Sepertinya aku terjebak. Benar-benar terjebak dalam sebuah cerita yang tak ada judul dan ending dalam permasalahannya. Sama persis seperti saat ini aku dan Risma terjebak hujan yang lebat. Payung warna pink dan ungu milik kami tak mampu melindungi kami sehingga memkasa kami untuk berteduh di depan Hall Rektorat yang megah itu.
“Hujan, kau suka hujan?” celetuknya.
“Iya suka, hujan membawa banyak sekali cerita.”
“Iya benar banyak sekali cerita saat hujan seperti ini.”
“Kau punya?”
“Ya.”
“Kau tak ingin membaginya denganku?”
“Ada satu cerita yang tak bisa kulupakan saat hujan, saat itu aku sedang bermain-main dan berlari-larian dengan Ibuku. Aku yang masih anak-anak sangat bahagia bermain dibawah hujan bahkan tak peduli dengan baju yang basah semua. Dan aku merindukan beliau saat ini yang sudah bahagia di surga sana.”
“Maaf, aku tak bermaksud.”
“Hahaha tak apa, lalu bagaimana denganmu? Kau punya cerita?”
“Aku? Tak ada kisah menarik dariku hanya saja...” kalimatku terpotong tatkala melihat seorang lelaki dengan basah kuyup berteduh disampingku. Dia kemudian melihatku.
“Hai,” sapanya.
“Hai juga.”
“Kau menunggu hujan reda?”
“Ya.”
“Soal kemarin, aku tak bermaksud begitu, tak maukah kau mendengar penjelasanku terlebih dahulu?”
“Baiklah, aku akan mendengarkanmu.”
“Maaf kalau perkataanku sebelumnya menyakitimu, maksudku kau orang yang berbeda adalah kau itu bukan wanita yang suka menghabiskan waktu untuk hal-hal yang tidak berguna, kau bahkan lebih menyukai mendengarkan musik dan menuliskan? Itu yang aku maksudkan kemarin, maaf jika penyampaianku yang kurang halus karena aku adalah orang yang kurang pandai memulai pembicaraan dengan seorang wanita sepertimu.”
Aku terdiam sejenak. Aku ini? Ah,, aku tak tahu semuanya berkecamuk dalam hatiku.
“Kau salah, aku masih banyak melewatkan waktu untuk hal-hal yang lebih berguna dan aku masih belajar dalam memanfaatkan banyak waktu.”
“Iya, kau benar, teruslah belajar, kulihat kau sekarang sudah memiliki seorang sahabat?”
“Iya, kenalkan dia Risma.” Kemudian dia tersenyum pada Risma begitupula dengan Risma.
“Kalian seperti kembar, semoga persahabatan kalian selamanya, o iya hujan sudah mulai reda sebaiknya aku buru-buru pulang. Assalamualaikum”
“Waalaikumsalam,” jawabku dan Risma secara bersamaan. Aku masih melihat punggungnya sampai dia benar-benar sudah tak terlihat lagi. Aku tersenyum.
“Jadi, kau masih ingin mendengar ceritaku tentang hujan?” celetukku.
“Tidak, kau sudah menunjukkannya cerita manismu dikala hujan baru saja.” Risma tersenyum padaku. Kemudian kami pulang meninggalkan bekas hujan yang membasahi tanah yang mengering itu.
Risma Diana, nama yang indah begitu pula sikapnya yang menyejukkan jiwa. Senyumnya begitu tulus, aku tak menyangka menemukan sahabat seperti dia. Bidadari bumi adalah sebutan yang pas untuknya. Dia mendengar semua cerita dariku yang selama ini hanya aku tuangkan dalam catatan-catatan lusuhku kecuali satu, cerita tentangmu aku tak mampu menceritakannya pada siapapun termasuk Risma. Itu adalah aib terbesar dalam hidupku jika ada seseorang yang mengetahui bahwa aku menaruh hati padanya. Meskipun sebenarnya itu adalah anugrah terbesar dalam hidupku.
“Kau tak ingin duduk sebentar di depan rektorat?”
“Kenapa?”
“Aku sedikit lelah dan belum ingin pulang, kau tahu kan rumahku sangat jauh.”
“Iya baiklah, kau tak ingin mencoba Go Food? Aku sedang ingin Mie Kober level L.”
“Hahaha, baiklah aku juga lapar tapi perutku tak kuat, aku mau pesan yang S saja, kau punya aplikasinya?”
“Ya tentu saja, aku sering menggunakan jasa itu.”
Tiba-tiba kau datang dan duduk di seberang kami bersama teman-temanmu. Aku hanya berdoa semoga kau tidak menatapku. Namun Tuhan tak mendengar doaku, bahkan Tuhan membiarkanmu melihatku, dan aku terpaksa harus menyapamu juga dengan senyuman. Kau membalas senyumanku. Aku baru tersadar tatkala Risma memandang kearah teman-temannya. Dia memperhatikan sesosok lelaki dengan tubuh tinggi, berkulit sawo matang yang mengahadap ke arah kami. Sepertinya dia bukan dari jurusan kami, karena baru kali ini aku melihatnya.
“Hei, kau melamun?”
“Ah, iya maafkan aku.” Risma terkejut.
“Kau sedang memperhatikan pria berbaju coklat itu?”
“Iya, ah, tidak!” mukanya memerah.
“Kau tak usah berbohong? Kau mengenalnya?”
“Tidak, dia anak Antropologi kan?”
“Hahaha bahkan kau tahu program studinya? Apakah dia seumuran dengan kita?”
“Dia angkatan 2015.”
“Sejak kapan?”
“Ha? Maksudmu?”
“Sejak kapan kau menyukainya?”
“Sejak kami sering bertemu, di tempat yang tak terduga salah satunya Mushola FIB.”
“Apakah dia ikut organisasi keagamaan?”
“Aku pikir iya.”
“Wah, menarik sekaali, kau menyukainya dalam diam?”
“Ya.”
“Kau tak berani mengungkapkan?”
“Tidak, aku percaya Tuhan punya keadilan, jika dia benar jodohku kami pasti akan dipersatukan entah kapan itu.”
“Aamiin, dan kau tahu aku sudah mencium bau Mie Kober.”
“Really? Wah itu dia Go Jek nya sudah sampai.” Kamipun berlari menghampiri Mie Kober yang memanggil-manggil perut kami serta mengabaikan dua makhluk indah ciptaan Tuhan itu.
Keren kak
Comment on chapter Aku Mencintaimu dalam Diam