Damar berbaring di ranjang sambil menutup seluruh tubuhnya dari ujung kaki sampai ujung kepala dengan selimut. Bukan tidur, tapi ia sedang berpikir. Memikirkan kemungkinan paling masuk akal yang sedang menimpanya saat ini. Kutukan atau kesialan. Fakta bahawa ada seorang gadis di kamarnya yang jelas-jelas pintunya terkunci rapat membuat sel-sel otaknya berkerja keras untuk merangkai logika. Tapi di sisi lain fakta bahwa mamanya tidak bisa melihat wujud gadis itu seolah mementahkan semua logika. Hanya ada satu kata yang bisa mendefenisikan siapa gadis di kamarnya itu dan Damar terlalu takut untuk mengakuinya.
Sekitar satu jam yang lalu, Damar baru saja sadar dari pingsannya. Begitu membuka mata, ia langsung berteriak ketakutan. Alahasil, kedua orang tuanya pun panik hingga membuat mereka buru-buru menghubungi dokter Nisa. Tapi setelah diperiksa, dokter Nisa bilang kondisi fisiknya baik-baik saja dan tidak ada gejala sakit apapun. Untuk itu dokter Nisa hanya memberi resep vitamin dan menyuruh Damar beristirahat. Tapi bagaimana mungkin Damar bisa beristirahat, kalau kenyataannya gadis itu masih ada dalam kamarnya? Bagaimana pula dia bisa menyingkap selimutnya? Damar yakin jika dia melihat gadis itu pasti dia akan pingsan lagi.
“Mar, sarapan dulu, yuk.” Mamanya masuk sambil membawa nampan makanan.
“Kalau gak sarapan nanti kamu tambah sakit.” sambung mamanya lagi.
Perlahan Damar membuka selimut yang menutupi wajahnya. Mumpung ada mamanya, Damar memberanikan diri mengedarkan pandangan ke seluruh sudut kamarnya. Tapi keberadaan gadis itu tak tampak. Kemana dia? Apakah sudah pergi? Apakah yang ia lihat beberapa jam yang lalu itu hanya halusinasi belaka?
“Mar! Kamu kok jadi aneh gini? Ada apa?” tegur mamanya yang kini sudah duduk di sisi ranjang putranya. Rasa panik masih terlihat jelas di wajah mamanya melihat tingkah aneh Damar.
Damar langsung bangkit. “Ma, mama beneran gak lihat tadi ada seseorang di sini?”
“Seseorang?”
“Iya, Ma. Perempuan.”
“Oh, dokter Nisa.”
Damar berdecak lidah. “Bukan, Ma. Bukan dokter Nisa, tadi pagi pas mama masuk terus Damar jatuh. Perempuan itu tadi ada di kamar ini.” Ekspresi Damar benar-benar serius. Ditatapnya mata sang mama lekat hingga membuat mamanya bergidik.
“Mar, mama mohon, kamu jangan aneh-aneh dong. Kamu tuh anak mama satu-satunya, Mar.” ujar mamanya sambil mengelus kepala Damar.
“Tapi, Ma...”
“Kalau memang kamu lagi males sekolah, tinggal bilang terus jelasin alasannya kenapa. Jangan buat hal yang aneh-aneh gini dong, Mar. Mama sama papa itu khawatir sama kamu. Papa kamu aja sampai telat berangkat kerja tadi gara-gara kamu pingsan.” Mata mamanya mulai terasa panas. Menyaksikan putra semata wayannya tiba-tiba pagi tadi sudah sangat membuatnya takut tak menentu. Sekarang Damar malah bertingkah aneh, membuat rasa takutnya pagi tadi yang belum hilang seratus persen kembali lagi.
“Andai kamu tau, Mar. Gimana takutnya mama tadi lihat kamu pingsan. Mama takut kalau kamu kenapa-kenapa.”
Rasa bersalah seketika muncul di hati Damar saat melihat mata mamanya yang berkaca-kaca. Lagi, ini kedua kalinya Damar melihat mamanya menangis karena mengkhawatirkannya. Bukan suatu hal yang menyenangkan melihat mamanya menangis, sebaliknya itu terasa menyesakkan. Jika Damar terus membahas masalah gadis itu, pastilah akan terus membuat mamanya khawatir. Sekali lagi, Damar diingatkan, menjadi anak tunggal bukan perkara mudah.
“Udah, Ma. Jangan nangis. Damar gak apa-apa kok.” Ucapnya sambil meraih tangan mamanya.
“Mungkin Damar Cuma ngayal, Ma. Soalnya tugas sekolah lagi banyak, jadi kecapean makanya pingsan.” Sambungnya lagi sambil tersenyum. Tak apa Damar berbohong lagi, asal mamanya tidak menangis.
“Makasih ya ,Mar. Pokoknya kamu harus istirahat hari ini. Jangan aneh-aneh lagi. Mama udah telepon sekolah tadi buat permisiin kamu.”
“Iya, Ma.”
“Sarapan dulu, ya. Mau mama suapin?”
“Gak usah, Ma. Damar bisa sendiri.” Kelegaan terpancar dari wajah mamanya membuat hati Damar lebih tenang.
“Kalau gitu, mama ke dapur dulu. Kalau perlu apa-apa, panggil mama.” ucap mamanya seraya beranjak.
“Iya, Ma.” timpal Damar sambil tersenyum.
Damar menghela napas berat. Kenapa semua kesialan ini harus menimpanya? Apa salahnya? Damar sadar, dia tidak boleh egois. Bukan hanya perasaannya sendiri yang harus ia pikirkan, tapi juga perasaan orang tuanya. Sekarang apa yang harus dia lakukan?
Kembali, Damar menatap ke sekeliling sudut kamarnya, gadis itu tidak tampak. Kemana dia? Sudah pergikah? Damar meletakkan tangan kanannya di dada, detak jantungnya mulai terasa normal. Kelihatannya semua sudah kembali normal, baguslah. Mungkin apa yang dilihatnya pagi tadi memang benar hanya halusinasi. Mungkin karena malam tadi ia bermimpi tentang Alena, jadi saat bangun mimpinya seolah terproyeksinya ke dunia nyata. Yah, pasti begitu.
Seolah mendapat suntikan semangat baru, Damar melirik nampan sarapannya di meja nakas dengan mata berbinar. Nasi goreng sosis dan segelas susu, menu sarapan favoritnya. Saatnya mengembalikan energi yang hilang, pikirnya.
“Kelihatannya enak!”
Sebuah suara sukses membuat sendok yang hampir sampai ke mulut Damar terjatuh. Damar langsung menoleh ke sumber suara itu dan mendapatinya lagi.
GADIS ITU LAGI!
Secepat kilat Damar langsung beringsut ke sudut ranjang. Tadinya ia ingin berteriak tapi tiba-tiba wajah sedih mamanya terlintas hingga ia mengurungkan niatnya. Sepertinya kali ini dia harus membuang rasa pengecutnya, dia harus berani. Kamu pasti bisa , Damar!
“Stop! Jangan pingsan lagi. Kalau kamu pingsan lagi, kapan kita bicaranya? Ujar gadis itu saat melihat reaksi Damar. Dia sudah maklum kalau Damar pasti akan takut. Tapi gadis itu berharap Damar bisa tenang sejenak.
Damar memeluk erat selimutnya. “Si-si-siapa kamu?” tanya terbatah. Nada suaranya jelas menandakan dia sangat ketakutan. Tapi kali ini tidak ada jalan lain, Damar harus menghadapinya.
Gadis itu tersenyum. “Kamu tenang dulu, biar kita bisa bicara. Aku gak bermaksud jahat kok.”
“Ka-kamu itu apa?”
“Aku rasa, kamu udah tau aku ini apa.”
Tentu saja, sekarang Damar semakin yakin bahwa analisa defenisinya tadi benar.
“Ha-han-hantu?”
Gadis itu tersenyum penuh arti membuat perasaan Damar makin tak menentu. Satu sisi dirinya ingin sekali berteriak dan lari, tapi di lain sisi ada sebongkah keberanian yang membuatnya bertahan. Seolah menegaskan bahwa ia harus menghadapi masalahnya ini.
Secepat kilat, Damar berlutut di ranjang, kedua telapak tangannya disatukan. “Ampun, Mbah! Ampun! Maafkan saya Mbah kalau ada salah. Tapi saya gak pernah kencing sembarangan, Mbah.”
Melihat reaksi Damar, gadis itu langsung berdecak sebal. “Ck! Emangnya aku kelihatan tua apa? Lihat, aku ini terlalu cantik untuk kamu panggil Mbah.” protesnya.
Damar memperhatikan gadis itu dari ujung kaki hingga ujung kepala, benar dia cantik. Rambut hitam sebahu, kulit putih, mengenakan gaun selutut berwarna biru muda dan kedua kakinya dibungkus sepasang flat shoes hitam bertabur gliter. Damar belum pernah melihat hantu sebelumnya, tapi dari cerita-cerita yang di dengarnya, kebanyakan hantu itu berpenampilan mengerikan. Tapi hantu yang ada di hadapannya ini sungguh berbeda. Apakah memang semua hantu berpenampilan seperti ini? Harus diakui, hantu yang sedang tersenyum padanya ini cantik luar biasa, bahkan lebih cantik dari Alena.
Sadar akan pikiran konyolnya, Damar menggeleng. Dia itu hantu!
“Kamu mau apa? Salahku apa?” tanya Damar takut- takut. Walau kadar ketakutannya sudah sedikit berkurang, tapi Damar tetap harus waspada.
“Itu.” jawab gadis itu sambil menujuk meja nakas.
“Nasi goreng? Kamu mau nasi goreng?”
“Idiiih, apaan sih! Gimana coba hantu bisa makan nasi goreng?” jawab gadis itu bingung, sama bingungnya dengan Damar. Entah apa yang di pikirkannya hingga menawarkan nasi goreng pada seorang hantu.
“Diary.” sambungnya.
Dahi Damar berkerut tapi sedetik kemudian ia sadar. “Oh! Diary itu punya kamu?” Dengan satu gerakan cepat, Damar melompat dari ranjang meraih diary merah itu.
“Ini, aku balikin. Aku gak bermaksud nyuri, aku gak sengaja nemu. Sumpah!” Tangannya gemetar saat menyodorkan diary itu.
Gadis itu menggeleng. “Aku gak minta kamu balikin diary itu.”
“Terus?”
“Aku,” gadis itu berhenti sejenak. Ditatapnya mata Damar lekat, membuat Damar ketakutan setengah mati. “Aku, mau minta tolong sama kamu.”
“Ha?”
***
Malam menjelang, Damar dan orang tuanya sedang makan malam. Tidak seperti biasanya, kali ini mamanya memasak berbagai macam makanan. Mulai dari kepiting saus padang hingga opor ayam kesukaan Damar tersaji di atas meja bundar itu. Mamanya sengaja masak banyak untuk mengembalikan semangat dan kesehatan putra semata wayannya setelah tragedi pingsan pagi tadi. Tapi dari tadi, Damar terlihat hanya memutar-mutar nasi di piringnya.
Menyadari hal itu, mamanya pun menegur. “Mar? Kok gak dimakan? Kamu masih sakit?” Nada cemas jelas terdengar dari suara mamanya.
“Kamu kenapa, Damar?” timpal papanya.
Merasa bingung harus menjawab apa, Damar pun hanya memandang wajah mama dan papanya secara bergantian. Kemuadian dia menoleh ke arah lain, gadis bergaun biru itu di sana. Berdiri tak jauh darinya sambil menatap ke segala sudut ruangan rumah Damar.
Penasaran, mamanya juga ikut menoleh ke arah pandangan Damar. “Mar, kenapa dari tadi kamu lihat ke sana terus? Ada apa?” tanya mamanya.
Damar menghela napas berat, seolah dadanya penuh dengan sesak.
“Kamu capek? Mau istirahat?”
“Damar gak apa-apa kok, Ma.”
“Beneran?”
“Iya.”
Sekali lagi Damar menoleh, gadis itu masih di sana membalas tatapan Damar dengan senyum.
"Aku, mau minta tolong sama kamu."
Kata-kata gadis itu masih bersarang di pikiran Damar. Sedari tadi, begitu banya pertanyaan-pertanyaan berseliweran di otaknya. Tapi Damar tidak mendapati jawaban yang pasti. Bagaimana bisa semua ini terjadi padanya? Kesialan macam apa yang sedang menimpanya sekarang? Bagaimana bisa ada seorang hantu masuk ke kamarnya dan meminta tolong? Terlebih hanya dirinya seorang yang dapat melihatnya.
Tentu saja, untuk mengetahui jawaban dari pertanyaannya ia harus mencari tahu dari sumber masalahnya. Tapi jika Damar melakukannya, bisa dipastikan bahwa urusannya dengan hantu itu tidak akan berhenti sampai di sini. Untuk pertama kali dalam hidupnya, Damar merasa galau. Dan hebatnya lagi, galaunya bukan karena cinta tapi karena seorang hantu.
Damar berbaring di ranjang, kembali ia menutup tubuhnya dengan selimut. Dari tadi ia berusaha mencoba tidur dengan harapan esok pagi hidupnya akan kembali normal. Tapi rasanya harapannya itu hanya ilusi belaka, karena faktanya hantu gadis itu masih ada bersamanya. Tiba-tiba Damar merasakan kasurnya bergetar dan ia bisa merasakan bahwa ada seseorang yang berbaring di sampinya. Tidak!
Spontan Damar menyingkap selimutnya dan langsung duduk. “Aaah! Mau kamu apa sih!”
Merasa terkejut, gadis itu juga bangun.
“Iisshh..kasar banget. Cewek itu gak suka dikasarin, tau! Keliatan banget sih jomblonya.” ucapnya dengan melipat kedua tangan di dada.
Mendengar itu Damar seolah dibuat mati kutu. Damar sudah membuka mulut ingin membantah tapi tidak jadi. Membaca gestur tubuh Damar, gadis itu tahu bahwa tebakannya benar. Damar memang jomblo.
Tanpa Damar sempat melihat, sekarang gadis itu sudah duduk bersila di hadapannya membuat bulu kuduk Damar meremang. “Baiklah, baiklah. Gimana kalau kita sudahi perdebatan ini dan mulai pembicaraan. Pertama -tama, mari kita saling mengenal dengan cara baik-baik. Yah, walaupun kesan pertama pertemuan kita di luar dugaan, tapi sepertinya sekarang jadi lebih baik. Aku Namira Asoemabrata.” Gadis itu mengulurkan tangan.
“Di luar dugaan? Dugaan apa? Apa kamu pikir, kesan pertama ketemu sama kamu akan baik-baik, gitu?” Damar mendengus kesal.
“Bayangkan, ada cewek tiba-tiba nongol di kamar aku yang jelas-jelas pintu dan jendelanya terkunci rapat, gak tau dari mana asal muasalnya. Dan ternyata, cewek itu adalah,” Damar berhenti sejenak. “...hantu.” sambungnya dengan penuh ekspresi.
“Hmm...” Gadis itu memberi kode pada Damar untuk menjabat tangannya yang masih berada di udara.
Sejenak Damar ragu, tapi kemudian ia memberanikan diri menjabat tangan gadis itu. Bukannya menyentuh, tangan Damar malah menembus tangan gadis itu. Tangan Damar langsung gemetar, seluruh tubuhnya merinding dan jantungnya berdetak kencang seperti genderang perang yang ditabuh.
“Oh, maaf. Aku lupa, aku kan hantu, yah? Hehehe...” Namira terkikik geli menertawakan kekonyolannya. Bisa-bisanya dia lupa, pikirnya.
“Bagaimana hantu bisa lupa?” Damar mencoba menenangkan dirinya walau jantungnya hampir mau copot.
“Yah, aku kan juga pernah jadi manusia. Jadi, kadang kebiasaan saat jadi manusia masih suka kebawa ke dunia hantu.” jawab Namira santai.
Damar menelan ludah dengan susah payah. Sudah terlanjur sejauh ini, dia harus mencari tahu alasan hantu bernama Namira ini datang padanya. Sudah terlanjur basah, mandi saja sekalian, pikirnya.
“Jadi, Namira, kamu mau apa?” tanyanya.
“Nami. Panggil aja aku Nami.” jawab Namira riang. “Seperti yang udah aku bilang sebelumnya, aku butuh bantuan kamu.”
“Bantuan?”
Namira menagngguk.
“Tapi, kenapa harus aku?”
Namira menujuk ke arah meja nakas. “Itu.”
Damar menoleh pun ikut menoleh. “Diary?” tanyanya. Benar, Damar ingat sebelumnya Namira mengatakan bahwa diary ini miliknya.
Namira mengangguk.
Damar meraih diary merah itu. “Jadi, kamu mau aku apakah diary ini? Kamu mau minta tolong aku buat kuburin diary ini di dekat makam kamu, gitu?”
“Bukan.”
“Jadi?”
Namira memandang Damar dengan mata berbinar. Kesempatan yang dia tunggu-tunggu akhirnya datang juga.“Di dalam diary itu ada permintaan terakhirku. Jadi, aku mau kamu membantuku untuk mewujudkannya.”
APA!
“TIDAK!”
* Jangan lupa like ya guys! Komen, kritik dan saran sangat membantu saya.
Terima Kasih.
Makasih...^^. Ikutin lanjutannya terus yaa...jangan lupa like nya hehe...
Comment on chapter Siapa Kamu?