8. Darisa, Diwei, Duwei dan Lovita yang Nakal
°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°
Lovita berjalan dengan riang. Rambutnya yang ia ikat seperti ekor kuda bergerak mengikuti irama langkahnya. Sesekali ia bersenandung, sebuah nyanyian merdu untuk alam yang diajarkan oleh Darisa. Darisa adalah naga ajaib milik Nyonya Ann. Sejak Lovita belajar mengendalikan warna dengan Nyonya Ann, naga itu lah yang selalu menemaninya. Darisa berbeda dengan naga kebanyakan. Ia merupakan naga raksasa setinggi empat meter. Tetapi, Darisa lebih memilih hidup menjadi naga sebesar burung merpati. Napas apinya pun jarang sekali keluar. Alih-alih menyemburkan api, Darisa lebih suka menyemburkan gelembung sabun bewarna pelagi.
"Sedang apa ya naga yang bijak itu?" tanya Lovita sembari terkekeh mengingat sahabatnya itu. Ia berlari saat menyadari matahari sudah semakin tinggi.
Dengan napas yang masih terengah-engah, akhirnya Lovita tiba di sebuah rumah kayu dengan bunga warna-warni menghiasi pekarangannya. Ia menyelipkan anak rambunya ke belakang telinga sembari memasang wajah tidak bersalah pada Darisa yang terbang di pintu. Naga itu menyilangkan tangannya yang pendek di depan dada. "Hey Lovi, kau datang sendiri?"
"Seperti yang kau lihat. Kemarin ulang tahun Lovi yang ke-8. Sekarang Lovi sudah resmi berusia 8 tahun, Lovi sudah boleh pergi kemana pun yang Lovi inginkan sendirian." Lovita menoleh ke kanan dan kiri penuh selidik. Ia memajukan wajahnya hingga menyentuh moncong Darisa. "Ini rahasia kita," ucapnya sambil berbisik. "Lovi akan pergi ke Hutan Hidup."
"APA?!"
Lovita memundurkan wajahnya saat suhu Darisa meningkat. Ia menunduk saat gelembung warna-warni itu meluncur dari moncong Darisa. Setelah gelembung-gelembung tersebut pecah dan menyisakan hawa panas, Lovita segera menepis Darisa agar tidak menghalangi jalannya. Siapa sangka, benturan antara tubuh mungilnya dengan pintu tetap tidak menghentikan Darisa. Naga itu mengepakkan sayapnya, mengejar Lovita dengan geram. Sayang sekali, bocah nakal itu segera melompat ke pangkuan Nyonya Ann yang tengah menyulam.
"Cucu Nenek terlambat datang ya?" Nyonya Ann meletakkan peralatan menyulamnya. Ia menggosokkan hidung mancung--hampir melengkung seperti paruh Kakak Tua--ke hidung mungil Lovita.
"Lovi tidak terlambat Nek, tapi Darisa menghalangi jalan. Lovi tidak bisa masuk." Nyonya Ann menarik pipi tembam Lovita dengan gemas.
"Ikat dia Nek, bocah itu nakal sekali!" Darisa mendengus mengeluarkan karbon dioksida yang hangat.
Nyonya Ann tersenyum. Ia mengusap rambut Lovita dengan lembut. "Sayang, Nenek akan ke kantor pusat. Apa Lovi ingin ikut? Atau ingin belajar bersama Darisa?"
"Lovi di sini saja Nek."
Keriput di sekitar matanya membuat Nyonya Ann semakin terlihat sipit saat tersenyum. Wanita tua itu mengecup Lovita sebelum menyuruh gadis kecil itu bangkit. Ia berjalan dengan lambat, menghampiri naganya lalu melengkapi pergi.
Sejak Nyonya Ann tidak lagi terlihat, Darisa terbang menjauh. Ia bertengger pada jendela kayu dan membuang muka seolah Lovita tidak ada. Sementara bocah lincah itu tidak henti-hentinya mencari perhatian dari Sang Naga. Lovita melompat ke meja makan, menari hingga meja kayu yang sebelumnya berwarna coklat berubah menjadi biru. Tetapi Darisa tetap bergeming. Tidak mau habis akal, Lovita kini berguling pada lantai kayu berwarna coklat berkilau membuat warnanya berubah menjadi kuning. Sayangnya, Darisa tetap diam.
Mulai lelah, ia mengambil jubah berwarna merah muda beraroma strawberry dan mengenakan jubah tersebut. "Darisa, aku akan menuju Hutan Hidulp sekarang!" teriak Lovita.
Mendengar ucapan Lovita sontak membuat Darisa ingin menoleh dan memarahi anak itu. Tetapi, ia berpikir bahwa hal tersebut hanyalah usaha Lovita untuk menganggu Darisa. Menyilangkan kedua tangannya di dada, Darisa berkata dengan acuh, "duduk diam bocah nakal!"
Hening. Tidak ada jawaban dari Lovita. Semilir angin membelai kulit naganya yang kasar. Darisa berbalik. Pintu yang sebelumnya tertutup rapat kini terbuka. Mata hijau Darisa menelusuri tiap sudut ruangan. Ia terbang menjelajah seisi rumah, tetapi Lovita tidak ditemukan.
"Lovita ...," panggil Darisa.
Tidak ada jawaban.
Darisa terbang menuju pekarangan rumah. "Lovita ini tidak lucu! Keluar sekarang!"
Tetap tidak ada jawaban.
"Lovita aku mau menurutku semua kemauan mu!" ucap Darisa mulai panik.
Tetap tidak ada jawaban apa pun. Pikiran Darisa mulai kacau. Ia terbang tinggi agar tidak bertemu manusia. Hutan Hidup, itulah yang terlintas di pikiran Darisa. Dengan rasa kesal dan khawatir yang bercampur, Darisa mengepakkan sayapnya dengan lebih cepat.
"Bocah itu minta dibakar!"
*****
Lovita mendengus kesal. Ia berlari menyusuri jalanan berbatu secepat yang ia bisa sebelum Darisa mengetahui kepergiannya. Di belokan pertama yang ia lewati, dua ekor Burung Warn terbang rendah mendekati Lovita. Sontak ia berhenti dan merentangkan tangan kirinya. Seolah mengerti maksud Lovita, kedua burung itu mendarat dan hingga di lengan Lovita.
"Lovita mau ke mana?" tanya burung dengan patuh berwarna biru cerah.
"Selagi tidak ada Nyonya Ann, Lovi akan menuju Hutan Hidup," jawab Lovita santai. "Mau menemani Lovi, Burung?"
"Aku Diwei," ucap burung yang memiliki garis kuning pada paruhnya, "Dia Duwei, adikku."
"Nama yang aneh," cibir Lovita. "Kalau mau ikut terbang ya. Lovi takut naga menyebalkan itu mencegah Lovi."
Tidak menunggu diperintah dua kali, Diwei dan Duwei berhambur terbang di sisi kanan dan kiri Lovita. Pun dengan Lovita, gadis itu berlari secepat yang ia bisa membuat jubah merah mudanya berkibar. Belum ada tiga meter jarak yang ia tempuh, Lovita berhenti diikuti kedua Burung Warn. Ia memandangi Diwei dan Duwei secara bergantian.
"Apa kalian berdua berbicara padaku?" tanya Lovita penuh selidik.
Burung-burung tersebut berkicau dengan bahasa burung yang tidak Lovita mengerti. Ia mengusap wajah merasa otakknya sedikit tidak waras. Tetapi, Lovita tidak ingin memikirkan hal itu. Kaki pendek Lovita kembali berlari hingga menuju sisi terluar dari Desa Karteng.
Lovita menelan ludah saat melihat dua Penjaga Desa tengah berjaga di jembatan yang mbentang di atas Sungai Kristal. Sudah tentu Lovita tidak akan bisa melewati rute tersebut. Dengan sedikit putus asa, Lovita berjalan menuju arah yang berlawanan dari para penjaga desa. Pikirannya terus mencari cara bagaimana agar ia mampu melewati Sungai kristal yang dingin. Untunglah sepertinya keberuntungan sedang berpihak pada Lovita. Ia menemukan bagian Sungai Kristal yang tidak terlalu dalam dengan bebatuan berukuran yang membentang ke sisi lain Sungai Kristal.
Lovita melirik ke arah Penjaga Desa. Ia masih bisa melihat mereka, itu artinya, mereka pun bisa melihat Lovita saat dirinya menyebrang. "Kalian, tolong ganggu mereka bisa? Lovi akan menyebrang sampai Lovi bisa melewati Sungai Kristal dan padang rumput itu. Setelah itu kalian terbang menuju Lovi. Bagaimana?"
Kedua Burung Warn membentangkan sayap lebar-lebar sebagai tanda setuju. Mereka terbang menuju jembatan kemudian terbang rendah dan berputar di kepala Penjaga Desa. Saat dirasa sudah aman, Lovita mulai menyebrang dengan hati-hati. Serpihan es yang hanyut membuat Lovita merinding tiap kali mengenai kulitnya.
Ketika tiba di seberang Sungai Kristal, Lovita langsung berlari menuju hamparan ilalang yang tumbuh subur. Ia merangkak dengan cepat sampai tiba di tepi Hutan Hidup. Lovita jongkok di balik semakin yang tiba-tiba bergeser di depannya. Tidak lama kemudian, dua Burung Warn tersebut sudah terbang menyusul Lovita.
Kerenn.
Comment on chapter 1. Lovita di bawah Pelangi