6 Januari 2015.
Hari ini sungguh malang nasibku, pertempuran ibu dan ayah di rumah memaksaku kabur sepagi-paginya hingga lupa bawa tas. Terdengar gila memang seorang siswi pergi ke sekolah tanpa bawa tas, laptop, bahkan buku. Parahnya lagi android juga tertinggal di rumah memutus nadi entertainment, membuatku seakan mati suri.
Sesampai di kelas tercium aroma wipol tanda kelas baru di pel, hembusan AC di pagi hari di kelas sepi oleh murid membuat hembusannya langsung merasuki sum-sum membuat menggigil. Di kelas yang setiap murid mempunyai bangku dan kursi masing-masing masih sunyi dan terlihat hanya beberapa murid petugas piket yang sibuk membenahi kelas berisi tiga puluh bangku yang bersatu dengan meja. Segera kumelangkah menuju kursi dekat jendela nomor dua dari belakang.
Baru hendak bersantai Sinca datang menebar kegaduhan, "Hai Nit, tumben datang duluan." matanya terbelalak, "Loh tasmu mana?" duduk di bangku sebelahku.
"Biasa sudah pinter kok, jadi enggak perlu bawa tas. Kamu kenapa datang sepagi ini? Kamukan enggak piket?"
Tak perlu jawab dari Sinca ketika kulihat Aldo berjalan cepat di koridor. Dia berhenti di depan pintu kelas dengan senyuman khas menawan, "Kak Sinca, ini kotak pensil Kakak jatuh di dekat motor." menyodorkan kotak pensil kecil kain.
Sinca bangkit mengambilnya, "Makasih eah Do."
"Iya kak. Aldo ke kelas dulu ya, bye." Si jangkung berjalan melambai dengan senyum indah terlihat semakin mempesona hati siapapun yang melihat.
"Iyah my prince." Malu-malu kucing Sinca kembali duduk.
"Dih, pasangan kucing." Kutak percaya melihat tingkah sahabatku. "Jadi Kamu berangkat sama Aldo?"
Sinca tersenyum mengangguk tak menjawab, malah memandang sayu bermain kotak pensil, dia mencium kotak pensil itu. "Harum parfum Aldo!"
Astah, kotak pensil bisa harum parfum? Kutepuk pahanya. "Ngingetin doang nih Sin, Kamu baru kenal kemarin loh sama dia. Hati-hati sama cowok, Kamu enggak tau dia itu siapa kan?"
Wajah Sinca memerah nampak malu mungkin marah, hanya dia yang tau. "Ish apaan sih, Gue tau dia itu Aldo. Lagian dia baik kok, enggak macam-macam anaknya, serius."
Dih, nih anak. "Bukan itu, tapi maksud ku_"
"Udah enggak usah ceramah deh. By the way tadi pagi Gue lihat yang follow account Lo sudah lebih dua ribu orang loh!" Memamerkan layar android. "Lihat nih, sekarang malah sudah dua ribu lima ratusan orang."
Sontak kedua alisku tertarik ke atas. "Ngarang ah, mana ada sehari bisa dapat dua ribuan follower!"
"Serius, nih Lo lihat sendiri." Menyodorkan android.
Rasa penasaran membuatku menurut, kusambar android dari tangan Sinca. Sontak terbelalak memandang layar dan seketika tangan bergetar hebat membuat android di tangan hampir jatuh. Dua ribu enam ratus follower? ini beneran kan? apa aku sedang bermimpi?
Terdengar suara deheman Sinca, "Sepertinya Lo harus menjadi susu hangat atau hangat susu nih untuk mas Miko1998." Sinca menyikut lenganku, dengan mata menyipit tersenyum menggoda. "Ah mas Miko, Aku serahkan jiwaku padamu demi follower, muach muach muuuuach!"
Segera kucubit pipinya, "Ish apaan sih. Nih androimu, makasih!" Hmm, serius nih. Tapi kok bisa? ah paling itu cuma bug saja, paling nambah dua puluh. Tapi jika benar, aku harus apa? menyerahkan jiwa padanya? ah bukan itu perjanjiannya. Tapi hangat susu, menjadi milik si pemilik susu, arrghh belum. Perjanjian kan sepuluh ribu! tanpa sadar kumenjambak rambut rapi yang menghiasi kepalaku sendiri.
"Obatmu habis?" goda Sinca.
"Kucing berisik!" bentakku.
Sungguh luar biasa kekuatan hati saat tidak tenang, semua tubuh terus berkeringat dingin. Membuat gagal berkonsentrasi pada pelajaran karena memikirkan semua delusi yang akan terjadi kelak ketika pria bernama Miko1998 berhasil menepati ucapannya.
Hati juga tak henti mengadakan rapat suci, saling tentang pro dan kontra menanggapi delusi, Ah, jika dia berhasil maka aku akan terkenal! namun jika dia berhasil dia akan membuatku bertekuk lutut. Bahkan bukan tak mungkin dia akan meminta alamatku dan mendekatiku bukan saja di dunia maya namun juga real life. Apa ini yang dirasakan Ratu Loro Jonggrang? andai saja kubisa mempercepat waktu, ah tidak, sepuluh ribu itu angka yang banyak, tak mungkin dia mampu! Andai kutak memberikan janji itu, ah biar Tuhan yang memutuskan. Hamba nurut saja apa kata Tuhan. kututup wajah dengan kedua tangan.
Kata Einstein waktu akan berjalan lambat saat kita melintasi ruang dan waktu, namun kurasa dia salah. Waktu berjalan lambat karena pikiran sedang galau. Selambat-lambatnya waktu jam istirahat tiba juga. Entah kenapa aku bagai orang bodoh yang tak bernafsu sedikitpun beraktifitas.Aku tak bergerak sama sekali walau hati kangen perpustakaan namun selain tak membawa laptop atau android. Jiwaku juga sedang tak tenang membuatku terdiam dalam fantasy memikirkan apa yang akan terjadi.
Sinca datang duduk di bangku depanku. "Cie yang lagi ngelamunin mas Miko1998."
"Shut the crap off," jawabku.
Pikiran dan hati sedang berusaha meredam perasaan was-was akan si Miko1998, jelmaan si Bondowoso. Memaksa ternggelam dalam apa yang disebut bad mood. Lemas tubuhku, karena hati berdebar selalu.
"Kak," sapa Aldo, duduk di kursi sebelah, "nih makan dulu. Kakak nyeremin kalau belum makan." memberi roti sandwich untukku.
Duh baik banget. "Makasih." Kuambil langsung melahap roti itu, terasa saos tomat berkombinasi dengan mayonaise dan daging ham yang enak, bibir berusaha tersenyum namun nampaknya gagal karena terlalu sibuk mengunyah seperti kambing mengunyah rumput.
Sinca berdeham. "Aldo, itukan rotimu. Kok Lo beri ke Nita sih? terus Lo mau makan apa sekarang?"
Aldo mengambil donat di tangan Sinca yang sudah digigit sebagian, "Kan ada donat ini, Kita makan berdua ya." melahap besar.
Wajah Sinca merah padam, dia mencubit pipi Aldo. "Ouh ok deh, anything for you my sweet prince."
Dasar pasangan kucing, batinku, memandang jengah.
Saat bel masuk berbunyi waktu kembali berjalan lambat. Pelajaran demi pelajaran hanya bisa kudengar. Untung memory otak belum penuh sehingga bisa menampung pelajaran hari ini. Semoga saja memory ini bertahan sampai di rumah, agar dapat kucatat.
*
Nestapa, itu yang kurasa ketika berada dalam rumah dua lantai bak istana namun tanpa cahaya kebahagiaan. Andai laptop atau android kubawa ke sekolah tak akan pernah mau kupulang sebelum perpustakaan tutup, apa gunanya pulang jika di rumah kosong sunyi senyap tanpa kehangatan keluarga.
Kududuk di ruang keluarga melepas sepatu. "Aku pulang."
Walau jelas tak ada jawab, kebiasaan lama tak mengucapkan salam ketika keluar atau masuk rumah tak hilang. Di atas meja makan terlihat bungkusan nasi padang siap santap, namun aku malas membuka bungkusan menggiurkan itu. Sudah lama lidahku meronta ingin merasakan masakan ibu, yang kumau hanya kembali dapat merasakan masakan rumah.
Segera kumasuk kamar memandang laptop lupa tak di cas, androidpun sama tak bertenaga. Kulupa mematikan musik pada android dari malam hingga batrenya habis. Segera ku-cas kedua benda ciptaan manusia itu, Mati lampukah? sontak kesal dan marah, ingin rasanya membanting kedua benda mati itu. Namun kusadar jika mereka benar-benar mati maka aku juga bisa mati karena boring. Hanya satu pilihanku yang tersisa, tidur.
Entah berapa lama kutidur hingga terbangun karena kegaduhan dari lantai bawah. Suara barang pecah mendominasi disusul suara teriakan dua pahlawan yang kukenal, ayah dan ibu. Perang lagi nih, ya Tuhan kapan kedamaian akan kembali ke rumah ini?
"Pokoknya Ibu enggak mau Ayah pergi dinas ke Malaysia, titik!" terdengar teriakan Ibu.
"Ayah kerja untuk keluarga ini, untuk mencari nafkah demi membiayai anak-anak Kita! kenapa kok enggak boleh pergi dinas? Kamu mau jika Aku dipecat?"
"Dinas apanya, Aku yakin Kamu pasti punya wanita lain di sana, iya kan! sudah tak usah banyak alasan Kamu!"
"Astaga sadar Bu sadar! kita sudah lama bersama, sejak kapan Ayah_"
"Ibu enggak mau tau, jika Kamu nekat pergi dinas, Ibu juga nekat pulang ke rumah orang tua di desa!"
"Bu, sadar! jika Aku tak pergi dinas, Ayah bisa di pe_"
"Yasudah, sana pergi! pergi yang jauh!"
Sunyi dan senyap langsung terasa, tak ada suara dari lantai satu. Aku hanya dapat mendesah menahan tetesan air mata. Rindu rasanya akan masa-masa indah di mana ayah dan ibu mesra berebut memanjakan kedua anak mereka.
Kamarku adalah istanaku, tepatnya sebuah istana dalam neraka. Walau kamar ini mungil namun bersih. Di sini meja belajar tertata rapi di sebelah rak buku berisikan kumpulan novel yang kubeli dari hasil menabung juga buku pelajaran wajib baca supaya pintar. Terpajang poster boy band Korea yang ganteng nan manis di dinding selalu setia menemani hariku. Udara di dalam kamar terasa dingin oleh hembusan AC yang selalu menyala dan sesekali berkolaborasi dengan pengharum ruangan menyebar harum pilus.
Kaget ketika melihat jam di layar android menunjukkan pukul enam sore lebih lima, Ya ampun, sudah jam segini aku belum mandi, belum nulis novel, belum mencatat pelajaran. segera kubangkit mengambil handuk pergi ke kamar mandi.
Perlahan kuturuni anak tangga, mulai tercium aroma sengat rokok. Semakin turun semakin terlihat kepulan asap membuat mata perih juga sesak nafas. Di lantai bawah kulihat ayah duduk di sofa menghembuskan asap rokok ke langit-langit rumah dengan pakaian yang dia kenakan berantakan tak karuan. Ruang keluarga seperti kapal pecah, bantal tersebar kemana-mana dan beberapa guci pecah berserakan di lantai. Tak ada ucap terdengar, perlahan kumelangkah ke kamar mandi.
Suara pancuran terdengar nyaman, air menghangatkan tubuh membuat embun dimana-mana. Namun hati tetap risau tak kunjung tenang. Kenapa mereka berdua selalu bertengkar? Dahulu kuingat keluarga ini sangat rukun. Semenjak datang ke kota ini semua berubah. Aku benci kota ini.
Masih berkimono kumenuju kamar melewati neraka dunia, kembali kumenjadi saksi pertempuran seru, kali ini ayah memarahi kakak yang biasanya jarang bertegur sapa.
"Duit lagi duit lagi! motor sudah bagus di preteli seperti sampah! Kau belum bisa mencari uang sendiri jangan buang-buang uang!" bentak ayah, terlihat urat kekar dari kening dan leher, memandang kakak dengan mata melotot seperti genderuwo, sebuah monster dari pulau Jawa.
Mata almond kakak tak berani memandang ayah, "Terserah, kalau enggak dikasih Aku minta eyang di kampung saja!" ancam Nanta, kakakku yang tinggi nan cakap berkulit putih.
"Hei jangan." Ayah kalah, menghela nafas menepuk pundak Nanta. "Baiklah, Kau minta berapa?"
Kulanjutkan langkah yang tertunda, Dasar cowok, enggak peka keadaan, duit lagi duit lagi, selalu itu yang dia minta semenjak pindak ke Surabaya. sekilas saat setengah jalan melangkah menuju kamar, kulihat ayah mengeluarkan dompet memberi Nanta apa yang dia minta.
Sedikit diriku faham kenapa kakak yang baik menjadi seperti itu. Lingkungan pergaulan kota merusaknya, kedua orang tua jarang perhatian kepada kami setelah pindah ke Surabaya. Ibu sibuk buka butik, ayah sibuk dinas, membuat Nanta bergaul bebas mencari kesenangan di luar rumah.
Kudengar Nanta menjadi anggota geng motor, sebuah perkumpulan pencinta motor. Namun perkumpulan motor yang dia masuki nampaknya tak sehat, tersesat di jalan penuh liku yang menyeramkan. Syukurlah aku punya si orange, tempat melampiaskan imajinasi menulis sehingga bebas dari pergaulan tanpa batas kota pahlawan.
Setelah berpiyama, terdengar suara motor Nanta pergi. Kududuk memandang laptop di meja belajar dengan hati berdebar, Kuharap hanya bug saja. Jika sampai dia sukses bagaimana aku bisa menjadi susu hangat bagi pria yang bahkan tak pernah kutemui sebelumnya? sembari menunggu laptop menyala, kupandang layar android. Mana nih si Sinca, biasanya sudah chat. Hmm, nampaknya posisiku sebagai tempat penampungan chat-nya tergantikan oleh Aldo. Entah aku harus senang atau sedih.
Dengan tangan bergetar, kulihat layar laptop, Sudah tujuh ribu follower? What the heck! Siapa sebenarnya pria itu? apa dia hacker? pikiranku kembali berdebat dengan hati, saling menyalahkan atas rasa takut, bahagia bercampur bingung yang tengah berjibaku.
Tiba-tiba notif kembali membulat. Bukan pemberitahuan jika ada yang mem-follow-ku, namun pesan masuk dari si pria misterius. Siapa sebenarnya Miko1998? Ya Tuhan lindungi aku, jika dia orang jahat musnahkanlah segera.
Walau AC telah mati tetap seluruh tubuh bergidik tak terkontrol, mouse di tangan ikut bergerak tak terkontrol bergetar ke kiri dan kanan, Tenang Nit tenang, ambil nafas, hembuskan. akhirnya terbuka pesan dari Miko1998.
Miko1998, [Sudah sepuluh ribu belum follower-mu?]
NitaNit, [Belum, masih kurang banyak.]
Miko1998, [Kurang berapa?]
NitaNit, [kurang tiga ribuan lagi.]
Tak kuasa diriku untuk melanjutkan novel yang tanggung, dadaku bagai drum yang digedor oleh ribuan tikus, perut seakan jadi taman bermain ribuan kupu-kupu, ingin muntah namun sensasinya sangat menyenangkan, rasa yang sama saat Andre Jatmiko mengikatkan bunga liar pada jariku dulu saat masih tinggal di desa.
Waktu berlari cepat namun terasa lambat, harap-harap cemas kumenanti. Sepuluh ribu bukan jumlah yang sedikit, untuk mendapatkan satu follower saja harus banting tulang di grub FB, namun saat ini si Miko1998 bagai seorang magician, menyulap angka dengan cepat.
Rasa penasaran sudah mengkudeta hati, otak sudah tak mampu memberi masukan jernih. Tangan bak dikendalikan dengan remote control menulis tanpa dikomandoi.
NitaNit, [Kamu itu siapa sebenarnya?]
Satu jam kumenunggu balasan, namun tetap menunggu tanpa jawab, Duh tolol banget sih, kenapa aku bertanya seperti itu? pasti dia merasa senang karena berhasil membuatku bertanya, ucap lantunan dalam batin, sembari menepuk keningku.
Entah sudah berapa lama kulihat layar android, menanti pesan dari Sinca juga cemas memandang waktu. Walau di laptop juga ada penunjuk waktu namun entah mengapa mata serasa enggan memandang waktu di laptop. Memang pada anroid waktu berjalan lima menit lebih cepat, mungkin tanpa sadar kuberharap agar waktu segera berganti hari. Tiba-tiba tanda pesan kembali muncul, entah apa yang membuat girang membuka pesan itu.
Miko1998, [Aku Miko1998, masa enggak tau sih. Kan di profilku juga ada tuh namaku.]
Dasar pria menyebalkan, batinku, sembari meremas mouse.
NitaNit, [Oh iyayah, maaf soalnya enggak penting jadi enggak kebaca.]
Kembali lama kumenanti balasan darinya. Surfing internet menjadi hiburan dan tentunya tak sadar waktu terus bergulir hingga jam setengah dua belas malam tiba. Kurenggangkan tubuh sembari melihat layar laptop yang masih loading menampilkan profile account pada situs tulis menulis orange yang beken.
Hatiku kundah melihat tiada balas dari Miko1998, Apa aku menyinggungnya dengan balasanku tadi? bodohnya aku, sejelek-jeleknya sikap pembaca, pembaca tetap pembaca yang membaca tulisanku. namun bibir ini kembali tersenyum ketika Miko membalas pesan.
Miko1998, [Hoi hoi hoi, baiklah aku akan mencoba menjadi orang penting untukmu.]
NitaNit, [Show don't tell.]
Miko1998, [As you wish, my lady.]
Debaran jantung semakin bergejolak hebat tak terkontrol, bagai gempa membuat badan bergetar. Mata melihat jam, setiap menitnya bagai hitungan hari, terasa sangat lama. Follower-ku semakin banyak, sudah sampai sembilan ribu sembilan ratus dua.
Ya tuhan, kurang dari seratus lagi maka aku harus menjadi susu hangat untuknya. Susu hangat adalah istilah yang kugunakan di masa kecil untuk mendeskripsikan kepatuhan si susu kepada si pemilik susu. Istilah konyol yang menjadikan Andre sebagai susu hangat setelah dia kalah dalam taruhan nilai pelajaran matematika.
Miko1998, [Siap-siap ya!]
Akhirnya jam tepat menunjukan pukul 00.00, semua berakhir. Namun mata tak kunjung berkedip, sementara keringat dingin membasahi tubuh juga wajah. Ini bukan mimpikan? sepuluh ribu lima puluh follower?
Miko1998, [Well well well, susu hangatku. Siapkan dirimu untuk menuruti semua kemauanku!]
***