3. Surga Kue di Hutan yang Sedang Marah pada Anak Nakal
°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°
Dua bersaudara Zaidan dan Zarain berjalan dengan bersungut-sungut. Kakak beradik itu baru saja mendapat hukuman hanya karena mengganggu tetua yang tengah menyiangi tanaman di depan kantor desa. Dengan tidak berperikemanusiaan, orang tua berperut buncit itu menyuruh Zaidan dan Zarain mengelap setiap helai daun yang ada di tanaman hiasnya. Tentu saja mau tidak mau mereka harus melakukan hal itu atau mereka tidak akan lagi mendapat santunan sedangkan keduanya merupakan yatim piatu.
Karena kesal, Zarain mengajak adiknya, Zaidan yang masih berusia lima tahun pergi. Sejujurnya, ia tidak mau harus ke mana. Akan tetapi, Zarain yang sudah berusia dua belas tahun sudah bisa merasakan sakit hati atas perlakuan para tetua yang seenaknya.
Matahari semakin meninggi dan kini tepat berada di atas kepala mereka. Berjalan si siang hari saat suhu mencapai 40°C benar-benar keputusan yang buruk. Terlebih tanpa perbekalan yang cukup dan baju yang menyerap keringat. Tetua memberikan larangan bagi setiap orang untuk memasuki Hutan Hidup di sebelah barat desa, tepat di seberang Sungai Kristal. Akan tetapi, Zarain tidak mengindahkannya. Dengan hati-hati ia menuntun Zaidan melewati bebatuan licin Sungai Kristal. Air jernihnya sangat dingin, hinhga kedua kakak beradik itu harus terpeleset beberapa kali akibat terkejut dengan lempengan es yang menyentuh kulit mereka.
Dengan perjuangan yang melelahkan, tibalah mereka di tepi Sungai Kristal--seberang desa. Zarain berlutut, membersihkan kaki Zaidan dan memeriksa apakah ada luka di kulit Zaidan. "Kau baik-baik saja?" tanya Zarain memastikan yang dibalas anggukan oleh Zaidan. "Bagus, kita bergegas, di ujung hutan ada kota yang indah."
Zarain meraih tangan mungil Zaidan. Baru hendak melangkah, sebuah anak panah menancap di tanah, dua langkah di depan mereka. Sedang jantung dua bersaudara itu berbaur dengan hembusan angin dan gemercik air membuat suasana tidak kondusif di kepala mereka. Zarain memberanikan diri menoleh, dilihatnya dua pria bersenjata dengan seragam rapi dan tampak gagah. "Sial, penjaga desa!" desis Zarain kesal.
Satu dari mereka yang bertubuh lebih tinggi melambaikan tangan pada Zarain dan Zaidan. "Berhenti Nak, kalian tidak seharusnya berada di sana."
"Kembali atau kalian akan kami panah," timpal satunya dengan suara meninggi.
Menelan ludah, Zarain kembali berbalik, menghadap Hutan Hidup yang membentang dengan hijau di hadapan mereka. "Hitungan ketiga lari," bisik Zarain. "Jangan pernah lepaskan genggaman tangan oke? Kau mengerti Zaidan."
Zaidan kecil mengangguk. "Jangan meninggalkanku Kakak."
"Hei Nak." Suara penjaga desa terdengar lagi. Zarain menggenggam Zaidan erat sembari terus mengatur napas agar tetap tenang. "Kami akan menyebrang, tetap di situ."
"Atau kalian ingin merasakan rasanya dipanah seperti apa!" sambung rekannya yang memang benar-benar tidak bersahabat.
"Hentikan Seno, kau menakuti mereka."
"Anak nakal yang melanggar aturan harus tau akibatnya Andre."
"Tidak tidak! Mereka hanya anak-anak, mereka tidak tahu apa yang mereka lakukan."
Suara bising di belakang mereka membuat rasa penasaran Zarain muncul. Dari ekor matanya, Zarain melihat jelas dua penjaga desa tengah beradu argumen. Tidak ada satu pun dari mereka yang mengejar. Zarain tersenyum nakal, ia menoleh ke arah adiknya. "Siap untuk berpetualang Zaidan sayang?"
"Tentu!" balas Zaidan dengan senyum penuh semangat.
"Satu ... dua ...." Zarain mulai menghitung. "Tiga!"
Dengan segenap tenaga, kedua anak tersebut berlari menembus semak setinggi lutut dengan penuh semangat. Tidak jarang kulit mereka tergores akan tetapi tidak sedikit pun hal itu memperlambat langkah mereka. Jauh di belakang mereka, suara penjaga desa terdengar lirih. Memanggil, mengumpat dan menyebut kata-kata kotor seolah tengah berbicara dengan orang dewasa yang hina. Zarain menoleh, dilihatnya salah satu penjaga desa terpeleset saat tengah menyebrangi sungai kristal.
Zarain mengabaikan kedua penjaga desa. Ia menoleh ke arah Zaidan, mendapat raut wajah kelelahan adiknya.
"Tenang adikku, setelah ke luar dari semakin ini kita akan beristirahat."
Tanpa berniat menunggu jawaban Zaidan, Zarain terus berlari. Tiga meter di depannya--atau empat meter--hamparan pohon jati tampak berdiri tegap dengan gagah. Daun besarnya yang cokelat dan kering berhamburan. Zarain mempercepat laju larinya, memaksa Zaidan mengimbanginya dengan susah payah.
Tidak memakan waktu lama, keduanya berhasil ke luar dari kepungan semak yang sedikit menimbulkan rasa gatal. Udara di antara pohon jati sedikit lebih sejuk. Tentu saja, lebatnya dedaunan di atas mereka membuat sinar matahari kesulitan untuk mengenai tanah. Sesuai janjinya, Zarain mengajak Zaidan beristirahat sejenak. Dipilihnya sebuah pohon besar yang tidak ia ketahui namanya. Tentu saja bukan pohon jati, pohon yang sendirian dengan akar besar berbonggol-bonggol ke luar dari tanah. Tidak sedikit akar yang seukuran paha Zarain bahkan lebih besar. Zarain duduk di salah satu akar dengan Zaidan di sebelahnya. Napas kedua anak tersebut tidak beraturan dan terdengar sesak. Baju lusuh yang dikenakan telah basah oleh keringat dan berbau asam.
"Ke mana kita selanjutnya Kakak?" Zaidan mencicit disela napasnya yang masih tidak beraturan.
"Kita berjalan sesuai bimbingan hutan." Zarain membelai rambut cokelat Zaidan dengan lembut.
Menegapkan tubuhnya, Zaidan menatap mata cokelat kakaknya. "Maksudnya? Di sini hanya ada pohon jati tanpa jalan. Bagaimana bisa hutan membimbing kita?"
"Adikku sayang, sepertinya kau belum tahu kenapa hutan ini disebut hutan hidup?" Zarain menatap Zaidan dengan heran.
Zaidan menggeleng, "Tunjukkan."
Zarain tersenyum nakal. Rambut keritingnya yang kusut ia sisipkan di telinga. Tangannya yang hanya berupa tulang berbalut kulit menyentuh batang pohon besar tempat ia beristirahat. Dibelainya kulit kayu kasar dan berlumut itu dengan perlahan. "Dewi Forist, tolong bimbingan kami ke tempat di mana kami bisa cukup makan, tinggal dan bersenang-senang."
Mundur dua langkah, Zarain memeluk Zaidan erat. Dilihatnya pohon besar tersebut bergeser, tiga langkah ke kanan. Saat itulah Zarain menemukan jalan setapak. Sesuatu yang akan mengantarnya menuju tempat impian.
"Terimakasih." Zarain memeluk batang pohon tersebut kemudian menyeret Zaidan melewati jalan yang ada.
Perlajanan berlangsung dengan membosankan. Terlalu mulus, tidak ada bahaya seperti yang Tetua ucapkan pada seluruh penduduk desa. Yang Zarain lihat hanyalah deretan pohon yang tidak ia ketahui namanya, beberapa semakin yang bergerak membuka dan menutup jalan untuk mereka lewati serta binatang kecil yang tidak menarik untuk dilihat.
Tersenyum tipis, Zarain memotong dahan kecil. Ia mulai memukul-mukulkan bilah kayu itu pada semakin beri yang ia lewati. Zaidan melakukan hal yang sama, tangan mungilnya menarik dedaunan, menendang semak, menangkap kelinci dengan kasar kemudian mencekiknya. Suara tawa kedua kakak beradik tersebut menggema bersama rintihan pada tumbuhan dan hewan yang tersakiti.
"Lihat, hutan ini hanya hutan biasa." Zarain bergelantungan pada dahan pohon sebesar lengannya. Ditatapnya Zaidan dengan tatapan seolah sangat berkuasa. Ia mengayunkan tubuh kurusnya ke depan dan ke belakang. Saat ayunan ketujuh, dahan tersebut kehilangan kekuatannya. Tubuh Zarain terpelanting ke depan sejauh dua meter bersama dengan patahan dahan.
Melihat hati tersebut, Zaidan membawa kaki kecilnya berlari secepat yang ia bisa. Diraihnya lengan Zarain guna membantu kakaknya bangkit. Ia memperhatikan Zarain yang tengah membersihkan tanah di bajunya selama beberapa saat. "Kurasa hutan marah, kita nakal kakak."
"Kata siapa hutan marah?" Zarain merangkul adiknya. "Lihat, hutan menunjukkan jalan lain yang penuh dengan beri dan kupu-kupu."
Secercah senyum merekah dari bibir Zaidan. Ia berlari kecil meninggalkan Zarain. Dipetiknya beberapa beri yang sudah matang. Segar. "Kakak cepat!"
"Aku belum pernah makan beri," gumam Zarain sembari mengunyak buah mungil berwarna ungu kemerahan tersebut. "Segar, seperti yang anak-anak sombong itu bilang."
"Kakak kemari ada kue jahe!" teriakan Zaidan mengalihkan perhatian Zarain. Gadis itu berlari kecil mendekati adiknya. Aroma kue yang baru selesai dipanggang menyeruak membuat perutnya berbunyi.
Zarain mematung selama beberapa saat. Sebuah gapura kue jahe terlihat berdiri kokoh di ujung jalan.
Memberikan isyarat agar Zaidan diam, Zarain mendekati gapura kue jahe. Aroma jahe semakin membuatnya lapar. Diambilnya sepotong kue jahe yang masih hangat dan dengan perlahan ia memasukkannya ke mulut. Sensasi rasa manis dan pedas khas jahe menyebar memenuhi mulutnya. "Zaidan, ini memang kue jahe!"
Mendengar ucapan kakaknya, bocah bekulit cokelat itu berlari. Ia mengambil beberapa potong kue jahe kemudian memasukkan ke dalam mulut dengan rakus.
Belum puas dengan apa yang mereka dapatkan, perhatian kedua anak tersebut teralihkan pada sebuah rumah berdinding biskuit dengan hiasan permen serta kolam cokelat di depannya. Mereka saling pandang sebelum akhirnya berlari menuju rumah enak itu. Zarain mengintip dari jendela agar-agar transparan. Dilihatnya sebuah rumah penuh dengan makanan manis, minuman yang menyegarkan dan seorang wanita tua dengan kuku hitam panjang yang menjijikan. Matanya terpejam, akan tetapi, ia menghadap ke arah Zarain. Wanita berambut merah keriting itu tersenyum kemudian beranjak dari duduknya ke sebuah ruangan yang tidak terjangkau oleh penglihatan Zarain.
"Kita masuk," tawar Zarain. Tanpa berniat menunggu jawaban adiknya, Zarain membuka pintu yang terbuat dari wafer. Aroma berbagai makanan manis memanjakan hidung Zarain dan Zaidan. Perhatiannya langsung tertuju pada meja panjang yang penuh makanan. Tidak ingin menyia-nyiakan waktu, Zarain langsung melahap apapun yang ia temui dengan bersemangat.
"Kau suka, Cantik?" Suara serak seorang wanita membuat Zarain menghentikan aksinya. Ia melihat ke sekeliling tidak ada satu pun orang yang ia lihat termasuk adiknya, Zaidan.
"Zaidan kau di mana?" teriak Zarain panik.
"Dia bersama ku. Kami akan memasak untukmu." Lagi-lagi suara serak tersebut terdengar. Kali ini lebih keras. Zarain teringat ruangan tempat wanita tua tersebut menghilang. Dengan langkah sepelan mungkin, Zarain menuju ruangan di balik rak yang penuh dengan roti gandum.
Tubuhnya menegang saat ia menyaksikan wanita tua berbaju merah tersebut tengah berdiri di depan meja bersama Zaidan yang terbaring di atas nampan logam. Sebuah pisau dengan lebar 5 cm tergenggam di tangan kanan wanita itu. Dalam beberapa detik, ia mengayunkan pisau berkilau tersebut dan siap mendaratkan di leher Zaidan.
Keringat dingin mengucur dari dahi Zarain. Satu detak jantung kemudian, Zarain berlari. Alih-alih mendorong wanita itu, ia justru mendorong nampan Zaidan tepat sebelum pisau tajam itu memenggal kepala adiknya.
"Gadis yang pemberani akan membuat kue kacang yang berani," ucapnya kemudian mulai membuat adonan kue berwarna merah.
Kerenn.
Comment on chapter 1. Lovita di bawah Pelangi