Loading...
Logo TinLit
Read Story - Dear You
MENU
About Us  

πŸ‚πŸ‚πŸ‚

 

“Jadi, lo minta nyokap dan bokap lo buat ngebeliin lo motor, tapi nggak diturutin, gitu?”

Aku mengangguk lesu saat Mona berhasil menyimpulkan apa yang sudah aku ceritakan padanya tadi.

“Bukannya nyokap lo lebih kaya, ya, daripada nyokap gue? Masa minta motor doang nggak diturutin, sih?”

Aku mendesah. Mama dan Papa bukannya tak memiliki uang untuk menuruti permintaanku itu, tetapi …, “Mereka terlalu over protective ke gue. Mangkanya, ke mana pun kudu diantar. Mana yang ngantar kadang minta disleding lagi.”

“Abang lo?”

“Siapa lagi?”

“Ya kali tiap hari dia nganggur. Bukannya dia masih kuliah, ya?”

Aku bangkit dari dudukku, dan berjalan menuju pintu. Bersandar pada kusen sambil menyilangkan kedua tangan di depan dada. Iris mataku menatap murid-murid lain di luar sana yang sedang sibuk dengan kegiatannya masing-masing. “Ya … kuliah, dan sibuk pacaran.”

“Kayaknya lo nggak pernah akur, deh, sama abang lo,” terka Mona.

“Ya, lo benar. Tapi, bukannya itu sudah jadi kebiasaan setiap kakak-adik? Nggak pernah akur.”

“Ah, nggak juga. Gue sering nonton sinetron, dan mereka akur-akur aja, tuh.”

“Heh, Mona! Lo nyamain antara skenario Tuhan sama skenario sutradara? Ya jelas bedalah ….”

“Masa, sih? Tapi, bukannya sinetron itu dibuat berdasarkan kehidupan sehari-hari, ya?”

“Mana gue tahu. Tanya saja sama yang buat.”

“Lo lagi PMS, ya, Luth?”

“Enggak. Gue cuman masih kesal aja.” Aku kembali ke bangkuku. “Gue kesal banget sama abang gue. Tsk. Entah kenapa, semenjak dia pacaran sama si Selena, dia jadi berubah banget. Sering lupa kewajibannya buat jemput gue, susah banget dihubungi, boros, dan tiap hari keluar mulu. Entah itu sengaja atau nggak, gue nggak tahu.”

“Namanya juga masa-masa bahagianya pacaran, Luth. Ya, wajar saja begitu.” Mona lalu duduk di sebelahku. “By the way, lo nggak ada niatan buat nyari pacar, gitu?” tanya Mona sembari menyenggol bahuku.

“Sori, gue belum berminat,” jawabku. Untuk saat ini, aku belum ada niatan sama sekali untuk mencari pacar atau apa pun itu namanya. Namun, aku juga tidak bisa memastikan akan sampai kapan aku akan bertahan dengan status single ini. Aku masih sangat nyaman dengan statusku tersebut.

 

~dear you~

 

Aku sama sekali belum mengeluarkan suara semenjak memasuki mobil yang sementara melaju ini. Aku hanya diam sembari menatap jalanan di depan sana yang tidak terlalu ramai. Si Paijo yang duduk di sampingku juga sepertiku. Mungkin dia lagi tidak mood  untuk berbicara dan ingin fokus menyetir. Ah, tetapi itu bukanlah gayanya. Dia adalah tipikal orang yang banyak bicara. Kecuali, jika sedang mendapat ceramah dari Papa atau Mama. Biar aku tebak, pasti tidak lama lagi dia akan mengeluarkan suara.

“Luth, lo masih marah, ya, sama gue?”

Tuh, ‘kan … benar.

“Menurut lo?” balasku sengit.

“Gue minta maaf. Gue benar-benar lupa kemarin kalau harus jemput elo.”

Aku sontak saja terkejut dengan penjelasan singkatnya tersebut. “Apa? Lupa?” Aku lalu mendesah. “Bagaimana mungkin ada orang yang bisa lupa sama rutinitasnya tiap hari?”

“Gue serius, Luth ….”

“Tsk, alasan. Bisa nggak, sih, lo itu nyari alasan yang lebih berbobot dan logis gitu? Gue udah bosan tahu nggak sama alasan lo.”

“Gue serius, Luth. Gue nggak bohong!”

“Bohong pun gue nggak peduli.”

“Luthfi!” Suara baritone itu semakin meninggi.

“Coba kalau Selena yang nyuruh jemput. Sesibuk apa pun lo, pasti lo langsung on the way, ‘kan?! Telepon pun juga, nggak pernah di-reject.”

“Luth, bukan begi–”

“Apa, hah?! Lo selalunya seperti itu! Semenjak lo pacaran sama nenek lampir itu, lo jadi banyak berubah!”

“Luthfi! Makin lama lo makin kurang ajar, ya!”

Suasana yang awalnya hanya ada suara mesin mobil, kini mulai tergantikan oleh suara adu mulut.

“Yang ngebuat gue jadi kurang ajar itu siapa, hah? Ya elo!” Aku menujuk-nunjuk wajahnya. Dadaku terasa sesak. Wajahku mungkin saja kini sudah memerah.

“Luthfi!”

“Kenapa, hah? Gue benar, ‘kan?”
Aku tidak ingin mengalah. Sebab, aku benar.

Pria di sampingku ini kemudian mendengus. Lalu, dia menginjak pedal gas dan semakin mempercepat laju mobilnya.

“Kenapa lo semalam diam saja, hah, waktu gue minta dibeliin motor? Atau … jangan-jangan lo iri sama gue, karena lo dulu harus belajar mati-matian agar dapat peringkat pertama dan baru dibeliin motor?”

“Luthfi!”

“Gue benar, ‘kan?”

Mendengar penuturanku itu, Paijo langsung memutar setir dan menepikan mobilnya.

“Oh, shit,” umpatku kasar saat dia mengerem mendadak.

“Turun lo!”

Aku tersentak. Kutatap pria beralis tebal itu dengan alis yang terangkat. Pria itu tampak sedang menahan amarah. Tak sedikit pun balas menatapku.

“Gue bilang turun!”

“Oke, gue akan turun.”

Hanya kakak yang seperti dia-lah yang tega menurunkan adik kandungnya sendiri di pinggir jalanan.

Aku pun turun dari mobil. Tak lupa untuk menutup pintu mobil dengan sangat keras. Aku tidak peduli dia marah dan mengadu kepada Mama dan Papa. Aku memiliki alibi yang cukup kuat untuk membuktikan bahwa yang bersalah adalah dia. Aku selalu berkata jujur kepada Papa dan Mama. Jadi, mereka akan percaya kalau aku adalah korban di sini.

Mobil yang dikendarai oleh Paijo mulai melaju meninggalkanku. Bodoh amat! Aku tidak peduli! Bukankah kemarin aku juga pulang sendiri? Tak pulang bersamanya pun tak membuat aku akur dengannya.

Aku menatap bangunan di sekitarku. Ini masih di pertengahan jalan menuju rumahku. Oke, aku tak begitu ambil pusing. Banyak kendaraan umum yang lewat, dan uangku juga masih cukup kalau hanya untuk membayar ongkos pulang. Namun, saat ini aku masih belum berniat menghentikan kendaraan umum yang lewat. Aku ingin mengurangi kadar emosi dalam diriku dulu. Jadi, aku memutuskan untuk pergi ke rumah sepupuku, Rey. Kebetulan rumahnya dekat dengan tempatku berada sekarang.

 

~dear you~

 

“Jadi, Bang Fadli nurunin elo di pinggir jalan, hanya gara-gara dia kalah adu bacot sama lo, gitu?”

“Ya.”

“Mungkin lo-nya aja yang bacotnya udah keterlaluan banget.”

“Rey! Lo kenal gue, ‘kan? Gue nggak mungkin nyubit kalau nggak dicubit duluan.”

Rey menatapku serius. Aku yang ditatap seperti itu pun hanya bisa mendengus kesal. “Ya, gue tahu itu,” ucap cowok berperawakan pendek itu.

“Entahlah. Gue lagi bad mood banget dua hari ini. Dan, penyebabnya hanya satu orang.”

“Bang Fadli?” tebak Rey, dan benar.

Aku mengangguk sebagai tanda kebenaran akan jawabannya tersebut.

Rey lalu berdecak lidah. Kuharap kali ini dia pro denganku, bukan kepada si Paijo.

“Rey, menurut lo, salah nggak kalau gue minta dibeliin motor?” tanyaku padanya.

Rey menggeleng. “Kalau lo minta dibeliin helikopter, baru salah,” jawabnya nyeleneh. “Tapi, lo, ‘kan, nggak bisa naik motor.”

Aku mendengus mendengarnya. Apa aku harus mengulang kalimat yang sudah pernah dua kali kuucapkan semalam? Ya, sepertinya harus. “Lo punya Kamus Besar Bahasa Indonesia nggak, Rey?” tanyaku pada Rey.

“Punya,” jawabnya. “Emangnya kenapa?”

“Ada kata belajar, ‘kan, di sana?” 
Rey mengangguk.

“Lo tahu apa makna dari kata belajar itu, ‘kan?”

Rey mengangguk lagi. “Ya, lo bisa belajar naik motor.”

Itu dia tahu.

“Semalam gue sudah ngadu ke Mama dan Papa. Tapi nggak direspons. Tsk, menyebalkan.”

“Itu karena mereka nggak mau kejadian satu tahun yang lalu terulang lagi.”

“Rey!” aku meninggikan volume suaraku. Ini juga termasuk salah satu hal yang kubenci. Aku paling tidak suka jika tragedi satu tahun yang lalu dibawa-bawa ke masa sekarang. Bukankah takdir seseorang sudah ada yang mengaturnya? Kita tak pernah tahu, kapan Tuhan akan mengirimkan tragedi tersebut kepada kita. “Lo jangan ungkit-ungkit lagi tentang itu. Gue nggak suka! Lo tahu, gara-gara kejadian itu, bokap sama nyokap jadi over protective banget ke gue!”

“Ya, karena mereka nggak mau lo bernasib sama kayak Dinda.”

“Nasib gue beda sama Dinda!” teriakku emosi. Aku lalu mendesah. “Jangan pernah lo samain gue dengan Dinda. Nasib kami jelas aja beda.”

“Ya, gue tahu itu! Pantes aja Bang Fadli nurunin lo di pinggir jalan. Lo-nya aja kayak gini, Luth.”

Aku menatap Rey tak percaya. Kenapa dia menjadi seperti ini? Kenapa dia tidak pro kepadaku? Kenapa?
Aku kemudian bangkit dari dudukku. “Terserah lo aja,” tukasku, lalu melangkah pergi.

“Gue nggak mau nganterin elo pulang!” seru Rey di belakang.

“Nggak ada yang nyuruh lo buat nganterin gue,” sahutku.

Hari ini adalah hari yang begitu buruk. Tidak ada yang spesial sama sekali. Dua orang itu sudah membuat mood-ku semakin buruk.

.

.

.

TBC

How do you feel about this chapter?

1 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (5)
  • ellyzabeth_marshanda

    Asique 😍
    Gak bisa naik motor tapi minta motor wkwkw Luthfi memang dan best lah

    Comment on chapter Awal Pertemuan
  • yurriansan

    Baru baca chap 1. Unik juga. Biasanya kn cwok yg ksh jaket. :)

    Comment on chapter Awal Pertemuan
  • rara_el_hasan

    Asyik ... bacanya mengalir kaya sungai brantas.. gk kesendat-sendat kok hehehe .. EBInya juga bagus .. hehe

    Comment on chapter Awal Pertemuan
  • IndyNurliza

    Bagaimana rasanya kehilangan :(

    Comment on chapter Awal Pertemuan
  • kyumesix

    Ceritanya baguss

    Comment on chapter Awal Pertemuan
Similar Tags
I'll Be There For You
1281      611     2     
Romance
Memang benar, tidak mudah untuk menyatukan kembali kaca yang telah pecah. Tapi, aku yakin bisa melakukannya. Walau harus melukai diriku sendiri. Ini demi kita, demi sejarah persahabatan yang pernah kita buat bersama.
Laut dan Mereka
195      126     0     
Fan Fiction
"Bukankah tuhan tidak adil, bagaimana bisa tuhan merampas kebahagiaanku dan meninggal kan diriku sendiri di sini bersama dengan laut." Kata Karalyn yang sedang putus asa. Karalyn adalah salah satu korban dari kecelakaan pesawat dan bisa dibilang dia satu satunya orang yang selamat dari kecelakaan tersebut. Pesawat tersebut terjatuh di atas laut di malam yang gelap, dan hampir sehari lamanya Ka...
Dessert
1037      544     2     
Romance
Bagi Daisy perselingkuhan adalah kesalahan mutlak tak termaafkan. Dia mengutuk siapapun yang melakukannya. Termasuk jika kekasihnya Rama melakukan penghianatan. Namun dia tidak pernah menyadari bahwa sang editor yang lugas dan pandai berteman justru berpotensi merusak hubungannya. Bagaimana jika sebuah penghianatan tanpa Daisy sadari sedang dia lakukan. Apakah hubungannya dengan Rama akan terus b...
Tentang Kita
1933      827     1     
Romance
Semula aku tak akan perna menduga bermimpi pun tidak jika aku akan bertunangan dengan Ari dika peratama sang artis terkenal yang kini wara-wiri di layar kaca.
Sekotor itukah Aku
402      304     4     
Romance
Dia Zahra Affianisha, Mereka memanggil nya dengan panggilan Zahra. Tak seperti namanya yang memiliki arti yang indah dan sebuah pengharapan, Zahra justru menjadi sebaliknya. Ia adalah gadis yang cantik, dengan tubuh sempurna dan kulit tubuh yang lembut menjadi perpaduan yang selalu membuat iri orang. Bahkan dengan keadaan fisik yang sempurna dan di tambah terlahir dari keluarga yang kaya sert...
Panggil Namaku!
8649      2218     4     
Action
"Aku tahu sebenarnya dari lubuk hatimu yang paling dalam kau ingin sekali memanggil namaku!" "T-Tapi...jika aku memanggil namamu, kau akan mati..." balas Tia suaranya bergetar hebat. "Kalau begitu aku akan menyumpahimu. Jika kau tidak memanggil namaku dalam waktu 3 detik, aku akan mati!" "Apa?!" "Hoo~ Jadi, 3 detik ya?" gumam Aoba sena...
Persapa : Antara Cinta dan Janji
7918      1936     5     
Fantasy
Janji adalah hal yang harus ditepati, lebih baik hidup penuh hinaan daripada tidak menepati janji. Itu adalah sumpah seorang persapa. "Aku akan membalaskan dendam keluargaku". Adalah janji yang Aris ucapkan saat mengetahui seluruh keluarganya dibantai oleh keluarga Bangsawan. Tiga tahun berlalu semenjak Aris mengetaui keluarganya dibantai dan saat ini dia berada di akademi persa...
Just a Cosmological Things
938      527     2     
Romance
Tentang mereka yang bersahabat, tentang dia yang jatuh hati pada sahabatnya sendiri, dan tentang dia yang patah hati karena sahabatnya. "Karena jatuh cinta tidak hanya butuh aku dan kamu. Semesta harus ikut mendukung"- Caramello tyra. "But, it just a cosmological things" - Reno Dhimas White.
Kita
693      454     1     
Romance
Tentang aku dan kau yang tak akan pernah menjadi 'kita.' Tentang aku dan kau yang tak ingin aku 'kita-kan.' Dan tentang aku dan kau yang kucoba untuk aku 'kita-kan.'
Enigma
1663      897     3     
Inspirational
Katanya, usaha tak pernah mengkhianati hasil. Katanya, setiap keberhasilan pasti melewati proses panjang. Katanya, pencapaian itu tak ada yang instant. Katanya, kesuksesan itu tak tampak dalam sekejap mata. Semua hanya karena katanya. Kata dia, kata mereka. Sebab karena katanya juga, Albina tak percaya bahwa sesulit apa pun langkah yang ia tapaki, sesukar apa jalan yang ia lewati, seterjal apa...