“Kak, kita mau kemana, sih? Celentang celentung, kayak orang linglung.” Kesal Jean yang dari tadi mengikuti Rangga yang belum menemukan pak Rian di manapun.
“Emang lagi linglung.” Rangga berhenti berjalan dan menghadap Jean.
“Ya tanya dong ke karyawan disini.”
“Gengsi.”
“Ya telepon!” kesal Jean. Rangga mengeluarkan handphonenya.
Jean berjalan menjauhi Rangga yang sedang menelepon pak Rian. Jean melihat sesuatu. Ia melihat sekilas Rangga yang masih menelepon dan pergi menuju tempat yang membuatnya penasaran. Sebuah tempat yang memiliki berderet-deret kursi penonton dengan sebuah panggung setengah lingkaran berwarna putih.
Jean melohok, ia ingat jika kelompok teaternya akan tampil ditempat yang disediakan oleh pak Rian. Dengan panggung seluas itu dan deretan kursi yang ada membuatnya agak ragu.
“Jean?” Rangga menghampiri Jean yang berdiri kaku. “Kamu ini kenapa?”
“Liat deh, kak. Bagus banget tempatnya.”
“Sama aja.”
“Ih, kak. Panggungnya itu hampir dua kali lipat dari panggung di gedung.”
“Emang dua kali lipat.” Rangga menatap panggung di depannya.
“Dan..” Jean membalikan tubuhnya.
“..semua yang berkunjung disini pasti melihat kita. Dari lantai bawah sampai lantai atas.” Jean mengangkat kepalanya.
“Gak usah lebay, deh.”
“Kayaknya aku gak sanggup, deh.”
“Yang terpenting sekarang, perfromen kita harus luar biasa. Karena kalo luar biasa kita bakalan tampil sekali lagi, alias dua kali tampil berturut-turut and jadi langganan tampil. Belum lagi orderan yang datang karena mereka ngeliat penampilan kita. Wow, kan?”
Jean menatap Rangga fokus. “Wow.”
Rangga tersenyum. “Itu bukan imajinasi kakak, kan?”
“Bukan, Jean. Kapan kamu percaya sama kakak.”
“Maaf, saya datang terlambat.” Ucap pak Rian sambil menghampiri mereka. Rangga membalikkan tubuhnya.
“Tidak apa-apa, pak.” Balas Rangga.
“Oh, kau membawa pacarmu.” pak Rian menatap Jean.
“Maaf, pak. Kemarin cuman…”
“Pak apa ini tempatnya?” potong Rangga. Jean melirik Rangga penuh kesal.
“Saya permisi, pak.” Ucap Jean.
“Ets, mau kemana?” cegah Rangga.
“Pulang.”
“Gak, gak boleh. Temenin kakak.” Pak Rian hanya tersenyum melihat dua anak muda di depannya sedang bertengkar.
“Kakak punya hak buat ngatur aku? Enggak, kan.”
“Kami permisi dulu, pak.” Rangga menarik Jean agak jauh dari pak Rian.
“Kamu ini kenapa, sih. Malu-maluin aja.” Bisik Rangga sambil sesekali melihat kepada pak Rian.
“Aku kesel, dari kemarin kakak ngeboongin pak Rian emang gak ngerasa salah gitu?”
“Bohong apaan, sih?”
“Sejak kapan kita jadian?”
“Sejak hari ulang tahun aku.”
“What?!” ucap Jean agak berteriak.
“Udah, terima apa adanya. Jangan maluin lagi.” Rangga menarik Jean kembali mendekati pak Rian.
Pak Rian menatap kearah Rangga. “Maaf pak.”
“Tidak apa-apa. Mari ikut saya.” Rangga mengangguk dan mengikuti pak Rian.
Jean diam dan tidak mengikuti Rangga. Ia masih kesal dengan ucapan-ucapan Rangga.
>>>>><<<<<
“Kak.” Panggil Jean. “Apa kakak gak pusing ngurus semuanya?”
“Ya pusinglah. Hampir setiap malem kakak siap koyo.” Rangga memasukkan handphonenya.
“Tapi, kok kakak bisa nyelsein gerakan-gerakan itu semaleman?”
“Gini-gini juga kakak jenius.”
“Bohong dosa…”
“Becanda, kakak bikinnya dadakan.”
“Em… seadanya…” Jean memalingkan tatapannya dari Rangga.
“Kamu merhatiin kakak ternyata.”
“Ey, GR banget.”
“Bohong dosa.” Ucap ulang Rangga.
“Kata siapa aku bohong?” Jean melirik Rangga.
“Jutek banget.” Rangga memukul pelan pipi Jean.
Jean menyingkirkan tangan Rangga dari pipinya dan memalingkan wajahnya ke arah lain. Rangga terkekeh pelan melihat reaksi Jean.
>>>>><<<<<
Oleh Luthfita A.S.