“Ada titipan surat untuk anda,” Orang itu mengeluarkan sebuah surat. Jean segera menghampiri orang itu.
“Dari siapa, pak?” Tanya Jean sambil menerima surat itu.
“Baca saja.”
“Ini bukan surat panggilan, kan?”
“Saya permisi,” Orang itu pergi.
“Cie…cie…,” teriak teman sekelasnya.
“Yang dapat surat. Cie…,”
Jean melirik teman-temannya. Lalu melihat suratnya. Untuk beberapa saat ia menatap surat itu dan kemudian ia melipat surat itu cukup kecil untuk di masukkan ke dalam saku celananya. Dan kembali ke tempat duduknya sebelum dosennya datang.
>>>>><<<<<
Diantara jeda jam kuliahnya, Jean mengeluarkan surat itu. Dengan segera ia mengeluarkan isinya. Dengan cepat Jean membuka setiap lipatannya. Teman-temannya telah mengerumuni Jean dan melihat kearah surat itu.
Tiba dilipatan terakhir, Jean melambatkan gerakannya. Salah satu temannya melihat ke arahnya beberapa kali. Sebelum.
“Lama banget sih lo,” ucap temannya yang kemudian membuka lipatan terakhir itu.
‘HAI’ hanya itu yang tertulis di sana. Dengan huruf yang diprint sebesar kertas HVS. Tak ada alamat apapun yang tertera. Jean terlamun membaca itu.
“Ya, Cuma gitu doang,” Salah satu temannya memukul kertas itu lalu pergi bersama teman lainnya.
Pelan-pelan matanya tak fokus. Ia memutar memorinya ke 6 jam yang lalu. 16 jam yang lalu, dan 6 hari yang lalu. Momen-momen yang sama sekali ia tak bisa kendalikan.
Kaca mata.
Putih.
Jas hitam.
Sepatu mengkilap.
Dasi kupu-kupu.
Jari yang menari.
Kalem.
Pantulan cahaya.
Seolah banyak sekali alasan yang digunakan untuk mempertahankan memorinya itu. Pikirannya mengira-ngira saat itu. Siapa? Apa? Benarkah? Mengapa? Kenapa? Untuk apa?
Saat Jean sibuk mengira-ngira, sepintas memori melewat dilamunannya. Cukup satu kata yang menggambarkan memori itu. ‘Menyebalkan’.
Jean mengambil nafas. Lalu melihat ke arah surat itu lagi. Setelah teringat akan memori itu, ia malas untuk menebak siapa yang mengirimnya pesan pendek seperti itu. Tangannya melipat kembali kertas itu dan mengembalikannya ke tempatnya.
>>>>><<<<<
Jean menatap jadwal pelajaran di kampusnya. Dengan teliti ia membaca deretan bacaan yang ada disana.
“Hei, lagi ngapain?” Tiba-tiba Nisa dan Gina datang dan ikut membaca.
“Liat jadwal,” Jawab Jean singkat.
“Buat apa?”
“Ada aja.”
“Cari jadwal ruang apa?”
“Nah, ini,” Ucap Jean sambil menunjuk sebuah jadwal.
Tiba-tiba ponsel Nisa berdering keras, membuat mereka semua terkejut. Nisa segera mengeluarkan poselnya yang entah di mana. Ia terus mencari-cari poselnya. Sementara Jean dan Gina melihat Nisa dengan raut muka kebingungan. Nisa mengeluarkan poselnya dan langsung mengangkat telepon.
“Iya, halo,” Jawab Nisa.
“…”
“Iya, kak. Aku masih di kampus, nih,”
“…”
“Tunggu bentar aku sekarang ke sana,”
“…”
“Hah? Ngajak mereka?” Nisa melirik kedua temannya.
“…”
“Ngapain?”
“…”
“Iya, deh. Aku bujuk,” Nisa mematikan teleponnya dan melihat ke arah teman-temannya.
“Pulang, yuk,” Ajak Nisa.
“Ya, lo pulang aja. Tu gerbang di sana,” Jean menunjuk gerbang.
“Pulang bareng maksudnya,”
“Tumben lo. Biasanya jalan sendiri,” Heran Gina.
“Heeh,” Tambah Jean.
“Ya, mumpung ada kakak gue yang jemput pake mobil.”
“Tapikan kita beda arah.”
“Ah, kak Rangga nyuruh gue ngajak kalian.”
“Hah? Yang bener?” Tanya Gina yang masih heran.
“Buru!” Nisa menarik tangan Gina.
“Kalian berdua duluan aja gue masih punya urusan,” Ucap Jean sambil menerawang sekelilingnya.
“E.. lo juga harus ikut,” Gina menarik tangan Jean.
Oleh Luthfita