Kyna menuruni tangga sambil berlari kecil. Matanya berulang kali melirik jam yang melingkar di tangannya meski dia tahu setiap kali melihat hanya ada perubahan beberapa detik. Kyna menyambar satu buket bunga yang ada di dekat televisi yang menyala. Suara tertawa spongebob menemani gadis itu yang buru-buru melangkah ke ambang pintu.
“Hei, mau ke mana?” tanya Adam tanpa melirikkan mata dari layar televisi.
“Mau ngirim bunga.”
“MA, AKU BERANGKAT, YA!” Kyna berseru.
Tidak ada jawaban. Adam menoleh padanya. “Lah, itu punya orang? Kupikir punyamu dari cowok.”
Kyna menatap kakak laki-lakinya datar. Entah dia lupa diri atau memang pura-pura lupa bahwa adik kesayangannya yang lucu nan cantik itu sangat alergi terharap laki-laki asing, kecuali dia sendiri tahu bahwa laki-laki itu punya urusan dengannya.Contohnya, pembeli di toko bunganya.
“Ma?!” Kyna memanggil mamanya sekali lagi karena tidak mendapat jawaban.
Seorang wanita paruh baya muncul dari dalam dapur sambil membawa sepotong bawang dan pisau. “Mau ke mana, Nak?”
“Mau ngantar pesanan, Ma. Eh maaf, Ma, ganggu mama masak.”
“Yaudah hati-hati. Cepet pulang.”
Kyna mengangguk. Dia buru-buru keluar dan meraih sepedanya. Hanya tersisa waktu lima menit lagi sebelum waktu janjiannya dengan sang pemesan. Kyna merutuki keteledorannya. Biasanya Andini, satu-satunya teman kerjanya yang mengantarkan pesanan. Tapi berhubung Andini sedang ada urusan pagi ini, jadi harus dia sendiri yang menggantarkannya.
Kyna cepat-cepat mengayuh pedalnya. Jalanan Jakarta selalu ramai. Entah pagi, siang, sore, malam, kota ini seakan tak pernah sepi. Bahkan sepedanya jauh lebih cepat melesat di jalanan daripada mobil atau motor.
“Duh, di mana ya tadi alamatnya…”
Kyna berusaha merogoh ponsel di dalam saku celananya. Dia mencari-cari alamat pemesan yang dia simpan di dalam ponselnya sambil tetap mengayuh sepedanya.
“MBAK, AWAS!”
BRAK!
Belum sempurna Kyna mengangkat kepalanya, roda sepedanya lebih dulu menabrak seorang laki-laki penyeberang jalan. Kyna yang terkejut tidak bisa menjaga keseimbangannya terjatuh. Dia meringis kesakitan. Namun demi melihat keadaan sosok laki-laki yang dia tabrak, Kyna menahan napas.
Laki-laki itu juga jatuh terduduk. Dia memakai jas coklat muda yang menutupi kemeja putih di dalamnya. Sayangnya kemeja dan jas itu kini dipercantik dengan noda tumpahan kopi. Di sampingnya gelas kopi terguling dengan cairah hitam mencurah ke jalanan.
Sejenak, Kyna hanya bengong. Pria itu mengerang. Dia menatap Kyna dengan wajah kesal. “Mbak! Gimana sih?! Ini pakaian saya gimana?!”
Kyna langsung berdiri. “Maaf, Pak! Saya enggak sengaja!” seru Kyna seraya membungkukkan badan.
“Ya saya tahu enggak sengaja! Tiap orang kalau nabrak bilang kayak gitu! Tapi ini gimana?! Saya harus rapat setelah ini!”
Kyna menggigit bibir kuat. Dia menatap buket bunga yang tergeletak di pinggir jalan. Kyna mendelik. Dia buru-buru mengambil buket bunga itu dan mendirikan sepedanya. Kyna meletakkan buket bunga itu di keranjang sepedanya lalu kembali menghadap pria tadi yang masih berusaha menahan amarahnya yang terlanjur membara.
“Pak, maaf ya saya buru-buru.”
“Saya juga!”
“Saya enggak punya uang buat ganti kemeja sama jas bapak.”
“Terus gimana?! Tanggung jawab, dong!”
Kyna meraih sesuatu dari dalam sakunya. Sesuatu yang selalu dia bawa, bahkan lebih dari uang.
Kartu nama toko bunganya.
Kyna menyerahkan kartu nama itu pada sang pria. Pria itu menatap uluran tangan Kyna heran.
“Setelah saya menggirimkan pesanan saya, saya akan tanggung jawab, Pak! Ini kartu nama saya.”
“Hah?!”
Kyna menarik tangan kanan pria itu dan meletakkan kartu namanya di sana. Detik berikutnya, Kyna meloncat ke atas sepedanya dan langsung mengayuhnya meninggalkan pria itu.
Pria itu mendelik. Ingin dia meneriaki gadis itu, tapi sudah cukup banyak mata yang memandangnya. Dia meremas tangannya, membuat kartu nama itu lusuh. Pria itu mengembuskan napas panjang.
“Sialan!”
___
Jangan lupa tinggalkan like ya
Next kak
Comment on chapter Chapter 5