Kinan otomatis mengangkat wajah saat mendengar nada bicara Sean yang tak lagi datar seperti biasa. Pandangan mereka bertemu.
Gadis itu nyengir lebar melihat ekspresi aneh dari wajah pria tampan di hadapannya.
-----------------------------------------------------------
"Kenapa?" Sean bertanya ketika melihat Kinan tersenyum lebar.
"Apa?"
"Kenapa kau tersenyum seperti itu?"
"Aku hanya senang, sepertinya kau tidak marah padaku." Kinan menjawab masih sambil tersenyum. menatap Sean yang justru membuang muka. Sungguh, senyuman gadis itu membuatnya berkeringat dingin. Susah payah, ia berujar, mengalihkan apapun perasaan yang mengusiknya.
"Kau tidak suka saat aku marah?"
"Tentu saja. Kau menakutkan saat marah-marah seperti dulu...." Kinan memejamkan mata sambil menggeleng keras-keras. Berusah menyingkirkan kenangan buruk itu. Karena debaran jantung yang menggila, Sean hanya mampu memandang sekilas gadis di depannya. Ia menghela napas lagi. penyesalan mulai terasa saat melihat Kinan seperti ini.
"Maafkan aku."
"Sudahlah Sean. Sudah berlalu. Aku sudah memaafkanmu." Hanya beberapa detik mereka beradu pandang. Dan lagi-lagi, Sean mengalihkan pandangan lebih dulu.
"Kalau aku boleh bertanya, ada apa dengan konsermu semalam? Hingga kau repot-repot kemari hanya untuk mendengar pendapatku."
"Hanya ingin tahu saja bagaimana pendapatmu." Sean menjaga nada suaranya tetap datar. Tapi sepertinya, rasa ingin tahu gadis itu terlalu besar. Terlihat bagaimana ia menyipitkan mata menyelidik.
"Jangan memandangku seperti itu." saat sepenuhnya sadar sedang diamati, Sean menghela napas pelan.
"Benar hanya itu?"
"Ya. Lagi pula aku juga ingin menitipkan baju Anne."
Sambil berdeham pelan, menggaruk rambut yang tidak gatal. Menyembunyikan kegugupan yang tiba-tiba muncul dan menghindari tatapan Kinan. Dan kegiatan itu justru membuatnya terlihat aneh.
"Baiklah.... anggap saja aku percaya." Kinan mendengus kesal. Tahu jika ada sesuatu yang disembunyikan oleh Sean. Tapi ia juga tak berhak memaksa pria itu agar mengatakan alasan sebenarnya.
"Oh ya, tunggu sebentar. Aku harus mengurusi kue ku. Sepertinya sudah matang. Kau mau masuk?"
"Tidak." Sean menjawab terlalu cepat tanpa berpikir. Membuat Kinan mengernyit heran sambil memandangnya.
"Maksudku, lebih nyaman disini." Pandangannya menyapu taman yang menghijau, dengan angin sepoi yang berhembus. Sean menegaskan maksud dari kata nyaman.
"Baiklah. Aku ke dalam sebentar."
Sambil tersenyum dan beranjak dari tempatnya, Kinan Membawa paperbag yang berisi baju Anne. Senyum tipis terukir di bibir Sean, membalas senyuman Kinan. Dan hal kecil itu cukup membuat rona merah menyebar di pipi Kinan. Gadis itu berlalu sambil menundukkan wajah, mengendalikan jantungnya yang berdebar keras, hanya karena sebuah senyuman.
Sean mengamati semuanya. Dan ia merasa takut atas kemungkinan yang akan terjadi nanti. Bagaimana jika Kinan sampai menyukainya, atau sebaliknya, ia yang jatuh cinta pada gadis berlesung pipi yang baik hati itu. Kegelisahannya memuncak. Tangannya berkeringat dingin, bergetar. Ia meletakkan kepala di atas meja. Memejamkan mata. Membiarkan hembusan angin menyegarkan otaknya yang mendadak kacau.
Rasanya lebih mudah saat ia tak bersama Kinan. Senyuman dan keceriaan gadis itu membuatnya menjadi Sean yang lain. Sean yang bukan dirinya selama ini. Dan baru saja terbukti, ia dengan mudahnya membalas senyuman gadis itu.
Sean mengatur napas, mulai berpikir perlahan. Sepertinya ia harus benar-benar terbiasa dengan senyuman gadis itu. Ia harus terbiasa dengan debaran jantung yang menggila saat bersama Kinan. Dan ia harus mencari tahu keanehan yang terjadi pada dirinya saat bersama gadis itu. Termasuk cara mengatasinya.
Tapi dari mana ia harus memulai?
Bertanya pada Jhon sepertinya bukan pilihan yang baik. Menginggat mereka hanya sebagai patner kerja, dan Sean tak pernah membiarkan masalah pribadinya diketahui orang lain.
Aland, bisa jadi pilihan kedua. Tapi juga bukan yang terbaik, ia dan kejahilannya bisa-bisa membuat Sean justru sebal padanya dan tak menemukan jawaban yang ia cari. Meski usia mereka terpaut hanya dua tahun, tapi kelakuan Aland tak mencerminkan jika ia dua tahun lebih muda di bawah Sean. Anak itu masih seperti remaja labil. Atau malah Sean yang terlalu serius?
Hahh... kenapa malah memikirkan Aland...
setelah mengenyahkan bayangan Aland dari kepala, Sean melanjutkan pemikirannya.
Bertanya pada bibi Mer juga sepertinya tidak akan banyak membantu, tapi mungkin dia punya sedikit saran yang bisa membuatnya bernapas lega. Bibi Mer jauh lebih bijaksana dari pada ia dan Aland.
Ya. Keputusan sudah diambil. Ia akan membicarakannya dengan bibi Mer saat tiba dirumah nanti.
Kepala pria itu masih tertelungkup di meja, sibuk dengan pikirannya sendiri. Hingga suara Kinan mengejutkannya.
"Kau kenapa?"
"Astaga!" Rafleks, Sean mengangkat kepala dari atas meja. Ia berjengit kaget dan hampir saja mengumpat. Untung saja hanya 'astaga' yang keluar.
Setelah mengubah posisi duduknya agak menyamping, ia melihat Kinan mendekat sambil membawa nampan berisi segelas minuman berwarna oranye dan sepiring kue. Celemek stroberi tadi sudah tak berada di situ.
"Silahkan dicicipi. Semoga rasanya se enak baunya." Gadis itu mengulang perkataan Sean sebelumnya, dan duduk di hadapannya. Aroma harum dan manis menguar dari pie di atas piring yang diletakkan Kinan di atas meja.
"Kuenya cantik, tapi apa bisa dimakan?"
"Kau memuji sekaligus menjatuhkanku!"
pie berbentuk mawar yang tertata rapi di piring menarik perhatian Sean. Tadi, ia benar-benar bertanya, tapi Kinan malah berpikiran lain.
"Aku serius. Ini benar bisa dimakan?"
"Eh? Tentu saja bisa. Aku membuatnya dengan bentuk spesial seperti itu. Khusus untuk ulang tahun kakekku hari ini. Cobalah."
Gadis itu tertawa melihat ekspresi ragu di mata Sean. Pertanyaan jujurnya tadi membuat Kinan berpikir bahwa Sean memang belum pernah melihat kue seperti itu.
Sambil memakan sepotong kue, pria itu berujar,
"Jadi hari ini ulang tahun kakek? Pantas saja kau bolos kerja."
"Aku tidak membolos. Hanya ijin satu hari." Tuduhan Sean membuat gadis itu memberengut. Tapi kemudian,
"Kau tau dari mana aku tidak masuk kerja? memata-mataiku?"
"Tentu saja tidak. Aku tidak punya waktu untuk itu. Pekerjaanku terlalu banyak." Sean mendengus sebal. Sisi arogannya menampakkan diri.
"Lalu kenapa masih disini? Bukannya lebih baik selesaikan pekerjaanmu yang terlalu banyak itu?" Kinan mencibir. Ia tak habis pikir, kemana perginya Sean yang malu-malu dan selalu gugup saat berbicara dengannya beberapa saat lalu. Cepat sekali ia berganti menjadi sosok seperti sekarang. Jangan-jangan pria ini berkepribadian ganda.
Menghadapi Kinan ternyata tidak mudah. Sean selalu kesulitan untuk mengontrol emosinya. Padahal beberapa saat lalu ia tak bersikap seperti itu. Ia menarik napas panjang dan menghembuskannya. Nada bicaranya melunak.
"Kinan... kenapa kau tidak membuat semuanya menjadi lebih mudah? Setidaknya untukku?"
Ya. Sangat sulit rasanya bagi Sean berada bersama Kinan saat ini. Ia kembali mengingat saat pertama kali bertemu gadis itu. Emosinya tiba-tiba tak terkendali hanya karena Kinan menyinggung permainan pianonya. Ia bahkan bersikap sangat kasar saat itu. Dan sekarang, hanya karena cibiran kecil gadis itu, ia nyaris saja meledak lagi. Ada rasa tak rela mendengar Kinan seakan-akan tak menginginkan kehadirannya disini. Meski sebenarnya ia juga tahu kalau gadis itu tidak sungguh-sungguh dengan apa yang dikatakannya.
Pria itu memandang Kinan yang balas menatapnya. Kali ini Sean tak mengalihkan pandangan. Mengabaikan semua rasa campur aduk dalam hati. Ia ingin menyelami mata coklat milik gadis di depannya. Yang sekarang terlihat bertanya-tanya.
Sorot mata Sean melembut. Lagi-lagi, Sebuah senyum tipis terulas di bibirnya. Membuat gadis itu lupa bagaimana cara bernapas yang baik. Jantungnya berdetak tak sesuai irama. Tak jauh berbeda dengan Sean.
"Jangan lupa bernapas, Kinan...."
Bisikan lembut dari Sean membuatnya tersadar dan mulai mengatur napas.
"Seandainya kau tahu, betapa sulitnya hal ini bagiku...." Ia menghela napas berat. Tangannya terkepal erat. Hingga buku-buku jarinya memutih.
"Apa...." pikiran Kinan berantakan, hingga ia tak dapat menyelesaikan kalimatnya. Tapi sepertinya Sean memahami maksud gadis itu.
"Berdekatan denganmu seperti ini."
"Kenapa.... begitu sulit?" Ragu, Kinan bertanya. Berharap ia bisa tahu sedikit saja penyebab keanehan sikap Sean. Tapi pria itu malah mendongak melihat gumpalan awan di langit, kemudian memejamkan mata frustasi.
"Aku sendiri tak tahu kenapa...."N