Read More >>"> Novel Andre Jatmiko (Chapter VI \'Cemburu Buta\') - TinLit
Loading...
Logo TinLit
Read Story - Novel Andre Jatmiko
MENU
About Us  

17 Januari 2015.

Entah mengapa aku tak napsu makan juga susah tidur. Semua gara-gara nama Aerin yang terus mengacau bukan hanya hati namun juga pikiranku, membuat penasaran, resah juga penuh tanda tanya.

Sambil berbalas pesan dengan Miko kumelangkah ringanhendak menghabiskan waktu istirahat di perpustakaan bersama Sinca. Siang ini cuaca sedikit mendung, Matahari enggan berbagi kehangatan dengan kota Surabaya. 

Entah mengapa situasi di sekolah saat ini sangat ramai, koridor yang biasa sepi terlihat padat. Sesekali kumemandang aneh lapangan yang dipadati oleh siswa kelas X berseragam olah raga, Tumben jam istirahat masih pada rajin olah raga, Apa karena cuaca hari ini sedikit mendung? tapi bukan ah, enggak mungkin cuma gara-gara cuaca. terdengar teriakan beberapa siswi berteriak dari pinggir lapangan memberi semangat pada siswa-siswa di lapangan. 

Penasaran akhirnya kusenggol lengan Sinca. "Sin, ada apa sih kok lapangan padat seperti itu? apa ada pertandingan basket?"

Wajah Sinca seperti meledek menjawab dengan nada menjengkelkan. "Makannya jangan ngetik terus, kurang gaul Lo jadinya. Itu mereka sedang siap-siap untuk seleksi tim basket putra. Lagian sehabis istirahat guru juga rapat, makannya mereka fokus latihan bersama."

Sahabatku juga terlihat sangat tertarik memandang lapangan, dia tak henti menelusuri setiap wajah anak kelas X yang berkeringat dan terlihat semakin menawan.

Kutersenyum dengan ujung bibir kiri terangkat. "Sin, inget Aldo. Kamu sudah punya Aldo kan? jadi jangan jelalatan matanya."

"Dih, Gue ya lagi ngelihat Aldo nih. Tuh dia di lapangan sama teman-temannya, bentar coba Gue panggil. Aldo!" Teriaknya, melambai seperti memanggil tukang bakso.

Aldo berlari kecil mendekat, dia menepuk pundak Sinca. "Mau keperpustakaan nih? maaf ya, Aku mau ikut tes basket dulu dan sibuk latihan. Ntar  kususul kalau sudah selesai tesnya ya, atau mungkin nanti sesudah latihan Aku ke sana." 

Sinca mencubit kedua pipi Aldo. "Iyah sayang, ush ush ush, semangat yaa!" celotehnya.

Aldo memandangku. "Kak Nita, nanti sepertinya Aldo enggak bisa nganterin Kakak. Enggak papakan? Nanti Aldo pinjemin motor Aldo."

Waduh, terus aku nanti pulang sekolah gimana nih? Sontak wajahku memerah dan kugaruk kepalaku, "Aku enggak bisa naik motor Do."  

Aldo nampak cemas memikirkan sesuatu. "Kalau gitu sama Kak Sinca aja ya, Dia bisa kok nyupir motor."

Duh nih anak perhatian banget sih. Aku mengangguk. "Iya enggak apa-apa kok, Aku bisa nebeng sama Sin_"

"Ogah ah," potong Sinca. "Gua mau ngelihat Aldo main basket! sorry yaa."

Dasar kribo, lebih memilih cowok dari teman! "Ok deh, enggak papa. Yaudah yuk ke perpustakaan Sin."

"Jangan ah, daerah sana itu bahaya Kak," ucap Aldo, menarik tanganku. "Baiklah, nanti Aldo anterin deh. Semoga jalan enggak ramai sehingga Aku bisa balik ke sini tepat wa_"

"Jangan!" potong Sinca, menarik tanganku kasar. "Lo jangan nganter Nita Do. Hari ini hari penting untukmu, jika sampai Lo gagal masuk gegara telat ikut tes nanti pasti Lo akan sedih banget. Gue enggak mau Lo sedih."

Dih nih anak, secepat inikah dia berganti pendirian? hmm sepertinya rasa cemburu membuatnya jadi babunya cinta. Yah mau gimana lagi, jika kucoba mengingatkan dia agar tak menjadi babunya cinta malah dia marah nanti, malah aku yang di anggap cemburu. 

Aldo berdecak, "Terus gimana nih, Kak Sinca mau nganterin kak Nita?"

Sinca membuang wajahnya, "Ok deh, nanti Gue anterin si Nita." memandang Aldo. "Tapi Kamu harus semangat ya latihannya, harus berhasil masuk tim basket!"

Aldo kembali tersenyum cerah. Dia mengangguk kecil kembali kelapangan sambil berjalan mundur terus memandang kami. 

Kulihat Sinca melambai pada Aldo, "Semangatya sayang!" mendorongku perlahan untuk segera melanjutkan langkah keperpustakaan.

Akhirnya sampai juga di perpustakaan, seperti biasa tak ada yang berani duduk di singgahsanaku di bawah AC. Sepertinya semua penghuni sekolah tau apa akibatnya jika duduk di sana, mereka akan didatangi oleh seorang Nita berwajah merah yang akan terus memelototi mereka hingga mereka pindah tempat duduk. Segera kududuk menghidupkan laptop. AC hari ini lebih dingin dari biasanya membuat sedikit menggigil, mungkin karena perpustakaan renggang. Sepertinya para siswa muda yang berlatih basket berhasil menyita perhatian penghuni sekolah, bahkan sebagian penghuni perpustakaanpun memilih menonton para cowok ganteng di lapangan.

Sinca membuatku kaget  denganmembanting buku tebal ke atas meja, Ada apa sih nih bocah, kok jadi badmood seperti ini? batinku, mulai mengetik.

Keheningan yang dingin menemani kami mengetik, saking heningnya kumampu mendengar suara deruhan AC. Sesekali kucuri pandang Sinca yang biasanya bawel tak henti menggangguku sekarang fokus membaca. Sesekali terdengar suara halaman buku yang dia baca dibalik kasar.  

Ada apa lagi ini? Sepertinya dia sedang cemburu. Apa sebaiknya aku berangkat sendiri saja menemui kak Tyas? Kumerasa cemas dan tidak tenang dengan perlakuan sahabatku. Terus terang aku adalah anak yang sulit bergaul, hanya punya sedikit teman itulah mengapa ku tak mau kehilangan teman dengan cara seperti ini.  Tapi jika tak kujelaskan, bagaimana dia bisa tau apa yang terjadi? 

"Sinca."

"Nita."

Ucap kami berdua, hampir serempak. Kami saling memandang dan tersenyum membuat situasi sedikit mencair. Namun tak satupun dari kami memulai percakapan. Yah diam lagi, apa aku harus ngomong dulu ya?

"Mau ngomong nih." Kembali kami tersenyum karena berucap hal yang sama.

"Ok deh," ucapku. "Kamu mau ngomong apa, hmm?" Kupandang dia bingung berusaha menyusun kata-kata.

"Elo dulu aja deh yang ngomong," jawab Sinca. 

Yasudahlah, dari pada enggak ada yang mau memulai. Kuberputar badan hingga kami saling berhadapan. Kugenggam kedua tangannya. "Sinca, Kamu kenapa sih kok jadi aneh seperti ini? apa Aku ada salah?"

Sinca menggeleng. "Lo enggak salah."

"Lah terus? kenapa Kamu bersikap aneh seperti ini? apa karena Aldo?"

Sinca mengangguk. "Elo, sebenarnya suka ya sama Aldo?"

Kuputar mataku. Benar ternyata, semua ini karena cemburu buta. "Ya enggak lah, ngapain Aku suka sama Aldo. Kan kalian sudah jadian, masak sih Aku tega ngerebut dia dari Kamu? seperti enggak ada co_"

Androidku bergetar, terlihat pesan dari Miko masuk, Duh, dia ngirim pesan di saat yang enggak tepat. kumatikan android, kembali fokus pada Sinca.

Sinca memandang bingung. "Kenapa kok enggak dibalas? dari siapa?"

"Miko, biasalah bocah itu minta aku selfie. Nah Sinca, Aku enggak pernah ada niatan jahat. Aku juga sudah menganggap Aldo itu sebagai adik sendiri, jadi tenang saja enggak usah berpikir negatif."

Sinca mengelus dada. Segera dia ulurkan jari kelingkingnya. "Janji ya, pokoknya Lo jangan berusaha merebut Aldo dari Gue."

Wadoooh nih anak, insecure banget sih! Segera kulingkarkan jari kelingking pada jari kelingkingnya. "Iya Sinca sayang, janji!"

Tanpa kuduga Sinca memelukku kencang. "Makasih ya sayang! Gue tau Lo adalah sahabat sejati yang tak pernah membuat kecewa!" 

Kutepuk-tepuk punggungnya. "Iya, tapi kenapa Kamu berpikir jika Aku ada main dengan Aldo?"

"Karena dia selalu mengantarmu sebelum mengantarku pulang. Lagian kenapa sih Lo selalu bertemu dengan editormu di cafe, hmm? mana setiap hari lagi."

"Memangnya ketemu editor itu enggak setiap hari ya?"

"Entahlah, cuma Gue merasa aneh aja. Gue kira Lo sama Aldo cuma mengada-ada dan pergi berdua setiap hari untuk berkencan."

Sempit banget sih otaknya, emang aku cewek apaan? "Aneh-aneh aja sih Kamu. Ntar lah, kalau Kamu mau tau seperti apa editorku Kamu boleh ikut kok ke cafe. Sekalian nganterin Aku, mau kan?"

Sinca mengangguk. "Kalau gitu nanti jika benar-benar enggak ada pelajaran kita berangkat langsung aja ya, enggak usah nunggu bel pulang."

"Semangat banget Kamu sekarang?" Yasudahlah, yang penting dia sekarang sudah kembali seperti Sinca yang kukenal. 

Lega hatiku melanjutkan mengetik, kembali ceria dan berwarna hariku setelah melihat Sinca ceria. Namun entah mengapa aku merasa sedikit sebal karena dia kembali menggangguku seperti dulu, ribut bagai burung beo yang baru bisa bicara.

Akhirnya walau bel pulang belum berbunyi, Sinca menyeretku keluar dari sekolah dan mengantar ke daerah Lida. Jalanan masih belum padat karena memang masih jam kerja. Kulihat langit semakin kelabu dan angin kencang mulai menghantam kami, namun tak ada airpun yang menetes dari langit.

Pusing kepalaku mendengar celotehan Sinca saat motor berhenti di lampu merah. Bagai anak kecil yang baru bisa bicara, dia tak henti mengucapkan hal yang sama berulang-ulang. Walau sudah kujawab dia tak peduli dan terus bertanya seperti musik milik penjual roti sari roti yang setiap pagi berkeliling di kompleks perumahanku.

"Jadi dia pake kaca mata, tinggi, putih, ganteng, sexy?" kata Sinca, penasaran.

"Iya, seperti itulah kak Tyas. Tapi dia dingin orangnya, kalau ngoceh panas di kuping."

"Ya wajarlah cogan, privilege cowok ganteng untuk bersikap dingin tanpa membuatnya dianggap sombong atau jahat, ya kan?"

Dih, kok gitu sih. Dapet rumus dari mana nih orang? "Enggak semua cogan bersikap dingin seperti dia. Contohnya Aldo, dia lembutkan?

"Aldo itu limited edition," jawab Sinca. "Lo yakin enggak jatuh hati kepadanya?"

"Sama Aldo?"

"Bukan!" bentak Sinca. "tapi sama si editor. Tiap hari kalian ketemu dan berduaan di cafe, masak sih Loe enggak ada getaran apa gitu?"

"Enggak sama sekali," balasku, menepuk pundaknya, "Sudah hijau tuh, ayo jalan!" kembali kupandang langit kelam. Semoga enggak hujan.

 Syukurlah Tuhan masih berbaik hati dengan menahan air hujan agar tak menetes hingga kami sampai di cafe. 

Sinca bagai anak kecil tak sabar ingin segera masuk ketoko mainan. Dia nampak penasaran ingin melihat wajah Tyas. Semenjak sampai hingga saat ini dia terus menarik-nari lenganku, memancing emosi.

"Ayo buruan Nit!" Ajak Sinca. "Mana sih, pangeran editor yang ganteng itu?"

Nih bocah kesurupan apa sih. "Sebentar Sinchan," candaku. "Aku ngerapikan baju dulu!"

Kulihat dia cemberut, namun setidaknya dia berhenti menarik-narikku dan memberi waktu juga ruang untuk merapikan rambut serta memakai tas berat berisi laptop. "Dah yuk masuk."

Dia menggeleng. "Gue mau langsung balik aja. Langitnya makin gelap kasian Aldo. Gue mau lihat aja sih, seperti apa si pangeran berkaca mata itu?"

Mana ya kak Tyas, nah itu dia. Kutepuk pundak Sinca, lalu menggerakkan tubuhnya menghadap Tyas yang tengah duduk sendirian meminum segelas kopi. "Tuh yang tinggi pakek kaca mata tuh."

Sinca terdiam, kuperhatikan matanya terbelalak dengan mulut sedikit terbuka. Dia menunjuk Tyas memandangku lalu memandang Tyas lagi. "Itu editormu? Lo yakin dia itu editor? bukan anggota boy band?"

"Yakin, 100%!"

"Kalau gitu Gue mau mulai nulis besok. Siapa tau bisa deket sama editor ganteng seperti dia."

"Terus Aldo?"

"Oh iya," ucap Sinca, menepuk keningnya. "Ya Tuhan, Gue kok bisa jadi seperti ini ya. Udah ah, Gue mau kembali ke sekolah, kelamaan di sini nanti bisa tersihir oleh editor cakep."

"Langsung balik? ini mendung loh, enggak masuk dulu?"

Sinca segera naik motor. "Sebenarnya sih ingin masuk, malah rencanaku ingin gangguin kalian. Tapi karena langit semakin gelap Gue harus segera menemani Aldo."

Aku mengangguk-angguk. Baguslah kalau gitu, jika niatnya cuma mau njahilin aku mending balik ke sekolah saja sana.

Sinca terus berceloteh, "Lagian, cewek-cewek sekolah itu bagai serigala yang lapar. Jika melihat domba manis seperti Aldo tak dijaga, maka bisa dimakan nanti." menyalakan motornya. "Sudah ya, aku balik dulu. Hati-hati jangan aneh-aneh sama cogan ya!"

"Iya-iya Shepherd-nya Aldo, hati-hati jangan ngebut!"

Kubuka android, lupa jika tadi sengaja kumatikan saat berada di perpustakaan dan tengah melakukan pembicaraan serius dengan Sinca. OMG, dua puluh pesan dari Miko! duh gimana nih. Yasudahlah, biar nanti malam saja aku membalas pesannya, kali ini aku mau buat kejutan buat kak Tyas, datang cepat dan mengagetkannya. 

Namun Tuhan berkata lain. Bukan aku yang mengejutkan Tyas namun dia yang mengejutkanku. Gadis yang kutemui kemarin keluar dari toilet lalu duduk didepan Tyas. Nampak mereka saling mengenal dan si gadis terus membicarakan sesuatu. Sementara Tyas terlihat bersangga kepala menghadap ke mini bar. 

Langkahku terhenti, pikiran dan batin bicara bagai Donald Duck kepedasan, sulit untuk berhenti. Siapa sih gadis itu? kok sepertinya mereka sangat dekat. tanpa sadar kuhentakkan kaki sembari telapak tangan mengepal memandang tajam mereka berdua.Hati serasa sakit seperti di pukul dengan palu, hancur berkeping. kenapa aku jadi panas dingin seperti ini? toh dia hanya editorku, bukan siapa-siapa yang spesial. Ada apa ini? ya ampun, bukankaah aku ini seorang gadis cuek yang tebal muka?

Kutepuk kedua pipi berusaha mengontrol pikiran dan hati yang berontak, sadar Nit, dia itu hanya editormu. Kamu enggak punya hak untuk marah atau cemburu, hah! cemburu? argh sudahlah, tujuanku bertemu dengannya agar dia bisa membimbingku, bukan untuk bermesraan dengannya. kukuatkan mental dan melangkah memasuki cafe.

Ketika pintu cafe terbuka, udara dingin menghajarku. Aroma kopi tak seharum biasanya, mungkin karena hati kundah membuat apapun yang tercium menjadi tak nikmat. Suara obrolan para pengunjung yang memenuhi cafe bagai tak terdengar karena pikiran penuh tanda tanya saat memandang lekat Tyas dan gadis misterius berduaan. Perlahan kumendekat mulai terdengar apa yang mereka bicarakan.

"Yas, sadar Yas!" ucap sang gadis. "Dia itu bukan Aerin! Kamu jangan jahat seperti itu dong, Kamu sama saja menyiksa dia nanti jika terus begini."

"Aku enggak menyiksa dia," jawab Tyas. "Aku_"

"Kamu apa? ayo jawab Kamu apa? Kamu sukakan sama dia? Kamu suka karena dia memiliki wajah seperti Aerin kan?"

Tyas terdiam memandangku tak berkedip.

"Kenapa? ayo jawab kenapa!" Gadis itu menoleh memandangku, sontak terbelalak dan menjadi salah tingkah. Segera dia bangkit dari duduknya, tersenyum kepadaku lalu bergegas meninggalkan cafe.

Tanpa banyak tanya kuputuskan untuk duduk ditempat gadis itu duduk. Segera mengeluarkan laptop tanpa banyak tanya. Hatiku hancur berkeping-keping, bagai terkena badai Taifun. Pikiranku mencoba menyusun puzzle yang baru saja kudengar, Siapa Aerin sebenarnya? apa aku harus bertanya kepada kak Tyas?  tidak, aku tidak boleh bertanya. Lagian siapa sih aku ini? hanya penulis novel picisan yang tak punya hak untuk bertanya. Jika memang itu hal penting, Tyas harus menceritakannya tanpa aku harus bertanya. segera kuberusaha mengetik, walau entah bisa mengetik atau tidak dalam situasi ini.

Tyas menjadi keki. "Kamu kok datang lebih cepat dari biasanya?"

"Jam kosong."

"Kamu makan dulu ya, seperti biasa atau mau nyoba menu lain?"

"Terserah."

"Kamu kenapa kok jadi dingin seperti ini?"

Aku tak menjawab, terus terang aku tak mengerti kenapa tiba-tiba mataku tergenang air, kantung mata terasa licin dan dingin, tak butuh waktu lama untuk meneteskan air mata. Namun aku tak tau apa penyebabnya.

"Kamu kenapa menangis?" Tyas mengelap air mata di pipiku. "Hei sampah, jangan menangis. Aku tak suka melihatmu menangis. Jika ada yang mengusikmu katakanlah."

"Enggak ada."

"Jangan bohong, jika tak ada apa-apa kenapa Kamu menangis? jelaskan sekarang ada apa?"

kuberanikan diri menatap Tyas. "Siapa Aerin itu kak?"

Tyas terdiam. Dia bersender sembari melepas kaca mata, mengelap mata yang mulai berkaca-kaca. kembali dia tersenyum kecut, "Jadi masalahnya Aerin ya." memakai kaca matanya, "Besok, jika kamu bersikap normal dan manis, maka Kamu akan tau semuanya. Namun saat ini Kamu jangan banyak tanya dan jangan bersedih. Fokuslah dalam perbaikan novelmu, karena Kamu tak akan mendapatkan jawaban dariku hari ini. Baiklah, Nasi goreng kan?" bangkit tak menoleh menuju bartender

"Besok? apakah gadis bernama Aerin akan datang besok?"

"Entahlah," jawab Tyas santai, melanjutkan jalannya.

Kumengelap air mata, Baiklak, aku akan menunggu. Aku tak boleh bersedih. 

***

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Antropolovegi
102      92     0     
Romance
"Ada satu hubungan yang lebih indah dari hubungan sepasang Kekasih Kak, Hubungan itu bernama Kerabat. Tapi kak, boleh aku tetap menaruh hati walau tau akhirnya akan sakit hati?" -Dahayu Jagat Raya. __________________________ Sebagai seseorang yang berada di dalam lingkup yang sama, tentu hal wajar jika terjadi yang namanya jatuh cinta. Kebiasaan selalu berada di sisi masing-masing sepanjang...
Estrella
330      221     1     
Romance
Oila bingung kenapa laki-laki ini selalu ada saat dia dalam bahaya, selalu melindunginya, sebenarnya siapa laki-laki ini? apakah dia manusia?
the invisible prince
1530      823     7     
Short Story
menjadi manusia memang hal yang paling didambakan bagi setiap makhluk . Itupun yang aku rasakan, sama seperti manusia serigala yang dapat berevolusi menjadi warewolf, vampir yang tiba-tiba bisa hidup dengan manusia, dan baru-baru ini masih hangat dibicarakan adalah manusia harimau .Lalu apa lagi ? adakah makhluk lain selain mereka ? Lantas aku ini disebut apa ?
Pupus
401      261     1     
Short Story
Jika saja bisa, aku tak akan meletakkan hati padamu. Yang pada akhirnya, memupus semua harapku.
A You.
768      398     1     
Romance
Ciara Leola memiliki ketakutan yang luar biasa kepada Shauda Syeffar. Seorang laki-laki yang dulu selalu membuatnya tersenyum dan menyanyikan lagu-lagu cinta untuknya setiap hari. Ciara melanjutkan hidupnya sebagai orang asing di hadapan Shauda, sedangkan Shauda mengumpat kepada dirinya sendiri setiap hari. Lagu-lagu cinta itu, kemudian tidak lagi dinyanyikan.
Strange Boyfriend
202      161     0     
Romance
Pertemuanku dengan Yuki selalu jadi pertemuan pertama baginya. Bukan karena ia begitu mencintaiku. Ataupun karena ia punya perasaan yang membara setiap harinya. Tapi karena pacarku itu tidak bisa mengingat wajahku.
Suara Kala
6524      2099     8     
Fantasy
"Kamu akan meninggal 30 hari lagi!" Anggap saja Ardy tipe cowok masokis karena menikmati hidupnya yang buruk. Pembulian secara verbal di sekolah, hidup tanpa afeksi dari orang tua, hingga pertengkaran yang selalu menyeret ketidak bergunaannya sebagai seorang anak. Untunglah ada Kana yang yang masih peduli padanya, meski cewek itu lebih sering marah-marah ketimbang menghibur. Da...
Secret Melody
2063      725     3     
Romance
Adrian, sangat penasaran dengan Melody. Ia rela menjadi penguntit demi gadis itu. Dan Adrian rela melakukan apapun hanya untuk dekat dengan Melody. Create: 25 January 2019
Sekretaris Kelas VS Atlet Basket
11853      2295     6     
Humor
Amira dan Gilang yang menyandang peran werewolf dan vampir di kelas 11 IPA 5 adalah ikon yang dibangga-banggakan kelasnya. Kelas yang murid-muridnya tidak jauh dari kata songong. Tidak, mereka tidak bodoh. Tetapi kreatif dengan cara mereka sendiri. Amira, Sekretaris kelas yang sering sibuk itu ternyata bodoh dalam urusan olahraga. Demi mendapatkan nilai B, ia rela melakukan apa saja. Dan entah...
Slash of Life
7682      1615     2     
Action
Ken si preman insyaf, Dio si skeptis, dan Nadia "princess" terpaksa bergabung dalam satu kelompok karena program keakraban dari wali kelas mereka. Situasi tiba-tiba jadi runyam saat Ken diserang geng sepulang sekolah, kakak Dio pulang ke tanah air walau bukan musim liburan, dan nenek Nadia terjebak dalam insiden percobaan pembunuhan. Kebetulan? Sepertinya tidak.