Loading...
Logo TinLit
Read Story - Dunia Gemerlap
MENU
About Us  

BAB V

 

Ibu menelpon dan menanyakan kabarku. Obrolan kami berlangsung singkat dan Ibu menyaranku untuk pergi mengunjungi rumah paman yang terletak di Bogor. Paman hanya tinggal sendiri. Walaupun aku tidak terlalu dekat dengan paman, tetapi aku tidak keberatan mengunjunginya karena paman adalah orang yang baik terhadap semua orang. Aku lantas berangkat ke bogor menggunakan kereta.

Rumah pamanku terletak di daerah pedesaan. Bangunannya tidak terlalu besar dan hanya tingkat satu. Namun pekarangannya sangat luas dan ditumbuhi berbagai macam buah-buahan. Aku memiliki banyak kenangan di rumah paman bersama kakak. Mengingat-ingat kami sering  menaiki pohon mangga yang tumbuh dibelakang rumah paman. Pernah sekali aku terjatuh dan kakiku patah, kakak segera menggendongku ke puskesmas yang terletak di balai desa karena paman sedang ada urusan waktu itu sehingga tidak bisa menjaga kami. Namun pohon mangga itu sekarang sudah ditebang oleh paman karena buahnya masam dan bunganya seringkali rontok.

Aku tiba di rumah paman. Sepertinya aku datang terlalu awal karena paman biasanya tiba dirumah menjelang malam hari. Jam tanganku menunjukkan pukul 3 lewat 30 menit. Daripada menghabiskan waktu dengan duduk menunggu di kursi teras paman, aku akhirnya memilih berjalan-jalan mengitari pedesaan sekitar.

Kebanyakan penduduk sekitar bekerja sebagai petani. Desa ini terletak di dataran tinggi, sehingga para petani tidak menanam padi melainkan wortel,kubis, dan kentang. Pemandangan ini jauh berbeda dengan yang ada di kota. Tidak ada gedung bertingkat ataupun kendaraan yang berlalu lalang. Aku sungguh menikmati susunan terasering yang dibangun oleh jerih payah para petani itu. Udara dingin yang menyentuh kulitku dan bau khas perkebunan membuatku merasa damai. Waktu sudah menunjukkan pukul 4 lewat 30. Aku memutuskan untuk kembali ke rumah paman.

Benar saja paman sudah tiba dirumah. Meskipun aku belum tiba disana namun aku dapat melihat motor tua paman terparkir rapi di halaman. Aku mempercepat langkahku dan sebelum aku meraih daun pintu, paman terlebih dahulu membukakan pintunya untukku. Aku disambutnya dan disuguhkan dengan segelas sirop. Paman bilang aku lebih baik mandi dan beristirahat karena perjalananku pasti tadi cukup melelahkan.

Aku menempati kamarku dan mulai mengeluarkan barang-barang bawaanku. Paman mengira aku tertidur lelap karena kelelahan dan menonton televisi di ruang tamu, sementara aku sendiri memilih untuk membaca buku " The A.B.C. Murders” karya Agatha Christie.

Aku terlalu asyik membaca sampai paman memanggilku dari luar dan mengajakku untuk makan malam.

“Makan dulu nif, Paman sudah memasak ikan bandeng untukmu. Jangan lupa ditutup lagi tudung sajinya.”

Aku menurut dan segera menyantap hidangan yang dibuat oleh paman. Walaupun hanya makanan sederhana tapi rasanya enak dan membuatku rasa laparku hilang. Aku bergabung dengan paman yang sedang menonton televisi. Acara televisi sekarang memang membosankan dan cenderung mengikuti tren. Aku tidak menyalahkan paman yang berjam-jam menonton acara sinetron karena mungkin ini satu-satunya hiburan yang ada disini. Paman bilang ini sudah larut malam dan ia meminta maaf karena tidak bisa menemaniku esok hari karena ia akan pergi ke kota untuk urusan pekerjaan. Kami kembali ke kamar masing-masing.

 

*

 

Kebiasaan burukku untuk bangun kesiangan tidak berlaku disini. Udara pagi terlalu dingin seolah-olah menusuk tulangku. Paman tentu tidak menyediakan selimut untukku. Aku bangkit dari kasurku dan menuju kamar Paman untuk meminta selimut atau kain apa saja yang dapat menghangatkan tubuhku. Tidak ada jawaban. Aku teringat pesan paman semalam. Aku mengintip lewat jendela dan benar saja motor tua itu sudah tidak berada pada tempatnya pertama paman sudah berangkat.

Aku memakai jaketku dan menutup rapat-rapat pintu dan jendela. Setelah beberapa saat matahari mulai terbit dan udara tidak sedingin sebelumnya. Aku berjalan keluar rumah. Sudah lama aku tidak menyaksikan matahari terbit. Cahaya pagi yang membelai kulitku memang menyegarkan. Rumput-rumput yang dipenuhi embun pagi, pagar kayu yang sudah kusam, dan suara kicauan burung yang hinggap pada pohon rambutan paman menambah ramai suasana pagi itu. Aku pun tidak mau kalah. Aku teringat paman memiliki gitar yang disimpan di gudang. Aku pergi mengambilnya dan duduk diatas kursi yang terletak di pekarangan paman.  Aku mulai memetik satu per satu senar gitar tersebut. Aku teringat pada lagu “Always Somewhere” milik Scorpions yang merupakan petikan pertama yang diajarkan kakakku kepadaku. Aku mulai memainkan lagu tersebut. Suaraku memang tidak merdu namun bisa dibilang cukup untuk mengisi kekosongan disana.

Aku memainkan lagu berikutnya berjudul “Don’t Cry” milik Guns N' Rose. Aku sibuk menatap gitarku karena jari-jariku belum terlalu mahir memainkannya sampai tidak sadar bahwa seorang anak laki-laki menatapku dari dekat. Aku berhenti sejenak dan tersenyum kepadanya. Ia bertepuk tangan dan memintaku untuk memainkan sebuah lagu anak-anak. Ketika aku ingin memulai memetik senarku seorang wanita tergopoh-gopoh berlari ke arah anak laki-laki itu.

“Jangan lari-lari. Kakak engga secepat kamu.” Katanya sambil mengatur nafas.

Anak itu hanya mengangguk pelan

“Sekarang kamu pulang gih,sarapan dulu.”

“Maaf ya mas kalo ganggu.” katanya wanita itu sambil tersenyum padaku

Aku tersenyum kepadanya mengisyaratkan bahwa hal itu  bukan apa-apa. Aku kembali menatapnya. Wanita ini mengingatkanku pada seseorang. Sebagai seorang wanita ia cukup  tinggi. Rambutnya kecoklatan dipotong pendek. Kulitnya berwarna kuning langsat. Mata besarnya diapit oleh hidung yang mancung, Lesung pipitnya tercetak jelas di pipinya ketika ia tersenyum tadi. Bibirnya tipis dan dagunya tajam. Mungkin bagi sebagian orang ia adalah wanita yang ideal. Ia mengenakan kaos bermerk dan celana training. Aku yakin wanita ini juga pendatang seperti diriku.

Guns N’ Rose ya?” tanyanya

“Sama seperti yang kau dengar. Kau menyukainya?”

“Ya aku menyukainya! Apakah kau bisa memainkan lagunya yang berjudul patience?”

Walaupun aku tahu lagu tersebut, aku tidak bisa menyanggupi permintaannya karena aku sudah lama tidak bermain gitar.

“Sayang sekali! Bagaimana kalau aku pinjam gitarmu sebentar?”

Sejujurnya aku meragukan permainannya. Ia duduk di depanku dan mulai memangku alat musik yang berbentuk seperti angka delapan itu. Mengejutkan bahwa ternyata ia sangat mahir memainkannya. Suaranya pun mungkin akan membuat iri para burung yang sedang berkicau di atas sana. Aku sangat menikmati dan memuji dirinya saat lagunya usai.

“Kau berniat sombong di depanku ya?” sahutku penuh tawa

            Ia tertawa karena pernyataanku. Ia mengulurkan tangannya.

            “Kita belum berkenalan. Namaku Wanda.”

            Wanda..

            Tidak mungkin wanda yang sekarang sedang berada di depanku merupakan wanda yang dimaksudkan oleh angga. Aku berada di sebuah pedesaan di puncak bogor dan tidak mungkin orang yang tadi membawakan lagu patience di hadapanku adalah wanda yang sama.

            “Namaku Hanif. Salam kenal.”

            Ia mengembalikan gitarku.

            “Kau bukan salah satu penduduk disini ya?”

            “Aku jarang terlihat disini ya?”

            “Aku sering berakhir pekan disini?di rumah nenekku. Nenekku sedang sakit dan aku datang untuk menjenguknya.”

            Aku mengerti bahwa ternyata dia tidak berasal dari sini.

            “Keponakan Pak Rudi kan?” tanyanya.

            Rudi adalah nama pamanku. Aku mengangguk mengiyakannya. Ternyata wanda yang sekarang berada di depanku ini tidak tinggal disini dan bisa jadi tinggal di Jakarta. Namun aku enggan menanyakan hal ini lebih lanjut karena itu bukan masalah bagiku.

            “Kalau begitu aku menyusul Adikku dulu ya, sampai jumpa!”

            Ia langsung berlari meninggalkanku dan kembali ke rumah neneknya yang ternyata berada di seberang rumah dari rumah pamanku.

            Setelah kepergiannya ada sesuatu yang membuatku tidak nyaman. Semuanya terlihat jelas. Tangannya yang lihai memetik senar, senyumnya yang lebar, dan sepasang mata yang tajam membuatku terus memikirkan dirinya. Seolah-olah  aku telah mengenalnya lama dan menjalin suatu hubungan. Aku kembali kedalam rumah dan membuat roti yang tersedia di dapur.

            Keesokan harinya aku kembali ke Jakarta karena perkuliahan masih terus berlanjut.

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (1)
  • MulierViridi

    "Aku tidak pernah menghisap apapun selain udara"
    Oke, mungkin kalimat itu bakal nempel dikepalaku sampai besok :))

    Comment on chapter BAB II
Similar Tags
Happiness Is Real
319      270     0     
Short Story
Kumpulan cerita, yang akan memberitahu kalian bahwa kebahagiaan itu nyata.
Black World
1707      805     3     
Horror
Tahukah kalian? Atau ... ingatkah kalian ... bahwa kalian tak pernah sendirian? *** "Jangan deketin anak itu ..., anaknya aneh." -guru sekolah "Idih, jangan temenan sama dia. Bocah gabut!" -temen sekolah "Cilor, Neng?" -tukang jual cilor depan sekolah "Sendirian aja, Neng?" -badboy kuliahan yang ...
A Story
316      252     2     
Romance
Ini hanyalah sebuah kisah klise. Kisah sahabat yang salah satunya cinta. Kisah Fania dan sahabatnya Delka. Fania suka Delka. Delka hanya menganggap Fania sahabat. Entah apa ending dari kisah mereka. Akankah berakhir bahagia? Atau bahkan lebih menyakitkan?
Loading 98%
659      403     4     
Romance
A - Z
3110      1055     2     
Fan Fiction
Asila seorang gadis bermata coklat berjalan menyusuri lorong sekolah dengan membawa tas ransel hijau tosca dan buku di tangan nya. Tiba tiba di belokkan lorong ada yang menabraknya. "Awws. Jalan tuh pake mata dong!" ucap Asila dengan nada kesalnya masih mengambil buku buku yang dibawa nya tergeletak di lantai "Dimana mana jalan tuh jalan pakai kaki" jawab si penabrak da...
Grey
253      214     1     
Romance
Silahkan kalian berpikir ulang sebelum menjatuhkan hati. Apakah kalian sudah siap jika hati itu tidak ada yang menangkap lalu benar-benar terjatuh dan patah? Jika tidak, jadilah pengecut yang selamanya tidak akan pernah merasakan indahnya jatuh cinta dan sakitnya patah hati.
MANTRA KACA SENIN PAGI
3787      1358     1     
Romance
Waktu adalah waktu Lebih berharga dari permata Tak terlihat oleh mata Akan pergi dan tak pernah kembali Waktu adalah waktu Penyembuh luka bagi yang sakit Pengingat usia untuk berbuat baik Juga untuk mengisi kekosongan hati Waktu adalah waktu
The Eye
453      306     2     
Action
Hidup sebagai anak yang mempunyai kemampuan khusus yang kata orang namanya indigo tentu ada suka dan dukanya. Sukanya adalah aku jadi bisa berhati-hati dalam bertindak dan dapat melihat apakah orang ini baik atau jahat dan dukanya adalah aku dapat melihat masa depan dan masa lalu orang tersebut bahkan aku dapat melihat kematian seseorang. Bahkan saat memilih calon suamipun itu sangat membantu. Ak...
My world is full wounds
494      351     1     
Short Story
Cerita yang mengisahkan seorang gadis cantik yang harus ikhlas menerima kenyataan bahwa kakinya didiagnosa lumpuh total yang membuatnya harus duduk di kursi roda selamanya. Ia juga ditinggalkan oleh Ayahnya untuk selamanya. Hidup serba berkecukupan namun tidak membuatnya bahagia sama sekali karena justru satu satunya orang yang ia miliki sibuk dengan dunia bisnisnya. Seorang gadis cantik yang hid...
Dessert
1078      564     2     
Romance
Bagi Daisy perselingkuhan adalah kesalahan mutlak tak termaafkan. Dia mengutuk siapapun yang melakukannya. Termasuk jika kekasihnya Rama melakukan penghianatan. Namun dia tidak pernah menyadari bahwa sang editor yang lugas dan pandai berteman justru berpotensi merusak hubungannya. Bagaimana jika sebuah penghianatan tanpa Daisy sadari sedang dia lakukan. Apakah hubungannya dengan Rama akan terus b...