Sepertinya aku hanya tersinggung dengan kata-katanya kemarin. Jika saja kata-kata itu tak diucapkan oleh seorang dia pasti aku takkan sepuruk ini. Begitulah diriku si wanita labil. Yang seharusnya tak berhak marah atas apapun itu. Tentang dia yang menilaiku berbeda atau aneh itu, seharusnya aku memanglah harus menerima kritikan dan saran dari luar, namun sayang sikapku yang keras tak mampu meluluhkan ego yang ada dalam diriku.
Kali ini kuliah seperti biasanya, tak ada semangat sedikitpun dalam diriku, bahkan bimbang menyelimuti bagaimana nantinya jika aku bertemu denganmu atau tak sengaja berpapasan denganmu. Wajah apa yang harus aku pasang? Pura-pura tak mengenalmu atau melupakan kejadian kemarin walau itu sama saja aku membohongi diriku sendiri. Baiklah aku harus mencari jalan keluar yang tepat.
“Hai,” tiba-tiba saja dia sudah berada di depanku kini.
Aku hanya terdiam tak tahu mau berbicara apa. Aku menundukkan pandanganku, aku tak ingin menatapnya kemudian aku mencari celah untuk menghindarinya pagi ini. Hariku tak boleh lebih buruk dari kemarin, apalagi mata kuliah Grammar akan cukup menguras pikiranku hari ini.
“Maafkan aku,” katanya sekali lagi.
“Untuk?”
“Yang kemarin sepertinya aku salah berbicara tentangmu.”
“Tidak, kamu benar kok.”
“Kau pasti berfikiran seharian tentang apa yang aku ucapkan kemarin?”
“Tidak, aku biasa saja.” Kemudian aku meninggalkannya begitu saja.
Bukankah sekarang aku keren kan? Dalam hatiku berkecamuk dengan keputusan yang aku buat sedemikian. Seharusnya aku tak pergi dan mendengarkan apa yang akan dia jelaskan padaku, bahkan aku tak berhak untuk marah pada seorang dia yang mencoba mengajakku berbicara terlebih dahulu. Atau aku benar dalam memilih keputusan, aku menghindarinya karena aku tak ingin mendengar penjelasan yang lebih menggelitik lagi. Berbeda atau aneh saja sudah cukup, entah penjelasan yang bagaimana lagi yang harus aku dengarkan. Kutarik headshet dari dalam tasku dan kuputar musik kesayanganku. Aku harus rilek, dia tak seharusnya menguasai semua yang ada dalam fikiranku dan aku harus sadar aku ini siapa? Apakah dia mengenalku banyak? Semua jawabannya adalah tidak.
“Vel, kau tak apa?” kata seseorang.
“Hei, aku tak apa, mengapa memang?”
“Kau terlihat kurang baik hari ini, menyendiri dan hanya bermain dengan smartphonemu itu.”
“Hahaha, bukankah setiap hari aku selalu menyendiri.”
“Kau tak ingin berteman denganku?”
“Denganmu? Kau yakin dan tak akan menyesal? Semua orang menganggapku orang yang aneh, sementara kau menawarkan diri untuk berteman denganku.”
“Baiklah aku akan memulai semuanya dengan manis, aku Risma.” Dia menjulurkan tangannya padaku kemudian aku tersenyum manis padanya.
“Velovi.”
“Jadi kau tak ingin pergi denganku sekarang?”
“Kemana?”
“Ayo.” Dia menarik tanganku dan menggenggamnya. Kemudian kami berjalan-jalan mengitari kampus. Kampus biru yang awalnya bukan menjadi impianku kini harus menjadi impian dan tumpuan masa depanku. Jika biasanya aku berjalan kemanapun sendirian sekarang aku bersamanya berbagi tawa dengan lelucon yang garing. Apakah ini bahagianya memiliki seorang teman? Aku mulai berfikir soal itu.
“Kau pernah menyukai seseorang?” celetuknya mengagetkanku.
“Sepertinya tidak,” jawabku singkat.
“Kau bohong, tak mungkin kau tak pernah menyukai seseorang.”
“Mungkin pernah, namun aku tak pernah memikirkannya.”
“Kau tahu, saat bahagia itu adalah disaat Tuhan memberikan rasa cinta pada seseorang.”
Iya kau benar Risma, dan itulah yang aku rasakan saat ini. Namun rasa bahagia itu lama-lama bisa menyakitkan jika kau terlalu dalam mencintainya.
Keren kak
Comment on chapter Aku Mencintaimu dalam Diam