21
Tiga hari kebelakang ini aku benar-benar sibuk, ulangan harian dan tugas yang menumpuk benar-benar berhasil membuatku move on sepenuhnya. Aku bahkan hanya menggunakan ponselku untuk membahas soal tugas, tidak lebih. Kurasa ini bagus. Sayang sekali di hari Jumat yang sendu ini aku sudah tak memiliki sisa tugas untuk dikerjakan, juga tidak ada jadwal ulangan harian untuk awal minggu depan membuatku bingung mau melakukan apa, aku khawatir ke-gabut-an ini akan membuatku memikirkannya yang telah bahagia tanpaku lagi.
Sedari tadi aku hanya membolak-balik halaman buku di pangkuanku tanpa berniat membacanya sedikitpun. Entah mengapa aku terlalu malas untuk membaca jika tidak memiliki tujuan khusus seperti persiapan ulangan, tes, atau mengerjakan tugas.Bertahan dalam posisi seperti ini hampir tiga puluh menit, aku akhirnya menyerah dan mengembalikan buku tebal ini ke rak buku dan merebahkan diriku di tempat tidur meski hari belum gelap dan aku belum ada niatan untuk menuju ke alam mimpi. Tebak apa yang kulakukan selanjutnya? Apalagi kalau bukan meraih ponsel dan membuka beberapa sosial media yang telah berhasil kuabaikan selama beberapa hari yang indah ini.
.
"Kan?! Nggak nurut sih, kan udah aku bilang jangan kepo-kepo, mending kamu belajar aja," omel Kenand begitu aku menelponnya untuk curhat masalah hati yang kembali terluka ini.
"Ih, Kenand...," rengekku.
"Salah sendiri. Aku bilang juga apa," ia masih saja menyalahkanku yang terlalu ingin tahu dan men-stalk sosmed milik mantan kekasihku.
"Iya, aku salah memang."
"Yaudah kalau gitu tanggung sendiri akibatnya." Ia sempat terdiam cukup lama sebelum melanjutkan, "tapi ada baiknya sih, jadi sekarang harusnya kamu lebih bisa lepas dari dia karena kamu tahu kan ada apa dengan mereka di belakangmu selama ini."
Nah, kurasa Kenand ada benarnya. Melihat itu semua seharusnya aku bukannya bersedih namun bersyukur bisa terlepas dari seseorang yang ternyata tak sebaik kelihatannya.
"Kok diam?"
"Nggak tahu sih mau ngomong apa," bohongku.
"Yaudah tidur aja, udah malam."
"Baru jam tujuh kali, Nand."
"Ada yang salah dengan tidur jam tujuh?"
"Ya aku bakal bangun kepagian."
"Justru bagus itu. Eh, udah ya aku dipanggil emak nih, daaah...." Dan ia memutuskan sambungan telepon begitu saja.
Ngomong-ngomong soal dipanggil emak, kenapa aku tak turun saja membantu ibuku dibawah?
Nah itu lebih baik!
Kuletakkan ponselku dan aku bergegas beranjak turun mendapati ibuku di dapur tengah mengupas pepaya.
"Ibu...," panggilku.
"Sini, Thia, bantuin."
Kan, aku akan lebih berguna disini ketimbang hanya tidur-tiduran di kamar buka sosmed yang berujung dengan sakit hati.
"Bantuin apa, Bu?"
"Ini, pepayanya dipotong kecil-kecil ya." Ibu menyodorkan sebongkah pepaya yang sudah dikupasnya.
"Seberapa, Bu?"
"Ya kamu kan tahu kalau sop buah seberapa potongannya."
Aku mulai fokus memotong-motong buah pepaya sementara ibuku sibuk dengan cincau hitamnya. Kami tidak ada pembicaraan hingga ibu tiba-tiba berujar, "kemarin ibu ketemu Elios lagi jalan sama perempuan."
"Ooh, pacarnya itu," tanggapku sebelum ibu membicarakan detailnya.
"Pacar? Kok?"
"Aku sama Elios udah pisah, Bu."
"Kapan?"
"Baru aja," jawabku singkat, aku nggak mau bercerita terlalu banyak dan akhirnya terbawa emosi lalu menangis. Memalukan sekali menangisi orang yang bahkan tak terlihat sedih ataupun menyesal kehilanganku.
"Kok sudah sama orang lain? Memangnya sudah ada main belakang?" cecar ibu.
"Aduh, nggak tahu aku, Bu. Mending jangan dibahas, Thia juga pengen fokus sekolah aja dulu."
"Bagus kalau begitu. Jangan buang-buang waktu kamu buat orang yang salah. Fokus sekolah, belajar yang rajin biar bisa nyusul kakak kamu." Ibu tersenyum padaku dan aku membalas senyumannya sekilas.
***