-1-
Sejak lima menit yang lalu gue berdiri diatas kursi belajar gue, lengkap bersenjatakan buku paket ekonomi kelas XI yang tebelnya nggak kira-kira, sementara helm itemnya si David nutupin kepala gue. Panggil aja gue Rio, nama lengkap gue Rio Dwi Wardhana. Gue adalah siswa kelas XII SMA jurusan IPS. Secara fisik gue biasa aja, nggak tinggi tapi nggak pendek-pendek amat. Rambut gue lurus dan selalu rapi meski nggak pernah disisir.
Pemuda tinggi berkulit putih yang lagi megangin kursi belajar gue adalah sahabat gue, David Putra Adithya. David adalah sahabat gue sejak kelas X. Selain dikenal karena badannya yang tinggi, kulitnya yang putih, serta hidungnya yang mancung, David juga dikenal sebagai pemain gitar dalam sebuah band yang seluruh personilnya beranggotakan anak-anak dari ekskul kesenian. Ciri khas David kalo lagi manggung, dia selalu balik badan, nggak pernah liat penonton. Rasanya susah juga kalo ngitung berapa jumlah cewek yang naksir David. Ironisnya, sampai sekarang David belum punya pacar. Kalo untuk urusan percintaan David juga agak tertutup, sampe sekarang gue belom tau kecengan misterius si David yang katanya udah ditaksir dari kelas X. Satu-satunya info yang gue tau, cewek tersebut bukan salah satu dari fans beratnya si David.
Sementara gue sama David lagi sibuk, sahabat gue yang satu lagi yaitu Jaka Yusuf Perdana, masih asik tidur-tiduran di kasur gue sambil metik-metik gitarnya David. Jaka adalah vokalis bandnya David, sekaligus ketua ekskul kesenian. Sebenernya Jaka itu asalnya drummer, tapi karena suaranya lumayan akhirnya ganti posisi jadi vokalis. Nggak kayak gue sama David, Jaka punya pacar. Pacar Jaka namanya Silvy, anak kelas XI jurusan IPS. Silvy itu cantik dan pinter pula, kadang gue suka aneh kenapa Silvy bisa suka sama Jaka. Secara fisik Jaka itu lumayan pendek, rambut keritingnya selalu acak-acakan, kulitnya agak item, dan idungnya agak pesek.
Kita bertiga udah temenan sejak hari pertama masa orientasi di kelas X. Sejak saat itu, persahabatan kita bertiga udah kayak alisnya Yudhi Nugraha dari kelas XII IPA-1, tebal, kokoh, dan nyambung nggak bisa dipisahin. Malahan waktu kita naik ke kelas XI, gue sama David mohon-mohon biar ditempatin di kelas yang sama, sedangkan Jaka kepaksa ditempatin di kelas lain karena ngambil jurusan IPA. Beruntungnya, kebijakan sekolah memutuskan untuk nggak ngubah pembagian kelas waktu naik ke kelas XII, jadi gue sama David tetep sekelas.
"Yo, kayaknya di balik lemari Yo." Kata David.
"Yakin lu?" Tanya gue sambil turun dari atas kursi.
"Yakin lah, pendengaran gue sensitif kalo berhubungan sama kecoa." Jawabnya sambil ngendap-ngendap menuju lemari gue.
"Atau kalo lagi ngupingin gosip tentang cewek yang kita nggak boleh tau namanya itu." Sambung Jaka sambil masih metik-metik gitar.
"Ssst ssst diem..." David ngasih isyarat biar gue siap-siap, jaga-jaga takut kecoanya kabur lagi. Ditendangnya lemari gue, beberapa saat kemudian keluarlah makhluk mengerikan berbentuk pipih yang ukurannya dua kali lebih gede dari jempol kakinya si David. "Yo itu Yo, hajar!" Si David panik.
Sambil ngebayangin muka guru ekonomi gue waktu kelas XI yang galaknya minta ampun, gue banting keras-keras buku yang daritadi gue pegang. Menyusul kemudian David nambahin tenaga pake kedua tangannya, gue sama David saling tatap dengan penuh kemenangan.
"Tewas karena beban ekonomi yang terlalu berat." Kata David.
"Secara harfiah." Sambung gue.
"Kalian sempet kepikiran nggak sih, mungkin kecoa yang kalian bunuh itu cuma numpang lewat, nggak ada maksud buat ngeganggu." Kata Jaka sambil mainin nada fals di gitarnya. "Mungkin dia abis pulang kerja, anaknya masih kecil, terus istrinya lagi hamil. Mereka nungguin pak kecoa yang udah janji mau pulang bawa martabak." Sambungnya lagi.
"Atau mungkin dia penguntit macam si Rio, dalam perjalanan mau ngintip kecoa betina lagi mandi." Kata David sambil nunjuk muka gue.
"Yang penguntit gue apa Elu?" Bales gue.
"Elu lah! Meskipun gue nggak sekelas sama tuh cewek, gue masih rutin ketemu sama dia." Jawab David sambil bersihin bangke kecoa pake tisu. "Sementara elu jarang banget ngobrol sama si Rena, padahal sekelas. Ngeliatin dia dari jauh, nge-download foto-fotonya di facebook, baca-baca semua statusnya, kalo bukan penguntit apaan dong?" Sambungnya.
"Gue suka grogi kalo ngobrol langsung sama dia." Jawab gue. "Eh tapi makin penasaran Gue, kok sampe sekarang kita nggak boleh tau tentang cewek misterius lu sih Vid?" Tanya gue ngeganti subyek.
"Soalnya cewek itu cuma imajinasinya si David doang Yo." Kata Jaka.
"Atau sebenernya ada Ka, tapi namanya Bambang." Gue nambahin.
"Ah ngaco, jadi begini gentlemen..." Akhirnya David angkat bicara. "Cewek ini tuh biasa banget dibandingin fans-fans gue, jadi kalo gue cerita pun, elu..." katanya sambil nunjuk muka gue. "...dan elu..." nunjuk mukanya Jaka. "...nggak bakalan percaya!" David nutup kalimatnya.
"Dari sekian banyak cewek cantik-cantik yang naksir sama lu, lu malah suka sama yang biasa aja?" Tanya Jaka.
"Cantik itu fisik bro, cuma cover, tampilan luar. Apa kabar sama hatinya, sifatnya, imannya?"
"Wah bener lu Vid." Kata gue.
"Ya yang jelas, sekolah tinggal satu semester. Kesempatan lu makin tipis setiap harinya Vid." Kata Jaka. "Berlaku juga buat lu Yo."
Gue sama David duduk bengong didepan lemari, sementara Jaka mulai mainin gitar lagi. Selama beberapa jam kita bertiga cuma nyanyi-nyanyi, nikmatin malem minggu terakhir di liburan semester karena lusa udah mulai hari pertama semester dua.
* * *
Gue bukan berasal dari keluarga dengan banyak drama yang kedua orangtuanya cerai dan hanya ibu peri yang bisa nyelametin Gue dari kejamnya ibu tiri, nggak gitu-gitu amat. Gue anak kedua dari dua bersaudara, nyokap gue cuma seorang ibu rumah tangga biasa, sedangkan bokap gue kerja sebagai pegawai swasta di perusahaan kartu seluler.
Kakak gue Pratiwi Eka Wardhani yang lebih akrab disapa Tiwi, adalah seorang mahasiswi tingkat 2 jurusan arsitektur. Tiwi itu, agak aneh. Dia sering asik sendiri di kamarnya sambil dengerin lagu-lagu pop bahasa Jepang dengan suara keras. Yang dilakuin Tiwi di kamar adalah bikin kostum-kostum yang nantinya bakalan dia pake di acara-acara cosplay. Bokap gue bilang selama masih positif dan nggak ngeganggu kuliah, gue sama Tiwi boleh ikut kegiatan apapun, termasuk cosplay. Nyokap gue bilang Tiwi keliatan lucu pake kostum-kostum yang dia buat, jadi kenapa enggak. Tiwi sendiri bilang, cosplay seru kok, nggak ada salahnya sekali-sekali Gue ikut ke acara-acara begituan. Ya, gue pernah ikut sekali, dan udah cukup sekali itu aja.
Gue kurang lebih sama kayak anak-anak SMA pada umumnya. Gue seneng dengerin musik, Gue belajar dengan porsi cukup, dan Gue suka main game online. Gue nggak termasuk pelajar yang pinter, tapi juga nggak bego-bego amat. Nilai-nilai Gue cukup, nggak terlalu tinggi dan nggak terlalu rendah.
* * *
Gue sekolah di SMA Kebangkitan 2 Bandung. Sekolah yang sekitar 40% siswanya adalah anak guru, anak kakaknya guru, anak adiknya guru, anaknya petugas sekolah, bahkan anak saudara jauhnya kakak ipar dari adik kepala sekolah, yang bisa dikatakan masuk lewat ‘pintu belakang’, nepotisme. Hal ini menyebabkan banyaknya jumlah tukang bully di sekolah dengan alasan ‘gue anak guru’. Yah tapi nggak semua anak guru di sekolah ini tukang bully, yang baiknya juga banyak.
Sebut aja Renata Andriani, anak guru bahasa Indonesia dan juara umum di sekolah sejak kelas X. Rena bertubuh ideal dengan postur ramping dan kulit yang putih banget. Rambutnya terurai panjang, matanya sedikit runcing kayak kucing, dan punya gigi gingsul yang lucu luar biasa. Waktu kelas X gue nggak sekelas sama dia, malahan gue sama dia nggak kenal satu sama lain soalnya dulu gue hanya bergaul sama temen-temen sekelas gue aja. Baru pas gue pertama kali masuk ruangan kelas XI, Gue kenalan sama dia. Waktu itu kira-kira jam setengah tujuh pagi kurang sepuluh menit dan gue orang kedua yang masuk ke kelas, hanya gue sama Rena yang ada di kelas. Rena nyamperin gue terus kita pun kenalan. Sejak kita sekelas, gue mulai diem-diem naksir dia.
Ini hari pertama di semester 2, kita boleh pulang lebih awal soalnya guru-guru mau pada rapat. Motor gue masih di bengkel, tapi keuntungan tinggal deketan sama sekolah adalah gue bisa pulang jalan kaki. Baru aja gue keluar dua langkah dari gerbang sekolah, gue denger suara Vespa David dari belakang.
"Yo, nggak pake motor?" Katanya sambil berenti di sebelah Gue.
"Masih di bengkel, lu langsung balik Vid?"
"Nggak tau sih, males juga langsung balik. Ngopi-ngopi yuk ah!" Ajaknya sambil ngasihin helm warna kuning.
"Oh hayu lah, nggak nungguin si Jaka dulu?" Tanya gue sambil duduk di jok belakang.
"Gue belom ketemu dia hari ini, ah paling ntar dia nyusul."
Gue dibonceng David dari sekolah yang terletak di Jalan Dr. Setiabudi menyusuri lalu lintas pagi yang kebetulan nggak macet. David belok di persimpangan Ciumbuleuit dan diterusin lewat Jalan Siliwangi yang sejuk. Gue suka banget lewat jalan ini, soalnya gue bisa liat lukisan-lukisan mural di sepanjang tembok Jalan Siliwangi. Maksud gue, hebat juga orang-orang yang mau susah-susah ngelukis di tembok sepanjang itu. Lukisan-lukisan di tembok ini kadang bikin gue kepikiran untuk ngambil kuliah seni rupa begitu lulus SMA nanti. Setelah kejebak macet beberapa menit di lampu merah Simpang Dago, gue sama David nerusin perjalanan ke arah Dago atas terus berenti di depan sebuah tempat bernama D'Coffee.
* * *
Mantap nih wajib dibaca
Comment on chapter 1