Kehidupan seorang publik figure tidak pernah sepi dari pemberitaan. Selalu ada saja topik menarik untuk dibahas mengenai kehidupannya. Mulai dari cara berpakaian mereka, cara bicara, penampilan mereka di atas panggung, atau bahkan kisah asrama mereka pun akan dibahas bila itu bisa menghebohkan dunia hiburan.
Selain membicarakan mengenai kehidupan para artis idol yang sedang populer, para pembuat berita juga suka mengulas kembali kejadian-kejadian yang sudah lewat untuk dibahas kembali. Membandingkan kejadian sebelumnya dengan yang terjadi sekarang, dan tentu saja itu mengundang komentar-komentar negative dan positif dari berbagai kalangan di luar sana, termasuk fans-fans yang menyukai dan membenci artis idol itu sendiri.
“Lagi-lagi mereka membahas insiden itu.” Yuju melemparkan ponselnya ke meja, sangat jelas kalau gadis itu tidak menyukai pemberitaan yang membicarakan kembali tentang insiden jatuh di atas panggung sewaktu di era promosi album ke dua mereka.
Seluruh personil Bfriend sedang berkumpul di ruang latihan sembari menunggu pelatih koreografer mereka datang. Sementara menunggu, seluruh member Bfriend menggunakannya untuk bersantai sejenak sebelum berjam-jam kemudian akan dibuat menderita oleh pelatih mereka untuk menghapal seluruh gerakan yang akan digunakan dalam lagu baru mereka nanti.
“Itu wajar bila mereka mengungkit kembali insiden itu.” Sowon sedikit menoleh pada Yuju, “kemarin kita melakukan comeback stage dengan menari di atas air, dan tentu saja itu mengundang pemberitaan dikalangan netizen.”
“Aku tahu, tapi aku tidak suka bila mereka masih saja membahas hal itu. Insiden jatuh bukanlah keinginan kita. Hanya orang tidak waras yang rela melukai dirinya sendiri untuk mendapatkan perhatian dari orang lain.” Yuju menyandarkan punggungnya di dinding, lalu menambahkannya lagi. “Kuberharap mereka berhenti membicarakannya.”
“Mereka akan berhenti bila sudah merasa lelah.” Yerin berkomentar sembari menikmati cemilan yang disediakan di ruang latihan.
“Jangan terlalu dibawa ke dalam perasaan komentar mereka. Anggaplah komentar-komentar itu sebagai hal yang akan memotivasi kita untuk memberikan hasil yang lebih baik lagi. Bukankah begitu?” Umji ikut memberikan pendapatnya
Eunha mengangkat jempolnya membenarkan pendapat Umji. Sementara Sinb hanya mengulas senyum seraya memperbaiki ikatan tali sepatunya. Menurut gadis itu, pemberitaan negative tidak perlu ditanggapi dengan kekesalan, cukup dibaca dan dijadikan sebagai tolak ukur untuk memperbaiki kualitas grup mereka. Soal komentar-komentar jahat yang memenuhi kolom komentar beritanya, anggap saja itu sebagai pukulan agar mereka lebih semangat lagi untuk membuktikan bahwa Bfriend meski hanya agensi kecil mampu bertahan di dunia hiburan yang jahat ini.
“Bahkan berita mengenai curhatan yang kulakukan berapa minggu yang lalu masih saja menjadi perbincangan terhangat di situs pencarian.” Sahut Yerin menunjukkan berita mengenai dirinya yang sempat mengatakan kalau koreagrafer lagu mereka begitu sulit dari pada grup idol yang lainnya.
“Lupakan saja berita-berita yang sedang terjadi diluar sana. Cah, kita fokus dengan latihan hari ini.” Sinb langsung berdiri dari posisi duduknya, berdiri diantara member Bfriend yang masih duduk di tempatnya masing-masing. “Aku tidak ingin apapun menganggu konsentrasi kalian selama latihan. Kalau kalian ingin membahas sesuatu, lakukan itu saat kita berada di asrama, jangan disini.” Imbuh Sinb yang sudah berjalan menghampiri pelatih yang baru saja datang.
Member yang masih duduk sudah terlihat berdiri pada posisi mereka masing-masing, menghadap ke arah cermin besar di depan mereka. Di sana juga ada pelatih yang akan menunjukkan gerakan-gerakan yang harus mereka pelajari hari ini.
“Apa kita sudah bisa memulainya?” tanya pelatih itu dengan suara yang begitu bersemangat.
“Ne!” balas member Bfriend tidak kalah bersemangatnya.
Kemarin mereka sudah menonton koreografernya lewat video yang dikirimkan manager mereka. Dan hari ini mereka akan memprakterkkannya, dan mungkin akan sedikit mengubah beberapa gerakannya. Dan Sinb yang memiliki posisi sebagai main dancer terlihat sangat menantikan sesi latihan koreagrafer ini. Selain Sinb, member yang juga tampak bersemangat adalah Sowon. Dalam hal menghapal koreografer baru, Sinb dan Sowon adalah member yang paling cepat menghapal dibandingkan dengan member yang lain.
Sesi latihan untuk koreografer mereka dimulai. Pertama melakukan pemanasan terlebih dulu untuk melepaskan otot-otot mereka. Disela-sela pemanasan yang dilakukan, selalu ada saja yang memicu suara berisik. Kalau bukan Yerin yang memulai, pasti Eunha yang menjadi tersangka berikutnya. Kalau dalam latihan seperti ini, Sinb lebih memilih diam untuk fokus pada latihan. Tetapi hari-hari berikutnya, gadis itu kadang kala akan membuat ruang latihan begitu ribut dengan suara gelak tawanya.
Setelah melakukan pemanasan, mereka pun memulai mempelajari gerakan secara bertahap dan tidak terburu-buru. Karena untuk bisa menghapal gerakan koreografer diperlukan proses yang begitu panjang dan tidak dilakukan secara cepat. Mereka harus mengulang-ulang kembali gerakan yang sudah diketahui mereka, lalu membuat aba-aba agar menyamakan seluruh gerakan yang dibuat, kemudian memberikan tantangan pada diri sendiri untuk bisa memahami dan mempelajari koreografer dengan cepat. Terakhir, jangan cepat puas dengan hasil yang sudah didapatkan.
Itu yang selalu ditanamkan oleh seluruh member Bfriend setiap kali mereka melatih gerakan-gerakan koreografer agar terlihat indah dan seleras dengan lagu mereka.
ù
“Ini tempatnya. Ayo masuk.”
Jungkook berhenti melangkah dan menatap gedung yang bertingkat di hadapannya. Pada papan nama yang tergantung di atas tertulis nama sebuah agensi yang sangat dikenal olehnya. Jungkook menarik sudut bibirnya saat mengikuti Jimin yang sudah masuk ke dalam gedung dan melewati meja resepsionis. Jimin terlihat menyapa wanita setengah baya di balik meja resepsionis, yang balas menyapa sambil tersenyum lebar.
“Untuk apa kita ke sini?” tanya Jungkook yang tidak mengerti kenapa Jimin mengajaknya ke agensi dimana Sinb adalah artisnya.
Ia dan Jimin bertemu tanpa sengaja saat ia mampir sebentar di sebuah café yang tidak terlalu jauh dari gedung ini. Mereka adalah teman lama sewaktu masih sekolah dulu, Jimin memilih menjadi seorang idol karena itulah impian lelaki itu sejak dulu, sementara ia sendiri memilih untuk melanjutkan sekolahnya setelah kelulusan mereka. Ini pertemuaan pertama mereka sejak satu tahun yang lalu, dan tentu pertemuaan ini menjadi kesempatan mereka untuk mengobrol banyak hal yang sudah mereka lewati selama perpisahan mereka. Jungkook sendiri tidak menyangka bila Jimin malah mengajaknya datang ke sini ketimbang mengobrol di café.
“Aku bekerja di sini, sebagai seorang pelatih vokal.” Ujar Jimin menunjukkan senyum kecil di wajahnya. Lalu sebelah tangannya mendorong pintu untuk lebih masuk ke dalam gedung.
Jungkook membalas ucapan Jimin dengan anggukan kepala, lalu terkekeh dan mengikuti Jimin menaiki tangga ke lantai atas. “Coba ceritakan bagaimana kau bisa berakhir menjadi seorang pelatih vokal, bukankah kau memiliki impian ingin menjadi seorang idol?”
Sebelum Jimin sempat menjawab, tiba-tiba terdengar suara terkesiap keras dari atas mereka, disusul bunyi keras. Mereka berdua serentak mendongak. Semua terjadi begitu cepat sehingga Jungkook sama sekali tidak melihat apa yang sedang terjadi. Sesuatu yang terjatuh dari atas, menubruknya dengan keras, membuat ia kehilangan keseimbangan dan jatuh berguling-guling, dan ia bisa mendengar suara teriakan.
“Jungkook!”
“Sinb!”
Jungkook masih sempat mendengar seruan Jimin yang memanggil namanya sebelum ia mendarat di lantai dengan kepala yang membentur sesuatu yang keras. Pandangannya mengabur sesaat dan kepalanya terasa sakit. Sesuatu yang tengah menindihnya membuatnya mengalami kesulitan bernapas dan tidak bisa berbicara.
“Jungkook! Kau tidak apa-apa?”
Jungkook mendengar suara Jimin yang cemas, tetapi ia tidak bisa menjawab. Ia butuh oksigen segera untuk membuatnya bisa bicara. Sesuatu yang ada di atas tubuhnya membuat seluruh oksigen terasa sulit untuk dihirup.
“Ya, Lee Sinb! Apa kau tidak apa-apa?” Suara seorang gadis terdengar disebelahnya, tetapi Jungkook tidak tahu siapa gerangan gadis itu. Dan perlahan-lahan ia merasa tubuh yang tengah menindisnya sudah menghilang, hingga dengan cepat ia meraup banyak-banyak oksigen.
Jungkook membuka matanya dan langsung menyadari apa yang sedang terjadi. Ia bisa lihat kalau ada beberapa gadis yang sedang mengerumuni seseorang yang terduduk di lantai. Mengecek keadaannya dan bersyukur karena orang itu tidak apa-apa. Sementara matanya memerhatikan yang ada di depan, Jimin yang ada di sampingnya berusaha untuk membantunya agar bisa duduk, dan ia menggerakkan tangan untuk menopang tubuh agar Jimin dengan mudah membantunya. Tetapi, rasa sakit yang tidak tanggung-tanggung langsung menyerang tangan yang dijadikan Jungkook untuk menopak tubuhnya.
Suara ringisan kesakitan yang keluar dari bibir Jungkook mendapatkan perhatiaan dari ke enam gadis dan juga Jimin yang ada di sana. Mereka serentak menoleh, mendapati Jungkook sedang memegangi tangan kanannya.
“Apa tanganmu sakit?” tanya Jimin terlihat khawatir
“Sepertinya. Kurasa kita harus ke rumah sakit,” ucap Jungkook sambil mengertakkan gigi menahan rasa sakit yang menusuk-nusuk di pergelangan tangan kanannya.
“Aku akan mengantarmu.”
Jimin membantu Jungkook untuk berdiri, lalu menoleh sebentar pada ke enam gadis di hadapannya. “Sebaiknya Sinb juga ikut bersamaku ke rumah sakit untuk memeriksakan kondisinya.”
Salah satu dari gadis-gadis itu mengangguk, lalu membantu Sinb untuk berdiri. Mereka pergi ke rumah sakit menggunakan mobil perusahaan setelah membuat Jeon Suk seketika berteriak saat Sowon memberitahukan soal Sinb yang jatuh dari tangga.
ù
Aluna menguap untuk kesekian kalinya, seolah sedang bersusah payah untuk mengumpulkan nyawa yang masih tertinggal di dunia mimpi. Jantungnya kembali terengah-engah dan ia berusaha keras mengerjap-erjapkan matanya. Cahaya mentari disertai angin yang sejuk menari-nari di korden kamar, seakan menyihirnya untuk tidak beranjak dari tempat tidur.
Aluna menatap jam yang ada di nakas samping tempat tidur. Sudah petang dan dia tidak berniat untuk keluar kamar. Ia masih lelah setelah seharian ini mengunjungi beberapa lokasi yang akan dijadikan latar dari pemotretan. Dan besok pun ia masih memiliki kegiatan untuk mempresentasikan rancangan yang akan digunakan dalam projek kerjasama antara dirinya dan perusahaan Kyuhyun. Ia berharap pertemuaan besok tidak akan bertemu dengan Aiden, karena lelaki itu juga termasuk dalam project ini. Ingatan pertemuan mereka kemarin masih begitu melekat di dalam otaknya, bagaimana lelaki brengsek itu begitu kukuh ingin tetap melanjutkan pertunangan mereka. Padahal dengan sangat jelas ia sudah menolak.
Suara pintu berderit memaksa Aluna untuk menoleh pada pintu kamar. Venus berjalan pelan menuju tempat tidurnya, menggeleng-gelengkan kepala melihat sahabatnya masih bermalas-malasan di dalam selimut.
“Aku sudah memanaskan makanan untukmu, cepat bangun dan segera isi perutmu.” Venus menarik selimut Aluna.
“Aku masih mengantuk, Ve.” Sahut Aluna, kembali membetulkan letak selimutnya hingga menutupi kepala.
“Tapi kau bisa sakit, Al.”
“Sepuluh menit lagi dan aku berjanji akan menghabiskan semua makanan itu.”
Venus mendesah, menatap Aluna yang ada dibalik selimut sambil mengangkat bahu.
“Ya, 10 menit sangat cukup untuk menelpon Orion. Aku tidak akan membantumu untuk berbohong padanya.”
Dengan gerakan cepat, Aluna menyingkap selimut yang membaluti tubuhnya begitu saja, lalu berkata dengan ketus sembari turun dari atas tempat tidur. “Aku makan sekarang.” Kemudian menyusul Venus yang sudah sampai di ujung pintu.
Gadis itu mengoceh tidak jelas sepanjang langkah kakinya menuju ke meja makan. Merasa kesal karena Venus yang selalu berhasil mengancamnya dengan menggunakan Orion. Venus tahu kalau ia begitu benci mendengar omelan Orian yang begitu panjang, dan tidak akan berhenti sebelum ada orang yang menghentikan omelan lelaki itu. Sejak dulu, Orion adalah orang yang paling disegani oleh Aluna. Tidak tahu kenapa, menurut Aluna sendiri Orion sosok orang yang menakutkan baginya. Apalagi saat lelaki itu marah.
“Mereka menunda presentasi besok pagi menjadi siang dengan alasan Kyuhyun memiliki urusan yang mendadak,” ungkap Venus seraya menata makanan di atas meja. Aluna memandang wajah oval Venus dan mengerang tertahan. Ia benci melakukan presentasi saat siang hari. Sejak dulu ia selalu menghindarinya. Menurutnya, melakukan presentasi saat siang hari hanya akan menghasilkan sesuatu yang percuma. Bukannya mereka memperhatikan dia yang sedang di depan, mereka akan lebih cenderung mengabaikan, sibuk dengan kegiatan masing-masing, atau bahkan akan ada yang terlihat bosan.
“Urusan sepenting apa hingga Kyuhyun harus menunda presentasi itu.” Ucap Aluna memberengut.
“Mereka tidak memberitahukan detail alasan penundaannya.” Sahut Venus mengalihkan pandangannya menatap Aluna yang sedang mengambil gelas dengan wajah yang masih memberengut.
“Dan mereka mengatakan kalau presentasi besok akan dihadiri Aiden Lee sebagai pengganti kehadiran Kyuhyun.”
Aluna nyaris tersedak. Mata membulat dengan tatapan tidak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya. Bagaimana bisa Kyuhyun menyuruh Aiden menggantikannya untuk berada dalam presentasi besok. Apa lelaki itu benar-benar ingin membuatnya kesal dengan membiarkan Aiden berada di sana? Oh Tuhan, cobaan apalagi yang ingin kau berikan. Tidak cukupkah dengan yang terjadi kemarin?
Aluna meletakkan kembali gelas yang dipegangnya di atas meja, mendesah gusar memikirkan apa yang akan terjadi besok harinya. Dan untuk pertama kalinya,seorang Aluna tidak ingin menghadiri pertemuaan dengan klien.
“Aku tidak akan menggantikanmu untuk melakukan presentasi besok.” Sahut Venus cepat, sebelum Aluna menyampaikan arti tatapan gadis itu padanya. “Lakukan sendiri, kau pasti bisa melakukannya.”
“Aku tidak bisa melakukannya.” Kesal Aluna. Lalu meletakkan kepalanya di atas meja dan menghadapkan wajahnya pada Venus. “Bertemu dengan Aiden sesuatu yang ingin kuhindari.”
“Tapi kenyataan untuk bertunangan dengannya tidak bisa kau hindari.” Imbuh Venus yang beriringan dengan tawa kecil di bibirnya.
Aluna menyipitkan kedua matanya, menatap Venus yang terkikih di depannya. Venus memang tahu kalau Aiden Lee adalah calon tunangannya, dia pun tahu kalau lelaki itu seseorang yang dulu pernah menyakitinya. Tidak ada satu pun yang tidak diketahui oleh Venus tentang hidupnya. Dan sekarang ia merasa menyesal menceritakan segalanya pada gadis itu bila tahu akan mendapatkan ejekan seperti ini.
“Kau sangat menyebalkan!.” Kata Aluna mencebik kesal pada Venus yang belum juga menghentikan kikihannya.
“Aku tahu. Tapi ini sangat menyenangkan.”
“Menyenangkan dari mana? Aku malah terlihat menderita saat ini.”
Venus terlihat tersenyum lebar. “Sejak mengenalmu, aku tidak pernah melihatmu sekacau ini hanya karena seorang lelaki di masa lalumu. Biasanya kau orang yang paling berani, tidak pernah peduli dengan apa yang akan terjadi kedepannya. Dan semua ini membuatku bisa melihat sisi lain dari dirimu yang tidak pernah kutahu. Disitulah letak menyenangkannya.”
Aluna mengangkat wajahnya dari atas meja, merengut menatap Venus seraya berkata. “Aku benci mengakuinya, tapi kehadiran Aiden kembali membuat sebagian ketegasanku mendadak hilang.”
“Itu karena kau masih mencintainya.”
“Aku tidak…”
Ponsel Aluna bergetar di samping piring kosong di atas meja, memunculkan satu nama yang seketika membuat kedua mata gadis itu terbelalak.
“Siapa?” tanya Venus, ingin tahu.
“Apa Aiden menelpon mengajakmu keluar?”
Aluna melototkan kedua matanya ke arah Venus, lalu menjauhkan ponsel dari Venus yang sejak tadi melirik ponselnya dengan kecepatan menakjubkan.
“Tentu saja, ini bukan Aiden.” katanya sembari bergegas menuju kamar. Gadis cantk itu terus berjalan masuk ke dalam kamar, tanpa peduli dengan kata-kata Venus dibelakangnya. Ia hanya ingin cepat-cepat mengangkat telepon dari Harry menjelaskan apa yang terjadi dan sesegera mungkin mengakhir pembicaraan mereka yang akan berujung pria paruh baya itu akan memarahinya. Sungguh, ini akan menjadi perdebatan pertama diantara dirinya dan juga ayahnya itu.
“Hallo Dad?” Sapa Aluna begitu benda mungil itu menempel ditelinganya.
“Apa yang terjadi dengan pertemuaan kalian kemarin?” mendengar pertanyaan Harry yang seperti itu, membuat Aluna langsung berpikir kalau Aiden pasti sudah memberitahukan soal penolakannya.
Aluna mendesah, merasa kalah cepat bila memang Aiden sudah memberitahukan masalah itu pada keluarganya. Sepertinya pembicaraan ini tidak akan berakhir dengan singkat seperti yang dipikirkannya tadi.
“Aku tidak menyukainya.” Ucap Aluna dengan nada yang tidak suka. “Dia tidak sesuai dengan kuinginkan.” Kali ini Harry merasa kalau putrinya sedang berkata bohong padanya. Warasnya, tidak akan ada seorang gadis yang bisa menolak pesona seorang Aiden Lee. Mungkin Harry tidak begitu tahu bagaimana kehidupan lelaki itu, tetapi ia yakin kalau diluar sana begitu banyak gadis yang menginginkannya.
“Tidak ada alasan untuk menolak pertunangan itu, Aluna.”
“Kenapa? Kenapa aku tidak bisa menolaknya? Selama ini aku selalu mengikuti semua perjodohan yang dibuat olehmu, aku tidak pernah membantahnya, atau pun mengeluh ketika Jeremy mengkhianatiku. Lalu kenapa sekarang aku tidak boleh membantah keinginanmu. Aku punya pilihan, dan aku tidak ingin bertunangan dengan lelaki itu.”
“Maafkan aku, Aluna. Tetapi pertunangan ini tidak bisa dibatalkan dengan begitu saja. Ini menyangkut harga diri keluarga kita. Aku sudah terlanjur janji pada keluarga Lee untuk menjodohkan putriku dengan putranya. Aku harap kau mengerti itu.”
“Aku tidak ingin mengerti lagi, sudah cukup semua pengertianku selama ini demi harga diri keluarga. Tidak bisakah kali ini kita mengabaikan itu, hah?”
Aluna bisa mendengar kalau diseberang sana Harry sedang menarik napas panjang. Memberikan jeda pada pembicaraan mereka yang belum juga menemukan siapa yang akan mengalah.
“Aluna?” suara Orion tiba-tiba saja terdengar, yang sontak membuat Aluna yang masih menunggu Harry untuk berbicara kembali tampak melebarkan matanya saking terkejutnya. Mungkinkah Orion berada di samping Harry saat pria itu berbicara dengannya? Pikir Aluna yang belum terdengar menjawab panggilan Orion.
“Al? Apa kau masih di sana?”
“Mm…aku masih di sini. Daddy – “ Aluna terlihat ragu untuk melanjutkan kalimatnya, takut bila nanti Orion mengatakan kalau ayah tercintainya sedang marah padanya. Semoga saja hanya marah, ia tidak berharap kalimat terakhirnya akan membuat Harry mengalami serangan jantung setelah mendengar permintaan putrinya ini.
Harry memiliki riwayat penyakit jantung lama, yang sewaktu-waktu bisa kambuh dan membuat pria itu harus dilarikan ke rumah sakit. Aluna tidak menginginkan itu terjadi. Tetapi kalimat yang baru saja dikatakannya bisa memungkinkah Harry untuk mengalami syok dan berakhir dengan serangan jantung.
“Beliau di sampingku,” sahut Orion memotong perkataannya, yang seketika membuat Aluna merasa bersalah bila apa yang dipikirnya terjadi. “Daddy tidak apa-apa.” Kata Orion lagi, dan itu membuat Aluna bernapas lega.
“Tapi, Al, apa kau yakin dengan keputusanmu untuk mengorbankan harga diri keluarga kita dengan keegoisanmu?”
Aluna mendesah kembali. Ia sebenarnya tidak ingin mengorbankan harga diri keluarga Leonidas dengan keegoisannya. Melukai sesuatu yang selama ini dijaga oleh keluarga mereka adalah sesuatu yang tidak akan pernah dilakukan oleh Aluna. Keluarga Leonidas sudah begitu baik padanya, menerima kehadirannya ditengah-tengah keluarga mereka dengan tangan terbuka. Menjadikannya sebagai anggota keluarga yang memiliki adil dalam keluarga itu. Dan Aluna akan merasa jahat bila membuat keluarga itu sampai menangung malu hanya karena dirinya yang tidak ingin dijodohkan dengan Aiden.
“Aku akan menerima pertunangan ini bila lelaki itu bukan Aiden Lee. Kau pun tahu siapa lelaki itu. Kuharap kau pun mengerti kenapa aku menolaknya.”
Tidak ada tanggapan. Hanya ada suara samar yang terdengar dari sana. Tidak lama setelah itu, suara Harry kembali terdengar.
“Kalau memang keputusanmu sudah tidak bisa diubah lagi, aku akan membatalkan pertunangan kalian.”
Kalimat itu bukan membuat Aluna senang, melainkan merasa bersalah sudah membuat pria yang disayanginya itu harus melakukan sesuatu yang selama ini tidak pernah dilakukannya. Harry selalu menepati janjinya, dan hanya karena keegoisannya yang tidak menginginkan pertunangan itu membuat dia harus mengingkari janjinya.
“Aku tidak ingin menambah luka dihatimu.” Harry kembali berkata, Aluna hanya diam membisu mendengar kerelaan ayahnya demi kebahagiaannya. Rasa bersalah di dalam hatinya kian bertambah.
“Besok, aku akan menelpon –“
“Tidak perlu, Dad!” Sela Aluna cepat. Ia tidak akan membiarkan Harry melukai harga dirinya dengan meminta maaf atas pembatalan pertunangan ini. Ia tidak ingin Harry sampai mengingkari janjinya. Aluna mendesah, berusaha menyakinkan dirinya bahwa keputusaan yang akan diambilnya memang sudah seharusnya. Ia sangat menyayangi keluarga Leonidas seperti keluarganya, dan ia pun sangat menyayangi Harry meski pria itu bukan ayah kandungnya.
“Aku akan bertunangan dengan Aiden.” Ucap Aluna dengan helaan napas panjang yang keluar dari bibirnya. Lalu berkata lagi. “Tapi dengan syarat pertunangan kami tidak akan diketahui oleh orang lain, cukup kedua keluarga saja yang tahu.”
“Apa kau yakin?” tanya Harry, memastikan ucapan Aluna.
“Seyakin bagaimana aku tidak ingin membuatmu kecewa, Dad.”
“Maafkan aku, Al. Dan terima kasih karena sudah mengertiku.”
“Seharusnya aku yang berterima kasih padamu, kau sudah menerimaku di dalam keluarga ini, memberikanku begitu banyak kebahagiaan yang tidak pernah kubayangkan akan kudapatkan setelah rasa sakit yang kualami. Apa yang kulakukan sekarang tidak seberapa dengan apa yang kalian lakukan untukku dulu.”
“Al?” itu suara Orion,
“Aku tidak bisa berbicara lama lagi, masih ada pekerjaan yang menunggu untuk segera diselesaikan.Sampaikan salam rinduku untuk Mommy dan Romeo. Aku menunggu kedatangan kalian untuk menyusulku.”
Aluna memutuskan sambungan telepon. Kemudian kedua matanya menatap pada cermin yang ada di depan seraya berbicara pada bayangannya sendiri.
“Tidak apa mengalah demi kebahagiaan orang lain, terlebih orang itu adalah keluargamu sendiri. Karena terkadang, mengalah tidak seburuk yang apa yang dibayangkan. Kau cukup menerima kekalahan itu dengan hati yang besar, maka kedepannya nanti kau bisa melaluinya dengan senyuman.”
Aluna mencoba menguatkan dirinya. Bahwa keputusannya baru saja sudah yang paling tepat diambilnya. Tetapi keputusan itu tidak akan mengubah kebenciannya ke pada Aiden dan juga keluarganya. Tidak akan pernah!
ù
Aiden Lee keluar dari elevator sesaat setelah ponselnya berbunyi. Ia memperhatikan sekitar, lalu melihat jam tangannya sekilas. Ini sudah larut malam, untuk apa Aluna menelpon dijam seperti ini. Tanpa menunggu lama, Aiden menjawab panggilan teleponnya.
“Sebuah kejutan k –“
“Kau berada di mana?” tanya Aluna menyela perkataan Aiden. Aiden bisa mendengar kalau gadis itu tampak terburu-buru berbicara.
“Baru saja sampai di apartement. Apa kau –“
“Temui aku di Onion Café. Kuberikan waktu 15 menit untuk mengganti pakaian. Jangan lupa memakai topi dan maskermu.”
“Untuk ap –“
Panggilan telepon sudah terputus. Aiden melihat layar ponselnya yang menggelap dengan kebingungan. Ia senang karena Aluna yang pertama kali menelponnya, dan ia juga heran kenapa gadis itu mengajaknya bertemu di café.
Tidak ingin memusingkan sesuatu yang tidak diketahui jawabannya, Aiden kembali melanjutkan langkahnya menuju apartement miliknya.
ù
Sebuah café unik yang berada dikawasan Seongsu-dong tampak begitu ramai. Café ini terkenal dengan coffee dan pastrynya. Onion café sendiri terdiri dari dua lantai yaitu indoor dan outdoor. Pada bagian outdoornya yang berada dilantai dua sering digunakan pengunjung untuk nongkrong sambil menikmati angin sepoi-sepoi yang berhembus.
Seorang gadis sedang duduk sendiri sembari menikmati flat white dan sugar –coatednya. Menu makanan yang dipesan oleh gadis itu sebagai teman menunggu seseorang yang belum datang. Ia sudah hampir 30 menit duduk di sana, menunggu dengan erangan-erangan kecil sembari sesekali melihat ke arah tangga, berharap orang yang ditunggunya segera muncul di sana.
“Apa lelaki itu tidak memiliki jam?” gerutu Aluna mengetuk-getuk meja dengan jari-jarinya. Sudah terlalu bosan menunggu.
“Awas saja kalau lelaki itu sudah di sini, jangan harap aku ak –“
“Akan apa?” tanya seorang Aiden yang tiba-tiba muncul dari arah belakang. Dengan santai dia membelai rambut Aluna sebelum duduk dengan satu senyuman yang ingin sekali Aluna lenyapkan dari wajah sok ketampanan itu.
“Kau terlambat 15 menit.” Sergah Aluna sinis
“Aku tahu,” ujar Aiden, lalu tangannya dengan cepat merampas cangkir di tangan Aluna, kemudian menyesap minuman itu dengan nikmat. “Waktu yang kau berikan begitu singkat, tidak cukup untuk membersihkan diri. Kau tahu bukan, kalau tubuhku ini memerlukan –“
“Aku menyuruhmu kesini bukan untuk mendengar bualanmu.”
Alis Aiden terangkat, lalu mengangguk sekilas. “Aku akan mendengarkan apa yang ingin kau katakan.” Sahutnya meletakkan kembali cangkir di atas cawannya.
“Aku akan bertunangan denganmu,” ujar Aluna, mata gadis itu memerhatikan raut wajah Aiden yang tampak terkejut mendengarnya. “Tapi dengan satu syarat,”
“Apa syaratnya?” tanya Aiden cepat, tanpa sadar tubuhnya sudah tercondong ke depan.
“Pertunangan hanya dihadiri kedua keluarga, tanpa ada sahabat, dan rekan kerja.”
“Kyuhyun sahabatku, dan dia juga sepupumu. Apa dia tidakkan diundang?” tanya Aiden menunggu
“Awalnya aku tidak ingin mengundangnya, tetapi fakta bahwa dia keluarga asliku membuatku tidak memiliki pilihan lain selain mengundangnya.”
“Apa yang membuatmu tiba-tiba menyetujui pertunangan ini? Kau tahu sendiri, setelah pertunangan dilaksanakan, sebulan kemudian kita akan menikah. Apa kau tidak takut menikah dengan orang yang kau benci?”
Aluna mendengus terkejut mendengar Aiden tahu soal kebenciannya. Gadis itu memasang wajah tidak peduli, seolah tidak terkejut mendengarnya. Lalu ia berkata. “Aku lebih takut menerima kekecewaan ketimbang menambah lukaku lagi. Aku sudah pernah terluka, dan untuk merasakannya lagi sepertinya tidak menjadi masalah.”
Kali ini Aiden yang dibuat terkejut dengan jawaban Aluna barusan. Tidak menyangka bila gadis itu secara terbuka memberitahukan luka dihatinya. Itu membuat Aiden merasa bersalah.
“Maa –“
“Jangan mengatakan maaf, itu menyakitiku.” Potongan Aluna dengan tatapan tajam. Jika kemarin ia berusaha untuk menghindari tatapan Aiden, kali ini gadis itu dengan berani membalas tatapan Aiden padanya. “Kalau begitu sampai bertemu besok siang. Aku harap kau bisa menjaga sikapmu selama pertemuaan besok. Aku tidak ingin siapapun curiga soal hubungan kita.”
Aluna beranjak dari kursinya, lalu melangkah pergi. Tetapi baru dua langkah, suara Aiden dan lengan lelaki itu sudah menahan langkahnya. Aluna membalikkan tubuhnya, memandang pada Aiden yang melangkah mendekat ke arahnya. Membuat spasi diantara mereka hanya ada satu inci.
“Kuharap keputusanmu tidak akan pernah kau sesali. Kau tahu kalau aku sangat keras dan tidak akan pernah melepaskanmu meski kau menangis meminta untuk dilepaskan dari hidupku. Aku sudah sekali kehilanganmu, dan aku tidak akan membiarkan itu terjadi lagi.” Aiden meremas lengan Aluna, membuat gadis itu sedikit meringis kesakitan.
“Bagiku, semua tentangmu sudah lenyap dari pikiranku. Aku sudah tidak mengenalmu sebaik dulu lagi, jadi jangan berharap kalau aku menerima kehadiranmu di dalam hidupku karena aku sudah membuka hatiku. Sampai kapanpun aku tidak akan membuka pintu itu lagi untukmu.”
“Aku tidak mengharapkan apapun. Bagiku, dengan kau ada di sini, sudah cukup dari apa yang kuharapkan.”
“Baguslah kalau kau sadar.” Dengan sekali hentakan, Aluna melepaskan lengannya dari tangan Aiden. Gadis itu berjalan tanpa menoleh, ketukan sepatu yang membentur lantai café perlahan-lahan tidak terdengar lagi. Hanya menyisahkan aroma kayu dan aroma aneka bunga yang kompleks, serta aroma musky yang begitu segar dan hangat.
Aroma ini seketika membuat Aiden berimajinasi tentang hal manis, wangi yang membuatnya tiba-tiba membayangkan kembali keromantisan dulu saat bersama dengan gadis itu. Sudut bibir Aiden tertarik, bergumam dengan jelas bahwa ia sangat merindukan pemilik aroma ini.
ù
“Apa yang kulakukan?” Sinb menatap Jungkook yang duduk di hadapannya dengan raut wajah bersalah. Ia tidak menyangka bila kecerobohannya malah membuat orang lain harus terluka.
“Kau tidak perlu khawatir. Ini hanya cedera biasa, dua minggu lagi akan sembuh dengan sendirinya.” Jungkook berusaha untuk menghibur Sinb agar tidak terlalu merasa bersalah dengan tangannya yang terkilir.
“Tapi tetap saja, aku ikut adil dalam patahnya tanganmu.” Desah Sinb, kedua telapak tangannya sudah menutup seluruh wajahnya, mengutuk dirinya yang begitu ceroboh. Seandainya saja ia bisa memperhatikan tali sepatunya yang sering lepas, mungkin insiden jatuh dan membuat tangan Jungkook patah tidak akan terjadi.
“Apa kau begitu merasa bersalah padaku?” tanya Jungkook, tangannya yang tidak diperban meraih pergelangan tangan Sinb, meminta agar gadis itu menunjukkan wajahnya. Sinb menurunkan telapak tangannya dari wajah, lalu menatap wajah Jungkook yang menunjukkan senyum mengembangnya. Tidakkah tangannya terasa sakit? Kenapa lelaki ini malah tersenyum seolah cedera yang dialami bukan sesuatu yang perlu dia pusingkan.
Sinb mengangguk, mengiyakan pertanyaan Jungkook. Melihat Sinb yang menganggukan kepalanya, senyuman Jungkook semakin melebar.
“Kalau begitu kau bisa menembus rasa bersalahmu dengan menjadi tangan kananku. Bagaimana?”
Sinb menelan ludah diam-diam. Merasa terkejut dengan permintaan Jungkook barusan. Bagaimana bisa ia menjadi tangan kanan lelaki itu sementara dia sendiri terkadang tidak pernah peduli dengan keadaan sekitarnya.
“Kalau kau ragu, tidak perlu dipaksakan.” Imbuh Jungkook bisa melihat keraguan di wajah gadis itu.
“Tidak, bukan seperti itu. Aku bisa saja menjadi tangan kananmu, tetapi apa yang harus kulakukan untukmu?”
“Itu masalah gampang,” kata Jungkook, lalu, “Simpan nomor ponselmu di sini, aku akan menelpon bila aku membutuhkanmu.”
“Baiklah, tetapi aku tidak bisa menjamin akan selalu ada ketika kau membutuhkan. Aku sedang sibuk mempersiapkan comeback, dan biar kuingatkan, aku sangat benci diganggu dijam-jam tertentu.”
“Seperti?”
“Saat aku tidur, saat latihan, saat makan, dan saat aku belajar. Jangan pernah mengangguku saat itu.”
Jungkook mengangguk, menyangkupi syarat itu. “Kalau bisa kau memulainya sekarang.” Katanya seraya mengulurkan tangan agar Sinb membantunya.
“Kurasa kedua kakimu masih begitu sehat dan normal untuk digunakan berjalan dan pergi dari sini.” Tidak ada lagi wajah ramah yang ditunjukkan Sinb pada Jungkook, wajah tanpa ekspresi itu mendelik seraya berlalu meninggalkan tempatnya berdiri.
Sementara Jungkook hanya terkekeh kecil melihat tingkah laku Sinb yang kadang terlihat ramah, kadang terlihat dingin, dan kadang pula mengemaskan. Kedua mata Jungkook teralih pada Jimin begitu punggung Sinb sudah menghilang dari pandangannya.
“Ceritakan padaku,”
“Apa?” tanya Jimin bingung
“Tentang dia, Lee Sinb.”
“Apa kau tertarik padanya?”
“Mm, sejak pertemuaan pertama kami. Aku sudah meletakkan hatiku untuk mencintainya.”
Awalnya Jungkook tidak yakin dengan apa yang sedang dirasakannya. Ragu pada rasa yang sering datang tanpa permisi memenuhi hatinya, yang setiap kali berdesir tiap kali gadis itu berada dalam jangkuannya. Ingin selalu berada dalam tatapannya, mengenali setiap ruang sisi kepribadiannya yang selalu berubah-ubah, namun membuat Jungkook terpesona. Jungkook menyukainya, segala hal yang ada pada diri gadis itu ia menyukainya. Hingga tanpa sadar, ia selalu lupa dengan letak takdir diantara mereka.
ù
Lee unji hehe nice story :)
Comment on chapter Fate