Usaha keras yang telah kami lakukan selama kurang lebih 4 bulan ini sebentar lagi akan dipertontonkan dihadapan orang-orang. Semoga saja semua mendapat sorak-sorai sebanyak usaha keras kami. Pagi hari di hari sabtu yang ceria ini, semua peserta lomba, serta Bu Cendana dan Pak Cahyo telah berkumpul di ruang kelas. Sesuai rencana, hari ini kami akan mempersiapkan beberapa finishing dari persiapan kami. Tak ada latihan hari ini. Para peserta yang mengikuti lomba di bidang olah raga terlihat sangat sibuk memilih pakaian yang akan mereka kenakan saat berlaga nanti di temani Pak Cahyo. Sebenarnya aku dan Calvin tak perlu hadir hari ini. Sebab kami tak perlu mempersiapkan pakaian untuk tampil nanti. Aku hanya akan tampil sekali ketika para juri mengajukan pertanyaan seputar latar belakang terciptanya novel karyaku, atau pertanyaan yang mengharuskanku mempromosikan karyaku itu. Begitu juga Calvin, ia hanya akan tampil sekali ketika mempresentasikan karya ilmiah yang telah susah payah disusunnya selama ini. Tapi Bu Cendana meminta kami hadir untuk membantu para peserta drama dan drama musikal mengecek segala keperluan, ditambah lagi Bu Cendana mendapatkan tugas tambahan untuk mengurus peserta vokal grup karena dosen yang bertanggung jawab sedang cuti melahirkan. Jadilah aku dan Calvin tumpuan Bu Cendana menunaikan seluruh tanggung jawabnya itu.
“Dengar semuanya….” Bu Cendana mulai mengumumkan sesuatu sambil berdiri meminta perhatian. “Ibu tahu selama ini kalian telah berusaha sangat keras. Terutama saat kalian harus mengimbangi latihan dan belajar. Ibu sangat berbangga atas itu. Ibu hanya ingin mengingatkan kalian satu hal, di mata Ibu kalian semua sangat layak mendapatkan juara pertama. Sebab, usaha kalian yang luar biasa selama ini. Jadi, jangan jadikan ini beban, ok… Tampillah senatural mungkin. Itu akan lebih baik.” Bu Cendana terlihat menarik napas dalam-dalam. Mungkin karena ia terlalu semangat mengutarakan kalimat-kalimat itu. “Satu lagi yang ingin ibu ingatkan.” Ia mengepalkan tangan dan memperlihatkan jari telunjuk sebagai isyarat angka satu dan penting. Sambil mengedipkan sebelah mata ia berkata “Jika kalian kalah, artinya mereka lebih baik dari kalian. Bukan karena kalian buruk.” Beliau lalu tersenyum manis penuh semangat diujung kalimat yang disambut dengan sorak-sorai kami semua, termasuk Pak Cahyo.
Ini lagi hal lain yang sangat kubanggakan dari dosen yang satu ini. Ia selalu bisa membesarkan hati kami kala kami sudah mulai frustasi dan putus asa. Ia yang bisa membuat kami menghadapi semuanya dengan hati dan pikiran yang tenang. Aku sangat setuju dengan ucapan beliau tadi. Sekuat apapun kainginan kami untuk menjadi juara umum tahun ini, tetap saja yang namanya kompetisi kalah menang seperti sebuah undian keajaiban. Dengan membuat kami semua tampil apa adanya, kurasa ia telah mengikuti kodrat manusia yang telah ditetapkan sang maha kuasa. Beliu sangat luar biasa.
“Malam ini kita makan malam di rumahku, yuk..” Kata Calvin ketika kami duduk santai di gazebo setelah kesibukan yang panjang untuk persiapan lomba tadi. Tentu saja aku sangat kaget mendengarnya.
“Di rumah Kakak?” Tanyaku memastikan.
“Iya. Aku ingin mengenalkan kamu ke Mama Papa serta Tanteku. Aku yakin mereka akan suka dengan kamu.” Untuk ukuran kalimat yang membuat tubuhku jadi panas dingin tak karuan, mulutnya terlalu lancar mengucapkannya.
“Tapi Kak, aku rasa aku gak bisa, deh…” Apa-apaan ini? Kalimat yang kulontarkan begitu bergetar dan gugup.
“Loh, kenapa? Kamu punya acara malam ini?”
“Gak. Bukan itu masalahnya. Aku cuma gak siap ketemu keluarga kakak.”
“Gak apa-apa. Kamu harus tahu, mama itu perempuan paling baik hati dan lembut sepanjang masa. Aku jamin, kamu akan merasa nyaman kalo udah ketemu.”
“Hmmm…. Aku benar-benar gak siap kak. Aku takut.”
“Kamu gak perlu takut. Aku janji, aku akan selalu ada di samping kamu. Gak bakal menjauh walau hanya sedetik.”
“Yakin, sanggup?”
“Iyalah…. Awas yah kalo ke toilet…. Udah janji gak bakal menjauh sedetikpun.”
“Gampang, tinggl bawa kamu ke toilet aja, kan?”
“Dasar mesum….”
“Kamu tuh yang mesum. Pikirannya pasti langsung aneh-aneh kan?” Calvin mulai terkekeh sambil menunjuk wajahku yang memerah dengan telunjuknya.
“Enak aja….” Aku berusaha terlihat cuek tapi tak berhasil menyembunyikan semu di pipiku.
“Ayo… ngaku aja.. kamu emang mikirnya apaan coba?” Ia masih terus berusaha menggodaku.
“Gak mikir apa-apa…. Kenapa sih dibahas mulu…?!”
“Tuh kan kesal…. Artinya kamu emang mikirin sesuatu yah…”
“Gak…”
“Iya.”
“Gak.”
“Iya.”
Kurasa tak ada gunanya mendebatnya. Makanya kupakai cara lain. Berpura-pura bete dan berdiri.
“Iya, iya. Kamu gak mikir apa-apa…” Akhirnya ia mengalah juga sambil menggenggam lenganku.
Aku duduk kembali ketika lenganku ditarik olehnya. Pedebatan kami tak lagi menjadi fokusku kali ini. Sebab perhatianku beralih pada lenganku yang masih digenggamnya. Kenapa ia tak segera melepaskannya? Padahalkan aku sudah duduk. Astaga… para penabu gendang dalam jantungku mulai meningkatkan ritme pukulannya. Rasanya seperti 6 kali lebih cepat dan kuat dari pada orang normal. Apa begini yang namanya jatuh cinta yah? Hati menjadi dag dig dug tak beraturan… Oh ya ampuunnn.. jika hal ini berlangsung lebih lama apa aku akan terkena serangan jantung? Oh jantung, tenanglah.. kumohon….
Seakan tak tahu jantungku yang memompa darah dengan ritme yang sangat cepat, ia hanya memandang ke arah lain namun tak berniat melepaskan genggamannya sama sekali. Oh penguasa alam semesta, apa yang sedang terjadi di sini? Apakah semua manusia mengalaminya? Perasaan indah yang membuat aliran darah menjadi kacau ini?
“Oh, ini yah yang namanya Cantika?” Seorang perempuan paruh baya dengan dandanan sederhana namun terkesan elegan dengan anting mutiara di kedua telinganya menyambutku dengan senyuman tenang dan teduh.
“Halo, Tante, saya Cantika…” kujabat tangannya dengan sopan sambil menunduk sedikit.
“Ayo masuk…” Ia mengarahkanku untuk mengikuti langkahnya masuk ke dalam rumah megah yang terlihat sepi ini.
Dengan langkah perlahan dan hati-hati kuikuti langkah wanita itu diikuti Calvin di belakangku.
“Tante udah nunggu kamu dari tadi, loh…” Ucapnya ketika ia mendudukkan diri di atas sofa mewah berna coklat yang terletak di tengah ruangan luas tak jauh dari pintu masuk.
“Maaf merepotkan tante…”
“Gak… gak ngerepotin sama sekali. Tante malah senang kamu mau datang.”
“Trima kasih…”
Beliau yang kuketahui bernama Cahyati memang benar-benar baik seperti cerita Calvin. Tutur bahasanya sangat lembut, geraknya pun gemulai. Sungguh ibu yang sempurna, untuk mendidik seseorang yang tidak pernah pakai rem kalau berbicara. Untuk seseorang yang langsung mengemukakan pendapat tanpa memikirkan perasaan orang lain. Eh, tapi itu justru nilai tambah untuk Calvin. Ia menjadi sosok yang natural memberi perhatian, mungkin karena tak dipikirkannya dulu.
“Makan malam sudah siap, Bu.” Ucap seorang perempuan yang kutaksir berusia awal 20_an dengan sangat sopan. Kalau dilihat dari penampilannya, mungkin ia adalah salah satu pekerja rumah tangga di rumah Calvin.
“Oh, terima kasih. Tolong panggil yang lain, ya….”
Kami bertiga lalu menuju ruang makan yang berada tepat sebelah ruangan di sebelah ruang tamu tempat kami duduk tadi. Kurasa ada yang aneh dengan rumah Calvin ini. Rumahnya lumayan besar dan luas, tapi furniturnya sangat kurang. Aku tak yakin mereka tak sanggup beli. Apa memang mereka suka design rumah yang kelihatan sepi ini?
“Hai Cantikaaa….” Suara familiar yang datang dari arah belakangku terdengar sangat akrab di telinga.
Segera kualihkan pandangan menuju datangnya suara. Benar saja. Bu Cendana. Tapi tunggu, apa yang dilakukannya di sini?
“Bu… Bu Cendana?!” kupandangi tiga orang itu bergantian.
“Iya, dia tanteku yang rese itu…..” Ucap Calvin cuek.
“Rese apanya? Mestinya kamu bangga punya tante seperti aku, Calvin…”
Entah apa lagi yang mereka perdebatkan tak begitu kuperhatikan. Aku masih sibuk menyambukan kabel-kabel di otakku untuk mencerna kalimat Calvin yang kudengar. Apa ia baru saja bilang kalau Bu Cendana adalah tantenya? Tante yang sering dikatainya rese itu?
“Jadi.. Bu Cendana itu tante Kak Calvin?!” Sebab terlalu asyik dengan pikiranku sendiri, tanpa sengaja kuucapkan kalimat yang mampu menghentikan perdebatan dua orang itu.
“Tentu saja.” Ucap Bu Cendana dengan nada ceria sambil merangkulku. “Calvin ini anak dari Kak Cahyati, Kakak kandung Ibu. Kebetulan yang luar biasa, kan?”
Wah, sungguh fakta luar biasa. Tak heran selama ini dua orang ini suka ceplas-ceplos kalau bicara. Ternyata memang mereka tante dan ponakan.
“Tapi, ini rahasia yah Cantika…. Gak boleh ada satupun orang di kampus yang tahu.”
Aku mengangguk. Tapi tunggu, aku teringat pada Pak Chairul. Dia sering berkoar-koar pada semua orang bahwa Calvin adalah keponakannya. Apakah memang beliau paman Calvin?
“Oh iya Bu, kalo Pak Chairul gimana? Dia paman Kak Calvin juga, kan?”
Ketiganya terkekeh mendengar pertanyaanku. Terutama Calvin. Ia bahkan terbahak mendengar itu.
“Loh, bukan yah?!” Ucapku salah tingkah.
“Bukannya bukan, Beauty, tapi belum…” Calvin mengucapkannya sambil melirik jahil Tantenya yang sedang pasang wajah Bete itu.
“Belum?! Berarti, Beliau adalah pacar……” Rasanya kata-kataku tertahan oleh sesuatu. Tak mampu keluar karena rasanya itu tak pantas kuucapkan.
“Iya, iya…. Pak Chairul adalah teman kencan Bu Cendana ini…” Calvin semakin terkekeh.
“Calvin… Kamu itu yah… Jadi ponakan kok durhaka sih?”
Baik Bu Cendana maupun Calvin, keduanya terus saling melontarkan argumen, tak ada yang mau mengalah. Sementara aku dan Mamanya Calvin hanya asyik menertawakan mereka. Saking serunya kami sampai-sampai tak ada yang menyadari seorang laki-laki paruh baya dengan setelan jas hitam sudah berdiri di samping meja makan.
“Oh, Papa… Udah lama?” Ucap Calvin begitu menyadari kehadiran papanya.
Canda tawa kami yang riang gembira terhenti seketika. Pandanganku tentu saja seperti yang lainnya terfokus pada sosok yang tidak kami sadari kehadirannya itu. Begitu tersadar sosok itu sedang memperhatikanku dengan seksama, secara refleks kulihat baju yang kukenakan dan kupegangi rambut dan wajahku. Apakah ada yang salah denganku? Kenapa papa Calvin memandangiku dengan tatapan menyelidik itu?
“Pa, kenalin, ini Cantika yang aku ceritain” Ucap Calvin menghentikan pandangan selidik papanya padaku.
Meski agak canggung dan tak nyaman dengan caranya memandangku tadi, tetap kusapa beliau dengan sopan, kutundukkan sedikit kepala dan mengucapkan namaku sekali lagi. “Saya Cantika, Om.”
Beliau mengangguk dan tersenyum lebar menyambut perkenalanku. Aku tak tahu ada apa dengan wajahku, tapi ketika beliau tersadar dari lamunannya tadi, beliau benar-benar ramah dan terlihat sangat baik padaku. Buktinya, suasana makan malam kami betigu penuh dengan kehangatan meski makanan yang kami santap telah dingin. Beliau bukan sosok pendiam dan arrogant seperti yang kupikirkan tadi, ternyata beliau sangat ramah dan humoris. Sungguh, tak butuh waktu lama untuk berbaur dengan keluarga Calvin. Terlebih lagi, tantenya adalah orang yang telah kukenal dengan baik.
Entah ini takdir atau kebetulan, tapi hidupku menjadi sempurna dengan begitu mudahnya. Seketika aku berpikir bahwa diriku ini egois. Betapa tidak, dikehidupan nyata, tanpa tersandung kerikil sebutirpun, aku sudah mampu berada di posisi ini. Posisi di mana bahkan papa dan mamanya Calvin sudah berniat datang menemui mama dan papaku. Sejauh yang aku tahu, tak seorangpun yang berhasil tiba di titik ini tanpa cobaan. Bahkan tokoh-tokoh dalam cerita yang sering kubuat, semuanya mendapatkan ujian cinta. Tapi, lihatlah diriku kini. Mulai dari berkenalan tak sengaja dengannya, menjadi dekat hingga diperkenalkan dengan orang tuanya, tak pernah sedetikpun kami bermasalah.
Sungguh, atas semua yang telah kupunyai kini, aku sangat bersyukur.
Hehe...
Comment on chapter 01. Pertemuan Tak TerdugaBingung cari judul..
jadi yah, yang lurus-lurus aja...