Denting piano mengalun perlahan dalam ruangan luas yang sepi. Sean menekan sembarang tuts. Tak ada nada khusus yang ia mainkan. Karena sebenarnya kegiatan saat ini hanya sebagai pelarian atas kebosanannya. Berbagai pikiran berseliweran di otak. Salah satunya tentang gadis itu.
Hangat tubuh Kinan yang berada dalam pelukannya semalam masih terasa hingga saat ini. Meski dalam kepanikan, tak dapat dipungkiri bahwa ia merasa hal yang tak pernah ia rasakan sebelumnya, tepatnya perasaan nyaman yang selama ini selalu ia hindari.
Wajah polos gadis itu, ketakutan dan kesedihannya saat mengingat kelakuan penjahat itu, raut panik saat tau benda berharganya hilang, berbagai ekspresi yang melintas silih berganti saat mereka bertemu beberapa saat lalu masih terekam kuat dalam memori Sean.
Semua hal dalam diri Kinan membuatnya penasarannya.
Terdengar hela napas berat yang berbaur dengan nada piano. Jemari Sean masih bergerak di atas tuts.
Ingatannya meloncat jauh ke belakang pada Kejadian 15 tahun lalu. Ketika ia membatu di hadapan kakeknya yang telah terbujur kaku.
Alfred terkena serangan jantung ketika mengetahui kabar penyebab kematian kedua orang tua cucunya.
Hasil penyelidikan pihak kepolisian menyatakan jika kecelakaan itu terjadi karena ayah Sean mengemudi dalam keadaan mabuk.
Lagi-lagi, Sean harus menyaksikan orang yang ia sayangi menghembuskan napas terakhir di hadapannya.
Saat itu bahkan ia tak mampu menangis. Kesedihannya berubah menjadi kebencian yang amat sangat pada sosok yang ia sebut ayah.
Bahkan ketika pria itu sudah mati, ia masih sanggup menghancurkan kebahagiaan putranya sendiri.
Sean sangat membenci sesorang yang harus ia pangil ayah itu. Amat sangat membencinya.
Sejak saat itu, ia membekukan hati. Semua rasa cinta yang ia miliki ikut terkubur bersama jasad kakeknya.
Permainan pianonya terhenti. Bahu tegapnya terkulai, ia meletakkan kepala di atas deretan tuts dengan mata terpejam. Kesendirian ini terasa menyesakkan. Selama ini ia sangup bertahan. Berusaha terlihat baik-baik saja. Namun kehadiran gadis itu dalam semalam berhasil mengusik kenyamanannya dalam kesendirian.
Ingatannya kembali pada Kinan.
Tiba-tiba Dia merasa gelisah ketika mengingat wajah cantik gadis itu.
Getaran halus dari saku jeans membuyarkan semua pikiran dalam otaknya. Ia merogoh saku dan mengeluarkan ponsel, menempelkan benda pipih itu di telinga setelah mengeser ikon hijau di layar.
"Ya Al." Wajah lelah dan tersiksa yang tadi sempat mampir kini kembali datar tanpa ekspresi.
"Saya sudah dapat bajunya."
"Bawa kemari. Aku di tempat biasa." Setelah mengakhiri panggilan, Sean beranjak dari duduknya dan merapikan penampilan. Beberapa detik kemudian, Aland terlihat menghampiri. Ia sudah hapal tempat biasa yang dimaksud bossnya.
"Semoga baju ini cocok, Boss. Saya hanya mengira-ngira ukurannya dibantu karyawan butik." Aland nyengir sambil menyerahkan sebuah paperbag coklat merk terkenal. Seumur hidup baru kali ini ia membeli baju perempuan.
"Thanks, Al." Tanpa perlu melihat isinya, Sean menerima pemberian Aland dan beranjak ke lantai dua.
Sementara di kamar tamu lantai dua, Kinan membuka mata perlahan. Ia tertidur lelap setelah menenggak dua butir aspirin tadi pagi. Udara sejuk berhembus pelan dari pintu balkon yang terbuka. Pandangannya menyapu sekeliling. Ia berada di kamar besar berwarna putih. Ada nakas di samping ranjang king size yang ia tempati. Dengan sebuah lampu tidur dan segelas air minum tersedia disana.
Kinan gadis itu menyibak selimut putih. Kakinya menapak permukaan karpet halus yang berwarna sedikit cream. Gorden di pintu balkon berkibar tertiup angin.
"Kamar yang indah." Gumaman pelan terdengar dari bibirnya. Ia bermaksud mencari kamar mandi ketika sebuah sosok yang berdiri di depan pintu kamar mengalihkan perhatiannya.
"Kau.." Lagi-lagi perkataannya tertahan begitu menatap wajah tampan yang kini berjalan mendekat. Ekspresi dinginnya masih tetap sama seperti sebelumnya.
Sean mengulurkan paperbag yang ia bawa. Matanya tak lepas memandang wajah cantik Kinan. Rasa gelisah itu kembali hadir. Tubuhnya terasa dingin. Mati-matian ia menjaga ekspresinya sedatar mungkin.
"Terima kasih..." suara lembut gadis itu menyapu pendengarannya. Sebuah senyum tulus dari Kinan mengusik perasaannya. Tubuhnya sedikit bergetar, ketika jemari mereka bersentuhan saat Kinan mengambil paperbag.
Tanpa berkata apapun, Sean berbalik. Bergegas ke kamarnya dengan tangan tekepal erat dan napas yang terasa sesak.
Sementara Kinan melanjutkan langkahnya ke kamar mandi dengan bermacam pertanyaan dalam hati. Satu hal yang sangat ingin ia ketahui, mengapa sikap Sean begitu dingin?