BAB IV
Malam ini hujan turun. Rintik-rintiknya jatuh tepat mengenai genteng bangunan dan membuat paduan suara yang menakjubkan. Sepertinya orang-orang memutuskan untuk tinggal di dalam rumah seraya menghangatkan dirinya. Aku masih tenggelam dari lamunanku ketika Angga muncul dihadapanku. Dia kelihatan tidak seperti biasanya yang penuh semangat. Dia langsung merebahkan badannya disampingku dan menutupi wajahnya dengan kedua tangannya. Aku tidak perlu bertanya apa yang telah terjadi kepadanya karena dia sendiri yang akan menceritakannya. Begitulah sifatnya.
“Brengsek! Sudah kuberi hati masih saja minta jantung!”
Aku tidak menanggapi apa-apa dan hanya menunggu intinya.
“Wanda, nif.” Angga mengepal tangannya dan membantingnya ke kasurku.
“Dia bilang hari ini dia tidak ingin bertemu denganku lagi. Aku sudah memberinya segala yang dia inginkan dan ketika aku hanya meminta sebuah ciuman darinya dia!”
“Pelan-pelan bicaranya.” Kataku menenangkannya.
“Sebuah ciuman, Nif! Dan dia juga menamparku.”
Aku cukup terkejut ketika mendengarnya. Selama ini Angga tidak pernah gagal dalam mendapatkan apapun yang diinginkannya dari seorang gadis. Siapa sebenarnya gadis bernama Wanda itu? Seberapa cantik gadis itu sampai menolak Angga?
“Sudahlah, tidak usah kau pikirkan Ngga. Kau kan bisa mencari mangsa lain.” Kataku setengah bercanda. Angga sepertinya tidak mendengarkanku dan ia bangkit menuju kamarnya. Terdengar suara pintu yang dikunci. Mungkin ia hanya butuh waktu menyendiri sekarang.
Aku mengenakan jaket corduroy dan celana jeansku. Bersiap-siap pergi entah kemana. Aku hanya ingin melepaskan pikiran-pikiran setelah datangnya surat dari kakakku. Aku melindungi diriku dengan jas hujan dan menyusuri kota Jakarta yang dipenuhi cahaya-cahaya yang berasal dari lampu sorot kendaraan, jalan, dan gedung pencakar langit. Jakarta memang kota yang dipenuhi ambisi.
Hujan mulai reda ketika aku tiba di café dekat kampus yang biasa aku singgahi. Café ini terlihat lebih indah pada malam hari dan seperti biasanya café tersebut tidak terlalu ramai. Hanya terlihat dua orang yang sedang mengantri pesanan. Aku merogoh sakuku untuk memastikan aku tidak lupa membawa dompet dan ikut mengantri. Setelah giliranku aku langsung memesan caramel macchiato dan sepiring croissant. Aku duduk di sebelah pintu masuk karena kursi yang biasa aku duduki ditempati oleh kedua orang yang mengantri tadi. Buku yang biasa aku baca tertinggal. Selagi menunggu hangat pesananku, aku menghadap ke langit-langit untuk menenangkan pikiranku.
Bunyi lonceng berbunyi. Aku masih memejamkan mataku dan tidak memperdulikan siapa yang masuk atau keluar. Aku teringat kembali pada orang yang bernama Jihad itu. Mengapa ia mengenalkan dirinya kepadaku? Bukankah wajar kalo kita bertemu orang yang kita pernah lihat berlalu lalang di sekitar tempat umum.
Aku membuka mata dan mendapati seseorang bertubuh mungil yang mengenakan jaket bomber hitam dan celana kargo khaki. Karena posisiku yang berdeketan dengan kasir maka aku dapat mengetahui bahwa pria itu memesan American latte. Mungkinkah itu?
Aku berdiri dan menghampirinya. Berdiri dibalik punggung bungkuknya itu. tanganku berusaha menepuk pundaknya. Kuurungkan niatku setelah ia menoleh kebelakang.
“Apa kau mengenal kakakku, Hanan?” kata-kata itu terlontar begitu saja dari mulutku. Aku menatap wajahnya. Sorot matanya tidak beralih dari mataku. Mata itu mirip seperti binatang yang terancam bahaya. Aku langsung mencengkram kerah bombernya.
“Dimana dia?” aku tidak dapat mengontrol diriku. ia hanya tersenyum tanpa memberikan perlawanan.
“Sebaiknya kau menunggu ditempat mu tadi dan kita akan berbincang banyak hal. American latte yang kupesan baru saja dibuat.”
Aku melepaskan cengkramanku dan menurut perkataannya. Aku menunggu dirinya untuk duduk di depanku dan menceritakan dimana keberadaan kakak sekarang. Ia meletakkan American latte dan duduk di depanku.
“Aku minta maaf mengenai peristiwa tadi.”
“Bukan masalah yang berarti bagiku.” Katanya sambil membetulkan kerah yang aku cengkram tadi.
Jihad menempelkan kedua ujung jarinya dan sepertinya mencari-cari kata yang tepat untuk memulai pembicaraan. Aku menunggu dengan tidak sabar sambil mengetuk-ngetuk meja dengan jari-jariku.
“Orang-orang memanggil ku Jee. Kami berdua adalah teman baik.” Mulainya.
“Aku menyayangi kakakmu sebagaimana kau menyayanginya. Kami sudah berteman sejak pertama kali bertemu di kampus. Kakakmu itu orang yang berani. orang yang memegang teguh idealismenya, Dan dia tidak sadar bahwa hal tersebut seringkali membahayakannya. Dia tidak pernah terlibat apapun sampai dia memergokiku sedang mengisap ini.” Jihad menyeret suatu benda yang tak lain adalah bungkus rokok. Aku bingung apa yang salah dengan tembakau sampai Jee melanjutkan perkataanya.
“Bukan tembakau biasa. Ini 420.” katanya sedikit berbisik
Tidak salah lagi itu adalah marijuana
“Kakakmu menanyaiku dengan berbagai pertanyaan. Dimana aku membelinya. Siapa yang menjualnya, dan mengapa aku bisa menghisap benda tersebut. Tentu aku tidak memberitahunya dan dia tidak memaksaku. Aku berpikir bahwa hal ini biasa terjadi di kampus dan tidak ada hal yang berbahaya sampai kakakmu mengatakan bahwa ia mengetahui jalur peredaran narkoba di kampus. Tiap jurusan memiliki bandarnya masing-masing dan dipimpin oleh satu kepala. Begitulah yang dia katakan kepadaku. Aku berusaha mencegahnya untuk mencari tahu lebih lanjut karena itu dapat mengancam nyawanya tapi dia orang yang keras kepala. Ia bertindak terlalu jauh sampai akhirnya hal ini terjadi padanya.”
Ia menyesap American latte-nya untuk membasahi mulutnya yang kering setelah berbicara cukup banyak.
Aku berusaha mengolah satu per satu informasi yang Jee berikan. Aku baru pernah bertemu dengannya sekali dan entah aku harus percaya atau tidak pada perkataannya.
“Lalu apakah kakakku masih menghubungimu sekarang?” tanyaku
“Kakakmu mungkin tidak pernah menghubungi siapa-siapa. Mungkin hanya dia sendiri yang tahu dimana dia sekarang.”
“Untuk sekarang hanya itu yang bisa aku sampaikan. Aku sedang ada urusan dan harus segera pergi.”
Jee tampaknya akan segera bangkit. Aku segera menahannya
“Tunggu sebentar. Apakah aku bisa meminta nomormu?”
Aku memberinya bon café untuk dituliskan nomornya. Jee menuliskannya dengan tergesa-gesa dan langsung meninggalkanku. Aku segera memasukkan bon café yang berisi nomor telfonnya ke dalam saku jaketku.
Malam ini sungguh melelahkan..
"Aku tidak pernah menghisap apapun selain udara"
Comment on chapter BAB IIOke, mungkin kalimat itu bakal nempel dikepalaku sampai besok :))