Karena jarak rumah Risma dan kampus terlalu jauh, dia memutuskan untuk mencari kos-kosan terdekat, dan dia menemukannya di Watu Gong dengan harga yang super mahal. Kini, setiap hari kami selalu pergi ke kampus bersama-sama. Kami menyebutnya Fapet everyday, karena gerbang Fapet selalu menjadi tempat saling menunggu. Setiap pagi aku selalu disambut oleh senyum manisnya, kini aku benar-benar punya teman, bahkan saat berangkat maupun pulang. Kali ini Risma berkata akan sedikit terlambat datang karena harus mencetak modul Listening dan aku menunggunya terlebih dahulu di gerbang Fapet.
“Hei.” Tiba-tiba seorang dia sudah duduk disampingku. Aku hanya terbelalak dan kaget bagaikan kejatuhan buah durian.
“Kau sendirian?” dia berkata sekali lagi.
“Iya, aku menunggu Risma, kau sudah selesai kelas?”
“Ya, dan kelas kali ini sangat melelahkan.”
“Hahahaha jangan begitu.”
Tak lama kemudian Risma datang menghampiriku dan kamipun meninggalkan dia karena aku dan Risma benar-benar telat kali ini. Risma seeprtinya tak melihat kehadiran dia karena dia begitu terburu-baru. Namun tak lupa aku memberikan dia senyum termanisku. Dia hanya tersenyum balik padaku.
Begitulah cara kami bertutur sapa. Tak ada hal yang istimewa untuk diceritakan hanya saja cukup menggetarkan jiwa-jiwa yang lemah karenanya. Tak kusangka aku bisa lebih dekat dengannya. Harapan-harapan dan catatan-catatanku semuanya ada gunanya. Kini aku semakin semangat menulis dan memikirkan dia adalah salah satu kewajiban yang akan aku lakukan setiap harinya.
Terik matahari siang itu tak melunturkan semangat mahasiswa FIB terutama Program Studi Pendidikan Bahasa Inggris. Kami harus mengejar semua ketertinggalan dalam materi untuk menghadapi UTS minggu depan. Make up class everyday bahkan praktikum yang tiada ujung. Meskipun tak setiap hari aku bisa bertemu dengannya namun cukup melihat status di media sosialnya sudah cukup membuatku tahu kabar terkini tentangnya. Dia entah kenapa tak mau enyah dari pikirannya walaupun sedetik saja.
Kugoreskan tinta berwarna hitam itu pada sebuah kertas halaman selanjutnya catatan harianku. Aku hanya menulis satu huruf. Kemudian aku menutupnya kembali. Tiba-tiba sebuah tangan memaksa membuka catatanku kembali.
“Kenapa kau tak melanjutkannya?”
“A,, a,, apa?” aku tergagap.
“Kau mau menulis apa? Hanya satu huruf saja disana?”
“Tidak.” Aku menutupnya kembali dan meninggalkannya begitu saja. Aku takut dia tahu bahwa satu huruf yang aku tulis itu adalah dirinya.
“Kau ada kelas? Terburu-buru sekali.”
“Ah, iya kau benar aku lupa seharusnya aku sudah berada di kelas,” kataku sambil menutupi hidungku yang memerah.
“Kelasmu dimana?”
“GRL 4.3.”
“Kenapa tak bersama saja? Aku GRL 4.4.”
Aku tak tahu mau bagaimana lagi. Aku hanya bisa diam menahan perasaan yang meledak bagaikan bom atom di hatiku. Baiklah kami hanya saling diam tak ada pembicaraan antara kami dari lift, tangga sampai depan kelas masing-masing. Dia hanya meninggalkan senyum kepadaku.
Keren kak
Comment on chapter Aku Mencintaimu dalam Diam