22
Hari-hari terasa begitu cepat ketika aku menghabiskannya hanya untuk tidur, makan, dan belajar. Tak terasa kini kami telah sampai di pertengahan semester. Ya, minggu depan - yang berarti tiga hari lagi - kami sudah akan menghadapi ulangan tengah semenster, rasanya baru saja aku datang kesini sebagai murid baru, menjalani MOS, dan berkenalan dengan teman-teman baru.
"Rencananya mau belajar sama siapa nih?" tanya ketua kelas kami, Vanda, ketika aku tengah menghabiskan jam terakhir yang kosong ini dengan melamun di pojokan kelas sambil men-charge ponsel.
"Nanya sama aku?" tanyaku memastikan, takutnya ia bertanya pada yang lain, kan malu udah jawab ternyata nggak ditanya.
"Iya dong kamu, Thia."
"Belajar sama pacarku dong," jawabku ngasal.
"Bukannya udah putus?"
Yhaaa... Menyesal aku asal jawab. "Aduh duh jangan dibahas dong," protesku.
Ia tertawa.
Payah memang, berita negatif cepat sekali tersebar.
"Ya kan situ duluan yang bahas pacar."
"Ya pacar yang lain maksudnya. Guling," tandasku, menghindari munculnya gosip-gosip baru yang tak mengenakan.
"Yaudah, intinya, kamu mau belajar bareng siapa?"
"Bareng Kenand lah," celetuk Tata yang kukira dari tadi tak memperhatikan tapi ternyata ikut dengar juga.
Baru aku mau membantah, Kenand justru mengiyakan, "iya, Thia sama gua!" teriaknya.
"Memangnya kenapa sih?" tanyaku bingung, "mau ada belajar kelompok?"
Vanda meletakkan pantatnya di sampingku. "Jadi gini, biar kelas kita rata-rata nilainya tetap stabil dan nggak kalah sama kelas lain, kita adain belajar kelompok. Supaya nggak ada lagi yang nggak bisa ngerjain soal nantinya."
"Ooh begitu..."
"Jadi kamu sama Kenand sama siapa lagi?"
"Berapa orang?"
"Tiga." Ia membentuk angka tiga dengan jarinya.
"Terserah siapa yang mau yang belum dapat kelompok, aku sih sama aja," jawabku. Tak penting juga dengan siapa aku berkelompok, yang penting hasilnya nanti.
Vanda bangkit dari duduknya. "SIAPA YANG MAU JADI VOLUNTEER GABUNG KE KELOMPOKNYA THIA AMA KENAND?" teriaknya kepada seluruh penduduk kelas. Tak ada satupun yang menjawab.
"Nggak ada yang mau kah ini? Masa iya gua yang jadi nyamuk belajar bareng mereka?"
Tetap tidak ada yang menanggapi.
"Yaudahlah, gua deh yang bareng kalian, ngalah aja sebagai ketua kelas yang baik, tidak sombong, dan rajin menabung," ujarnya lemas. "Jadi jam berapa dan dimana nih?" tanyanya dengan nada sendu.
"Tanya Kenand aja yah, aku sih kapan aja bisa."
.
Janjiannya sih jam tiga di rumahku, tapi sampai jam tiga lebih sebelas menit baik Kenand maupun Vanda belum ada yang nampak batang hidungnya. Kuputuskan untuk menunggu sembilan belas menit lagi, lebih dari itu kutinggal tidur sore saja.
Satu menit.
Dua menit.
Akhirnya yang ditunggu-tunggu muncul juga. Dengan jas hujan berwarna hijau terang di hari yang cerah Kenand turun dari sepeda motornya tepat di depan gerbang dan tersenyum lebar. "Telat ya?"
"Pake banget," kesalku. Aku bangkit dan membukakan gerbang untuknya yang segera menuntun masuk sepeda motornya untuk diparkir di carport.
"Ada kesalahan teknis tadi, maaf ya."
Aku hanya mengangguk sembari menutup kembali pintu gerbang. "Nggak hujan kenapa pakai jas hujan?"
"Sedia jas hujan sebelum hujan," jawabnya tanpa tertawa sedikitpun, membuatku tertawa. Aduh, humorku jatuh.
"Kenapa ketawa eh? Nggak lucu kali." Kenand melepaskan jas hujan kering yang dikenakannya.
"Hahaa, lucu, Nand."
Ia ikut tertawa. "Lucu karena kamu ketawa."
"Emang lucu."
"Iya deh lucu."
Kami duduk lesehan di teras, supaya lebih santai aja suasana belajarnya, segar juga kan sambil kena angin sore.
"Vanda mana?" Setelah mengeluarkan beberapa buku dari dalam ranselnya Kenand baru menyadari kalau anggota kelompok kami kurang satu orang.
"Entah, coba tanyain deh, hapeku diatas."
Kenand mengeluarkan ponselnya dan mengirimkan pesan singkat untuk ketua kelas kami yang cantik. "Yaudah tinggal aja, sambil nunggu kita mulai belajar gimana? Daripada waktunya terbuang banyak."
"Oke."
.
Hingga kegiatan belajar bersama kami berakhir setelah jarum jam menunjukkan pukul lima lebih dua puluh empat menit Vanda tak kunjung datang, bahkan pesan Kenand pun tak dibalasnya, dibaca saja tidak.
"Dia yang ngajakin dia yang ngak datang, lucu deh."
"Tanyain aja besok di sekolah."
"Males ah, enakan berdua juga kan? Iya kan?" Kenand menaik turunkan alisnya menjijikan.
"Udah sana pulang, udah sore."
"Yaah diusir."
"Iya, diusir, soalnya kalau nggak diusir nggak pulang-pulang sih."
Kenand melipat jas hujan hijaunya yang tadi hanya ia letakkan di atas sepeda motornya begitu saja. "Yaudah aku pulang, kalau kangen telepon aja, video call juga boleh kalau pengen lihat wajah tampan Kenand."
"Apaan dah?! Udah sana pulang!"
"Iya, iya, ini mau pulang."
Baru saja Kenand keluar dari gerbang seseorang yang familiar terlihat muncul dari pertigaan depan.
"Eh, Nand, itu bukannya anu ya?"
Ia mengikuti arah pandangku. "Apa? Mana? Siapa? Anu?"
"Kak Mimin."
Kenand tersentak. "Lah, orang itu kenapa sampai sini?"
"Kebetulan aja lewat kali."
"Nggak mungkin."
"Ayam goreng depan gang enak, kali aja dia pengen coba."
Kenand terdiam, namun telah menyalakan mesin sepeda motornya.
Aku juga tak tahu harus bagaimana, tak sopan jika aku menutup gerbang sekarang dan kabur masuk ke dalam rumah, tapi jika Kak Mimin melihatku disini bersama Kenand itu bisa jadi masalah juga.
"Tungguin atau tancap gas?" tanya Kenand meminta pendapat tanpa menoleh.
"Terserah kam..." Belum juga selesai aku mengucapkan kalimatku ia telah menurunkan kaca helmnya dan pergi begitu saja.
Bisa kulihat Kak Mimin tak jadi menuju kesini namun memutar mengikuti arah perginya Kenand. Wah, wah, bahaya!
***