23
Aku tidak bertanya, Kenand juga tidak menceritakan apapun perihal kejadian sore itu. Meski penasaran dengan apa yang terjadi selanjutnya namun aku berusaha untuk tidak emarinkepo, sedekat apapun kami aku tetap harus menjaga privasinya kan?
Kami saling berkirim pesan selama weekend tanpa membahas hal itu sedikitpun. Kenand juga bersikap seperti biasanya ia pagi ini, ia juga menjemputku untuk berangkat bersama dan kami berbincang-bincang santai seperti hari-hari sebelumnya. Kuharap itu berarti tidak terjadi sesuatu yang tak diinginkan.
"Yah! Vanda! Yang ngajak justru nggak datang gimana sih?" omel Kenand begitu ketua kelas kami itu terlihat mendekat ke arah kami yang tengah duduk-duduk di koridor kelas menunggu bel berbunyi.
"Eh, sori, sori, aku kemarin ada les ternyata, jadwalnya diubah," ia beralasan. "Yang nanti sore deh, janji beneran datang nanti sore."
Kenand terdiam beberapa saat dengan wajah menunduk sebelum berujar, "nanti sore aku nggak bisa, kalian berdua aja."
"Aku juga nggak bisa kalau nanti," bohongku, sejujurnya canggung sekali kalau aku harus belajar berdua saja dengan Vanda.
"Yaudah kalau gitu besok lagi aja. Yang lain gimana?" Vanda beralih kepada teman-teman yang lain, meninggalkan kami.
Melihat Kenand yang tampak tidak baik-baik saja aku memberanikan diri bertanya, "kenapa?"
"Jumat kemarin aku bilang belajar kelompok bertiga, tapi Kak Mimin ketemu sama Vanda di tempat bimbel, dikiranya aku bohong karena mau ke tempat kamu," ceritanya, "aku sebenarnya nggak mau cerita, tapi aku nggak tahan."
Nah kan, dugaanku benar.
"Aku nggak tahu kalau dia tahu rumah kamu."
Aku mengangguk, akupun tak tahu.
"Kita hidup di zaman dimana cari alamat rumah bukan hal yang sangat sulit."
Ah, iya, aku paham. Sengaja aku tak menjawab, memberi kesempatan pada Kenand untuk bercerita agar ia pun lebih lega.
"Dia kejar aku, ikutin aku sampai rumah terus marah-marah kayak orang kesetanan." Kenand menunduk semakin dalam. "Dia ancam mau putus aja kalau aku masih dekat sama kamu."
Kalau sudah begini bukankah seharusnya aku menjauh?
"Tapi aku justru jadi benci dia, aku merasa dikekang, nggak punya kebebasan lagi," lanjutnya sebelum aku berhasil memutuskan mau menanggapi bagaimana.
"Pikirin dulu baik-baik."
Ia mengangguk kecil meski masih terus menunduk memandang ke lantai.
"Sekarang, mending belajar lagi, tinggal sepuluh menit nih. Soal itu pikirin lagi setelah ini." Sok bijak sekali aku menasihati padahal aku juga sama saja.
.
Kenand menyelesaikan UTS-nya terlebih dahulu dan menyerahkan lembar jawabannya kepada pengawas ruangan sementara aku masih memiliki dua belas butir soal yang harus dikerjakan. Ia memberiku kode dengan tangannya bahwa ia akan menunggu di koridor saja.
Berkat gorden jendela yang tidak ditutup sepenuhnya aku dapat melihat Kenand tengah berdiri bersandar pada tembok seberang ruang kelas yang kami tempati, matanya terpejam dan kedua tangannya ia simpan di saku celana. Kukira ia sedang fokus berpikir, tentu bukan memikirkan pelajaran karena jika iya ia akan segera membuka buku untuk mengobati rasa penasarannya.
Cepat-cepat aku menyelesaikan dua belas soal yang tersisa dan segera menyerahkan lembar jawabanku. Aku bahkan sudah tak terlalu peduli kalau jawabanku ada yang salah, aku ingin segera menyusul Kenand entah mengapa.
"Nand," aku menepuk pundaknya dua kali ketika ia tak juga menyadari kehadiranku dan membuka matanya.
"Hm?" Ia menanggapi kecil masih dengan posisinya semula, tak berubah sedikitpun.
"Mau ke kantin atau koperasi?"
"Ke toilet dulu." Ia membuka matanya dan langsung berjalan menuju ke toilet tanpa memandangku sedikitpun. Aku menigkuti di belakangnya dan berhenti beberapa meter sebelum toilet pria.
"Aku tunggu disini."
Ia tak menjawab dan langsung masuk begitu saja.
Kupikir ia sedang dalam pergumulan berat dan secara langsung atau tidak itu karena keberadaanku juga. Aku merasa bersalah terus bersamanya yang akan menyebabkan hubungannya dengan Kak Mimin memburuk, namun aku akan lebih merasa bersalah jika meninggalkannya dalam keadaan seperti ini.
Beberapa menit kemudian Kenand kembali dengan wajah basah kuyup, bahkan kemeja putihnya pun terkena air pada bagian atasnya namun ia tampak tak peduli. Hanya untuk membasuh muka kah dia kesini?
"Sudah?" tanyaku hati-hati.
"Sudah. Sudah mantap. Sudah yakin," jawabannya justru mengarah ke hal yang berbeda.
Aku tak tahu mau menanggapi apa, takut lidahku terpeleset juga.
"Kamu ke kantin aja dulu, pesenin aku soto satu sama teh panas, aku mau ke ruangannya Kak Mimin."
"Mau ngapain?" tanyaku cemas.
"Mau minta putus."
"Ha?!"
"Kamu nggak perlu takut dia bakal salahin kamu atau apapun, ini nggak ada hubungannya sama kamu. Masalah utamanya dia terlalu posesif dan aku nggak suka dikekang, cuma itu. Tenang aja," ia berusaha meyakinkanku bahwa semuanya akan baik-baik.
Tak ada pilihan lain selain percaya dan menuruti perintahnya.
***