Rahasia itu bagaikan kabut yang menyelubungi pagi. Setebal apapun, pada akhirnya perlahan akan sirna seiring dengan datangnya terik. Hanya butuh waktu agar apa yang diselimutinya kembali terlihat dengan jelas. Sebagian besar manusia memiliki sesuatu yang disimpannya seorang diri. Mungkin tidak semua untuk disembunyikan dari orang lain, sebagian hanya menunggu waktu yang tepat untuk diperlihatkan.
Selembar foto yang diambil Farzana dari kumpulannya, sudah tergeletak di atas meja. Berbagi tempat dengan piring porselen yang isinya sudah ditandaskan Farzana. Bukan karena lapar bahkan bukan pula karena disajikan Kirana pagi itu adalah salah satu menu favoritnya alasan Farzana melahap dengan cepat nasi goreng dihadapannya. Ada alasan yang mungkin berlebihan bagi orang lain. Alasan itu adalah karena Kirana memberikan syarat pada Farzana untuk sarapan terlebih dahulu sebelum ia mendengarkan cerita yang akan dibagi olehnya. Kirana hanya hafal benar bagaimana kebiasaan anaknya. Mengabaikan perutnya jika ia sedang sedih, kecewa atau ada hal apapun yang dipikirkannya.
Mata Kirana memindai sosok yang duduk berhadapan dengannya. Menatap lekat ke dalam matanya, hingga ke keseluruhan wajahnya. Sebuah senyuman tipis mengambang di kedua belah bibirnya yang masih memucat meski tak berbanding dengan apa yang dipancarkan oleh bola matanya. Bayangan wajah Langit, sang suami, tersirat cukup jelas dalam gurat-gurat wajah sang anak.
“Za, kamu tahu, mengapa ayah sama embun ngasih nama kamu Aina Farzana?” Tak ada sahutan. Farzana hanya menunggu sang ibu melanjutkan kalimatnya, karena ia yakin itu hanya sebuah pertanyaan retoris.
“Karena kami berharap kamu menjadi seseorang yang memiliki pandangan yang bijaksana. Bijaksana dalam melihat, hingga dapat memutuskan sesuatu dengan bijaksana,” sambung Kirana. Farzana menyimak dalam diam, namun ia mengaminkan dalam hati apa yang menjadi doa kedua orang tuanya.
Dengan sorot matanya yang memancarkan kelembutan, dengan semuny tipisnya yang melantunkan kasih sayang, Kirana mengurai hiruk pikuk episode-episode yang pernah ia perankan. Mengusir kabut yang selama ini menutupi kenyataan hidup yang harus dijalani.
[]
Lebih dari seperempat abad berlalu sejak Kirana akhirnya memutuskan untuk mengikatkan dirinya dalam pernikahan bersama Langit. Seperti kebanyakan kasus terjadi di masyarakat mengenai perbedaan status sosial, hal serupa pun terjadi pada Kirana dan Langit. Orang tua Kirana yang berasal dari keluarga yang cukup berada menginginkan anak perempuannya berada dalam tanggungjawab seorang laki-laki yang”berkasta” minimlal sama dengannya. Bukan tanpa alasan memang, kebanyakan orang tua menginginkan yang terbaik untuk anaknya. Mungkin mereka hanya khawatir putri yang sangat disayanginya tidak dapat makan enak seperti apa yang mereka sajikan, mungkin mereka hanya sedikit ketakutan jika permata hatinya tidak dapat tidur nyenyak karena alas tidur yang diberikan suaminya tak seempuk yang disediakan mereka. Mungkin mereka hanya lupa bahwa rizki setiap manusia sudah ada yang mengatur, bahwa mereka pun tak dapat menjadi penjamin kehidupan bahkan bagi diri mereka sendiri.
Setahun pertama yang mereka lalui tidak dapat dikatakan mudah dilihat dari sudut apapun. Mulai dari keadaan ekonomi yang serba sederhana hingga tekanan keluarga Kirana yang seolah mengatakan “Tuh, apa kami bilang”. Meski begitu, bagi mereka apa yang mereka telah lalui adalah sesuatu yang indah. Mereka lebih dewasa, lebih saling menguatkan dan benar-benar menggantungkan hidup serta berpasrah hanya kepada Pemilik Kehidupan. Toh, sampai detik itu pun mereka masih bernafas, jantung mereka tetap berdetak, perut mereka masih dapat terisi nasi meski dengan menu yang tidak bervariasi.
Langit bukan lelaki dengan gelar yang berderet di belakang namanya. Ia pun bukan seseorang dengan pangkat yang tinggi dalam pekerjaannya. Ia hanya seorang teknisi di sebuah perusahaan swasta. Namun, dengan latar belakang keluarga yang sederhana, ia tumbuh menjadi seseorang yang mandiri dan bertanggung jawab. Ia yakin dapat mengimbangi seorang Kirana yang tumbuh dalam keluarga yang sebaliknya. Dengan segala kecukupannya, tidak membuat Kirana menjadi seorang yang ingin serba mewah. Bahkan, kadang ia merasa terkekang dengan berbagai “peraturan” dalam keluarganya. Ia membutuhkan ruangnya sendiri untuk bergerak, namun sekat yang dipasang tinggi oleh orang tuanya membuat ia merasa terikat.
Dua tahun setelah menikah, lahirlah seorang anak perempuan yang menjadi penggenap kebahagiaan mereka. Bayi yang lahir di tengah keluarga kecil yang penuh cinta. Sesosok kecil yang menjadi penyejuk dahaga mereka. Menjadi perekat keluarga meski tak begitu kuat.
Kehidupan iti bagaikan roda, bukan? Ada kalanya berada di atas, namun ada saatnya pula harus tergilas di bawah. Saat anak satu-satunya mereka hampir memasuki usia sekolah, keadaan perekonomian mereka semakin memburuk. Perusahaan tempat Langit bekerja gulung tikar, sehingga mau tidak mau sebagai pekerja ia terkena dampaknya. Akibat lainnya? Mereka harus menurunkan ego mereka untuk menerima pembiayaan sekolah putri kesayangan mereka dari kedua orang tua Kirana. Bukan hanya itu, syarat yang lebih memberatkannya adalah mereka harus rela terpisah dengan anaknya. Orang tua Kirana menginginkan cucunya tinggal bersama mereka dan diwaktu yang sama ayah Kirana dipindah tugaskan dari Bandung ke Jakarta.
Demi masa depan anaknya, keduanya harus berdamai dengan kenyataan. Bukan berat atau ringan, bukan karena sayang atau tidak sayang. Ini pilihan yang cukup sulit saat itu. Yang dapat mereka lakukan hanyalah menyerahkankan kembali pengawasan anak yang dititipkan pada mereka kepada Pemiliknya. Lagi pula, anaknya tinggal bersama kakek dan neneknya, yang juga sangat menyayanginya.
[]