Kenapa harus cinta dalam diam? Kau bisa saja mengungkapkannya lalu kalian akan saling jatuh cinta dan menyatu lalu berbahagia. Baiklah, semuanya tidaklah sesimple itu. Semuanya butuh proses, dan aku tak ingin melaluinya begitu saja. Lagipula prinsip dalam hidupku tak ingin mengikat janji jika hanya main-main saja. Aku ingin serius. Sudah cinta dalam diamku yang keberapa ini? Hahaha aku tak sempat menghitungnya. Jika aku mengingat-ingatnya kembali semua datang begitu saja, tanpa sempat aku bisa memilih untuk jatuh cinta kepada siapa. Bukankah hakikatnya benar demikian, cinta yang sesungguhnya tak akan bisa dijelaskan mengapa kau bisa menaruh hati padanya. Begitupun apa yang aku alami saat ini.
Menyalahkan hati? Hahaha hal bodoh yang pernah aku lakukan. Kemunafikan menyalahkan Tuhan akan berkah mencintai yang diberikan. Kemudian jatuh sakit karena terlalu mencintai ciptaannya. Kini kumulai terbiasa dengan adanya cinta dalam diam. Sudah merasuk dalam hati yang paling dalam. Lalu, apa yang harus disalahkan lagi? Waktu? Atau orang yang sedang aku cintai sekarang? Dia mengetahui atau tidak tentang perasaanku ini, aku tak begitu mengambil pusing. Yang jelas aku hanya menunggu Tuhan memberikan jawaban-jawaban atas cinta dalam kediamanku ini. Jika akhirnya dia memang berjodoh dengan orang lain aku tak apa. Aku akan menerimanya dengan seikhlas-ikhlasnya. Kemudian jika rezeki sedang memihak kepadaku? Ya begitulah cara Tuhan memberikan nikmatnya.
Menjadi sibuk itu menyenangkan, bagaimana tidak? Menjadi sibuk membuat lupa akan sepinya kesendirian. Sepinya merindukan sunyi yang tak terbalas begitu kejamnya. Lalu bagaimana jika cinta mempertemukan kami dalam sebuah kesibukan yang sama? Jika awalnya aku ingin sibuk agar aku melupakan soal kesendirian dan kerindua hati? Aku akan pergi kemana?
Membohongi hati itu menyakitkan. Berbohong soal menyukai dan mencintai juga pahit. Meskipu keduanya memiliki arti yang berbeda. Mungkin kau hanya sekedar suka akan dia melalui kebiasan-kebiasaannya yang membuatmu nyaman, atau mungkin kau benar-benar jatuh cinta pada dirinya seutuhnya tanpa tahu alasan mengapa kau mencintainya.
Mencintai tanpa alasan? Aku rasa itu benar. Berbagai argumen dan risetku sendiri telah membuktikannya. Saat kau memandang seseorang pertama kali, kau mengatakan aku mencintainya. Lalu kau bertanya pada hatimu apa yang membuatmu mencintainya? Saat hatimu tak mampu menajawab maka percayalah itu adalah benar-benar cinta yang sesungguhnya.
Berbicara soal cinta tak ada habisnya, apalagi tentang cinta dalam diam. Kau adalah orang sibuk, sibuk dengan organisasi, kepanitiaan, tugas kuliah serta part timemu, begitupun aku tugas kuliah yang tak berujung begitu pula tawaran editor freelance yang memaksaku membagi waktu lebih jeli lagi. Lalu kapan waktunya aku harus jatuh cinta? Baiklah, tak perlu memikirkan soal itu. Tuhan punya jawabannya sendiri, kau tak perlu sibuk merencanakannya. Kau meragukan Tuhan? Berdosa kau. Inilah jawabannya Tuhan menyatukan kau dan aku melalui kesibukan. Ya, kesibukan kita yang sama.
Sepertinya menulis sebuah bait-bait sajak di bawah pohon yang rindang adalah kebiasaan yang menyenangkan. Memandang langit di sela-sela daun serta cahaya yang tampak malu bersembunyi kemudian perlahan mulai menampakkan dirinya.
“Beri aku sebuah sajak, aku sangat ingin bersajak tapi aku tak bisa membuatnya.” Tiba-tiba suara seorang lelaki yang berkata padaku.
“Sebenarnya semua orang bisa membuat sajak, dan aku yakin tak ada karya sastra yang jelek, hanya saja bagaimana cara penyampaiannya.” Aku tersenyum.
“Bantulah aku membuatnya, bagaimana cara mengawali membuat sebuah sajak?”
“Sederhana saja, lihatlah sekitarmu apa yang kira-kira membuatmu tertegun saat ini.”
“Awan?”
“Ya, kau sudah dapat, lalu apa yang kau sukai dari awan?”
“Awan berjalan tanpa permisi?”
“Ya, aku rasa kau telah mendapatkannya.” Kemudian aku kembali meneruskan sajak-sajak lusuhku yang sempat aku tinggalkan.
“Kau suka menulis? Sejak kapan?”
“Iya, aku sangat menyukainya sejak kecil.”
“Lalu sudah berapa karya yang kau hasilkan?”
“Entahlah, aku tak tahu.” Aku masih sibuk dengan catatanku.
“Hei,, sampai kapan kau akan memandang catatanmu dan membiarkanku mengintrogasimu?”
Kemudian aku melihatnya dengan tatapan memerah. “Maafkan aku, sungguh aku selalu canggung untuk berbicara dengan orang yang tidak aku kenal.”
“Baiklah, aku Faishal kita sprodi!” dia mengulurkan tangannya.
“Velovi.” Aku menyambut tangannya.
“Baiklah aku rasa perkenalan yang cukup, aku harus pergi, senang rasanya mengenalmu.” Kemudian dia pergi sambil memasukkan tangannya ke dalam saku jaketnya.
“Orang yang aneh.” Pikirku.
Seketika aku tersentak. “Seprodi?? Ah,, kenapa aku tak menanyakan sesuatu atau apa? Ah,, bagaimana bisa aku tak mengenal teman sprodiku sungguh kau!!” aku menyalahkan diriku sendiri. Sementara orang itu sudah menjauh pergi.
Daun-daun di bawah cahaya
Meninggalkan pohon merindukan tanah
Begitupun hati yang lelah
Menunggu cinta yang salah
Sampai akhirnya berpasrah
Trenggalek, 21 Juli 2017
Keren kak
Comment on chapter Aku Mencintaimu dalam Diam