Alunan nada ritmis terdengar pelan ketika Kinan menuruni tangga melingkar dari lantai dua.
Musik itu terdengar indah, meski Kinan tak tahu lagu apa yang ia dengar. Ketika hampir sampai di bawah, ia melihat Sean yang tengah serius memainkan grand piano yang terletak di bawah tangga bagian samping
Merasa ada yang mengamati, pria tampan itu memandang ke arah tangga yang berada tak jauh darinya. Pandangan mereka bertemu. Jemari Sean masih bergerak lincah di atas tuts tanpa harus mengalihkan pandangan dari Kinan, menatap tajam sosok yang berada tak jauh darinya. Ia menekan semua perasaan yang tiba-tiba muncul. Rasa gelisah, tertarik, penasaran, bahkan tubuhnya kembali terasa dingin dan sedikit gemetar hingga membuatnya mengalihkan pandangan tepat ketika lagu berakhir.
"Lagu yang indah, tapi rasanya tidak menyentuh hati.." Suara jernih Kinan membuat Sean diam terpaku.
Ia kembali memandang gadis berbaju biru yang melangkah pelan ke arahnya dan berhenti pada dua anak tangga terakhir. Ekspresinya semakin dingin dan menakutkan.
"Jika tak tahu apapun tentang piano tidak usah sok berkomentar." Kata-kata tajam balasan dari Sean membuat Kinan melotot.
"Jika kau bisa mendengar dengan baik, kau pasti tahu jika tak ada satu nada pun yang meleset." Pria itu menambahkan bahkan sebelum Kinan sempat menjawab.
"Ya.. tapi.." Suara Kinan menghilang ketika Sean menatapnya tajam. Jika saja pandangan mata bisa membunuh, pasti Kinan sudah terkapar.
Tubuh tegap Sean bangkit dari duduk. Masih berdiri di tempatnya. Ia menunjuk dinding disampingnya.
"Kau tak tahu siapa aku?"
Di sana berjajar foto-foto. Beberapa yang bisa Kinan lihat adalah foto pria itu dengan background patung liberty, gedung opera sydney, piramida giza, patung merlion, dan..
"Bali... " gumaman terdengar dari bibir Kinan ketika ia melihat foto Sean paling ujung dengan background patung GWK.
"Ya. Aku seorang grand master piano dan sudah mengadakan konser di seluruh dunia. Dan semuanya sempurna." Pria itu berkata datar. Berusaha menahan emosi karena Kinan meremehkan permainannya.
Ia kembali menatap Kinan yang ternyata balas menatapnya.
"Sempurna.. Karena memang Kau hanya menghapal, tidak merasakan." Perkataan itu meluncur begitu saja dari bibir Kinan. Dan gadis itu buru-buru menunduk saat melihat raut kemarahan di wajah yang biasanya selalu tanpa ekspresi.
BRUUUAAK!!
Pria itu menutup piano dengan satu sentakan keras. Menyalurkan emosi yang terasa sudah di ubun-ubun.
Seumur hidupnya, tak ada seorangpun yang pernah mencela permainan pianonya. Hatinya tak terima dengan perkataan Kinan.
Perbuatan Sean membuat gadis itu terlonjak kaget. Ia mengelus dada dengan tubuh gemetar.
Ya Tuhan..Kasar sekali pria ini..
"Sok tau!" Sean berkata tajam. Aura mengintimidasi terasa begitu kuat dari sosoknya, meski jarak mereka terpisah beberapa langkah.
Dengan takut, Kinan berusaha menjawab.
"Aku tahu.. aku bisa melihatnya di matamu.." Suara lembut Kinan terdengar pelan. Gadis itu menunduk. Tak tahan memandang wajah Sean yang masih terlihat tampan meski diliputi kemarahan. Membuat jantungnya berdebar.
Sean mendengus keras dan mengalihkan pandangan. Memungunggi Kinan.
Ia kembali berpikir keputusannya menolong Kinan adalah hal yang salah.
"Aku menyesal telah menolong dan Membawamu kemari." Dalam satu tarikan napas, Sean mengatakannya. Tanpa memandang Kinan yang mengerut di belakangnya.
Hatinya menyangkal kebenaran yang Kinan ucapkan. Gadis itu memiliki perasaan yang peka, bahkan hanya dengan melihat sorot matanya yang tanpa emosi. Rasa takut merayap dalam hatinya.
Hening beberapa detik. Hingga suara pelan Kinan memecah kesunyian.
"Lalu kenapa kau menolongku dan membawa kemari?" Akhirnya pertanyaan yang semalam memenuhi pikiran gadis itu terlontar juga.
"Hanya keharusan sebagai sesama manusia. Dan karena bibi Mer menahanku untuk tidak melemparmu kembali ke jalanan." Kebohongan yang sempurna. Karena sesungguhnya Sean merasa khawatir hingga ingin membawa Kinan ke rumah sakit. Jawaban bohong dari pria tampan itu membuat Kinan terkesiap.
Rasanya sangat sakit mendengar perkataan kasar Sean. Tapi Kinan tak mau terlihat lemah. Apalagi di hadapan pria angkuh seperti Sean.
"Jika seandainya aku bisa memilih, lebih baik aku tak ditolong oleh pria sepertimu. Mungkin aku akan mati dibunuh oleh dua penjahat itu setelah mereka puas denganku. Dan aku tak perlu berurusan denganmu." Entah mendapat keberanian dari mana, Kinan membalas perkataan Sean dengan hampir berteriak sebal. Karena posisi Sean memungungginya, tak terlihat jika pria itu memejamkan mata dan menahan napas, tangannya terkepal erat hingga buku-buku jarinya memutih.
"Jika aku mati, aku tak perlu repot-repot berterima kasih padamu, berhutang budi pada pria tak punya hati sepertimu!" Gadis itu menumpahkan semua emosi. Napasnya memburu.
Dengan satu langkah lebar, Sean sudah berdiri di hadapannya. Mati-matian menahan rasa marah yang menggelegak dalam hati.
Ia benar-benar membenci orang yang tak dapat menghargai hidup. Menganggap jika kematian adalah jalan yang mudah untuk menyelesaikan masalah.
Kini Wajah tampan Sean hanya berjarak beberapa inci dari wajah Kinan. Sebuah pahatan sempurna dari Sang pencipta. Membuat Kinan kesulitan bernapas. Dari jarak sedekat itu, ia bisa mencium aroma wangi tubuh Sean. Seperti Campuran aftershave dan mint.
"Seperti kematian itu menyenangkan saja.." seringai menyeramkan dari bibir tipis Sean membuat Kinan bergidik.
"Bagaimana perasaan ibumu, ayahmu, saudaramu, jika kau mati? Tak pernah memikirkannya, bukan? " Suara pelan dan hangat napas Sean menerpa wajah Kinan. Membuatnya tersadar akan keberadaan ibu, adik dan kakek yang sangat menyayanginya. Ia tergagap.
"Aa..aku.. aku.."
"Sudahlah. Aku tak peduli jika memang kau ingin mati. Aku juga tak butuh ucapan terima kasihmu."
Tubuh tegak itu kembali menjulang. Seringai kejamnya berganti raut datar. Menutupi rasa sakit akibat kehilangan orang-orang yang ia sayangi.
"Terima kasih sudah mengingatkan jika aku pria yang tak punya hati. Dan aku tak akan pernah melupakan perkataanmu saat menghina permainan pianoku." Pria itu tersenyum tak sampai ke mata. Pandangannya sedingin es. Ia kembali berkata bahkan sebelum Kinan sempat membuka mulut untuk membela diri.
"Pergilah. Jangan pernah hadir lagi dalam hidupku." Pria itu berbalik memunggungi Kinan yang masih diam. Memandang tak percaya. Sean kembali menegarkan hati. Menutupnya semakin rapat dari satu kata yang bernama cinta.
Tiba-tiba ia merasa lelah dengan kehidupan dan Kesendiriannya.
Setelah tak mendengar langkah kaki Kinan yang berjalan menjauh, Tubuh Sean bergetar. Ia meraba saku jeans dan mengambil ponsel hitam untuk menghubungi Aland.
"Al.. " Suara dinginnya berganti serak dan tak bertenaga.
"Ada apa Boss?" Aland menyahut di seberang sana dengan nada khawatir ketika mendengar suara Sean tak seperti biasanya
"Antar gadis itu kemanapun dia mau." Belum sempat Aland menjawab, pria muda itu sudah memutus sambungan. Tubuh tegapnya luruh.
Kemarahan dan emosi sesaat tadi menguap sudah. Berganti rasa kehilangan saat tubuh mungil Kinan keluar dari pintu rumahnya.
Kinan melangkah pelan di halaman luas yang tertata rapi. Lampu-lampu taman menyala terang. Air mancur bergemiricik dari tebgah halaman yang sangat luas. Langkah Kinan Mengarah ke gerbang tinggi yang berjarak beberapa meter dari pintu.
"Tunggu Kinan.." Suara pelan di belakangnya membuat gadis itu berhenti dan menoleh.
"Bibi Mer.."
"Aku ingin membicarakan sesuatu.." Bibi Mer mengenggam tangan Kinan. Menuntunnya ke sebuah kursi taman disampingnya.
"Ada apa, Bi?" Kini mereka duduk bersisihan.
"Maafkan aku, Kinan. Aku mendengar semua perkataan kalian.." Bibi Mer berkata pelan, memandang wajah cantik gadis di depannya yang terlihat masam.
"Dia itu benar-benar menyebalkan, kasar, tak punya hati, dan mulutnya sangat tajam." Kinan mendengus keras setelah menumpahkan kekesalannya.
Bibi Mer hanya tersenyum. Dan hal itu membuat Kinan menyadari jika dia sudah bercerita pada orang yang salah. Biar bagaimanapun, Bibi Mer adalah orang dekat Sean. Bisa saja ia justru membenci Kinan karena sudah menjelekkan pria itu.
"Eh, maaf.. aku.. aku tidak bermaksud.. " Gadis itu menelan ludah gugup.
"Tidak apa.. aku minta maaf jika sikap Sean seperti itu. Pasti sangat menyakitimu.."
Kinan hendak menyahut, tapi bibi Mer kembali berkata.
"Aku mohon maafkan dia. Jangan membencinya atau memendam dendam atas perlakuannya padamu." Bibi Mer tersenyum lembut dan mengelus punggung tangan Kinan.
"Maafkan aku.. aku juga tidak bermaksud bersikap seperti tadi padanya.." Raut menyesal terlihat jelas di wajah gadis cantik yang kini memandang bibi Mer.
"Tidak apa.. sekarang biar Aland yang mengantarmu pulang." Perempuan paruh baya itu mengalihkan pandangan ketika melihat sebuah mobil putih mendekat.
"Tidak usah, Bi.. aku bisa sendiri."
"Kau tidak boleh menolak.. berbahaya malam-malam begini seorang gadis dijalan sendirian. Lagi pula Sean yang meminta Aland untuk mengantarmu." Bibi Mer tersenyum lebar sambil mengedipkan mata. Ia mendorong pelan tubuh Kinan ke dalam mobil setelah membuka pintu disamping Aland.
"Sean? Bukankah tadi dia yang mengusirku?" Gadis itu mengernyit heran. Sebagai jawaban, bibi Mer hanya tersenyum sambil mengedikan bahu. Ia menutup pintu mobil dengan pelan.
"Senang berjumpa denganmu Kinan.. Hati-hati di jalan, Al."
"Terima kasih, Bibi Mer.." Hanya kata itu yang sempat Kinan ucapkan sebelum Aland melajukan mobil meninggalkan rumah besar yang selalu terlihat sepi.
N