31
"Nand, aku pulang sendiri aja ya."
Kenand yang tengah berjalan di depanku berhenti dan menoleh. "Kenapa nggak bareng aja?"
"Ada yang mau aku beli."
"Aku antar."
"Nggak perlu, aku sendiri aja."
"Aku nggak ada acara kok sore ini."
"Bakal lama, mending aku sendiri aja."
"Nggak apa-apa, daripada nanti kamu pulang sendirian."
"Udah sore jadi aku bisa minta jemput bapak nanti." Aku bersikukuh untuk tetap bisa pulang tanpa Kenand, tak enak rasanya jika aku terus berangkat dan pulang bersamanya sementara jelas-jelas ia telah memiliki kekasih. Aku tak ingin kejadian seperti saat dengan Kak Mimin terulang kembali.
"Sama aku aja daripada ngerepotin bapak kamu."
"Bapak kan pulang kerja juga lewat sini."
"Jadi kamu nggak mau pulang bareng aku nih?"
Kami lanjut berjalan beriringan sembari berdebat, "bukan nggak mau tapi aku mau mampir-mampir dulu."
"Yaudah kalau gitu helm kamu biar di aku aja, aku bawain besok pagi."
"Jangan, aku bawa aja."
"Kenapa? Kamu repot ntar."
"Besok pagi aku berangkat sendiri aja."
Kenand menatapku tak suka. "Kenapa harus sendiri? Bareng aja hemat bahan bakar."
Aku kehabisan alasan.
"Oke? Aku jemput besok seperti biasa ya," ucapnya sebelum kami berpisah di persimpangan jalan.
"Yaudah terserah kamu aja."
.
Rencananya aku hendak berangkat pagi-pagi sekali jadi ketika Kenand menjemput aku sudah tidak ada di rumah namun rencanaku itu gagal total akibat bangun kesiangan. Tepat saat aku selesai menali kedua sepatku Kenand tiba dan aku tidak bisa mengelak lagi, mau tak mau aku harus berangkat bersamanya lagi pagi ini.
"Nand, nanti aku pulang sendiri ya," pintaku dengan nada memohon, berharap ia tidak memaksaku pulang bersama nanti.
"Kenapa?"
"Nggak ada apa-apa sih."
Kebetulan suasana sekolah belum begitu ramai membuat kami bisa leluasa berbicara sambil berjalan menuju ke gedung utama dari halaman parkir.
"Kamu kayak menghindar gitu." Rupanya ia mulai curiga, terlalu kentara kah aku?
"Bukan menghindar."
"Tapi?"
"Nggak enak aja, kamu kan udah punya pacar," aku mengatakan yang sejujurnya.
"Kan, sudah kuduga."
Aku membuang nafas kasar, terlalu malas membahas ini sebenarnya.
"Aku kan udah kenalin kamu ke Jazel, Jazel juga udah kenal kamu, nggak bakal ada salah paham lagi. Sebelum aku jadian sama dia, dia udah tahu kok aku dekat sama kamu. Dia juga nggak keberatan aku berangkat bareng kamu, pulang bareng kamu," ucapnya panjang lebar.
"Tapi akunya nggak suka! Berangkat bareng kamu, di kelas sebelahan sama kamu, ke kantin sama kamu, pulang dianter kamu, tapi kamu jadiannya sama yang lain."
Oops!
Aku keceplosan.
Kenand terdiam, ia menghentikan langkahnya dan berdiri mematung di tempatnya semula sementara aku segera memanfaatkannya untuk lari meninggalkannya. Yang kupikirkan saat ini adalah mencari tempat persembunyian sementara hingga jam renungan pagi dimulai.
.
Malu setengah mati aku mengingat kejadian pagi tadi, bahkan Kenand sama sekali tidak mengajakku berbicara sejak kami bertemu di ruang kelas untuk renungan pagi hingga saat ini - jam pelajaran terakhir. Mungkinkah Kenand marah denganku? Atau mungkin lebih parahnya ia jadi jijik denganku?
***