—Elvira—
Kata orang, Reyvaldan itu orang yang ramah. Aku hanya bisa mengangguk mengiyakan. Karna aku percaya, orang yang bilang seorang Reyvaldan itu ramah, adalah keluarga Reyvaldan sendiri.
-------
Hari Senin, hari pertama masuk setelah libur panjang. Layaknya sekolah pada umumnya, SMAN 1 Nusa mengadakan Masa Orientasi Siswa yang berlangsung selama tiga hari.
Anggota OSIS pun mulai bersiap-siap menyambut para siswa tahun pelajaran baru yang akan datang untuk melaksanakan MOS. Selain anggota OSIS, anggota dari ekstrakulikuler PMR juga ikut bersiap. Selama pelakasanaan MOS berlangsung, siswa kelas dua dan tiga diliburkan. Kecuali siswa yang ditunjuk untuk menjadi panitia MOS.
Pukul enam lebih lima belas menit peserta MOS mulai berdatangan, hal itu karna bel masuk SMAN 1 Nusa berbunyi tepat pukul enam tiga puluh. Tentunya para peserta MOS tidak menginginkan keterlambatan yang berakhir dihukum.
Moto tidak menginginkan keterlambatan yang berakhir dihukum juga berlaku untuk seorang siswi lima belas tahun dengan wajah pas-pasan, tidak cantik namun juga tidak jelek, intinya seperti siswi biasa lainnya. Tubuhnya pun juga tidak bisa dibilang tinggi.
Rambut hitamnya yang panjang diikat menjadi dua dengan pita merah-putih. Berkemeja putih dengan rok panjang berwarna hitam. Ia memakai kaos kaki hitam-putih, dengan warna hitam di kaki kiri, tak lupa dengan sepatu hitamnya.
Kini, Elvira Elliena Putri Meileni segera memasuki kelas bersama temannya sedari SMP, yang kebetulan ia satu kelas dengan temannya itu, Widya Armaeleka. Lebih tepatnya teman dari TK, SD, SMP, dan sekarang SMA-nya yang memiliki tinggi di atas rata-rata.
Setiap El mengingatnya, ia jadi ingin menangis. Bayangkan saja, dirinya hanya memiliki tinggi 155 cm, sedangkan temannya itu 163 cm, hiks.
Belum sampai lima menit pantat El menempel di kursi, beberapa anak OSIS sudah berteriak-teriak mengusir mereka agar segera ke lapangan untuk melakukan upacara pembukaan MOS.
“El, lo tau itu ketua OSIS?” tanya Widya seraya berbisik pelan.
El menatap arah pandangan Widya, tepatnya ke arah Ketua OSIS yang sekarang sedang melakukan sambutan.
“Hm, kenapa emang? Ganteng? Gue udah tau kalo itu,” balas El dengan suara yang ia rendahkan, matanya menatap Ketua OSIS tanpa berkedip.
“Masyaallah, ganteng banget… aduh, Mas Gantengku,” gumam El pelan.
“Kumat, lo ya dasar. Betewe, dia itu anaknya Bu Yani, guru matematika SMP dulu,” ucap Widya.
“Beneran? Wow, kalo gitu Bu Yani ntar jadi mertua gue dong?” ucap El seraya terkekeh pelan.
Ya iyalah pelan, kalau keras bisa-bisa dia tercyduck lagi! Duh, sekali-kali jaga image-lah di depan Mas Ganteng pujaan hati.
“Serah dah, serah, semerdeka lo deh,” ucap Widya dengan wajah datar yang dibalas kekehan oleh El.
El kembali fokus ke arah Ketua OSIS sekolahnya yang gantengnya Masyaallah, sayang kalau dilewatin, mubazir! Andreas Octavianus, duh, namanya saja kerennya minta ampun, cocok dengan wajah gantengnya! Batin El edan.
—REYVI—
Selesai upacara, semua peserta MOS kembali ke kelasnya masing-masing. Begitupun dengan El. Kini, ia sedang duduk anteng di bangkunya dengan Widya. Tepat di depan meja guru, depan sendiri.
Hiks. Ingin rasanya El menangis.
Sebenarnya letak bangku ini bukanlah favoritnya, kalau bukan dipaksa Widya, sahabatnya yang polosnya minta ampun, ia pasti sudah duduk di bangku paling belakang!
Duduk di bangku paling depan selama MOS, itu tidak akan aman!
“Assalamu’alaikum,” ucap salam dari salah satu anggota OSIS perempuan.
“Wa’alaikumsalam warahmatullahi wabarokatuh,” Seluruh penghuni kelas menjawab salam.
El menatap keempat anggota OSIS yang berdiri di depan kelas bergantian. Ada dua cewek dan dua cowok. Mereka pasti Pembina di kelasnya. Pikir El.
“Perkenalkan nama saya Reyvaldan A. Wijaya, dari kelas dua belas MIPA tiga, panggil saja Kak Valdan,” ucap datar laki-laki bertubuh tegap dengan tinggi badan yang lumayan. Wajahnya pun terbilang ganteng. Ganteng banget sebenarnya.
El mengerutkan alisnya. Mau Reyvaldan A. Wijaya atau Reyvaldan B aja Wijaya ia tak peduli! Lagian memperkenalkan diri kok disingkat-singkat!
“Psst… Kak Valdan ganteng bingits…” bisik Widya tepat di telinga El. Fix, anak itu alaynya kumat. “Tapi tetep gantengan Kak R,” lanjutnya.
“Kak R? Siapa tuh, kok gue gak tau, sih? Betewe, gantengan Mas Ganteng…” ucap El pelan seraya terkekeh kecil.
“Astaghfirullah, masa lo gak tau sih, El? Kak R… Kak Rizki,” ucap Widya dengan suara lebih pelan di akhir ucapannya.
“Dasar lo, Pemburu Cogans!”
“Dih, gak sadar diri!” balas Widya telak, tepat sasaran.
El cekikikan mendengar suara kesal Widya.
“Udah ah, jangan ngobrol lagi, nanti ketahuan OSIS. Mati kita,” bisik El pelan kepada Widya.
Setelah berbisik-bisik dengan Widya, El kembali menghadap ke depan. Dan kebetulan sekali Valdan sedang memandangnya. Heh?! Jangan bilang dirinya tercyduck?! No!
El jadi panik sendiri di bawah tatapan Valdan. Masa iya, baru hari pertama sudah kena hukuman? Tidak, terima kasih.
Buru-buru El kembali anteng, bukan takut akan tatapan Valdan, ia hanya takut dihukum terus Mas Ganteng-nya melihat dirinya yang sedang dihukum. Jatuh langsung image-nya!
El langsung mengalihkan tatapannya dari Valdan, pura-pura tak melihat.
“Nama saya Erina Dwi Puspita, kelas sebelas MIPA satu, panggil saja Kak Rina,” ucap ramah Rina.
“Saya Monica Larasati, kelas dua belas MIPA dua, panggil saja Kak Monic,” ucap Monic, anggota OSIS yang wajahnya putih, saking putihnya, tembok saja kalah.
“Saya Rendy Mahendra Purnama, dari kelas sebelas IPS tiga, panggil saja Kak Rendy,” ucap Rendy, cowok berbehel yang tingginya di bawah Valdan.
Secara, Valdan itukan genter.
Tanpa sadar El membandingkan Rendy dengan Valdan. Ck, kenapa sekarang dirinya seperti cabe-cabean saja?
“Baiklah, Dek. Ada yang Adek-adek ingin tanyakan?” tanya Rina dengan wajah ramahnya.
“Yeah, misalnya kesannya sekolah di SMAN 1 Nusa, suka-dukanya, atau terserah kalian,” timpal Monic.
“Nomor HP-nya berapa, Kak? Sama alamat rumah sekalian,” teriak salah satu siswa yang duduk di pojok belakang, yang langsung disambut teriakan dari seluruh siswa di kelas.
“Huuuuu…”
Siswa itu pun hanya cengengesan.
“Memang kenapa, Dek? Adek mau mengantar saya pulang ke rumah?” canda Monic.
“Iya, Kak. Apasih yang nggak buat Kakak!” Cowok itu berkata dengan gombalan kocaknya.
Gelak tawa meledak di Kelas Kunir, tak terkecuali El yang sampai harus mengusap air matanya yang keluar. Namun, tawanya segera berhenti karna Valdan kembali menatapnya.
Ya Allah, apa salah dirinya tertawa?
El menangis tanpa mengeluarkan air matanya.
Rina dan Monic duduk di kursi guru yang kebetulan terdapat dua kursi, sedangkan Rendy duduk di dekat pintu. Lain halnya dengan Valdan, ia lebih memilih menarik kursi ke depan meja guru, singkatnya, tepat di depan meja El.
“Kakak sudah memperkenalkan diri, sekarang gantian kalian, maju satu per satu,” ucap Monic dengan suara lantang.
“Dari depan sebelah kiri saja,” balas Rendy.
Untung El berada di sebelah kanan, kalau di sebelah kiri, bisa-bisa dirinya dapat giliran pertama lagi!
Satu per satu siswa maju, memperkenalkan diri. Mulai dari nama lengkap, nama panggilan, alamat, asal sekolah, dan alasan kenapa bersekolah di SMA ini. Dan kini tiba saatnya giliran Widya, setelahnya baru giliran El.
“Hai, perkenalkan nama saya Widya Armaeleka, biasa dipanggil Widya. Alamat saya, Jalan Pamekaran No. 35. Perumahan Bukit Asri. Asal sekolah saya SMP Negeri 1 Nusa, dan alasan saya bersekolah di sini karna jaraknya paling dekat,” ucap Widya dengan lantangnya.
“Lagi-lagi alasannya karna jaraknya paling dekat,” ucap Rendy seraya menggelengkan kepalanya.
“Kamu kesini naik apa, Dek?” tanya Valdan.
“Naik motor, Kak,” jawab Widya.
“Kalo jaraknya dekat, kenapa naik motor? Kenapa gak jalan kaki?” Valdan kembali bertanya.
El hampir saja tertawa, benar juga sih. Berarti dirinya harus mencari alasan lain kalo begitu.
“Maksudnya, jaraknya paling dekat daripada sekolah lain gitu Kak,” balas Widya. Orang ini paling pinter ngeles.
“Kalo gitu, kamu bisa duduk,” ucap Monic. “Selanjutnya.”
Kini giliran El. Dia segera ke depan dan memperkenalkan dirinya.
“Perkenalkan nama saya Elvira Elliena Putri Meileni, bi—”
“Panjang banget Dek, namanya,” potong Valdan.
El menatap datar Valdan. Lah, mana dia tahu kalau ia akan diberi nama segitu panjang sama orang tuanya?
“Gak tau Kak, udah dari lahir,” jawab El singkat.
“Hm, lanjutkan.”
“Biasa dipanggil El—” Dan lagi, ucapan El dipotong dengan tidak elitnya pleh orang yang sama.
“Biasa? Berarti ada yang gak biasanya, kan?” Untuk kedua kalinya, Valdan memotong ucapan El.
Gadis berusia lima belas tahun itu menghela nafas diam-diam.
Ingin rasanya ia menampar seniornya ini, dari tadi komentar terus! Seingatnya, siswa-siswa sebelumnya juga mengucapkan hal yang sama dengannya, lalu kenapa saat gilirannya, senior itu harus mempermasalahkan kata ‘biasa’?!
Kemudian, El menatap Valdan dengan tatapan kesal yang tak ia sembunyikan.
“Gak ada, Kak,” jawab datar El, tanpa berminat sama sekali.
“Hm,” Valdan hanya bergumam sebagai jawaban.
“Ayo, lanjutkan Dek,” ucap Rina yang merasa kasian kepada El yang sedari tadi dikomentari terus oleh Valdan.
“Iya, Kak. Alamat saya, Jalan Pamekaran No. 35,” Oke, sejauh ini aman dari komentar ‘aneh’, El kembali melanjutkan, “Asal sekolah, saya dari SMP Negeri 1 Nusa.”
“Hm, kebanyak dari SMP Negeri 1 Nusa, ya,” ucap Monic, mengomentari. “Ya sudah, alasannya bersekolah di sini, Dek.”
“Karna jaraknya jauh,” ucap enteng El. Soalnya, kalau ia menjawab karna jaraknya dekat, pasti ia akan skak lagi!
“Kalau jaraknya jauh, kenapa sekolah di sini?” Sudah terhitung ketiga kalinya Valdan berkomentar.
“Itu hak asasi, Kak,” ucap El dengan senyum puas di bibirnya.
Rasakan! Siapa suruh berkomentar terus, huh!
“Dan saya juga memiliki hak asasi untuk bertanya,” kata Valdan dengan santainya, satu alisnya terangkat.
Ya Allah, kuatkan hamba-Mu ini! Jangan biarkan hamba-Mu khilaf dan mencakar wajah menyebalkan kakak kelas di depan hamba-Mu ini!
El menahan dirinya agar tidak mengumpat, karna orang tuanya melarangnya mengumpat. Mengumpat, berkata kasar dan sejenisnya itu tidak baik. Jadi, sebisa mungkin dia menahannya.
Lagipula, jika ia berkata kasar kepada seniornya ini, yang ada dirinya akan dihukum lagi, karna ia dianggap tak sopan! Oh hey, tapi kakak kelas menyebalkan ini duluan yang mulai!
Gadis itu hanya bisa kembali menghela nafas pelan.
“Saya juga punya hak untuk tidak menjawab, Kak,” ucap El pada akhirnya dengan nada jengkel yang kentara.
Lihat saja, jikalau Valdan menyebalkan itu kembali menjawabnya, maka ia tak akan segan-segan untuk me—
“Saya senior kamu, tidak sopan.”
“Maaf, Kak.”
—minta maaf.
Karna El tahu, berdebat dengan pria menyebalkan itu tidak akan ada habisnya! Juga, sekeras apapun ia menyanggah, dirinya tidak akan menang! Menyebalkan!
Untung sejak awal masuk ke sekolah ini, ia menyukai Kakak Ketua OSIS, bukan pria menyebalkan bernama Reyvaldan B aja Wijaya! Jikalau ia menyukai pria menyebalkan itu, ia pasti akan kecewa pada dirinya sendiri karna telah tertipu dengan wajah tampan Valdan!
Iya! Ia memang baru saja mengakui kalau Valdan itu tampan, tapi sayang, setelah tahu sifatnya, ia jadi ingin mengelus-ngelus wajah tampan itu,
…
…
…
… dengan sepatu hitam yang sekarang ia pakai.
“Dek, kenapa melamun, cepat duduk sana,” Nada diktator keluar begitu saja dari mulut berbisa Valdan, membuat lamunan El hancur seketika.
Sabar. Orang sabar jodohnya Mas Ganteng. Amin. Batin El.
“Ah, iya, Kak,” Dengan segera El kembali ke bangkunya. Duduk anteng di sana dengan mata mendelik kesal ke subjek di depannya. Siapa lagi kalau bukan Reyvaldan menyebalkan menjengkelkan dan an-an yang lain.
Yeah, selagi orang itu tidak melihatnya, ia harus memuaskan diri untuk memelototinya. Kalau senior itu sudah melihatnya seperti sekarang ini, ia akan pura-pura melihat ke depan. Gila saja, mana berani dirinya!
Bagaimanapun, ia adalah tipe anak baik-baik. Dan ia tak mau image-nya itu hancur hanya karna ketahuan memelototi Valdan.
“Kenapa Dek, liatnya gitu banget,” ucap pelan Valdan dengan nada menyebalkan, yang hanya bisa di dengar oleh El dan Widya yang duduk di sebelah El. Mata tajamnya melirik El.
“Gak, Kak,” jawab ketus El, lalu ia mendengus.
Sedangkan Widya hanya cekikikan yang langsung dihadiahi tatapan datar oleh El.
Ya Allah, sekali lagi, kuatkan hamba-Mu dari cobaan ini!
“Lo suka, Dek sama gue, ngeliatinnya gitu banget dari tadi,” Valdan kembali berucap dengan nada menyebalkan, tepat di depan El. Nadanya ia rendahkan agar tak terdengar oleh siswa lain ataupun anggota OSIS.
“Enggak!” El menatap kesal Valdan, apa-apaan tuduhannya itu?!
Please, deh. Ia melihat—memelototi—seniornya itu terus sebagai luapan rasa jengkelnya, bukan karna suka!
-------
R E Y V I
-------