BAB VII
Pertemuan tak terduga itu cukup menyenangkan. Wanda tidak seperti yang pernah kubayangkan. Tidak juga sesuai dengan cerita Angga. Dia adalah wanita yang menarik. Cara bicaranya kekanak-kanakan?suaranya sama seperti gadis yang baru saja mengalami pubertas. Kharismanya pasti membuat orang akan mendekat kepadanya tanpa kita menyadarinya. Aku membuka gerbang pintu kos ku dan mendapati angga sedang duduk di teras. Ia sedang menyulut sebatang rokok.
“Darimana?” tanya angga.
“Hanya mengurus sesuatu yang tidak penting.” Jawabku.
Aku mengurungkan niatku untuk menceritakan kepada Angga bahwa aku baru saja bertemu Wanda. Kemungkinan besar ia masih berusaha melupakannya. Aku hendak beristirahat, tetapi sebatang rokok itu membuatku penasaran.
“Kau mau?” Angga menawarkan sebatang kepadaku “Ayolah jangan malu-malu, kita ini bukan anak kecil lagi?sebatang rokok bukan sebuah masalah kan?
“Aku tidak tahu cara memakainya.” kataku jujur.
Angga tertawa terbahak-bahak. Ia bilang bahwa anak SMP pun bisa memakainya tanpa diajarkan siapapun. Aku mengambil sebatang rokok dan mengapitnya dengan kedua bibirku. Aku mengingat sebentar bagaimana orang-orang menyalakannya. Tangan kanan ku menyalakan pemantiknya dan tangan kiriku menutupi agar bara apinya tidak padam tertiup angin. Aku tidak memperhitungkan sekuat apa aku harus menghisap?sehingga aku langsung menarik batang tersebut dan mulai terbatuk-batuk. Angga kembali menertawakanku. Tenggorokanku gatal dan paru-paruku rasanya sesak.
“Benda apa ini! Mengapa orang-orang menghisapnya?” kataku
“Jangan salahkan tembakaunya.” Kata Angga sambil menunjukku. “Hisapanmu terlalu kuat. Cobalah untuk menghisapnya pelan-pelan.”
Aku menghisap untuk kedua kalinya, setelah itu aku hembuskan secara perlahan-lahan. Aku baru sadar ada rasa manis yang kukecap. Seterusnya aku melakukan hal yang sama sampai ujungnya mendekati mulutku. Puntung rokok tersebut langsung kubuang. Aku langsung menuju kamarku untuk meminum segelas air karena aku merasa ada yang aneh dengan tenggorokanku.
Angga masuk ke kamarku. “Bagaimana?” tanyanya. “Memang saat pertama kali kau mencobanya, akan merasakan sakit kepala namun itu wajar. Aku dulu juga terpaksa melakukannya karena ingin bergaul dengan teman sebayaku?tentu saja mereka hanya ingin bergaya. Sekarang benda ini tidak ada bedanya sama sekali dengan narkoba.”
Memang benar kepalaku terasa seperti melayang. Pandanganku sedikit kabur. Aku masih bertanya-tanya apakah efeknya separah ini? Aku memejamkan mata sambil memijat-mijat kepalaku.
Tiba-tiba saja angga menepuk bahuku.“Kelihatannya kau sedang terlibat suatu masalah. Bagaimana jika malam ini kau ikut aku ke kelab malam?”
Kelab malam?
Aku belum pernah ke kelab malam sebelumnya. Ini kesempatan bagiku untuk mengenal lebih dalam dunia gemerlap. Suatu hari kelak mungkin aku akan sering pergi kesana. Aku menyetujuinya dan menyuruh Angga kembali ke kamarnya karena aku ingin beristirahat.
*
Aku terlelap selama beberapa jam sampai Angga membangunkanku untuk berpakaian. Ia sendiri sepertinya sudah bersiap-siap. Kemeja merah marun polos dipadu dengan celana jeans hitam ketat, sepatunya sneakers, dan jam tangan swatch memberikan kesan bahwa ia pemuda yang rapi dan gagah. Aku sendiri segera mengganti kausku dan melapisinya dengan jaket korduroiku seperti biasanya. Bawahannya celana chino dan sepatu boots karena itu cocok dengan jaketku. Kami segera memesan taksi dan tiba disalah satu kelab malam yang terletak tidak jauh dari kampusku. Bodyguard yang bertugas menahan kami untuk memeriksa barang bawaan kami. Mereka mempersilahkan kami masuk. Sesaat setelah pintu dibuka aku langsung melihat gerombolan manusia yang sedang berdansa mengikuti lagu yang dibawakan oleh Disc Jockey(DJ). Mereka menghentak-hentakkan kaki mereka, mengoyang-goyangkan tangan mereka, dan menggeleng-gelengkan kepala mereka. Angga menarik lenganku dan kami duduk disalah satu meja. Seorang pelayan mendekati kami dan menanyakan apakah ada yang ingin kami pesan. Angga langsung mengambil menu yang disodorkan dan membaca sekilas. Angga menyebut-nyebut sesuatu. Pelayan menulisnya di kertas dan mulai meninggalkan kami.
“Apa yang kau pesan?” tanyaku.
“Juggernaut.”
“Apakah itu sejenis minuman?”
“Kau tak perlu mempersoalkannya. Duduk dan pelajari saja.”
Aku menurut perkataannya. Beberapa saat kemudian pesanan kami datang. Pelayan tersebut meletakkan sebuah botol hitam yang diselimuti bongkahan es batu didalam sebuah ember. tak lupa semangkuk kacang-kacangan dan 4 gelas kaca ditata rapi di meja kami.
“Aku pikir dia salah mengantar pesanan seseorang karena kita hanya berdua disini.” kataku sesaat pelayan meninggalkan kami.
“Tidak, mereka tidak salah karena aku yang memintanya.” kata Angga
“Maksudmu kau sedang menunggu seseorang?” tanyaku heran
Sebelum Angga sempat menjawab pertanyaanku tiba-tiba dua orang gadis yang tidak ku kenal menghampiri kami.
“Maaf membuat kalian lama menunggu. Taksi yang kami tumpangi terjebak kemacetan.” kata salah satu dari mereka.
“Tak perlu dipikirkan. Kami juga baru sampai,” kata Angga. Ia menambahkan “Hanif, perkenalkan ini Grace dan yang duduk disebelahnya Clara.”
Aku bergantian bersalaman dengan mereka. Orang yang menyapa kami tadi namanya Grace. Sepertinya gadis itu cukup percaya diri. Ia memakai gaun hitam dan kalung yang melilit lehernya. Sementara, Clara agaknya pemalu dengan gaun biru sederhana tanpa memakai perhiasan.”
Sebelumnya Angga tidak pernah mengatakan bahwa ia mengajak orang lain selain diriku. Aku tahu niat busuk Angga?bahwa setelah ini Angga akan mengajak salah satu gadis itu ke kamar kosnya dan berbuat sesuatu yang menjijikan disana. Angga mulai membuka penutup botol tersebut dan menuangkan isinya ke gelas kami. Minuman itu berwarna coklat tua seperti teh. kami bersulang dan mulai meminumnya. Semua orang menghabiskannya kecuali diriku. Rasanya aneh bila mereka semua bisa menikmati minuman yang rasanya seperti obat batuk cair. Dadaku terasa hangat dan Angga memulai percakapan.
“Tubuhmu lumayan atletis ya,” kata Grace kepada diriku “Apakah kau seorang atlet?”
“Aku dulu bermain basket cukup sering.” kataku sekedarnya.
Percakapan berlanjut hingga larut malam. Sepertinya Angga dan Grace sudah saling menemukan kecocokan. Tagihan datang dan Angga membayar semuanya. Kemudian Angga dan Clara bangkit.
“Kami pergi duluan ya.” kata Grace.
Hanya tersisa aku dan Clara. Kami berdua tidak banyak berbicara tadi. Aku menatap Clara yang sepertinya terlalu banyak minum. Rona pipinya begitu merah. Kurasa ia sudah mabuk berat. Jam menunjukkan pukul 1 malam dan kelab semakin ramai.
“Dimana rumahmu? Aku bisa mengantarmu naik taksi jika kau mau.” tawarku.
Clara hanya menggelengkan kepalanya. “Aku tinggal di asrama. Pasti gerbangnya sudah ditutup.” katanya lirih.
Aku berusaha memutar otak. Aku tidak mungkin meninggalkannya sendirian dalam keadaan mabuk. Mungkin sebaiknya ia menginap di kosku malam ini. Aku bangkit dan membantunya berdiri. Ia melingkarkan tangannya di leherku. Aku harus menuntun Clara yang berjalan meninggalkan kelab malam dengan tertatih-tatih. Kami berhenti di samping jalan untuk menunggu taksi yang lewat. Setengah jam berlalu dan sepertinya tidak ada taksi yang akan melintasi jalan ini. Aku tidak mungkin membawanya sampai kos dengan berjalan kaki karena jaraknya yang begitu jauh. Aku putuskan bahwa kami harus menginap di hotel malam ini. Clara tiba-tiba tersungkur?bukannya mengerang kesakitan ia malah tertawa. Aku terpaksa menggendongnya sampai ke hotel yang terletak tidak jauh dari kelab malam itu. Sepanjang perjalanan ia terus saja bersenandung. Resepsionis yang bertugas sepertinya salah sangka mengenai kami. Aku langsung memesan kamar dan langsung naik ke lantai 4. Sesampainya di kamar aku langsung merebahkan Clara di kasur?Ia sudah tertidur. Aku pergi ke toilet dan membasuh wajahku. Perhatianku menuju diriku sendiri yang berdiri di balik cermin.
Apakah yang telah aku lakukan selama ini?
Aku membuang jauh-jauh pikiran tersebut, duduk di sofa dan akhirnya tertidur karena kelelahan.
*
Aku terbangun karena sinar matahari pagi mulai menghangatkan tubuhku. Clara sudah tidak berada di tempatnya. Kepalaku terasa sedikit pening. Aku berusaha mengembalikan ke sadaranku. Di sebuah meja yang terletak di samping sofa terdapat kertas yang dilipat menjadi dua bagian. Aku meraih kertas tersebut dan membaca isinya.
Terimakasih karena telah menjagaku. Aku belum bisa mengganti uangmu untuk membayar hotel ini. Hubungi aku di 0812-8990-77xx. Kalau kau memerlukan bantuan tidak usah segan-segan bilang padaku.
Clara
Aku tidak mempermasalahkan uang yang aku gunakan untuk membayar hotel ini. Nomor itu kusimpan baik-baik karena aku punya firasat bahwa suatu hari nanti aku pasti membutuhkannya. Aku memesan taksi dan kembali ke kos.
"Aku tidak pernah menghisap apapun selain udara"
Comment on chapter BAB IIOke, mungkin kalimat itu bakal nempel dikepalaku sampai besok :))