?? ) Fate
Tidak ada kehidupan yang sempurna. Semua butuh proses untuk mencapai sebuah kebahagiaan. Entah, bagaimana caranya. Itulah yang selalu dipikirkan lelaki tampan yang memiliki marga Lee ini. Kehilangan gadis yang dicintainya membuat hidup lelaki itu berubah 180 oC dari yang dulu.
Aiden Lee. Itulah nama lengkap lelaki itu. Dia memiliki lingkar mata yang tidak terlalu besar, namun menyiratkan sebuah ketulusan. Hidung mancung yang dilengkapi dengan bibir tipisnya melahirkan lekuk senyuman yang begitu manis. Sangat tampan! Entah sudah berapa banyak pujian yang diterima setiap harinya. Bahkan, saat semasa kuliah dulu, dia salah satu lelaki populer di kampus, dan juga sering suka menganti-ganti pasangan.
Itu dulu, sebelum dia bertemu dengan seorang gadis yang telah mencuri perhatiaannya. Seorang gadis yang telah memenangkan hatinya, membuat dia berhenti untuk menjadi seorang lelaki brengsek dan mengubah pola pikirnya tentang bagaimana hidup ini.
Ya, hidup yang selama bertahun-tahun dijalaninya dengan penuh kemewahan, membuat dia menjadi lelaki sombong dan menganggap segala hal bisa diselesaikan dengan uang. Bahkan, dia pernah berpikir kalau semua gadis-gadis yang mendekatinya hanya menginginkan uangnya saja. Tapi, gadis yang telah mencuri perhatiannya itu berbeda. Dia gadis yang sangat polos, begitu polos hingga selalu membuat dia merindukannya.
Aiden melangkah mendekati tepian jendela apartementnya, menatap jauh keluar sana sembari memikirkan gadis yang sampai sekarang masih mengisi hatinya.
Cho Eun Ji nama gadis itu. Pemilik mata warna hitam yang selalu berada di balik kacamata tebal yang menghiasi wajah polosnya. Hidung mancung yang disertai dengan bibir tipis yang selalu melahirkan lekuk senyuman yang begitu manis sekaligus memesona. Rambut panjang warna coklat yang tidak pernah terlihat terurai, namun terlihat lucu dan mengemaskan dengan dua kepangan. Semua kesederhanaan Eun Ji membuat Aiden menyukainya. Kepolosan dan keluguan yang dimiliki gadis itu merupakan daya tarik yang tidak banyak orang tahu. Sikap keibuannya membuat Aiden merasa nyaman saat berada di samping Eun Ji.
Kini, semua hal tentang Cho Eun Ji, perasaannya, dan juga hubungan mereka telah berakhir. Semua karena kesalahan dan kebodohannya. Dia telah melukai perasaan Eun Ji, membuat gadis itu menangis hingga pergi meninggalkannya disaat rasa cinta itu mulai tumbuh di dalam hatinya. Katakan dia adalah seorang lelaki yang brengsek, meski dia memang sejak dulu sudah menjadi lelaki brengsek, tapi untuk kesalahan ini, Aiden memanglah sangat keterlaluan. Bagaimana tidak, lelaki itu telah menancapkan satu tusukan tepat di dada Eun Ji, bibir tipis yang selalu mengucapkan sejuta rayuan itu telah melemparkan kata-kata yang langsung membunuh Eun Ji seketika itu juga, Aiden berkata dengan tanpa pertimbangan di depan teman-temannya, bahwa Eun Ji hanyalah boneka untuk menyelesaikan semua tugas-tugas kuliahnya, dan juga, Aiden hanya ingin bersenang-senang dengan kepolosan Eun Ji.
Sungguh, Aiden tidak pernah memiliki maksud untuk melukai perasaan Eun Ji. Apalagi, membuat gadis itu menangis. Semua kata-kata itu keluar begitu saja dari mulutnya tanpa berpikir jika Eun Ji akan mendengarnya.
Oh Tuhan, betapa dia sangat menyesali semua itu. Dia tak bersungguh-sungguh saat mengatakannya, semua kata-kata itu terlontarkan karena teman-temannya membuat dia tidak memiliki pilihan lain untuk menyelamatkan harga dirinya sebagai lelaki populer di Universitas yang terkenal sebagai lelaki penakluk gadis-gadis cantik. Disaat kabar hubungannya bersama Eun Ji diketahui oleh teman-temannya, Aiden tidak tahu harus bersikap bagaimana, dan akhirnya, kata-kata itu keluar dari mulutnya dan menghancurkan segalanya.
Dia menyesal!
Menyesal hingga menghukum dirinya sendiri.
Aiden mengernyitkan kening sejenak, ketika kenyataan bahwa dia telah kehilangan cintanya karena kesalahan dan kebodohannya sendiri.
“Tapi apa alasan Eun Ji pergi?” kalimat tanya itu terbersit dalam pikirannya.
Aiden hingga sekarang belum juga menemukan jawaban atas pertanyaannya ini. Dia benar-benar bingung dengan alasan yang mendasari Eun Ji pergi, memilih untuk menghilang dari kehidupannya, dan lebih membingungkan tidak ada satu pun orang mengetahui keberadaannya.
Dari apa yang dikatakan oleh Song Neul, sahabat dekat Eun Ji. Dia mengatakan kalau Eun Ji tidak pernah mengatakan apa pun padanya, selain rasa kecewa dan rasa sakit hatinya akibat perkataan Aiden.
Tapi,
Itu bukan sepenuhnya alasan yang sebenarnya. Ada sesuatu yang telah dirahasiakan oleh Eun Ji darinya. Bahkan, ketika Aiden mengunjungi rumah Eun Ji di Busan, ternyata keluarga mereka sudah lama pindah, dan tetangga di sekitar rumah mereka tidak ada tahu di mana keberadaan keluarga itu dan semua itu membuat Aiden bingung.
Apa hanya karena perkataannya yang telah membuat Eun Ji memilih untuk menghilang? Ataukah ada hal yang telah terjadi dengan gadis itu? Hingga memilih untuk pergi tanpa meninggalkan jejak sedikit pun.
ù
“Apa kau akan menikahinya?” pertanyaan itu terlontar begitu saja dari bibir Hyuk Jae pada lelaki yang sedang berdiri di depan jendela apartement dengan mata yang memandang jauh ke luar sana.
Lelaki yang berdiri itu adalah Aiden Lee. Seorang putra pewaris perusahaan terbesar di Korea Selatan. Sebuah perusahaan yang bergerak di bidang periklanan, perhotelan dan juga beberapa pusat perbelanjaan terbesar yang tidak kalah besarnya dengan pusat perbelanjaan lainnya. Lelaki itu terlihat ingin membuka mulut untuk mengatakan sesuatu, tetapi campuran atas dari kemarahan dan ketidakpercayaan menahan kata-katanya.
Aiden masih ingat setiap kalimat yang di katakan oleh ibunya saat di ruang perpustakan kemarin. Wanita paruh baya itu mengatakan dia harus menikahi seorang gadis yang merupakan putri dari sahabatnya yang saat ini tinggal di Boston. Ia tidak percaya dengan sikap ibunya yang seolah-olah apa yang di katakannya merupakan hal yang lumrah.
“Kau harus menikahinya. Eomma tidak peduli jika kau tidak mencintainya, mulai sekarang dia adalah Bulu Domba Emas bagimu.” seperti itulah kalimat yang di katakan oleh ibunya kemarin. Itu terdengar sangat gila. Wanita paruh baya itu tak mau mengerti perasaan anaknya, dia selalu beranggapan kalau putranya bisa melakukan apapun yang di hendakinya. Termasuk menyuruh ia menikahi seorang gadis yang tidak pernah dijumpainya sama sekali.
Sebenarnya tidak ada yang salah dengan permintaan itu, hanya saja, sampai saat ini ia belum memiliki niat untuk mencari gadis lain sementara hatinya masih mengharapkan seseorang untuk kembali dalam hidupnya. Dia masih menunggu Cho Eun Ji, satu-satunya gadis yang diharapkannya kelak akan dinikahinya setelah dia meluruskan kesalahpaman mereka dan meminta maaf atas kesalahannya.
Dia tidak ingin mengkhianati perasaannya terhadap Eun Ji dengan memenuhi permintaan ibunya, tapi dia juga tidak mungkin membuat ibunya bersedih dengan penolakannya. Lalu apa yang harus dilakukannya saat ini?
“Yang harus kau lakukan adalah berhenti memikirkan gadis itu, dan mulailah untuk menerima hati yang baru.” Suara Hyuk Jae terdengar menjawab pertanyaan Aiden yang tanpa sadar telah disuarakannya. Lee Hyuk Jae, lelaki itu beranjak dari kursi sofa yang didudukinya, berjalan menuju dapur dan menuangkan kopi ke dalam cangkir kosong di tangannya.
“Ini sudah lima tahun lamanya, tapi kau masih menunggu gadis itu untuk kembali. Apa kau tidak pernah berpikir jika gadis itu sudah menikah dan memiliki seorang anak?” lanjut Hyuk Jae berjalan kembali ke arah ruang duduk, “umur kalian sudah tidak bisa dibilang muda lagi, umur kita sekarang adalah umur dimana seharusnya kita sudah menikah.” Tambahnya sebelum bibirnya menyesap kopi hitam yang diambilnya tadi di dapur.
Aiden menarik napas panjang sebelum menjawab. Ia memang sudah pernah memikirkan hal seperti ini. Kemungkinan kalau Cho Eun Ji sudah hidup bahagia bersama dengan keluarga kecilnya. Tapi, entah mengapa, meski ia berpikir seperti itu, hatinya tetap saja mengharapkan gadis itu akan kembali padanya. “Aku akan percaya bila melihatnya sendiri,” akhirnya ia mampu berbicara “karena sampai sekarang hatiku masih menginginkannya.”
Salah satu alis Hyuk Jae terangkat, mengamati wajah Aiden yang tampak sedang menahan kekesalannya. Dia tahu, kalau saat ini saudara sepupunya itu tengah mengalami kebingungan, antara melepaskan cintanya ataukah menerima perjodohan yang sudah direncanakan. Jika dia memilih untuk tetap bertahan dengan perasaannya, maka dia harus rela melihat ibunya terluka. Namun, jika dia memilih untuk melepaskan perasaannya, itu berarti penyesalan akan selalu menghantui hidupnya.
“Lalu?” seolah kalimat tanya itu sudah dapat dimengerti oleh Aiden sendiri
“Eomma tipe wanita yang tidak pernah mau menarik kata-katanya, kalau dia sudah berkata seperti itu, aku pun tidak tahu harus berbuat apa untuk membuatnya mengubah keputusaannya.”
Aiden sangat tahu bagaimana tabiat ibunya itu, sekali beliau berkata A semua akan tetap menjadi A, tak pernah berubah menjadi B. Karena memang sejak dulu apapun yang dikatakan ibunya itu harus dilaksanakan dan tanpa mau menerima bantahan. Dan berbicara soal pertunangan yang rencanakan oleh wanita tua itu tanpa sepengetahuannya, membuat Aiden begitu kesal dan marah. Ia tak habis pikir dengan jalan pikiran wanita itu yang selalu mengatur kehidupannya.
“Boleh aku memberikan saran?”
Mendengar Hyuk Jae akan memberikan saran, Aiden langsung membalikkan tubuhnya. Menghadap ke arah Hyuk Jae.
“Sebaiknya kau menerima perjodohan ini. Sebagai seseorang yang sangat mengenal bagaimana tabiatnya, aku tidak membenarkan kau menolak permintaannya. Kita sama-sama tahu kalau selama ini kendali atas semua kehidupanmu ada ditangannya. Jika kau menolak, apalagi sampai melukai perasaannya, maka sampai kapanpun kau tidak akan bisa menemukan gadismu.”
Aiden menghela napas. Apa yang dikatakan Hyuk Jae benar. Segala kendali atas kehidupannya ada di tangan ibunya. Sejak ayah meninggal, ibunya yang mengganti posisi kepala rumah tangga. Gadis tua itu telah banyak berkorban demi keluarga mereka, bahkan sejak gadis itu masuk ke dalam dunia bisnis, Aiden tidak pernah melihat ibunya menikmati hidupnya lagi seperti dulu saat ayahnya masih ada bersama mereka.
Kim Kyang Suk, nama ibunya. Gadis yang telah melahirkannya ke dunia ini dengan mempertaruhkan nyawanya. Lalu haruskan ia membuatnya kecewa?
“Aku tahu kau tidak mungkin setega itu mengabaikan permintaannya hanya untuk seorang gadis yang belum tentu kembali. Ingat Aiden, penyesalan yang paling terbesar di dalam hidup ini adalah saat kita tidak bisa memenuhi keinginan orang yang kita sayang. Apalagi, jika itu adalah keinginan terakhirnya.”
Mau tidak mau apa yang dikatakan Lee Hyuk Jae barusan membuat keteguhan di dalam hati Aiden mulai goyah untuk menunggu, ada perasaan ragu untuk melanjutkan keinginannya untuk menunggu Eun Ji kembali, sadar bahwa apa yang sedang dilakukannya hanyalah sebuah hal sia-sia yang belum tentu menemukan titik terangnya.
Ditatapnya Hyuk Jae dengan ragu, bibirnya terlihat ingin mengeluarkan satu kalimat namun lelaki itu kembali menutup bibirnya dan malah berbalik menatap kembali pemandangan di luar jendela.
Dia bingung.
Tidak tahu bagaimana harus mengambil keputusan yang terbaik untuk hidupnya.
Haruskah serumit ini untuk menemukan kebahagiaan untuk hidupnya? Betapa ingin hati mempercepat proses ini, karena terkadang rasa lelah mulai datang menyapa dan membuat ketegaran perlahan-lahan menjadi kerapuhan.
ù
Daun maple yang merah, bau tanah basah dan jalanan hitam. Sesekali angin berhembus kencang menggugurkan sebagian dedaunan dari pohon. Matahari bersiap pulang ke peraduannya, tetapi gadis itu masih di sana. Sibuk mengukir pensil tajamnya diatas kertas putih saat deringan ponsel menganggu konsentrasinya. Sedikit mengerang dan mengumpat sebelum gadis itu mengangkat panggilan itu dan meletakkan ponsel ditelinganya.
“Cepatlah pulang! Semua menunggumu di rumah sekarang.” Setelah itu terdengar bunyi sambungan terputus yang menandakan kalau sambungan telepon sudah di putuskan secara sepihak oleh penelpon.
Gadis itu sontak kesal dengan apa yang di lakukan oleh ibunya barusan. Wanita paruh baya itu menelpon hanya untuk menyuruhnya pulang cepat. Tidak tahukah gadis itu kalau saat ini dia sedang menyelesaikan pekerjaannya sebelum keberangkatan besok. Dia tidak mungkin meninggalkan pekerjaannya, membiarkan menumpuk, dan kemudian membuatnya mengalami sakit kepalanya karena tenggat waktu desainnya selesai harus tertunda. Dia juga tidak ingin menerima komentar jahat dari beberapa perusahaan yang menggunakan desain pakaiannya.
Dengan gerakan malas, gadis bernama Aluna itu segera merapikan kertas-kertas skestanya. Lalu memasukan kedalam sebuah tas untuk di bawanya pulang, setidaknya dia bisa menyelesaikan pekerjaan ini di rumah, walau dia tidak bisa menjamin kalau ibunya akan membiarkan ia bekerja dengan tenang menyelesaikan gambar rancangan ini.
Setelah memastikan semua sudah terisi ke dalam tas, Aluna keluar dari ruangan dan berjalan turun ke bawah, kebetulan butik miliknya berlantai dua. Bagian bawah semua khusus untuk semua pakaian rancangan, sementara bagian atas khusus untuk kantornya. Saat berada di bawah, Aluna bertemu dengan sahabat yang merangkap jadi asisten pribadinya sejak ia memutuskan untuk menjadi designer.
Venus William. Satu-satunya sahabat yang dimilikinya.
Benar. Hanya Venus sahabat sekaligus orang yang paling dekat dengannya. Sejujurnya, diluar sana ada begitu banyak yang ingin menjadi teman dari seorang Aluna Leonidas. Hanya saja, Aluna tidak pernah memperlihatkan keramahannya di depan semua orang yang ditemuinya.
Siapa pun yang mengenal Aluna, hal pertama yang akan mereka katakan tentang gadis itu adalah Aluna Leonidas seorang gadis yang keras kepala, menyebalkan, dan sangat susah untuk diajak bekerja sama. Karena Aluna adalah seorang designer yang terlalu banyak keinginan dan tidak bisa diatur oleh orang lain, makanya dia tidak memiliki teman dekat selain Venus.
Namun itu hanyalah alasan saja. Yang sebenarnya adalah Aluna tidak pernah mempercayai siapa pun disekitarnya. Selain keluarga dan Venus, dia tidak akan mudah percaya oleh apa pun. Aluna memang harus mengakui kalau didalam dirinya masih ada bentuk ketakutan untuk mempercayai orang, semua karena ingatan masa lalu yang membuat ia tidak bisa mempercayai orang yang ingin dekat dengannya. Masa lalu yang sampai sekarang masih selalu menjadi mimpi buruk baginya, masa lalu yang menyimpan luka teramat dalam di hati, luka yang belum sembuh, luka yang masih basah dan takkan pernah mengering seiring dengan waktu yang telah berlalu. Karena sampai kapanpun ia tak akan bisa melupakan bagaimana lelaki itu menyakitinya.
Mungkin untuk memaafkan dia bisa melakukannya, tetapi untuk melupakan, dia tidak akan bisa. Lelaki itu telah menorehkan luka di dalam hatinya, sandiwara yang dilakukan oleh lelaki itu telah sukses menghancurkan hidupnya, berkat kebohongan lelaki itu, dia harus kehilangan banyak hal.
Aluna tersenyum miris saat memikirkan kembali rasa sakit yang diciptakan oleh kebodohannya sendiri. Bahkan sampai sekarang dia masih menjadi gadis bodoh yang belum bisa melupakan perasaannya pada lelaki bermarga Lee itu. Ia masih mencintainya dengan hatinya yang masih terluka, baginya lelaki itu merupakan cinta pertama yang begitu sulit untuk dilupakan.
Sulit dilupakan meski waktu sudah berjalan selama lima tahun sejak perpisahan itu.
“Yah, sulit dilupakan hingga membuatmu selalu melamun disetiap ada kesempatan,” kata Venus setelah sekian lama membiarkan Aluna menyelesaikan lamunannya. “Kau tahu, hampir lima belas menit lamanya aku menunggumu selesai melamun, dan selalu menjadi bahan lamunannya adalah kenangan menyakitkan itu. Apa kau tak pernah lelah untuk memikirkannya? Bukankah kau mengatakan kalau itu begitu menyakitkan bila kau mengingat lagi tentangnya? Lalu kenapa kau masih sering mengingatnya, wahai tuan putri?” cibir Venus mengejek Aluna
“Andai aku bisa mencegah otakku untuk berpikir tentang kenangan itu, mungkin aku akan berusaha untuk melakukannya, tapi sangat disayangkan sekali, kepala ini,” ucap Aluna sembari menunjuk kepalanya, “tidak bisa diajak bekerja sama. Kau tahu kenapa? Karena aku bukan penciptanya. Jika aku adalah penciptannya, mungkin aku akan melakukan programmer pada intinya agar tidak lagi memikirkan kenangan itu.”
Venus tertawa beberapa detik sebelum berkata sesuatu yang membuat senyum manis itu seketika menghilang. “Apa kau akan baik-baik saja dengan keputusaan kita yang akan berangkat ke Seoul? Aku memang tidak tahu banyak tentang masa lalumu di sana, tapi aku cukup mengerti bagaimana perasaanmu selama ini.”
“Huh…, untuk apa kau mengkhawatirkan perasaanku? Aku baik-baik saja. Sekalipun aku tidak pernah menyukai rencana ini, aku tetap harus melakukannya, bukan? Lagipula sudah saatnya bagiku untuk keluar dari tempat persembunyian ini. Aku tentu tidak bisa berlama-lama menghindarinya. Apa yang akan terjadi disana nanti, aku rasa…”
“Kau lagi-lagi berbohong untuk menutupi perasaanmu. Apa dengan kau mengatakan baik-baik saja hatimu pun merasakan hal yang sama? Kau salah Luna, kau akan terlihat buruk bila beranggapan seperti itu.”
Aluna menghembuskan napas panjang, menarik sedikit bibirnya. “Ya, kau benar. Aku memang tidak bisa berkata baik-baik saja dengan masa lalu yang ada, bukan, dengan segala yang akan terjadi kedepannya. Jika aku ingin jujur, aku tidak menginginkan pertemuaan dengan orang-orang di masa laluku.”
“Lalu apa yang akan kau lakukan?”
“Aku hanya bisa berdoa semoga tidak akan pernah bertemu dengan mereka di sana.”
“Aku pun mengharapkan hal itu. Cah, apa sekarang kau berencana untuk pulang?” Tanya Venus seraya melirik benda yang melingkar di tangan kirinya, “bukannya tadi kau mengatakan akan menghabiskan waktu di butik untuk menyelesaikan pekerjaanmu?”
“Tadinya memang begitu, sebelum Jennifer Leonidas menelpon dan menyuruhku untuk cepat pulang karena mereka sedang menungguku.” Venus bisa mendengar nada kesal dalam kalimat yang dikatakan oleh Aluna barusan. Gadis itu memang acap kali kesal setiap orang menganggunya disaat bekerja.
“Apa kau baru saja membuat ulah lagi?”
“Andai aku bisa berbuat ulah untuk membuat keluarga itu berhenti mengusik kehidupan pribadiku, aku akan senang hati melakukannya tanpa siapapun yang menyuruhnya.”
“Apa mereka masih menginginkan perjodohan itu?”
“Mereka sudah tak lagi memikirkan soal perjodohan yang sudah dibatalkan sebulan yang lalu, saat ini mereka sedang berusaha untuk menjodohkanku dengan putra dari sahabar Harry Leonidas. Dan kau tahu lelaki apa yang kali ini mereka jodohkan denganku?” Venus menggeleng, “Lelaki asia!.”
“Kupikir mereka akan berhenti untuk menjodohkanmu dengan putra rekan bisnis mereka, tapi ternyata ini malah lebih parah dari sebelumnya.”
“Kau benar, ini lebih parah dari mengetaui jika Jeremy memiliki gadis lain dibelakangku sebulan sebelum tanggal pertunangan kami ditetapkan. Aku cukup bersyukur karena Tuhan masih menyayangiku dengan memperlihatkan kebenarannya. Tapi kali ini, aku tidak tahu apa yang akan terjadi untuk menyelamatkan hidupku dari perjodohan ini.”
“Mungkin kali ini pilihan Harry Leonidas tidak akan sama seperti sebelumnya, mengingat perjodohan ini putra dari sahabatnya sendiri, yang tentu saja ia sudah mengetahui watak dan sifat dari lelaki yang akan menjadi tunanganmu.”
“Kita akan lihat seberapa baiknya pilihan Harry kali ini. Tapi, aku berharap rencana ini hanya rencana konyol yang tidak akan benar-benar terjadi.”
Venus hanya mengangkat kedua bahunya, menandakan kalau ia pun tidak tahu.
ù
Pintu gerbang kokoh itu terbuka saat Aluna menyembunyikan klakson mobil beberapa kali. Gadis itu mendesah kesal melihat beberapa mobil mewah terparkir tepat di depan halaman rumahnya yang megah itu.
“Sampai kapan mereka akan berpesta?” gumamnya sambil berdecak kesal. Setelah memarkirkan mobilnya dengan aman, Aluna meraih tas tangan dan tas bawaanya yang berisi beberapa skesta gambar rancangan yang belum selesai dibuatnya tadi di butik.
“Selamat malam! Nona muda.” Ucap seorang bodyguard begitu ia keluar dari mobil. Lelaki yang berbadan kekar itu membungkuk sekilas untuk memberi hormat padanya.
“Selamat malam, John.” balas Eun Ji dengan nada terkesan ramah
Lelaki yang di panggil John itu tersenyum samar saat mendengar Aluna memanggil namanya. Sangat jarak seorang majikan mau membalas sapaan bawahannya, apalagi memanggil namanya.
“Sepertinya Romeo sedang membuat pesta lagi, John.” itu bukan pertanyaan, melainkan pernyataan, pikir John. Sepertinya Aluna sangat tidak menyukai kelakukan adiknya yang selalu melakukan pesta hingga larut malam. “Kedua orangtuaku berada di mana?”
“Di rumah kaca, Nona muda. Bersama dengan Tuan Muda Orion.”John menjawab masih dengan menundukkan kepalanya. Enggan untuk menatap mata Eun Ji yang selalu menatap lawan bicaranya dengan tatapan tajam mengintimidasi. Kadang tatapan mata Eun Ji bisa terlihat mengintimidas, tapi kadang pula bisa terlihat teduh. Tergantung bagaimana suasana hati gadis itu.
“Sial! Ternyata Orion berada di rumah. Kapan dia kembali dari Canada?”
“Sore tadi bersama dengan tunangannya Clasia. Mereka sepertinya akan menginap di sini malam ini.”
Aluna menarik napas panjang, lalu menatap ke arah cahaya lampu dari rumah kaca yang berada di samping rumah. “Sepertinya aku harus menemui mereka sekarang, John.”
“Ya, sepertinya memang begitu.”
Akhirnya dengan enggan Aluna menyeret kakinya melangkah masuk ke dalam rumah kaca. Tidak jauh dari pintu, ia bisa melihat dan mendengar kalau ada tiga orang yang tengah asyik berbincang begitu serius, di antara mereka tidak terlihat keberadaan Clasia. Itu berarti, gadis glamor yang suka menghabiskan uang kakaknya sedang berada di pesta Romeo. Tidak mengherankan, jika gadis itu lebih memilih menghabiskan waktunya di pesta ketimbang berbincang dengan kedua orang tua tunangannya.
Ia sangat benci dengan gadis seperti itu.
“Aluna Leonidas?” suara bass, namun syarat akan peringatan itu membuat Aluna mendesah pelan sambil melangkah masuk ke dalam. Duduk di antara ibu dan juga Lelaki yang memanggilnya tadi.
Orion Leonidas! Kakak tertua di dalam keluarga Leonidas.
“Bagaimana pekerjaanmu akhir-akhir ini, apa semuanya berjalan dengan lancar?.”
“Begitulah, semua berjalan dengan sangat lancar sebelum Mommy menelponku menyuruhku untuk segera pulang karena ada yang ingin dibicarakannya,” Aluna melirik sekilas pada wanita paruh baya yang duduk disampingnya. Sementara wanita yang diliriknya hanya mengulum senyum meminta maaf karena sudah menganggu pekerjaan putrinya.
“Jadi, apa yang ingin kalian bicarakan denganku? Apa ini sesuatu yang sangat penting?” tanya Aluna menatap secara bergantian ketiga orang itu.
“Sangat penting” jawab Harry Leonidas, ayah Aluna “Kudengar, besok kau akan berangkat ke Seoul?”
Aluna menganggukan kepalanya.
Harry mengeluarkan selembar kertas dari dalam saku kemeja. Meletakkan lembaran itu di atas meja tepat di hadapan Aluna.
“Temui calon tunanganmu.” Sahut Harry menatap raut wajah putrinya yang tampak bingung. Melihat itu, Harry menambahkan lagi. “Aku sudah mengatur pertemuaanmu dengannya di sebuah restaurant agar kau bisa lebih mengenalnya, sebelum acara pertunangan kalian dilaksanakan.”
Aluna mendengus, menebak jika perbincangan ini memanglah mengarah pada perjodohannya dengan lelaki asia itu. Ternyata, rencana yang dianggapnya hanyalah kekonyolan telah berubah menjadi kebenaran.
Dengan bibir yang tersenyum sinis, Aluna meraih kertas di atas meja. Memperhatikan setiap angka yang tertuliskan di kertas itu. Lalu, wajahnya terangkat menatap Harry yang terlihat serius.
“Apa aku harus menemuinya?” Aluna bertanya sembari mengangkat kertas di tangannya ke udara. “Bukankah ini tidak terlalu terburu-buru?” sebelah alisnya terangkat
“Tidak. Semuanya sudah dipikirkan dengan matang-matang. Kau harus menemuinya, dan membicarakan pertunangan kalian.”
Aluna terdiam untuk beberapa saat, kedua mata hitam itu terfokus pada kertas di tangannya. Lagi-lagi ia tidak bisa membantah keinginan Harry untuk menjodohkannya. Entah sudah keberapa kali hal ini terjadi dalam hidupnya selama tiga tahun terakhir ini. Setiap hal yang dikatakan oleh Harry seolah magic yang langsung membungkam mulutnya untuk tidak mengatakan protes. Alih-alih ingin mencoba untuk membantah, ia malah berakhir menyetujuinya.
“Kalau sudah yakin dengan pilihan ini, maka aku bisa apa untuk menolaknya, bukan begitu Orion?”
“Jangan meminta pembelaan dariku,”
“Ey, siapa juga yang ingin mendapatkan pembelaaan darimu.” Balasnya dengan sinis.
“Jadi?” pertanyaan itu keluar dari mulut Harry.
Dengan bibir yang dipaksakan untuk terbuka, Aluna berkata dengan suara yang pelan. “Menemuinya, apalagi..”
“Jangan dibuat beban, Al. Aku tidak ingin kau sakit karena memikirkan rencana ini.” Kali ini suara lembut Jennifer membuat Aluna langsung menatap ibunya.
Aluna melukiskan seutas senyuman kepada beliau, mengerti kalau wanita itu pasti mengkhawatirkan kesehatan psikologisnya yang belum benar-benar sembuh. Sebelah tangan yang bebas terulur meraih telapak tangan ibunya, lalu mengenggamnya dengan erat, sementara Jenniffer tampak mengusap kepala Aluna.
“Apa kalian tidak ingin memberitahukan nama lelaki itu?” Aluna kembali menoleh pada ayahnya, saat mengingat jika sejak tadi lelaki itu belum menyebutkan nama lelaki yang akan menjadi tunangannya.
Harry berdeham sesaat sebelum mengatakan sesuatu kepada Aluna. “Kau akan tahu namanya setelah kalian bertemu.”
Ini bukan jawaban yang pasti. Aluna menduga kalau saat ini ayahnya dan juga kedua orang di kedua sampingnya ini sedang menyembunyikan sesuatu darinya. Apa yang terlihat sekarang tidak seperti dulu sewaktu mereka menjodohkannya dengan Jeremy, Harry pun terlihat menutupi kegugupannya.
Apa yang sedang terjadi dengan mereka? Terlebih pada Harry yang sangat dikenal oleh Aluna sebagai seorang ayahnya yang tidak pernah suka berbasa-basi.
ù
Aluna membuka mata tiga puluh menit lebih awal dari alarm yang dipasangnya. Kamarnya masih gelap. Ia bangun, lalu duduk dengan gerakan mulus, mengayunkan kaki ke lantai, dan meregangkan otot sesaat setelah berdiri.
Penerbangannya ke Seoul masih dua jam lagi. Aluna menatap koper besarnya di sudut kamar. Semalam, ia telah mengemas baju-bajunya dan beberapa barang yang di perlukan selama di sana. Gadis itu bergerak membuka jendela yang menghadap langsung ke langit timur. Semburat kemerahan menandakan sang fajar akan segera terbit. Aluna sengaja berlama-lama menatap pemandangan matahari terbit itu dari jendela kamarnya, membiarkan kehangatan sejenak memeluk wajah dan tubuhnya. Setidaknya kehangatan itu bisa membuat dirinya tenang.
Aluna kembali teringat percakapannya bersama dengan Orion di kamar semalam. Setelah pembicaraan serius mengenai perjodohannya di rumah kaca bersama dengan kedua orang tua mereka, Orion mengajak Aluna untuk berbicara secara empat mata di kamarnya. Dan terjadilah sebuah percakapan yang menurut Aluna sendiri itu adalah kali pertama Orion berbicara serius dengannya setelah bertahun-tahun lamanya mereka jarang berbicara seperti itu.
“Apa kau serius ingin kembali ke sana?”
Aluna menarik sudut bibirnya, tidak benar-benar tersenyum saat itu. Ia hanya menarik sudut itu, tanpa memperlihatkan lekukannya. Ada kepahitan yang tersirat dari wajah tertunduk itu, Orion bisa mengerti apa yang sedang dirasakan oleh adiknya.
“Jangan pergi jika kau belum siap untuk kembali, Ji.”
Satu-satunya orang yang hingga saat ini masih memanggil nama lama Aluna hanyalah Orion. Mendengar nama lamanya disebutkan, membuat Aluna mengangkat wajahnya. Gadis itu tidak terlihat kesal karena nama itu masih saja disebutkan, meski ia sudah lupa pernah menggunakan nama itu dalam hidupnya.
“Aku mengenalmu bukan hanya baru sehari, aku tahu kalau saat ini kau sedang dalam delima. Aku tidak ingin permintaan daddy menjadi beban untukmu.”
Orion meletakkan kedua tangannya di bahu Aluna, memposisikan gadis itu untuk menghadap ke arahnya.
“Ji, kau sangat tahu kalau aku paling benci melihatmu menangis. Maka jangan paksa aku melakukan sesuatu saat ini.”
Aluna kali ini tersenyum, sungguh tersenyum hingga memperlihatkan deretan gigi putihnya..
“Apa sekarang aku sedang menangis, hem? Aku baik-baik saja. Kau tidak perlu mengkhawatirkan keadaanku. Masalah perjodohan itu, aku bisa mengatasinya. Dan,” Aluna berhenti, soal kalimat selanjutnya begitu berat untuk dikatakan.
“Kau belum sepenuhnya melupakan Aiden, bukan? Kau masih selalu mengingatnya dan kembali ke sana membuat kau takut jika rasamu menghancurkan semua usahamu selama ini.” Tebak Orion seperti mengerti apa yang sedang dirasakan oleh Aluna saat ini.
Tidak ingin membalas perkataan Orion, Aluna malah berkata, “Sebaiknya kau temui tunanganmu, dan katakan padanya kalau pakaian yang diinginkannya sudah kukirim ke alamat apartementnya.”
Orion tahu, Aluna sedang tidak ingin membahas masalah pribadinya. Karena bagaimana pun nama Aiden masih menjadi hal sensitive bagi Aluna..
“Baiklah, aku akan keluar, dan membiarkanmu beristirahat.” Kata Orion yang dengan sayang mengelus kepala Aluna. “Tapi, aku tetap akan mengingatkanmu. Jangan pernah meneteskan air mata. Karena kau tahu, setetes air mata sama dengan seribu pukulan.”
Aluna mengangguk. Kemudian, Orion berdiri tapi belum melangkah pergi. Lelaki itu masih terdiam memandangi Aluna yang sudah berdiri di depannya.
“Jangan membuatku mengkhawatirkanmu selama di sana.”
“Aku tidak akan melakukannya.”
“Telepon aku jika kau membutuhkan sesuatu.”
“Aku akan melakukannya.”
“Katakan padaku jika kau bertemu dengannya.”
“Sebaiknya kau segera pergi sebelum aku mengusirmu.” Aluna menatap Orion dengan kesal. Dia tahu kalau kakaknya itu sedang mengkhawatirkannya. Orion adalah orang yang paling dekat dengannya, jadi wajar saja lelaki itu merasa khawatir padanya, apalagi Orion mengetahui tentang masa lalunya.
“Dia terlalu berlebihan.” Gumam Aluna begitu tersadar dari lamunannya.
Matahari sudah bertengger dengan sempurna di atas sana, memberikan cahaya dengan kehangatannya. Gadis itu beranjak ke kamar mandi setelah menutup kembali jendela kamar. Sebelum ia masuk ke dalam kamar mandi, ia meraih ponselnya yang berada di atas meja rias. Mengetikan sesuatu disana, kemudian mengirimkannya.
ù
Lelaki muda itu termenung memandangi orang-orang yang berlalu lalang di hadapannya. Jauh di dalam pikirannya tengah berkecambuk delima besar. Tidak ada yang bisa diajaknya untuk bertukar pikiran. Walau pun dia memiliki seseorang untuk diajaknya berbicara, tapi mereka tidak pernah seakrab itu untuk saling berbagi cerita.
Nama lengkap lelaki muda itu Shin Jungkook, lelaki yang selama 10 tahun menghabiskan hidupnya dengan kepura-puraan. Dia bukan lelaki yang lahir dengan keberuntungan. Dia hanya lelaki malang yang ditinggalkan oleh ibunya di panti asuhan dan kemudian diadopsi oleh seorang pria kaya yang dermawan.
Yah, dia memang memiliki keluarga, tapi tidak pernah terasa seperti memilikinya. Jungkook tahu, sejak Pria tua bernama Shin Tae Go mengadopsinya saat berusia 9 tahun, ia memang sudah dipersiapkan untuk dijadikan boneka. Ayah angkatnya adalah seorang mafia, yang setiap langkah kehidupannya memiliki banyak risiko yang menanti. Musuhnya ada di mana-mana, bahkan polisi selalu mengawasi setiap hal yang dilakukan oleh keluarga mereka.
“Apa yang kau lakukan di sini?” suara Jee menginstrupsi jalan pikiran Jungkook, dan membuat ia langsung menolehkan wajahnya pada Jee yang sudah duduk di sampingnya.
Jee memiliki umur yang sama dengan Jungkook, tapi Jee lebih terlihat lebih hidup dengan senyum yang selalu menghiasi wajahnya. Jee lelaki yang penuh dengan kelembutan, selalu berpikir jernih, dan cerdas. Itu sebabnya, Shin Tae Go menempatkan Jee di perusahaan untuk mengelola perusahaan mereka yang berjalan di bidang properti ketimbang menyuruh Jee melakukan hal yang selalu dilakukan oleh Jungkook selama ini.
“Hanya ingin mencari sebuah kenyataan yang selama ini tidak pernah aku sadari.” Jawab Jungkook seraya menyandarkan punggungnya di kursi taman.
“Kenyataan?” Jee terlihat bingung dengan jawaban yang diberikan oleh Jungkook, lalu bertanya dengan rasa penasaran. “Kenyataan seperti apa yang ingin kau cari?”
Jungkook tidak seketika itu menjawab pertanyaan Jee. Ada satu keraguaan yang membuat bibir tipis itu terkatup begitu lama. Hingga Jee mengulang kembali pertanyaannya.
“Kenyataan seperti apa yang ingin kau cari?”
“Aku tidak tahu. Karena aku belum menemukannya,” bibir Jungkook masih terbuka, seperti ingin menambahkan kalimat itu. Alih-alih ingin berkata, dia malah beranjak pergi tanpa menghiraukan panggilan Jee.
Dia butuh ketenangan. Terlalu banyak hal yang terjadi di dalam hidupnya selama ini, hingga ia merasa tidak memiliki daya untuk bertahan lagi. Dia tidak memiliki tujuan, harapan, atau bahkan, keinginan dalam hidupnya. Semua kendali ada di tangan Shin Tae Go, ayah angkatnya. pria tua itulah yang mengendalikan semua takdir hidupnya. Bahkan kapan kematiannya pun, pria tua itu yang lebih tahu.
Jungkook berjalan tanpa tahu arah kemana langkah kakinya membawa tubuhnya pergi. Pikirannya penuh, tatapan matanya kosong, ia tidak tahu apa yang harus diperbuatnya saat ini. Semua hal tentang hidupnya begitu hampa.
Saat ia melewati sebuah truk jajanan makanan pinggir jalan, tanpa sengaja matanya menangkap sosok seorang gadis tengah berdiri di depan truk jajanan makanan. Jungkook mengenali siapa gadis itu, dia gadis 49 detik yang tidak bisa dilupakannya sejak pertemuan mereka pertama kali di malam itu.
Pertemuan yang sangat singkat itu meninggalkan setitik rasa yang hadir tanpa sepengetahuannya. Rasa yang awalnya tidak dimengerti, sesuatu yang masih begitu baru merasuk ke dalam hatinya, membuat ia perlahan-lahan berharap bila suatu hari nanti setelah pertemuan mereka di malam itu, ia akan kembali bertemu dengan gadis yang memiliki nama lengkap Lee Eun Bi itu.
Gadis yang diam-diam telah menempati hati yang selama ini kosong.
“Hai.”
ù
Menjadi seorang idol banyak diimpikan oleh semua orang. Karena berpikir menjadi idol begitu menyenangkan. Setiap hari selalu mendapatkan perhatiaan dari orang diluar sana, bukan hanya di negara sendiri, tapi seluruh dunia mencintainya. Tapi tahukah kalian dibalik semua perhatiaan dan cinta itu terkadang hadir rasa lelah? Bukan lelah karena memiliki banyak kegiatan, yang mengharuskan untuk selalu terlihat sehat walau sebenarnya sedang sakit. Bagi seorang idol, tidak pernah ada kata lelah ketika bertemu dengan pengemarnya. Bagi mereka, pengemar adalah obat dari kelelahan itu sendiri. Pengemar merupakan motivasi mereka untuk berkarya terus.
Rasa lelah itu adalah ketika perusahaan mulai menekan artisnya untuk melakukan hal-hal yang tidak sesuai dengan keinginan. Atau mewajibkan mereka untuk tetap bekerja disaat peluang untuk melakukan liburan ada. Perusahaan seolah tidak ingin berhenti untuk mencetak uang ditengah-tengah persaingan ketat antara perusahaan hiburan lainnya.
Lee Sinb menggerutu tertahan, ketika membaca jadwal baru yang dirilis untuk kegiatan Bfriend selama tujuh bulan ke depan. Kepala gadis itu menggeleng tidak percaya kalau perusahaan sudah menjadwalkan kegiatan mereka disaat mereka baru saja menyelesaikan comeback album kelima kemarin.
“Apa mereka ingin membunuh kita semua?” cibir Sinb melemparkan ponselnya di atas tempat tidur dengan kekesalan yang sudah memuncak di dada. Mereka baru saja menghirup udara kebebasan setelah berapa bulan lalu harus dicekik dengan jadwal promosi album kelima mereka. Dan, ia baru saja membayangkan jika waktu santainya akan digunakan untuk pulang ke rumah.
“Sepertinya kita harus tetap di sini sampai tujuh bulan ke depan.” Keluh Eunha yang sudah memeluk boneka kesayangannya. Gadis mungil itu juga merasa kecewa setelah melihat jadwal mereka.
“Mau bagaimana lagi, kita harus tetap melangkah meski kedua kaki ini sudah meminta untuk berhenti. Dunia hiburan begitu keras, sekeras bagaimana kita harus berlomba-lomba untuk menjadi yang terbaik diantara yang terbaik di dunia ini.” Kata Sowon ikut bergabung bersama Sinb, Yerin dan Eunha di dalam kamar. Gadis itu sebenarnya ingin mengeluh seperti lainnya, tapi sebagai seorang ketua di grup Bfriend, ia harus tetap terlihat kuat dan selalu berusaha untuk memberikan semangat kepada lainnya.
“Aku rindu Eomma dan Appa.” Imbuh Yerin yang duduk di samping Sinb, menyandarkan kepalanya di bahu gadis itu. Sudah hampir enam bulan ia tidak bertemu dengan kedua orang tuanya, ia hanya bisa melepaskan rasa rindunya melalui telepon.
Bukan hanya Yerin yang merasa rindu dengan keluarganya, semua member Bfriend pasti merasakan hal itu juga saat ini. Mereka hanya bisa bertegur sapa hanya melalui ponsel, atau mereka bisa berkunjung dengan waktu yang tidak begitu banyak.
Semua merasa sedih. Ah, tidak semua. Hanya Sinb yang terlihat tidak sedang merindukan siapa pun saat ini. Ia sudah bertemu dengan keluarganya minggu lalu, saat ibunya baru saja pulang dari Boston dengan membawa kabar yang mengejutkan. Aiden akan bertunangan dengan seorang gadis yang merupakan putri dari sahabat ayah.
“Aku keluar sebentar, mencari udara untuk menenangkan pikiranku.” Ujar Sinb bergerak turun dari atas tempat tidurnya. Gadis itu meraih jaket kulit miliknya yang tergantung di belakang pintu, lalu mengambil masker dan topi untuk menutupi identitasnya dari orang-orang diluar sana.
“Jangan terlalu lama, mereka akan memarahimu lagi bila tahu kau keluar tanpa sepengetahuan mereka.” Kata Yuju yang berpapasan dengan Sinb di depan pintu asrama. Gadis itu baru saja kembali membuang sampah di depan.
Kedua kaki gadis itu terayun menyusuri jalan yang membawa ia sampai pada sebuah truk penjual jajanan dipinggir jalan. Ada tiga macam makanan yang disediakan, mulai dari odeng yang berbentuk sosis panjang, dan ditusuk berlipat-lipat, ada juga hot bar yang memiliki bentuk yang sama dengan odeng, sama-sama ditusuk. Kemudian terakhir ada tteokbokki yang merupakan jajanan makanan yang paling populer di Korea.
Sinb membuka sedikit masker di wajahnya, membiarkan masker tetap tertempel didagu. Ia tersenyum sejenak saat mulai melihat makanan di depannya dengan rasa ingin segera mencicipi. Di sela-sela ia berpikir untuk membeli makanan, tiba-tiba seseorang menghampiri dan menepuk bahunya.
“Hai?” sapa lelaki itu mengacungkan telapak tangan kanannya ke atas, tidak lupa juga seulas senyum dia tunjukkan.
Sinb mengernyit bingung saat berbalik dan melihat seorang lelaki berdiri di depannya.
“Apa yang sedang kau lakukan di sini?” tanya lelaki itu ramah, lalu jarinya menunjuk pada jajanan di depannya. “Ahjumma, bisakah kau membungkusnya untukku?” sahut Lelaki itu dengan senyum yang begitu khas.
“Berapa harga yang kauinginkan?” tanya wanita penjual itu menunjuk pada odeng yang dilipat-lipat.
Lelaki itu memperlihat lima jari tangannya, lalu berkata. “Lima tusuk saja, berapa harganya?”
“1.500 won.” Ucap wanita penjual itu seraya memberikan bungkusan yang berisikan odeng lima tusuk.
“Terima kasih.” Balasnya mengambil bungkus itu dari tangan sih penjual. Kemudian, berbalik menyodorkan bungkusan makanan yang dipegangnya pada Sinb. “Untukmu. Sebagai salam perkenalan kita.”
Sinb terlihat melongo, lelaki yang tidak dikenalinya tiba-tiba saja memberikan lima tusuk odeng, dan mengatakan itu sebagai salam perkenalan mereka. Apa lelaki itu sedang tidak waras? Mana ada salam perkenalan menggunakan odeng ikan. Astaga. Apa sekarang dia sedang bertemu dengan orang gila?
Belum sempat Sinb mengucapkan satu kalimat, lelaki itu sudah lebih dahulu bersuara. “Senang bisa bertemu denganmu lagi, Lee Eun Bi.” Setelah mengatakan itu, dia langsung berlalu pergi membiarkan Sinb menatapnya dengan keheranan.
“Dari mana Lelaki itu tahu nama aslinya?” gumam Sinb dengan ekspresi yang terkejut.
ù
Lee unji hehe nice story :)
Comment on chapter Fate