-2-
D'Coffee adalah sebuah kedai kopi tempat gue, David, sama Jaka biasa ngelepas penat sepulang sekolah. Menu-menu disini bisa dibilang relatif murah, lagian gue memang nggak terlalu suka ngabisin duit gue di kantin sekolah. Bukan karena makanannya nggak enak, tapi karena mayoritas pengunjung kantin sekolah adalah anak-anak superior alias anak-anak yang ngerasa diri mereka paling populer di sekolah.
Kedai kopi ini punya pemandangan yang bagus plus udara yang sejuk, bahkan pas cuaca lagi panas-panasnya sekalipun. Di luar kedai ada dua patung kayu yang tingginya kira-kira setengah dari badan gue. Interior kedai cukup minimalis, meja-mejanya hanya berbentuk kubus-kubus yang dibuat dari kayu albasia, sedangkan pengunjung duduk di kubus-kubus yang ukurannya lebih kecil. Semua kubus-kubus itu ditata rapi diatas lantai kayu yang mengkilat. Begitu gue sama David milih tempat duduk, pemilik sekaligus pengelola kedai ini nyamperin kita.
"Tumbenan atuh pagi-pagi udah kesini, nggak pada sekolah?" Tanyanya dengan logat sundanya yang khas.
"Eh Teh Yuni, hari pertama sekolah jadi gurunya pada rapat." Jawab gue.
"Oooh, kirain teh bolos. Awas kalo sampe Teteh tau kalian bolos, pokoknya mah nggak boleh ngopi disini lagi."
"Weiss, enggak dong. Kita mah murid teladan." Jawab gue lagi.
"Bagus atuh, mau pesen apa kalian?"
"Saya pesen yang biasa teh, Macchiato." Kata David.
"Kamu Rio, pesen apa?" Tanya Teh Yuni lagi sambil ngeliat gue.
"Kopi susu biasa aja Teh."
"Oke okee, ditunggu ya." Katanya sambil berlalu.
"Udah kepikiran mau kuliah dimana Vid?" Gue mulai pembicaraan sambil ngebuka jaket Gue.
"Belom kepikiran Yo, elu?"
"Gue sih males ngambil SNMPTN, nyari kampus swasta paling. Asal nggak keluar Bandung aja."
"Iya sih gue juga yang penting nggak keluar Bandung. Eh iya, tadi lu ditanyain sama si Rena."
"Ah serius lu?"
"Jangan keburu ge-er, paling cuma iseng nanya doang." Jawab David sambil nyimpen hapenya diatas meja. "Lagian tadi elu sama sekali nggak masuk ke kelas kan, wajar kalo ada yang nanya lu kemana."
"Dan kebetulan yang nanya itu si Rena." Sambung gue.
"Terus kapan mau ngajak dia jalan?"
"Motor gue masih di bengkel, baru minggu depan beres."
"Ya udah minggu depan."
"Ga segampang itu kuya! Lagian gue sama Rena kan sekelas, tiap hari juga ketemu."
"Ah banyak alesan sih. Lagian motor pake diceper-ceper segala, kena polisi tidur ntar baru nyesel."
"Lagi musim kali, lagian nggak ceper-ceper banget juga sih."
"Balik lagi ke topik utama Yo, ngajak jalan kan termasuk proses pendekatan juga. Ngobrol sama dia tiap hari di sekolah beda lah sama ngobrol sama dia pas kencan."
"Lu juga gimana perkembangannya sama si cewek misterius?" Bales gue.
"Beda kasus lah."
"Sama Vid."
"Beda, elu sama si Rena nggak se-complicated gue sama tu cewek." David mulai ngotot. "Dan kalo gue perhatiin, keliatannya si Rena memang suka juga sama elu Yo." Sambungnya.
"Nggak yakin gue."
"Yakinkan lah, ajak jalan."
"Pas liburan kemaren gue jalan kok."
"Belanja cat tembok sama keperluan dekorasi kelas nggak termasuk kencan." David nyengir.
"Gue udah pernah kerumahnya, udah kenal juga sama nyokapnya."
"Ya iya lah kenal sama nyokapnya, toh wali kelas kita pas kelas satu." David ngakak.
Nggak lama kemudian Teh Yuni dateng bawain pesenan gue sama David, disimpen pelan-pelan di atas meja terus pergi lagi.
"Makasih Teh." Kata gue sama David barengan.
Untuk beberapa saat, gue sama David sejenak ngelupain obrolan kita tentang Rena. Kita cuma duduk dan nikmatin kopi. Alunan musik blues yang diputer di kedai bikin suasana jadi makin tenang. Bapak-bapak berbadan tambun yang duduk diujung ruangan lagi ngebalik halaman korannya waktu tiba-tiba hape David bunyi, suara nada deringnya yang keras hampir bikin David numpahin kopinya.
"Halo...di Dago atas, tempat biasa...sama si Rio doang...sama siapa lu?... Oh oke oke." David lalu nutup hapenya. "Si Jaka mau kesini." Kata David.
"Sama si Silvy?"
"Sendirian." Jawab David singkat.
Lima belas menit berlalu, Jaka nyampe di kedai. Sambil garuk-garuk kepala berambut kusutnya itu, Jaka nyamperin kita.
"Mbak, espresso satu." Kata Jaka ke mbak-mbak yang baru keluar dari toilet. Gue sama David nahan ketawa, terus Teh Yuni dateng nyamperin kita.
"Heh Jaka! Ngapain kamu goda-godain pelanggan?" Kata Teh Yuni judes.
"Hah? Jadi mbaknya bukan.." Omongan Jaka keputus waktu pengunjung tadi duduk bareng tiga orang mahasiswi terus minum kopinya, wajah Jaka merah waktu mbak itu tiba-tiba ngeliatin sambil senyum-senyum geli.
"Espresso mas?" Mbak tadi ngangkat gelasnya sambil ketawa kecil, temen-temennya ngakak ngeledek Jaka.
Jaka nggak menghiraukan mereka terus langsung duduk bareng gue sama David. Mukanya masih merah nggak berani ngeliat ke arah pengunjung tadi.
"Tadi lu lewat kelas gue nggak Ka pas pulang?" Tanya David begitu Jaka duduk.
"Lewat lah, gue parkir motor disitu."
"Udah pada pulang anak-anak kelas tadi?" Tanya David lagi.
"Tadi sih masih rame, si Rudy nembak cewek."
"Wah siapa, jangan bilang Rena?" Tanya gue.
"Bukan, nggak kenal gue sama ceweknya, chubby-chubby gitu, kacamata." Jelasnya.
"Oh si Melly Yo." Kata David pas Teh Yuni dateng bawain pesenan Jaka.
"Makasih Teh." Kata Jaka. "Espresso?" Jaka balik badan ke arah mahasiswi tadi sambil ngangkat cangkirnya, keempat mahasiswi tadi pun ngakak lagi.
"Heh inget Silvy heh." Kata gue.
"Oh ngomong-ngomong soal Rena, tadi gue ketemu depan kelas lu Yo, nanyain elu."
"Nah kan, gue nggak bohong." Kata David.
"Dia juga suka sama lu Yo, elunya aja yang nggak peka." Jaka ngeledek.
"Nah kan." Tambah David.
"Elu dari tadi nah kan nah kan mulu." Gue mulai kesel.
* * *
Balik dari kedai kopi, David sama Jaka mampir dulu ke rumah gue yang jaraknya cuma beberapa meter dari sekolah. Begitu nyampe di rumah, gue disambut sama Tiwi yang lagi duduk di ruang tengah. Pake semacam topeng robot warna putih yang nutupin seluruh kepalanya, kecuali setengah dari rambut panjangnya yang menjulur keluar dari bagian bawah topeng.
"Ngapain pake begituan?" Tanya gue.
"Sekali-sekali pengen cosplay jadi super sentai. Tadi aku bikin topengnya kekecilan, jadi aku pake dulu biar melar." Jawabnya sambil goyang-goyangin topengnya.
"Kalo kekecilan, kok kepalanya bisa masuk?"
"Aku kan hebat atuh, ini topeng memang didesain untuk gampang dipake."
"Tapi dibukanya gampang juga?" Tanya gue lagi.
"Ya gampang lah."
"Vid, super sentai apaan sih? Kalo hentai Gue tau." Tanya Jaka penasaran.
"Semacam sentai tapi super." Kata David.
"Ibu mana Tiw?" Tanya Gue.
"Biasa lah, kumpul keluarga di rumah Nenek."
"Hmm." Gue ngangguk-ngangguk
"Oh iya, aku bikin Jus barusan tuh, ambil di kulkas."
"Gampang ntar aja, tadi abis ngopi. Itu yakin bisa dilepas?" Tanya gue lagi, masih penasaran sama topengnya.
"Bisa-bisa, udah sana ih."
"Iya iya." Jawab gue sambil naik ke lantai dua, David sama Jaka ngikutin dari belakang.
Secara teknis, sebenernya kamar gue bukan bener-bener kamar. Waktu gue masuk SMP, bokap gue bilang pengen renovasi rumah, yang asalnya cuma satu lantai kemudian dibuat jadi dua lantai. Tapi tiba-tiba waktu proses renovasi belum beres, bokap gue berubah pikiran. Dia bilang rumah ini udah punya cukup ruangan, jadi udah nggak usah renovasi lagi. Akhirnya hasil renovasi hanya berupa satu ruangan luas di lantai atas, yang kemudian setelah dilengkapi pintu dan jendela ditetapkanlah sebagai kamar gue. Kamar gue yang dulu di lantai satu, diubah fungsinya jadi gudang.
Begitu masuk kamar, gue langsung rebahan di kasur. Hal pertama yang biasa David lakuin di kamar gue adalah nyalain komputer gue, kalo si Jaka cuma duduk di lantai kamar yang berlapis karpet biru sambil mainin hape.
"Yo, wi-fi lu nyala kan? Paket gue abis." Tanya Jaka.
"Nyala, tau password-nya kan?"
"Tunggu, tanggal berapa sekarang?"
"4 Januari." Jawab Gue lagi sambil masih rebahan di kasur.
"Oh berarti password-nya tiwigeulisjan4." Kata Jaka sambil ngetik di hapenya, sesaat kemudian hape Jaka mulai berisik. Tanda banyaknya chat yang masuk dari Silvy.
"Yo, emangnya harus banget ya ganti password wi-fi tiap hari?" Tanya David sambil ngelepas jaket ijonya terus disimpen diatas rambut Jaka, Jaka diem aja.
"Gue sih nggak masalah, si Tiwi yang rada parno gara-gara kejadian ada yang maling bandwidth pas taun kemaren."
"Yooo." Suara Tiwi berisik di balik pintu. Gue bukain pintu, Tiwi berdiri di depan kamar Gue sambil masih pake topeng super sentai-nya.
"Nggak bisa dibuka ya?" Tanya gue dengan nada ngeledek, Tiwi cuma ngangguk. Gue sama David ketawa puas, Jaka masih diem aja.
"Digunting aja atuh." Gue nyaranin.
"Nggak mau ih bikinnya susah."
"Coba sini kepalanya." Kata gue, Tiwi lalu sedikit membungkuk.
Gue memposisikan kedua tangan gue di topengnya Tiwi, sementara kaki kiri gue bertumpu ke kusen pintu. Gue tarik topeng tersebut pelan-pelan soalnya takut rusak, tapi topengnya terlalu pas di kepala Tiwi sampe susah banget dibukanya.
"Vid bantuin jangan ketawa mulu." Gue sewot.
David berdiri dari kursi terus narik pinggang gue. Tiwi memantapkan posisi sambil tangannya bertumpu di kusen pintu, sementara David ngakak makin brutal, dan Jaka masih diam ngeliatin hapenya.
"Tarik Vid!" Gue bilang.
Sekarang gue sedikit nambah tenaga, David narik badan gue sekuat tenaga, sementara Tiwi narik badannya ke arah sebaliknya. Akhirnya kita bertiga jatoh keras banget tapi topeng Tiwi berhasil dilepas. Gue, David, sama Tiwi diem sebentar, muka Tiwi basah banjir keringet. Kita bertiga saling liat terus tertawa geli.
"Ka, dari tadi diem aja lu." Tanya David masih ketawa, jaket ijonya si David masih bertengger di kepala Jaka.
"Gue diputusin Vid, gue diputusin Silvy lewat chat." Jawab Jaka.
Seketika gue, David, dan Tiwi diem nggak berani ngomong apa-apa.
* * *
Sejak kejadian barusan, gue cuma tidur-tiduran dengerin musik. David masih ngehibur Jaka sambil main game di komputer gue. Gue merhatiin hape gue, berharap tiba-tiba Rena nge-chat gue. Rasanya pengen banget gue chat duluan, tapi ternyata memang nggak semudah itu ngumpulin keberanian buat nyapa duluan. Memang kalo diinget-inget lagi, di sekolah pun gue jarang nyapa dia duluan meski di suasana yang paling mendukung sekalipun. Beberapa saat berlalu, gue mulai ngetik di layar hape gue.
Ada beberapa tahapan yang bikin Gue males nge-chat duluan. Tahap pertama adalah ketika gue selesai ngetik. Di tahap ini biasanya gue mikir cukup lama sebelum mencet tombol 'kirim', padahal yang gue ketik cuma 'Hei'. Proses mikir ini bisa dibilang percuma karena pada akhirnya harus dikirim juga, mengapa demikian? Dengan asumsi bahwa Rena lagi ngeliatin hapenya, proses mikir sebelum ngirim ini akan ninggalin jejak berupa tulisan 'Rio sedang mengetik'. Kalo gue hapus semua, Rena bakalan tau kalo gue abis ngetik tapi nggak jadi ngirim. Karena terlanjur ngetik, akhirnya gue kirim itu chat. Kemudian muncullah tampilan seperti ini:
"Rio: Hei"
Tahap kedua adalah panik karena udah terlanjur gue kirim tapi nggak bisa di-cancel. Kemudian sampailah gue di tahap ketiga, yaitu berubahnya tampilan tersebut menjadi sebagai berikut:
"Rio: Hei <Read>"
Begitu tampilan tersebut muncul, ada beberapa hal yang biasa gue lakuin. Guling-guling di kasur, guling-guling di karpet, diakhiri dengan duduk di sebelah jendela kamar sambil ngeliatin layar hape diiringi lagu dari band emo. Kegalauan meningkat begitu di layar chat muncul tampilan sebagai berikut:
"Rena sedang mengetik."
Dan lebih nyebelin lagi ketika tulisan tersebut ilang sepuluh detik kemudian, lalu muncul lagi, kemudian ilang lagi, dan muncul lagi, tapi kemudian ilang lagi dan akhirnya chat gue nggak dibales sama sekali.
* * *
Mantap nih wajib dibaca
Comment on chapter 1