya padaku spontan aku melangkah mundur.
“Kau baik-baik saja?” tanya Erby seraya memerhatikanku dari ujung kaki hingga ujung kepala, aku mengangguk pelan seraya menatapnya heran. Melihat keringat yang menetes dari keningnya aku jadi tak tega mengusirnya jadi kuajak dia masuk untuk memberinya minum.
“Kenapa kau memanggilku?” tanya Erby setelah meneguk air.
“Siapa yang memanggilmu? Nomormu saja aku tak tahu.” Aku melipat kedua lenganku di depan dada.
“Kau memanggil oma-mu?”
“Ya, karena aku merindukannya.” Jawabku setelah mengingatnya.
“Itu berarti kau juga memanggilku Grace,”
What?! Sebenarnya apa maksud perkataannya? Memangnya dia oma-ku? Aku menatapnya geram tapi dia menatapku tenang membuatku memalingkan muka.
“Aku sudah sering memanggil oma-ku dari dulu tapi kau tak pernah datang.”
“Kau merindukanku?” tanya Erby seraya terkekeh membuatku makin jengkel padanya. “Aku sudah mengatakannya padamu Grace, aku hadir karena kau menemukan kepingan puzzle yang hilang, dan aku akan datang saat kau memanggil oma-mu.” Lanjutnya setelah tawanya surut, mendengarnya aku makin tidak mengerti. Kehadirannya malah menambah teka-teki saja.
(Erby) Meski sejak awal aku muncul dari rumah ini, tapi aku merasakan hal yang berbeda saat Grace membiarkanku masuk ke rumahnya.
“Sebenarnya kau siapa? Manusia atau bukan?!” tanya Grace tanpa basa-basi dengan nada bicara yang tinggi, kedua tangannya menutup telinga dan hampir menjambak rambutnya sendiri, dengan spontan aku menarik tangan Grace dan menggenggamnya erat.
“Grace, tak bisakah kau percaya padaku sedikit saja?” tanyaku menatap matanya kuat. Emosinya menyurut, lalu segera kutarik tangannya hingga menyentuh wajahku.
“Kau masih menganggapku bukan manusia?” tanyaku tanpa berpaling dari Grace. Dia hanya terdiam lalu segera menarik tangannya, kulihat pipinya memerah.
(Grace) “Aku hanya bingung tentang siapa dirimu yang tiba-tiba muncul di hidupku.”
“Tenang saja Grace, aku takkan mengganggumu.” Erby menepuk pelan ujung kepalaku.
“Lalu dari mana kau tahu namaku juga mantan pacarku?” Aku menoleh padanya menunggu jawaban.
“Kau menyimpan puzzle bersama diary-mu kan?”
Aku mengangguk meski timbul lagi tanya di benakku dari mana dia tahu aku menyimpan puzzle dengan diary-ku.
“Ya, karena itulah aku tahu namamu, bahkan aku tahu semua yang tertulis di diary itu.” Lanjut Erby membuatku terbelalak menatapnya.
“Kau pasti mengetahuiku dari oma.” Ucapku seraya mencibir.
“Bukankah kau akan merayakan anniversary-mu?” pertanyaan Erby meyakinkanku bahwa dia benar-benar tahu isi diaryku, FUCK!
“Untuk apa? Aku sudah putus dengannya.”
“Benarkah? Kurasa kau tak mengatakan itu padanya.” Erby menatapku seraya menopang dagu, bule ini tampan tapi benar-benar membuatku kesal!
“Bisakah kau tak membahas bajingan itu lagi? Aku sudah muak mendengarnya!” bajingan yang kumaksud adalah Dirga, aku benci meski hanya mendengar namanya tapi Erby terus berceloteh seolah sedang membaca keras isi diary-ku.
Aku menyerah, dia benar-benar tahu semua isi diary-ku yang tak kuketahui bagaimana caranya, aku berpura-pura bersikap masa bodo dengan terus melakukan pekerjaanku di dapur padahal hatiku tak henti memaki Erby.
Semua piring kotor telah kucuci bersih tapi Erby belum juga berhenti berceloteh tentang isi diary-ku membuatku menghampirinya penuh emosi. Tiba-tiba ponselku berdering, ayah menelponku, mungkin dia akan pulang.
“Ayah, apa kau pulang sekarang?” tanyaku tak sabar menunggu ayah.
“Ya, tolong siapkan menu favorit ayah. Oke?”
Aku menjawab ‘iya’ dengan ragu, ayah biasanya meminta ini pada ibu tapi kali ini aku yang harus memasak belut sebagai menu favorit ayah.
Dengan penuh rasa takut, aku mulai memasukkan belut yang telah dipotong ke dalam minyak panas. Spontan aku berteriak karena minyak mulai meletup-letup keras saat belut dimasak. Bukannya menutup penggorengan, aku malah melempar tutupnya saking kagetnya dengan ledakan-ledakan, bahkan aku tak berhenti menjerit. Segera kumatikan kompor tanpa peduli belutnya sudah masak atau belum, aku pun berlari menuju ruang tengah lalu bertabrakan dengan Erby yang sepertinya akan mengecek ke dapur.
(Erby) Teriakan yang terdengar dari dapur mendorongku bergegas kesana, khawatir terjadi sesuatu pada Grace. Belum sampai di dapur, Grace bertabrakan denganku. Kepalanya menghantam dadaku cukup keras, mungkin karena dia berlari dari dapur. Terdengar napasnya terengah-engah dan dahinya berkeringat.
“Ada apa?” tanyaku seraya menarik Grace dalam pelukan. Herannya, dia tak menjawab juga tak menghindari pelukanku. Mungkin dia tengah mengatur napas. Aku penasaran apa yang membuat Grace berteriak, tapi aku tak dapat memaksanya untuk berbicara saat ini, Grace berada di pelukanku saja, sudah membuatku agak tenang.
(Grace) Klik! Pintu rumah terbuka aku tak menguncinya karena Erby ada di dalam rumah, seketika itu aku menganga mendapati ayah berada di ambang pintu. Sialnya Erby malah mempererat pelukannya sementara ayah terus berjalan masuk namun aku tak melihat ada keterkejutan di muka ayah, yang kulihat ayah hanya membawa lelah. Ayah menghela napas panjang saat menatap Erby dan Erby mengangguk pelan, aku menunggu apa yang akan ayah katakan tapi dia tak mengatakan apapun, malah menepuk bahu Erby lalu pergi menuju kamar. Apa-apaan ini? Apa ayah mengenal Erby?
“Ayah!” teriakku, namun ayah meletakan telunjuknya di bibir memintaku untuk diam, lalu menutup pintu kamar dengan rapat.
“Apa ayah mengenalnya? Kenapa dia sama sekali tak terkejut?” bisikku pada diri sendiri.
“Ya dia memang mengenalku.” Ucap Erby yang mendengar bisikanku, aku menatapnya penuh tanya tapi dia hanya memberi senyum. “Syukurlah kau baik-baik saja, sekarang sudah ada ayahmu. Aku pulang.” Lanjut Erby seraya berjalan keluar, aku hanya mengangguk pelan. Baru beberapa langkah menuju pintu dia kembali lagi membuatku mendongak padanya karena dia bertubuh tinggi seperti ayah.
“Mau kuberi tahu mengapa ayahmu mengenalku?” tanya Erby membuatku mengangguk kuat dengan spontan, seolah anak kecil yang mengangguk saat ditawari permen lalu Erby mendekatkan kepalanya ke telingaku seraya berbisik: “karena aku jodohmu.” Aku terbelalak, tak percaya dengan apa yang kudengar.
“Good night Grace.” Ucap Erby yang tak kusangka dia mengecup pipiku secepat kilat lalu melesat pergi membuat emosiku meletup-letup hingga aku hampir berteriak.
“Sstt..!” Erby mendesis di ambang pintu, memberi isyarat agar aku diam seraya menunjuk kamar ayahku. Erby sialan! Aku merasa menelan telur bulat-bulat saat emosiku tak terluapkan, selain itu aku juga merasakan mukaku panas entah karena apa.