Siang itu semua murid menjadi heboh dan berhamburan keluar kelas. Pasalnya di halaman sekolah terjadi perkelahian antar siswa beberapa saat lalu. Memang perkelahian seperti itu bukanlah yang pertama kali terjadi, pernah beberapa kali tapi untuk kali ini terasa spesial. Karena untuk pertama kalinya, perkelahian itu terjadi antara si cupu berkacamata, Damar dan senior paling sangar, Seno.
“Bikin malu! Kalian itu sebenernya mau jadi apa? Mau jadi preman?” murka Pak Rizal pada dua siswa yang sedang duduk di hadapannya.
Penampilan mereka terlihat basah kuyup dan kacau. Damar, dengan sedikit memar di bawah matanya hanya bisa meringis. Kacamata yang biasa menempel di wajahnya, kini raib karena terjatuh dan retak akibat aksi adu jotosnya dengan Seno. Sementara itu Seno yang duduk di sebelahnya tidak kalah lusuh. Selain basah kuyup, bibirnya juga mengalami memar dan terdapat bekas cakaran di leher.
Ditatapnya Damar dan Seno bergantian. “Mau kalian apa, sih? Kenapa sampe berantem kayak gini?” tanyanya.
“Pak, ini bukan salah saya. Bukan kemauan saya Pak buat berantem.” Damar mencoba membela diri. Karena memang kejadian tadi di luar kendalinya.
Seno langsung melotot geram. “Maksudnya apa bukan salah kamu? Kamu nuduh aku yang mulai, gitu? Eh, Mar, banyak saksinya kalo kamu yang mulai duluan.”
“Aku gak nuduh kamu. Itu tadi bukan kemauanku. Yang ngelakuin itu sebenernya bukan aku.”
“Hah! Bukan kamu? Terus siapa? Hantu?”
“Iya! Hantu.”
“Lihat kan, Pak. Dia tuh aneh. Saya pernah ngeliat dia ngomong sendiri. Dasar aneh!”
“DIAM!!!” Teriak Pak Rizal sambil memukul meja. Sambil berdecak lidah dan menggeleng-geleng kepala, guru BP itu melotot murka pada mereka berdua. Spontan Damar dan Seno langsung tunduk tak berani menatap Pak Rizal. Seolah jika mereka menatap matanya, maka seketika itu pula tubuh mereka akan meleleh.
“Kalian ini, bukannya menyelesaikan masalah malah buat ribut lagi.” ucapnya. Pak Rizal menyandarkan punggung ke sandaran kursinya dan tampak berpikir. “Kalau begini, besok suruh orang tua kalian menghadap saya.” lanjutnya.
“Jangan, Pak!” jawab Damar dan Seno hampir bersamaan.
“Hah, kalau begini baru kalian akur, ya. Saya akan kasih surat panggilannya nanti. Pastikan besok orang tua kalian harus datang. Kalau tidak, terpaksa saya akan mengambil keputusan yang lebih tegas.” kata-kata Pak Rizal seolah sudah tidak bisa terbantahkan lagi. Damar dan Seno hanya bisa pasrah.
“Tapi Pak,”
“Tidak ada tapi-tapian. Sekarang kalian kembali ke kelas masing-masing!” Belum sempat Seno berkata, Pak Rizal sudah memotongnya hingga dia tidak dapat berkutik lagi. Melampiaskan kekesalannya, Seno menoleh ke arah Damar sambil mendesis.
Damar sendiri sudah kehabisan kata-kata untuk ikut ptotes pada Pak Rizal. Dia juga tidak memperdulikan tatapan murka dan desisan ular Seno kepadanya. Saat ini pusat perhatiannya cuma satu, lemari berkas di belakang Pak Rizal.
Namira di sana, duduk di atas lemari itu dan menggoyangkan kedua kakinya. Hantu cantik itu membalas tatapan laser Damar dengan senyum penuh kemenangan yang membuat Damar makin geram. Bukan tanpa alasan, karena hantu menyebalkan itulah sumber dari kesialan yang dialaminya sekarang ini.
SEBELUMNYA
Merasa kesal karena tak kunjung mendapat kepastian, membuat Namira harus putak otak memikirkan cara lain. Entah apa lagi yang membuat Damar masih ragu untuk membantunya. Bahkan setelah dia menceritakan kisah hidupnya yang menguras emosi jiwa dan pencarian kebenaran ke ruang TU, masih belum membuat Damar percaya.
Dua hari sudah berlalu sejak Damar mencari tahu tentang Namira ke sekolah tapi dia masih belum setuju untuk membantunya. Begitu banyak pertimbangan yang harus dipikirkannya dan membuatnya kembali galau. Fakta bahwa Namira adalah hantu, tentu suatu hal yang tidak bisa disangkalnya lagi. Benar adanya, Namira hantu dan dia sudah mulai terbiasa dengan kehadirannya. Tapi fakta bahwa begitu banyak permintaan terakhir yang harus diwujudkannya? Damar benar-benar tidak yakin, apa lagi semua permintaan terakhir Namira itu sangat bertolak belakang dengan dirinya. Satu pun tidak pernah dia lakukan.
“Baik, semuanya waktu sudah habis. Kumpulkan lembar jawaban kalian ke depan!” perintah Bu Lastri. Saat ini kelas Damar sedang mengadakan ulangan matematika. Para murid mulai menggerutu karena banyak soal yang belum selesai dijawab.
“Ayo, cepat!” ujar Bu Lastri lagi.
“Eh, Mar, Damar!” terdengar suara pelan Rendy yang berusaha memanggil Damar dari bangkunya. Tentu saja direspons dengan sikap cuek oleh Damar.
“Oke!” Gilang berdiri dengan wajah sumeringah. Hampir berbarengan dengan Damar yang juga sudah berdiri hendak mengumpulkan lembar jawabannya ke meja guru.
Damar menoleh ke arah teman sebangkunya itu. “Udah siap semua, Lang?” tanyanya.
“Udah, dong.” Jawab Gilang dengan mantap.
“Emang yakin udah bener?”
“Nggak, dong.” kini Gilang menjawab dengan wajah cengengesan. “Bukan masalah bener atau salahnya, yang penting semua udah terisi, hehe...” Damar hanya bisa geleng-geleng kepala melihat temannya itu. Salut akan prinsip aneh Gilang, seaneh kumis tipisnya.
Di sudut lain, Namira terus memantau gerak gerik Damar. Berdiri dengan melipat kedua tangan dan bibir komat-kamit. Dari tadi dia terus berkonsentrasi, memikirkan sebuah cara yang jitu untuk membuat Damar tertembak jatuh dan menyerah.
***
Bel istirahat berbunyi, seluruh murid sibuk dengan urusannya masing-masing. Begitu pula Damar dan Gilang yang terlihat sedang berjalan menuju arah kantin.
“Mar, kamu tahu gak PS yang kemaren baru aku beli udah rusak aja. Kabel listriknya tiba-tiba meledak. Buset, bikin jantung mau copot.” oceh Gilang namun Damar tampak tidak begitu menyimak. Dia terlihat menengok ke arah belakang badannya dimana Namira berjalan mengikutinya dengan senyum lebar yang membuat Damar merasa was-was. Instingnya seakan bisa mendeteksi sinyal-sinyal tidak beres dari senyum Namira itu.
“Mar, kamu kenapa, sih? Diajak ngobrol, diem-diem bae.” protes Gilang.
“Ah, gak kok. Tadi kamu bilang apa?”
“Itu...” belum sempat Gilang menyelesaikan kata-katanya, tiba-tiba dia melihat tubuh Damar sedikit kejang dengan mata setengah terpejam.
“Mar! Kenapa?” tanyanya cemas sembari menggoncang bahu temannya itu. Hanya sepersekian detik, wajah Damar yang tadinya datar berubah menjadi lebih merona dengan senyum genit bin aneh di wajahnya. Gilang hanya bisa melongo kebingungan.
Damar tersenyum sembari membelai rambut sampingnya dengan tangan. “Ah, berhasil! Luar biasa banget rasanya.” ucapnya riang. Gilang makin bingung dengan perubahan tiba-tiba dari temannya itu.
“Ah! Oh, Gilang?” kata Damar dengan nada centil saat melihat wajah Gilang yang menatapnya dengan mulut menganga. “Awas, masuk lalat.” sambungnya sambil mengatupkan rahang mulut Gilang dengan tangannya.
Gilang hanya diam dan merasa bingung. Dia tidak mengerti kenapa Damar tiba-tiba saja berubah menjadi aneh. Otaknya serasa membeku dan mulutnya serasa terkunci tak dapat mengatakan satu kata pun. Damar yang ada di hadapannya ini begitu membuatnya syok.
Jelas saja Gilang syok, karena yang ada di hadapannya sekarang ini bukanlah Damar sepenuhnya. Tapi Namira yang sedang merasuki raga teman sebangkunya itu. Namira sudah berusaha keras mencari cara jitu untuk menjinakkan Damar, tapi sepertinya pikirannya selalu menemui jalan buntu. Sebenarnya dia juga tidak ingin bertindak sejauh ini, merasuki tubuh Damar tanpa persetujuannya. Tapi mau bagaimana lagi? Mungkin ini cara ampuh untuk meruntuhkan keras kepala manusia jomblo satu itu.
Mata Damar jelalatan memandang kesegala arah. “Sekarang, apa yang harus aku lakukan, ya?” gumamnya. Pandangannya terhenti pada seseorang yang sedang asyik bercengkrama dengan siswa lainnya. Seseorang yang sempurna untuk dilibatkan dalan rencananya. Dengan senyum centil, Damar berjalan menghampiri orang tersebut.
“Da-mar...” lirih Gilang dengan ekspresi bingungnya.
Seno terlihat sedang bercerita sambil tertawa bersama beberapa temannya, duduk di pinggiran kolam air mancur yang berada tepat di kantor guru. Tetapi tawa mereka terhenti ketika melihat seseorang yang tak diundang menghampirinya. Seno sudah sangat familiar dengan sosok yang menghampirinya itu.
“Eh, mau apa dia? Cari mati tuh anak.” ucap salah satu teman Seno.
Damar dengan percaya diri, berdiri tegak dengan dagu yang ditinggikan dan berkacak pinggang. “Hey! Mulai sekarang, kamu jangan pernah bully aku lagi. Ngerti!” teriaknya sembari mengacungkan jari telunjuknya ke arah Seno.
Bagai petir di siang bolong yang menyambar, seluruh murid yang ada di sana terperanjat. Semua mata tertuju pada pemandangan dahsyat itu, Damar menantang Seno. Mereka menyaksikan adegan itu dengan mata melotot dan mulut menganga. Bahkan Rendy dan Dion teman sekelas Damar sampai saling menampar pipi mereka hanya untuk memastikan bahwa adengan yang mereka saksikan ini nyata bukan mimpi semata. Sementara di sudut lain, Gilang terlihat memegangi dadanya yang kesulitan bernapas melihat kelakuan maha dahsyat teman sebangkunya itu.
“A-apa ka-mu bilang?” ucap Seno gelagapan. Bukan takut, hanya saja dia seperti tidak percaya si cupu berkacamata dan berbadan tambun itu berani menantangnya. Mimpi apa dia semalam?
“Berani kamu sama aku?” geram Seno. Dia merasa wibawanya sebagai senior yang paling ditakuti diinjak-injak oleh kelakuan Damar. Seketika Seno langsung berdiri dan berjalan menghampiri Damar yang berdiri hanya beberapa langkah darinya.
Terkejut dengan rekasi Seno, Namira yang tadinya merasuki raga Damar langsung buru-buru keluar. Kembali Damar mengalami kejang, tapi belum sempat dia sadar sepenuhnya, Seno sudah berdiri hanya beberapa centi di depannya.
Ditatapnya wajah merah padam Seno dengan dahi berkerut kebingungan. “A-pa...” Belum sempat Damar berkata, Seno sudah menarik kerah bajunya. Antara refleks, takut, bingung dan terkejut, Damar seperti mendapat kekuatan super untuk berontak. Dia mencengkram tangan Seno dan berusaha mendorong seniornya itu sekuat tenaga. Alahasil Seno pun merasa kewalahan, tubuhnya terdorong ke belakang dan akhirnya...
BUUUURRRRR...
Bagai adegan epik, Damar dan Seno sama-sama tercebur ke kolam air mancur. Adu jotos pun tak terhindarkan. Seno memukul pipi Damar hingga membuat kacamatanya raib ke dasar kolam. Damar pun dengan sekuat tenaga membalas dengan memberikan bogem ke bagian bibir Seno. Akhirnya kolam air mancur itu menjadi saksi bisu perkelahian antara senior dan junior yang turut disaksikan ratusan pasang mata para siswa tanpa ada satu pun yang berani melerainya. Hingga akhirnya mereka berdua berakhir di ruang BP.
***
Sepanjang sisa jam pelajaran siang itu, Damar hanya diam. Mencatat pelajaran yang diberikab guru pun tidak, karena memang dia susah melihat tanpa kacamatanya yang raib ditelan kolam. Pastinya benda penyelamat Damar itu sudah hancur, habis terinjak-injak saat adu jotos tadi. Guru yang saat itu mengajar pun sudah makhlum, jadi Damar dibiarkan saja dan tidak ada yang berani mengganggunya. Begitu pun Gilang yang tak berani mengajaknya bicara, bahkan memanggil namanya saja, Gilang harus berpikir seratus kali.
Namira? Sejak keluar dari ruang BP tadi, hantu menyebalkan itu menghilang entah kemana. Batang hidungnya tak tampak di kelas. Bisa-bisanya setelah membuat kekacauan heboh seperti ini, hantu itu langsung hilang tanpa jejak. Damar tidak ingin ambil pusing dengan keberadaan Namira. Tapi di satu sisi, hatinya ini sudah terpatri dendam kusumat pada hantu menyebalkan itu. Ini sudah keterlaluan! Awas kamu Namira!
***
“Assalamualaikum.” ucap Damar saat membuka pintu rumahnya. Yang langsung disambut oleh sang mama.
“Walaikumsa,..” terkejut melihat penampilan kacau putranya membuat mamanya heboh. “Mar!” teriak sang mama. Dihampirinya Damar yang sedang membuka sepatunya. “Ya ampun Mar, kamu kenapa? Kok lecek gini?” tanya mamanya.
Damar meringis saat mamanya menyentuh pipinya yang memar. “Ini kenapa, Mar? Kamu kok jadi gini.” Mamanya mulai menangis. Belum pernah mamanya melihat Damar sampai kacau seperti ini. Apa lagi ada luka memar di wajah putranya membuat hatinya nelangsa. “Siapa yang mukul kamu, Mar? Kenapa dia tega! Mama aja gak pernah mukul kamu kayak gini. Huhuhu...”
“Ma, Damar gak apa-apa. Ini Cuma luka dikit, diobati juga nanti sembuh.” tukas Damar mencoba menenangkan mamanya walau pipinya masih terasa sakit.
“Gak apa-apa gimana? Ini sampe biru gini, Mar!”
“Iya, Ma. Tinggal diobati aja.” Damar mengambil sesuafu dari tasnya. “ Ini, Ma.” Disodorkannya sebuah amplop putih pada mamanya.
Dengan wajah bingung mamanya mengambil amplop itu. “Apa ini?”
“Itu, surat panggilan dari sekolah. Besok, mama sama papa disuruh datang ke sekolah.” jawab Damar sembari meringis meraba pipinya.
“Ya ampun, Mar!”
“Damar ke kamar dulu ya, Ma.” ucapnya dan langsung pergi menuju kamarnya. Sang mama masih berdiri sambil mengusap air matanya. Tidak baik juga memaksa putranya yang sedang kacau seperti itu untuk menjelaskan apa yang menimpanya hari ini. Lebih baik menunggu Damar tenang dan membiarkannya istirahat.
Damar langsung berbaring di kasur setelah mengganti seragam lusuhnya. Dari tadi dia memperhatikan sekeliling kamar tapi tak tampak tanda-tanda hantu itu. Rasa kesal belum sepenuhnya hilang di hati Damar. Malah sekarang makin berlipat ganda. Tunggu saja Namira, pembalasanku akan datang. Perlahan rasa lelah menghampiri dan mata Damar mulai terpejam.
*Jangan lupa like ya guys. Komen, kritik dan saran sangat membantu. Terima kasih!
Makasih...^^. Ikutin lanjutannya terus yaa...jangan lupa like nya hehe...
Comment on chapter Siapa Kamu?