.....
Kini, aku mengecap Selena sebagai cewek murahan. Ya, itu benar. Hanya cewek murahanlah yang sudah ketahuan selingkuh, tapi masih mengharapkan untuk dicintai oleh korban selingkuhannya. Begitu picik.
"Lo bisa curhat ke gue, kok," ucapku pada Paijo yang sedang bermain game Farm Heroes Saga di ponselnya.
Paijo menghentikan kegiatannya, lalu menghela napas pendek.
"Lo tahu, dia tadi datang ke sekolah gue. Marah-marah nggak jelas. Katanya, gara-gara gue dia jadi putus sama lo. Gimana menurut lo? Sebenarnya, sih, gue nggak pengin cerita hal ini ke elo. Tapi, menurut gue si Selena udah kelewatan. Aneh banget tuh cewek. Kayak nggak punya harga diri aja. Mana teriak-teriak lagi tadi. Bikin bete aja," tuturku panjang lebar.
"Ya, kamu benar. Aku udah nggak mau lagi berurusan sama tuh cewek. Bikin perut mules aja."
Apa?
Aku tidak salah dengar, kan?
Paijo? Sudah move on? Serius?
Cowok berwajah oval itu lalu beranjak pergi. Meninggalkanku di ruang keluarga sendiri.
Aku menatap kepergian Paijo dengan mulut ternganga. Masih tak begitu percaya dengan ucapannya barusan.
Tak masalah.
Yang terpenting adalah dia sudah benar-benar move on. Aku adalah orang pertama yang paling bahagia mendengarnya.
~dear you~
"Kalau Selena datang lagi ke kamu, biarkan saja. Nggak usah diladenin. Sekarang, aku jadi tahu kayak apa sifatnya sebenarnya. Makasih, karena kamu udah ngebongkar aibnya yang nggak kuketahui."
Aku tersenyum kecil begitu mengingat ucapan Paijo tadi pagi. Akhirnya, cowok itu sadar juga. Kudoakan, semoga dia cepat mendapat penggantinya Selena. Aamiin.
"Ayo, aku antar ke sekolah."
"Eh?" Aku mengedip-ngedipkan mataku sembari membuka mulut tak percaya.
"Ayo!"
Paijo menarik tanganku, membawaku menuju ke tempat mobil kesayangannya terparkir.
"T-tapi ... gue bisa berangkat sendiri," aku mencoba menolak.
"Udah. Mulai hari ini, aku yang bakal anterin kamu ke sekolah. Uang sakumu tinggal dikit kalau kamu naik angkot terus."
"O-oke."
Apa dia benar-benar Paijo kakakku?
Apa ini yang dinamakan the power of putus dari Selena?
Aku tersenyum kecil. Baiklah, sepertinya dia sudah kembali ke keadaan semula, di mana dia belum ada hubungan apa-apa dengan Selena.
Aku akhirnya mengiyakan ajakkannya. Lagi pula, benar apa katanya, uang sakuku tinggal sedikit kalau aku setiap hari naik angkot. Mama dan Papa tidak memberiku uang saku lebih omong-omong.
~dear you~
"So we don't stay down ... cuz we young! Cuz we young!"
Maya tampak berjalan memasuki ruang kelas sembari menyanyikan lagu berlirik bahasa Inggris yang tidak kuketahui siapa penyanyinya itu. Cewek pecinta Korea itu mencolek daguku sebelum menuju bangkunya. "Tumben hari ini muka lo nggak kusut, Luth," ujarnya.
"Emangnya muka gue baju yang nggak pernah disetrika apa," balasku. "Lo kali yang hari ini tampak semringah banget. Ada apaan, sih? Happy amat lo perasaan."
Maya menggeleng, namun tetap menunjukkan senyum semringahnya. "Cuman seneng aja habis lihat MV para suami gue," jawabnya.
Aku mendengus. Kalau dia sudah mulai mengatakan kalimat "para suami gue", itu artinya dia lagi ngomongin idolanya di Korea sana. Dasar, maniak K-Pop. "Mulai lagi," gumamku malas. "Eh, May," panggilku ke Maya kemudian.
"Apa?" sahutnya.
"Menurut lo, tipe cowok yang pantas gue pacarin itu yang kayak gimana, sih?" tanyaku. Pertanyaan itu tiba-tiba saja terlintas di benakku. Kuharap jawaban Maya tidak aneh-aneh.
"Ya ... kalau gue lihat dari fisik elo, sih, sudah pasti cowok yang gantenglah, ya. Secara, lo itu cantik. Terus, kalau masalah watak, menurut gue, sih, yang cocok sama elo itu cowok yang penyabar. Sori, ya, Luth. Lo itu agak keras kepala, plin-plan ....."
"Plin-plan dari mananya coba?" Aku langsung memotong ucapannya.
"Ya pokoknya lo itu plin-plan."
"Ih, Maya. Gaje, deh."
"Emangnya kenapa, hah? Apa ... ada cowok yang nembak lo?" Maya menatapku seraya menaikkan sebelah alisnya.
"Apaan, sih. Enggak ada, tuh. Gue cuma pengin nanya doang, kok."
"Yang bener ...?" Maya tetap saja menggodaku. "Kalau bohong dosa, lho ...." Dia mencolek hidungku.
"Bener, Maya sayang ...." Aku menghela napas. "Gue cuman pengin tahu aja, kenapa gue sampai saat ini masih ngejomlo. Padahal, seperti yang lo bilang tadi, gue cantik."
"Lo-nya, sih ... terlalu pilih-pilih."
"Heh, ya iyalah gue pilih-pilih. Gue nggak mau kayak abang gue, cewek playgirl dipacarin. Ngenes, kan, akhirnya." Duh, aku teringat kasus Paijo lagi.
"Bener juga lo."
Berakhirnya hubunganmu sebenarnya bukan karena kesalahanmu dalam memilih pasangan. Tetapi, anggap saja jika Tuhan belum menakdirkanmu untuk bersamanya.
~dear you~
"Lo yang namanya Luthfi?"
"Bukan."
"Elo?"
"Bukan."
"Lo yang namanya Luthfi?"
"Bukan."
Aku mengernyit bingung saat melihat seorang cewek dengan dua orang cewek lainnya di sebelahnya tampak sedang menghentikan langkah beberapa cewek yang lewat di depan mereka. Gaya berbusananya amat sangat kekinian. Khas cewek kota yang benar-benar mengikuti zaman. Dilihat dari wajahnya, sepertinya mereka seumuran denganku.
Celana jins yang bisa kusebut hot pants itu hanya mampu menutupi area intimnya. Menyisakan paha putih yang sayangnya terdapat sebuah noda kecoklatan yang berhasil ditangkap oleh indra penglihatanku. Sementara untuk atasan, dia memakai kaus lengan panjang berwarna baby pink dengan model crop top. Beruntung, dia masih mengenakan pakaian dalam berwarna hitam. Kalau tidak, mungkin pusar dan perut buncitnya bakalan jelas kelihatan.
Dua orang temannya pun juga memakai pakaian yang sejenis. Bedanya hanya di warna baju saja. Putih dan kuning. Begitu mencolok dan menurutku err ... ingin disebut kekinian, namun jatuhnya gagal.
Aku pun berjalan menghampiri ketiga cewek itu. Namaku tadi disebut, jadi mungkin saja mereka ada urusan denganku. Ya, meskipun aku sama sekali tidak mengenal mereka. "Aku Luthfi," ucapku santai, begitu tiba di hadapan mereka.
"Oh ... jadi elo yang namanya Luthfi," kata cewek yang disinyalir sebagai bos di antara ketiganya.
"Iya."
"Bener, Lun. Nih cewek mirip sama yang di foto," tutur cewek yang mengenakan baju berwarna putih. Dia tampak serius menatap layar ponselnya.
"Lo kenal Rayyan, kan?" tanya cewek yang memakai baju berwarna baby pink.
Keningku pun berkerut. "Hah? Rayyan?" Jelas saja aku bingung. Apa mereka teman sekolahnya Rayyan, ya? Atau ... para penggemarnya?
"Ini elo, kan?" Cewek berbaju putih menunjukkan layar ponselnya padaku, dan tampaklah di sana, foto diriku bersama Rayyan yang sedang berada di pinggir jalan.
"Ya, itu gue. Kenapa emangnya?" jawabku.
"Jauhi Rayyan."
Oh, astaga! Jadi, ceritanya mereka lagi melabrakku, begitu? Oh, ayolah ... aku hanya temannya Rayyan. Tidak lebih. "Kami hanya teman."
"Sekalipun lo temennya, tetap saja, gue nggak suka ngelihat Rayyan jalan sama cewek lain selain gue."
Aku berdecak. Tak ada sedikit pun rasa takut yang timbul dalam diriku akibat perkataan cewek gagal kekinian itu. Justru terkesan lucu. "Lo suka sama Rayyan?"
"Ya iyalah ...."
"Terus, Rayyan suka nggak sama lo?"
"Ng ...."
"Ya jelas sukalah. Lo tahu, Luna ini cewek tercantik di SMA Mekar Jaya." Cewek berbaju kuning menyahut.
Aku tertawa remeh. Lucu saja. Ini adalah pertama kalinya aku dilabrak seperti ini. "Emangnya Rayyan udah pernah bilang kalau dia suka sama elo?" Aku berniat memojokkannya. Dilihat dari pribadi Rayyan sejauh ini, amat sangat tidak mungkin jika cowok itu menyukai cewek macam mereka-mereka itu.
"Y-ya udah!"
Deg! Ada sedikit rasa sesak di dadaku saat salah satu dari ketiga cewek itu mengatakan dua kata tersebut. Meskipun aku tak yakin itu perkataan bohong atau tidak. "Oh." Hanya dua huruf itulah yang keluar dari mulutku. Entah kenapa kepalaku sekarang sedang malas untuk memikirkan rangkaian kalimat yang panjang. Aku lalu melangkah pergi. Namun, salah satu dari mereka mencekal tanganku.
"Mau ke mana lo?" tanyanya.
"Pulang," jawabku singkat.
"Urusan kita belum selesai."
"Udah."
"Jauhi Rayyan."
"Ya."
"Kalau sampai gue lihat lo masih jalan bareng Rayyan, awas aja. Lo nggak akan selamat. Lo tahu sendiri, kan, gimana SMA Mekar Jaya kalau sudah terusik. Mangkanya, lo jangan macam-macam."
Apa itu sebuah ancaman?
Kalau iya, aku sangat ingin tertawa.
"Hei, lo paham, kan, sama apa yang gue omongin?"
"Ya."
"Ayo, guys! Kita pergi dari SMA sampah ini."
Apa?
Aku mengumpat pelan. Berani-beraninya dia bilang begitu. "Ish." Aku geregetan sendiri dibuatnya. Kenapa di zaman modern ini masih ada manusia yang sudah disekolahkan tinggi-tinggi tapi moralnya masih kosong melompong. Yah ... positive thinking saja, mungkin waktu pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan dan Pendidikan Agama mereka membolos.
TBC
Asique 😍
Comment on chapter Awal PertemuanGak bisa naik motor tapi minta motor wkwkw Luthfi memang dan best lah