Prolog
Sebuah sepeda motor melaju dengan kecepatan sedang. Pengemudinya santai sambil memanjakan kumis yang memang tebal. Dipundaknya ada tas gendong warna hitam yang berisi penuh. Semua orang memangilnya pak Urip, kepala sekolah SMA dimana aku belajar. Kedatangan pak Urip menandakan bahwa jam pelajaran akan dimulai 5 menit lagi.
" Masih bisa makan gorengan, liat aja pak kumis baru nyampe" jelas sahabatku yang bertubuh gemuk dan tetap berjalan menuju kantin sekolah. Namanya Irul lamsa, dia seorang dengan hobi makan yang lumayan lebih banyak dari yang lainnya.
" Aku ikut Irul aja, kalaupun lapar pak kumis gak bakal tanggung jawab." Tambah Ivan, anak yang agak selengekan dan selalu keluyuran. Sangking hobinya keluyuran dia bisa datang dan pergi semaunya aja.
" Aku balik aja ya, ntar kalo ke tangkap pak Urip bisa kena hukum" jelas Musa dengan nada lemah lembut. Sahabatku yang satu ini memang polos, saking polosnya hampir setiap bikin rencana kabur dari sekolah pasti dia yang bikin ketangkep. Contohnya aja Minggu lalu saat Ivan mau kabur lewat belakang. Ivan udah izin sama pak Cipto, guru bahasa Indonesia yang lagi ngajar. Ivan udah mulai jalan menuju lorong eh, Musa malah manggil.
" Van, nanti tasnya aku bawa apa aku tinggal" tanya Musa dengan nada keras. Sontak Ivan langsung menghentikan langkahnya dan menoleh ke Musa.
"Loh, memang Ivan mau kemana?" Tanya pak Cipto dengan agak bingung.
" Dia mau bolos sekolah pak" jelas Musa dengan nada tak bersalah.
"Musa....." Teriak aku dan irul dari kursi belakang.
Mengingat kejadian itu, aku langsung mengambil inisiatif.
" Sudah, sekarang kamu duluan aja kejelasan, kami nyusul bentar lagi".
"Oke deh". Jawabnya singkat dan meninggalkan kami.
****
Semua orang sudah kenal dengan kami. Geng yang paling bertanggung jawab atas setiap kerusuhan yang terjadi di sekolah. Sebenernya kami cuman membantu, namun mereka yang tidak mampu menerima bantuan dari kami. Aku abrori salah satu dari anggota geng yang dianggap meresahkan ini. Bagiku berteman tak hanya memandang sisi baik dan sisi buruknya, tapi bagaimana teman itu menempatkan dirinya saat bergaul dengan kita, dalam istilah bahasa Indonesianya mau menutupi kekurangan kita, itulah penyebab kami selalu bersama sebagai sahabat.
Bulan lalu aku mencalonkan diri sebagai ketua OSIS, tentu saja hasilnya sudah di tebak, kalah mutlak. Tapi itu buat motivasi bahwa preman sekolah juga bisa jadi pemimpin, biar temen-temen gak pada minder saat ngumpul dengan anak yang rajin. Meskipun aku kalah, aku tetap bangga karena aku gak harus berjanji politik dan lain sebagainya.
****
"Waduh udah masuk ni, moga aja si anak ganteng gak salah ngomong" ujar irul.
"Kayaknya memang ada yang salah sama dia, kalo gak sabar udah aku kasih bogem" tambah Ivan.
"Liat aja, kita kena hukum apa nggak, kalo keceplosan berarti tuh anak emang yahud, gak salah ngomong lagi" jelasku.
Suasana hening begitu terasa di dalam area sekolah. Kami yang sudah kenyang ingin kembali ke kelas dengan berbagai cara. Melompati pagar paling rendah, lalu mengendap endapan menuju WC, eits.. ada pak Sulton yang lagi operasi siswa terlambat, makin halus aja kamu melangkah menuju WC. Setelah dari sana kami berjalan tanpa dosa, seakan bukan siswa yang terlambat. Kalo emang ada casting film sepi, mungkin kami udah lolos seleksi dari awal.
****
Kami masuk kelas dengan tenang. Untungnya kelas masih kosong karena belum ada guru yang masuk.
"Untungnya belum ada guru, kalo semisal udah absen pasti kita bisa pusing karena dapat hukuman lagi" jelas Ivan dengan bangga.
"Untung aja Musa gak ikut, sempet kamu ikut, bisa kacau dunia persilatan" tambah Irul.
" Tapi aku kan gak ikut silat rul, gimana bikin kacaunya"
"haduh... Kumat lagi si kawan polos satu ini. Makan apa semalem kamu prend" ujarku dalam hati.
kami hanya diam dan melarikan fokus ke yang pelajaran. Ah sudahlah biarkan yang satu ini berkicau.
Coba di baca. Mana tau suka