BAB VIII
Sesuai perjanjian aku menunggunya di depan restoran cepat saji tersebut. Aku sengaja datang lebih awal karena tidak ingin membuat Wanda menunggu. Dari kejauhan terlihat seorang wanita sedang mengendarai motor bebek berwarna hitam. Aku segera mengenali wanita tersebut sebagai Wanda.
“Sudah lama?” tanya wanda. “Maaf aku sedikit terlambat karena harus memasak makanan untuk adikku.” Ia membuka jok dan memberikan helmnya yang lain kepadaku. “Kau bisa membawanya kan?”
Aku mengangguk dan mengambil alih kemudi. Aku memboncengya menyusuri jalanan Jakarta. Sore ini tidak terlalu begitu terik. Angin sepoi-sepoi dan pohon yang tumbuh di trotoran menambah kesejukaran udara hari ini. kami akhirnya tiba di parkiran FIB.
“Buku apa yang ingin kau beli Nif?” kata wanda sambil berusaha melepas kancing helmnya.
“Entahlah, buku-buku Agatha Christie mungkin?” jawabku kurang yakin.
Kami berjalan menuju pelataran kampus. Bazarnya cukup besar dan ramai pengunjung. Terdengar suara tawar-menawar antar penjual dan pembeli. Kami bergantian keluar masuk stand untuk mencari buku yang kami inginkan. Benar kata Wanda bahwa buku-buku disini jauh lebih murah. kami. Saking ramainya bazar tersebut kami harus berdesak-desakan dengan banyak orang. Tiba-tiba Wanda melingkarkan tangannya di tanganku. Jujur aku sempat kaget. Aku tidak mengerti mengapa tiba-tiba jantungku berdebar-debar. Wajar kalau Wanda berbuat seperti itu. Suasananya ramai dan ia tidak ingin kehilanganku?maksudku tidak ingin tersesat dan ditinggal sendirian. Aku balas mengenggam tangannya. Tangannya begitu hangat.. Aku merasa seolah-olah tidak ingin kehilangannya.
“Hanif! Stand disitu menjual buku-buku misteri.” kata Wanda membuyarkan lamunanku. “Ayo kesana!”
Wanda melepas genggamanku dan kami segera mendatangi stand tersebut. Wanda mengambil satu persatu buku yang dijajar rapi di rak. Ia menyodorkan buku berjudul The Sign of the Four “ karya Arthur Conan Doyle. Aku memperhatikan sekilas buku tersebut.
“Kau harus membacanya! Ini buku yang berkesan buatku.” kata Wanda.
“Sesekali aku harus mencobanya.” sahutku.
Aku lalu mengambil buku Agatha Christie berjudul “Crooked House.”
“Bacalah ini.” saranku.
Ia mengiyakan dan kami segera membayarnya di kasir. Walaupun masing-masing dari kami telah mendapatkan buku yang kami inginkan, namun kami tetap berkeliling untuk melihat-lihat. Akhirnya kami keluar dari bazar.
“Kau setelah ini mau kemana?” tanya Wanda.
“Aku tidak berencana kemana-mana.” kataku
“Bagaimana kalau kita melihat matahari terbenam?” ajak Wanda.
Aku kembali mengiyakan dan mengikutinya dari belakang. Aku mulai memperhatikan Wanda. Rambut coklat yang tidak sampai menutupi lehernya. Jaket dipadu celana jeans membuat penampilannya begitu mempesona?Wanita ini begitu mempesona. Aku sampai tidak sadar bahwa kami sudah tiba di depan stadion softball kampus. Kami menaiki anak tangga dan duduk di bangku penonton paling atas. Aku menatap ke langit?Matahari beranjak tenggelam. Merah dan jingga mendominasi warna langit. Suasana begitu syahdu diantara kami berdua.
“Aku dulu merupakan pemain softball.” kata Wanda sambil memangku dagunya dengan kedua tangannya. “Saat masih SMA, timku sering mengikuti kejuaraan antar sekolah. Walaupun sekolah kami tidak pernah juara, namun kecintaanku terhadap softball tidak pernah pudar. Aku sedih ketika mengetahui tim softballku dibubarkan karena kekurangan anggota?mungkin juga karena tidak pernah menjuarai apapun.” Wanda menghela nafas. “Aku mendaftar sebagai anggota softball kampus ketika masih menjadi mahasiswa baru. Tak kusangka bahwa tim softball kampus sering memenangkan kejuaraan. Mahasiswa yang mendaftar sangat banyak. Latihan rutin dilakukan 3 kali dalam seminggu, sehingga banyak anggota yang keberatan dan satu per satu meninggalkan tim. Aku termasuk orang yang masih bertahan di tim, sampai suatu ketika setelah selesai latihan aku merasakan sakit yang luar biasa pada lututku. Dokter memvonisku bahwa aku tidak akan bisa lagi bermain softball untuk jangka waktu yang panjang karena cedera ligament yang aku derita. Peristiwa itu memang menyedihkan. Aku masih sering hadir untuk menonton latihan dari kejauhan. Seiring waktu berjalan, perubahan-perubahan pasti terjadi. Sekarang aku hanyalah mahasiswi biasa, yang hadir perkuliahan seperti biasa.”
Wanda menghela nafas. Aku seperti bisa merasakan apa yang dirasakannya. Kehilangan sesuatu yang berharga. Sesuatu yang membuatmu merasa hidup. Aku mengenggam tangannya. Kali ini bukan karena keramaian di bazar. Aku sendiri tidak mengerti.
Ia menatapku. “Kau tahu nif? Banyak laki-laki yang mendekatiku. Aku hanya menanggapi mereka sewajarnya karena mereka baik kepadaku. Tapi sebenarnya mereka itu laki-laki yang brengsek! Mereka segera meninggalkanku setelah mereka tidak mendapatkan “apa” yang mereka inginkan.”
Lagi-lagi aku hanya terdiam mendengarkan. Aku mengerti mengapa sekarang Angga ditolak oleh Wanda. Wanda bukanlah wanita sembarangan. Ia wanita yang terhormat dan terdidik. Tentu dia akan marah ketika harga dirinya dilecehkan. Langit semakin gelap dan berwana biru kehitaman. Wanda menyandarkan kepalanya di pundakku. Jantungku berdebar-debar kembali?lebih parah dari sebelumnya. Kami berdua menikmati suasana pergantian malam dalam damai. Ia mengangkat kepalanya dari pundakku dan tiba-tiba mengecup pipiku. Aku masih belum bisa percaya pada apa yang baru saja terjadi. Lampu penerangan stadion kemudian menyala seolah-olah memergoki kami yang sedang bermesraan. Wanda bangkit dan aku menyusulnya. Akhirnya kami berdua pulang memendam perasaan masing-masing.
"Aku tidak pernah menghisap apapun selain udara"
Comment on chapter BAB IIOke, mungkin kalimat itu bakal nempel dikepalaku sampai besok :))