Sudah sekitar satu jam lebih Damar membolak-balik buku sejarah di atas meja belajarnya. Dari tadi dia mencoba fokus dan konsentrasi membaca halaman tentang perumusan UUD 1945, tapi memang dasar otaknya tidak mau bekerjasama dengan niat di hatinya. Damar menghela napas, kemudian menoleh ke arah jendela. Namira di sana, berdiri memandang langit malam di balik kaca jendela.
Sejak pulang sekolah tadi hingga sekarang mereka berdua tidak saling bicara sama sekali. Lebih tepatnya Damar yang mengabaikan Namira. Sebenarnya berkali-kali Namira mencoba bicara pada Damar, tapi karena masih merasa kesal, Damar tidak merespons. Merasa kehabisan akal, akhirnya Namira menyerah dan memilih diam. Membiarkan Damar sendiri agar mood-nya kembali tenang.
Memaksakan otaknya untuk berkonsentrasi juga tidak baik, malah pasti akan membuatnya stres. Akhirnya Damar memutuskan beranjak dari meja belajarnya dan menghampiri Namira. Dia berjalan perlahan dan kemudian ikut berdiri di samping gadis itu. Hamparan langit malam terbentang luas sepanjang matanya melihat. Sangat luas, seakan tanpa batas. Hanya ada gelap dengan hiasan titik-titik bintang yang bertabur tak beraturan.
“Aku minta maaf.” kata Namira tanpa menoleh ke arah Damar. Damar memandang Namira sejenak, kemudian lembali menerawang langit malam.
“Tidak apa-apa. Lagi pula itu bukan sepenuhnya salahmu.” Damar menghela napas. “Sekarang kamu tahu kalau kehidupan sekolahku benar-benar sial.” sambungnya sambil mendengus.
Kali ini Namira menoleh. “Kenapa kamu selalu mengatakan hidupmu itu sial?”
“Mau gimana lagi, memang itu kenyataannya.” Damar tersenyum kecut sembari mengingat kesialan-kesialan yang dialaminya di sekolah. Mulai dari PR nya yang selalu dicontek berjamaah, membersihkan toilet, lari keliling lapangan, membersihkan gudang dan masih banyak lagi. Puncaknya hari ini, dituduh sebagai orang gila dan diancam. Mungkin sudah tidak terhitung lagi nasib sial yang menimlanya selama ini.
“Tidak ada yang namanya nasib sial.” ucap Namira sembari menggeleng. Ucapan Namira berhasil menarik perhatian Damar. Dipandangnya hantu cantik itu dengan dahi berkerut. “Yang ada itu adalah takdir.” lanjutnya.
Damar terkekeh. “Maksudnya, takdir sial? Sama aja, hanya diganti kata aja.”
Namira berdecak lidah sembari kembali menggelengkan kepala. “Takdir itu emang udah ditentukan dan kita nggak bisa merubahnya. Tapi, kita bisa ikut menentukan takdir seperti apa yang akan kita jalani.”
“Maksudnya?” tanya Damar dengan wajah nyengir. Otaknya benar-benar tidak bisa mencerna kata-kata Namira tadi.
“Sebenernya,” Namira mentap Damar serius. “...aku juga nggak ngerti aku ngomong apa, hehe...”
Damar yang tadinya sudah melotot serius langsung kesal. “Gimana, sih?” Padahal Damar sudah serius dan memusatkan konsentrasi pada kata-kata yang akan keluar dari mulut Namira. Tapi malah jawaban seperti itu yang didapatnya. Benar-benar hantu yang meyebalkan!
“Haha...maaf, namanya aku bingung. Pokoknya, intinya itu gak ada yang namanya nasib sial. Yang ada itu takdir. Dan kita harus berusaha untuk menjadikan hidup kita itu lebih baik.” ucap Namira dengan semangat menggebu-gebu. “Karena Tuhan tidak akan merubah nasib manusia, jika manusia itu sendiri tidak berusaha untuk merubahnya.”
Kata-kata Namira sukses mebuat Damar terkejut hingga membuat mulutnya melongo. “Hantu, juga tau tentang itu?”
“Aku kan dulu juga pernah jadi manusia. Pernah sekolah dan juga belajar kayak kamu.” Timpal Namira sambil memandang keluar jendela.
Damar manggut-manggut kemudian dia teringat sesuatu. Sesuatu yang dari tadi sangat ingin dia tanyakan. “Ah, sebenernya aku pengen banget nanyain hal ini ke kamu.”
Namira menoleh. “Apa?”
Damar tidak langsung menjawab. Dia terlihat memikirkan kata-kata yang tepat untuk menanyakan maksudnya. “Tadi, waktu pulang sekolah, aku lihat kamu duduk di lapangan sambil ngelamun. Terus, aku nemuin diary kamu itu di gudang sekolah dan kamu bilang kamu juga datang dari situ.” Damar berhenti sejenak. “Kamu bilang, kamu juga pernah sekolah. Apa waktu masih hidup kamu juga sekolah di sekolah itu?”
Namira menatap mata Damar lekat tapi sedetik kemudian, dia menundukkan pandangannya. Mencari kalimat pembuka yang pas untuk menjawab pertanyaan Damar. Sebenarnya dia sudah memikirkan hal ini, memikirkan jika suatu saat Damar akan bertanya tentang hidupnya. Mustahil rasanya jika Damar akan setuju membantunya tanpa tahu tentang dirinya.
Namira mengangguk. “Benar, aku dulu sekolah di sana.” Namira menghela napas. “Kelas dua. Tempat paling favorit perpustakaan. Pelajaran kesukaan bahasa dan aku suka puisi.” Namira memejamkan mata kemudian tersenyum. “Hmmm...hmm..” gumamnya. Menikmati kenangan indah yang berputar dalam pikirannya.
“Kapan itu?” tanya Damar.
Namira membuka mata. “Penasaran, ya?” ejeknya yang langsung disambut dengan desisan Damar.
“Hahaa...oke-oke. Jadi, sekarang kamu mau denger kisahku?” tanyanya.
Damar mengangguk mantap. Namira melayangkan pandangan ke arah bintang-bintang di langit malam itu. “Aku dulu sama kayak kamu. Anak remaja yang menikmati masa-masa indah kehidupan sekolah. Cantik dan punya banyak teman seperti Alena.”
“Narsis!” sela Damar.
“Itu emang kenyataan, tau!” timpal Namira sambil manyun.
“Oke, oke. Maaf. Terus?”
Namira melanjutkan lagi. “Anak tunggal sama seperti kamu.”
“Anak tunggal?”
Namira mengangguk. “ Anak tunggal dari sepasang orang tua yang protektif. Karena begitu sayang, jadi aku susah buat ngapain-ngapain. Banyak gak bolehnya.” sebuah senyum penuh arti terukir di wajahnya. Senyum sedih kah? Senyum bahagia kah? Entahlah, yang jelas sedikit banyak Damar mengerti perasaan itu. Menjadi anak tunggal memang bukan perkara mudah.
“Kadang, aku suka ngerasa kesel, marah, kenapa hidup aku harus begitu dikekang? Tapi, aku berpikir itu takdir hidup yang harus aku jalani.” Namira menatap Damar. “Karena aku percaya, setiap orang tua pasti ingin yang terbaik untuk anaknya. Meski caranya suka aneh-aneh.”
Damar hanya memberi senyum simpul menanggapi perkataan Namira. Teringat akan kedua orang tuanya sendiri, terutama mamanya. Yang selalu bereaksi heboh jika terjadi sesuatu pada dirinya.
“Untuk itu, aku menumpahkan segala rasa kesal, marah, sebel dan semua unek-unekku di diary itu. Termasuk semua hal-hal yang sangat ingin aku lakukan.” Namira mengangkat tangan kanannya ke udara. Jari-jarinya membuat gerakan seolah ingin meraih bintang-bintang di langit yang gelap dari balik kaca jendela. Seolah ingin meraih mimpi yang tak pernah bisa ia gapai.
Damar hanya bisa menatap Namira yang sedang bergulat dengan mimpi-mimpi kosongnya. Tidak ada kata yang bisa dia temukan untuk merespons Namira. Hanya suara jangkrik yang bersahutan memecah sunyi dan gelapnya malam.
“Untuk itu, aku menulis daftar kegiatan yang ingin aku lakukan kalo nanti aku udah berumur delapan belas tahun. Karena mama bilang, aku akan diberi sedikit kelonggaraan kalo udah berumur 18 tahun karena bisa lebih dipercaya. Tapi,” Namira berhenti. Menghela napas dalam kemudian menatap Damar sekilas. “...tapi ternyata takdir berkata lain. Aku gak bisa melakukan semua itu dan semua daftar kegiatan yang ingin kulakukan itu berubah menjadi daftar permintaan terakhir.” jelasnya dengan suara bergetar. Matanya berkaca-kaca. Namira tampak berusaha menahan emosi dan membendung air matanya.
“Apa yang terjadi?” lirih Damar.
“Aku kecelakaan bersama kedua orang tuaku. Dan kamu tau gak apa yang lebih ironis?” tanya Namira. Damar menggeleng. “Yang lebih ironis adalah aku kecelakaan hanya beberapa jam sebelum ulang tahunku yang ke 18.” sambung Namira sembari tersenyum getir. Kini air mata yang sedari tadi ditahannya tumpah sudah. Air mata itu terlihat membasahi pipinya tapi tentu saja tidak terlihat jejak tetesannya di lantai kamar Damar.
Damar hanya diam, membiarkan Namira sesunggukan meluapkan emosinya. Ini pengalaman pertama lainnya yang diberikan Namira pada Damar. Menyaksikan seorang hantu perempuan menangis sesunggukan.
Cukup lama Namira menangis hingga membuat Damar cemas. Bingung apa yang harus dilakukan, akhirnya Damar melihat kotak tisu di meja nakas dan mengambilnya.
“Ini,” Damar menyodorkan selembar tisu pada Namira. Hal itu spontan membuat Namira tersenyum di sela-sela tangisnya.
“Dasar!”
“Kalo kamu nangis terus, kapan ceritanya selesai?” timpal Damar. Namira mengusap air mata di pipinya dengan tangan. Tentu saja akan sia-sia jika dia mengusap air matanya dengan tisu yang Damar sodorkan, menyentunya pun tidak bisa. Damar pun ikut tersenyum, dirinya ikut senang karena sepertinya Namira sedikit terhibur.
“Lanjutan ceritanya ya, ini. Aku ada di kamar kamu.” ujar Namira.
Damar tampak berpikir sejenak kemudian ia teringat sesuatu. “Sebenernya, ada yang masih mengganjal di pikiranku.” katanya.
“Apa?”
“Kenapa hanya aku yang bisa ngelihat kamu? Kenapa orang tuaku gak bisa? Waktu kamu ke sekolah juga, semua yang di sana gak bisa ngelihat kamu.”
Namira tersenyum. “Itu udah jadi takdir kamu.” Jawaban Namira membuat Damar mendesis sebal. “Yang aku tau, ada seseorang yang menemukan diaryku dan itu artinya orang itu bisa membantuku mewujudkan permintaan terakhirku. Itu merupakan kesempatan dan anugerah yang luar biasa yang diberikan Tuhan padaku setelah sekian lama menunggu.” lanjutnya.
“Jadi, kalau yang nemuin diary kamu orang lain, apa situasinya tetap sama?”
Namira menggeleng. “Entahlah, mungkin akan tetap sama. Untuk itu aku sangat bersyukur kamu yang nemuin.” Dia berhenti sejenak. “Menjalani takdirku sekarang ini, aku gak minta sesuatu yang lebih baik lagi selain kesempatan untuk mewujudkan impianku.”
Damar mendengus. “Tidak masuk akal.”
“Kadang, beberapa hal yang tidak masuk akal itu bisa jadi nyata.”
Jawaban Namira membuat Damar tertegun. Rasanya ada begitu banyak makna di balik sebaris kalimat yang barusan diucapkan hantu cantik itu. Kalau dipikir lagi, perkataan Namira itu ada benarnya juga. Sesuatu yang tidak mungkin bisa jadi mungkin. Contohnya seperti sekarang ini, dia bisa melihat, merasakan bahkan berinteraksi dengan seorang hantu. Yang sebelumnya tidak pernah terpikirkan oleh Damar dan mungkin bagi sebagian orang mustahil tapi sekarang itu nyata terjadi pada dirinya. Bukan tidak mungkin hal-hal yang tidak mungkin lainnya bisa menjadi nyata. Misalnya, Alena.
Tiba-tiba pintu kamarnya terbuka membuyarkan semua lamunan Damar. “Mar, ngapain kamu di situ? Kok belum tidur?” tanya mama Damar bingung saat mendapati putranya sedang berdiri di jendela.
“Oh, gak apa-apa, Ma. Damar cuma ngilangin penat habis belajar.” jawab Damar sambil menggaruk kepalanya yang tidak gatal.
Sang mama mengangguk sambil melirik ke meja belajar Damar. “Ini udah hampir jam 11 loh Mar. Jangan terlalu dipaksain belajarnya. Nanti kamu pingsan lagi.”
“Iya, Ma. Ini juga mau tidur.”
“Ya udah kalo gitu.” balas mamanya sembari tersenyum lalu menutup pintu.
Namira yang sedari tadi menyaksikan kejadian itu tak kuasa menahan senyum. “Dasar, anak mama.” sindirnya. Mendengar ejekan Namira membuat Damar langsung mendesis seperti ular kobra. Tentu saja Namira langsung terbahak.Tanpa repot-repot memperdulikan tawa Namira, Damar langsung beranjak menuju kasur.
“Eh, Mar! Mau kemana?”
“Tidur.”
“Tapi kamu belum jawab, kamu mau bantu aku gak?”
Kini Damar sudah merebahkan tubuhnya ke kasur dan memeluk manja selimutnya. “Nanti aku pikirin lagi.”
Sekarang Namira sudah duduk di sisi lain kasur Damar. “Ih, apaan, sih! Tadi aku udah jawab pertanyaan kamu. Sekarang giliran kamu buat kasih keputusan!”
“Keputusannya nanti.” jawab Damar cuek sembari memejamkan mata yang sudah terasa berat.
“Mar!” panggil Namira sebal. Bisa-bisanya Damar memperlakukannya seperti ini setelah dia menceritakan tentang hidupnya dulu dengan penuh emosi dan air mata. Sekarang dengan gampangnya manusia jomblo satu ini enak-enakan tidur tanpa memberi keputusan dan kepastian. Tidak bisa dibiarkan!
“Mar! Damar!” teriakan Namira dibalas dengan suara ngorok Damar yang sudah tenggelam di dunia mimpi bersama Alena. Merasa geram, Namira langsung mengepalkan kedua tangannya ke udara.
Dasar!
***
Akhirnya bel istirahat berbunyi membuat Damar menghela napas lega. Sepanjang jam pelajaran tadi, Damar tidak henti-hentinya menguap karena rasa kantuk yang masih tersisa. Damar harus bisa melawan rasa kantuknya karena saat ini ada hal penting yang harus ia lakukan.
“Mar, kamu mau makan apa di kantin?” tanya Gilang sambil mengelus-elus kumis tipisnya.
Damar tengah buru-buru membereskan mejanya. “Kayaknya aku gak ke kantin deh, Lang.”
“Kenapa?”
“Aku ada urusan.” jawabnya singkat sambil beranjak.
“Eh, Mar! Mau kemana?” Damar tidak menggubris panggilan Gilang. Dia lantas langsung bergegas menuju ke arah yang berlawanan dengan kantin. Gilang hanya bisa melongo menyaksikan tingkah aneh teman sebangkunya itu. Tidak bisanya Damar bersikap sepeti itu.
Sementara itu Damar berjalan cepat menuju ke suatu tempat. Tentu saja Namira setia mengekor di belakangnya. “Mar! Damar! Kamu mau kemana?” tanyanya bingung. Namira terlihat sedikit kewalahan mengikuti langkah Damar yang cepat.
“Mencari kebenaran.” jawab Damar singkat.
“Kamu ngomong apaan, sih?”
Akhirnya Damar berhenti di depan pintu coklat bertuliskan T.U. Mulut Namira langsung membentuk huruf ‘O' saat melihat tulisan di pintu itu. Damar mengetuk pintu dan terdengar sebuah suara menyahut.
“Ya, masuk!”
Damar langsung memutar kenop dan masuk diikuti Namira di belakangnya.
“Permisi, Buk.” ucap Damar sopan pada seorang guru perempuan yang sedang duduk di kursinya.
“Oh, iya. Ada apa?”
“Gini, Buk. Saya Damar dari kelas XI A mau minta tolong sama Buk Lita.”
Bu Lita mengernyitkan dahi merasa bingung tapi tetap mempersilahkan Damar duduk. “Silakan duduk, Damar.”
“Makasih, Buk.” Damar segera duduk. Tadinya Namira sempat bingung, tapi sekarang sepertinya dia tahu apa maksud Damar datang ke tempat ini. Namira kemudia menggelengkan kepalanya sambil tersenyum.
“Ya, ampun Mar. Sampe segitunya sih kamu gak percaya sama aku.” cibir Namira. Tentu saja Damar tidak menggubrisnya.
“Jadi, kamu mau minta tolong apa?” tanya Bu Lita yang kini fokus menatap Damar. Damar terlihat gugup, ini pertama kalinya juga dia mendatangi ruang TU. Tapi tekadnya sudah bulat, dia harus mencari tahu.
“Gini, Buk. Saya mau minta tolong buat cari tau tentang data seseorang yang pernah sekolah di sini.” Bu Lita kembali mengernyit, tidak biasanya ada siswa yang datang kepadanya meminta bantuan seperti ini. Kebanyakan mereka datang mengurus masalah surat-surat atau uang iyuran.
“Memangnya buat apa?” tanya Bu Lita.
Damar bisa membaca ekspresi bingung dari wajah Bu Lita. “Cuma mau mastiin aja, Buk. Kalo memang orang itu pernah sekolah di sini. Saya gak akan buat macem-macem, kok. Sumpah, Buk.” jelas Damar meyakinkan Bu Lita sambil mengacungkan jari tengah dan jari telunjuknya membentuk tanda ‘peace’.
Bu Lita tampak ragu sejenak, tapi melihat ekspresi sunguh-sungguh bin memelas di wajah Damar, membuatnya mengangguk. “Baiklah. Siapa yang mau cari?” katanya.
Damar menghela napas lega sambil tersenyum. “Makasih, Buk. Namanya Namira Asoemabrata.”
“Namira Asoemabrata? Sebentar, ya.” Bu Lita segera beralih ke komputernya. Jari-jarinya sibuk berkutat dengan keyboard dan mouse.
Sementara itu Namira yang dari tadi berada di samping Damar, kini terlihat sudah berkeliaran di mana-mana. Dia takjub memperhatikan seluruh benda yang ada di ruangan itu.
“Wah, dulu belum sebagus ini.” gumamnya. Merasa penasaran, Namira langsung nyelonong ke samping Bu Lita.
“Wah, dulu komputernya belum secanggih ini.” ucapnya antusias. Rasa antusianya makin menjadi-jadi ketika Namira melihat sebuah rangkaian bonsai mini dari arkrilik di salah satu sudut meja. “Wah! Cantiknya!”
Damar hanya bisa memperhatikan keluakuan Namira itu dengan cemas sembari membatin. "Nami, jangan buat yang aneh-aneh. Jangan buat yang aneh-aneh." Tidak mungkin dia menegur Namira langsung, karena pasti Bu Lita akan mengusirnya dan dianggap gila.
“Baiklah, ini dia. Namira Asoemabrata tercatat sebagai siswi di sekolah ini angkatan tahun 2008. Berarti sepuluh tahun yang lalu. Tapi, di sini juga tercatat kalau Namira Asoemabrata tidak sempat menyelesaikan pendidikannya karena mengalami kecelakaan dan meninggal.” Bu Lita menatap Damar yang tengah menunduk. “Memangnya, Namira Asoemabrata ini siapanya kamu?” tanyanya.
“Oh, bukan siapa-siapa kok, Buk.” jawab Damar cepat. “Kalau begitu, saya permisi Buk. Terima kasih atas bantuannya.” Damar segera beranjak tanpa memperdulikan tatapan curiga Bu Lita. Mengetahui fakta yang barusan di dapatnya semakin menegaskan kebenaran tentang keberadaan Namira dahulu. Sebelumnya memang dia sempat ragu dengan cerita Namira malam tadi. Bisa saja hantu itu mengarang cerita demi kepentingannya. Tapi setelah mengetahui semua ini, sepertinya tak ada lagi yang bisa disangkalnya.
“Jadi, gimana? Udah selesai kan misi mencari kebenarannya?” cibir Namira yang sekarang sudah berdiri di samping Damar. Damar hanya menghela napas sambil memandang pintu ruang TU itu untuk terakhir kalinya kemudian pergi.
Kembali Namira mengekor. “Aku tuh gak bohong. Kamu itu kenapa masih gak percaya sama aku, sih?” Damar tetap cuek dan terus berjalan. “Jadi, setelah tahu kebenarannya, keputusan kamu gimana? Kamu mau bantu aku kan?” tanyanya lagi.
Tiba-tiba Damar berhenti dan membuat Namira sedikit terkejut. Damar menoleh ke arah Namira. “Oke. Keputusanku...” ucap Damar dengan menatap serius mata Namira. Tatapan Damar otomatis membuat mata Namira membelalak dan bibirnya membentuk senyuman. “...nanti kupikirkan.” lanjut Damar dengan ekspresi mengejek kemudian langsung lari.
“DAMAR!!!”
*Jangan lupa like ya guys. Komen, kritik dan saran sangat membantu. Terima kasih.
Makasih...^^. Ikutin lanjutannya terus yaa...jangan lupa like nya hehe...
Comment on chapter Siapa Kamu?