๐๐๐
“Jadi, lo minta nyokap dan bokap lo buat ngebeliin lo motor, tapi nggak diturutin, gitu?”
Aku mengangguk lesu saat Mona berhasil menyimpulkan apa yang sudah aku ceritakan padanya tadi.
“Bukannya nyokap lo lebih kaya, ya, daripada nyokap gue? Masa minta motor doang nggak diturutin, sih?”
Aku mendesah. Mama dan Papa bukannya tak memiliki uang untuk menuruti permintaanku itu, tetapi …, “Mereka terlalu over protective ke gue. Mangkanya, ke mana pun kudu diantar. Mana yang ngantar kadang minta disleding lagi.”
“Abang lo?”
“Siapa lagi?”
“Ya kali tiap hari dia nganggur. Bukannya dia masih kuliah, ya?”
Aku bangkit dari dudukku, dan berjalan menuju pintu. Bersandar pada kusen sambil menyilangkan kedua tangan di depan dada. Iris mataku menatap murid-murid lain di luar sana yang sedang sibuk dengan kegiatannya masing-masing. “Ya … kuliah, dan sibuk pacaran.”
“Kayaknya lo nggak pernah akur, deh, sama abang lo,” terka Mona.
“Ya, lo benar. Tapi, bukannya itu sudah jadi kebiasaan setiap kakak-adik? Nggak pernah akur.”
“Ah, nggak juga. Gue sering nonton sinetron, dan mereka akur-akur aja, tuh.”
“Heh, Mona! Lo nyamain antara skenario Tuhan sama skenario sutradara? Ya jelas bedalah ….”
“Masa, sih? Tapi, bukannya sinetron itu dibuat berdasarkan kehidupan sehari-hari, ya?”
“Mana gue tahu. Tanya saja sama yang buat.”
“Lo lagi PMS, ya, Luth?”
“Enggak. Gue cuman masih kesal aja.” Aku kembali ke bangkuku. “Gue kesal banget sama abang gue. Tsk. Entah kenapa, semenjak dia pacaran sama si Selena, dia jadi berubah banget. Sering lupa kewajibannya buat jemput gue, susah banget dihubungi, boros, dan tiap hari keluar mulu. Entah itu sengaja atau nggak, gue nggak tahu.”
“Namanya juga masa-masa bahagianya pacaran, Luth. Ya, wajar saja begitu.” Mona lalu duduk di sebelahku. “By the way, lo nggak ada niatan buat nyari pacar, gitu?” tanya Mona sembari menyenggol bahuku.
“Sori, gue belum berminat,” jawabku. Untuk saat ini, aku belum ada niatan sama sekali untuk mencari pacar atau apa pun itu namanya. Namun, aku juga tidak bisa memastikan akan sampai kapan aku akan bertahan dengan status single ini. Aku masih sangat nyaman dengan statusku tersebut.
~dear you~
Aku sama sekali belum mengeluarkan suara semenjak memasuki mobil yang sementara melaju ini. Aku hanya diam sembari menatap jalanan di depan sana yang tidak terlalu ramai. Si Paijo yang duduk di sampingku juga sepertiku. Mungkin dia lagi tidak mood untuk berbicara dan ingin fokus menyetir. Ah, tetapi itu bukanlah gayanya. Dia adalah tipikal orang yang banyak bicara. Kecuali, jika sedang mendapat ceramah dari Papa atau Mama. Biar aku tebak, pasti tidak lama lagi dia akan mengeluarkan suara.
“Luth, lo masih marah, ya, sama gue?”
Tuh, ‘kan … benar.
“Menurut lo?” balasku sengit.
“Gue minta maaf. Gue benar-benar lupa kemarin kalau harus jemput elo.”
Aku sontak saja terkejut dengan penjelasan singkatnya tersebut. “Apa? Lupa?” Aku lalu mendesah. “Bagaimana mungkin ada orang yang bisa lupa sama rutinitasnya tiap hari?”
“Gue serius, Luth ….”
“Tsk, alasan. Bisa nggak, sih, lo itu nyari alasan yang lebih berbobot dan logis gitu? Gue udah bosan tahu nggak sama alasan lo.”
“Gue serius, Luth. Gue nggak bohong!”
“Bohong pun gue nggak peduli.”
“Luthfi!” Suara baritone itu semakin meninggi.
“Coba kalau Selena yang nyuruh jemput. Sesibuk apa pun lo, pasti lo langsung on the way, ‘kan?! Telepon pun juga, nggak pernah di-reject.”
“Luth, bukan begi–”
“Apa, hah?! Lo selalunya seperti itu! Semenjak lo pacaran sama nenek lampir itu, lo jadi banyak berubah!”
“Luthfi! Makin lama lo makin kurang ajar, ya!”
Suasana yang awalnya hanya ada suara mesin mobil, kini mulai tergantikan oleh suara adu mulut.
“Yang ngebuat gue jadi kurang ajar itu siapa, hah? Ya elo!” Aku menujuk-nunjuk wajahnya. Dadaku terasa sesak. Wajahku mungkin saja kini sudah memerah.
“Luthfi!”
“Kenapa, hah? Gue benar, ‘kan?”
Aku tidak ingin mengalah. Sebab, aku benar.
Pria di sampingku ini kemudian mendengus. Lalu, dia menginjak pedal gas dan semakin mempercepat laju mobilnya.
“Kenapa lo semalam diam saja, hah, waktu gue minta dibeliin motor? Atau … jangan-jangan lo iri sama gue, karena lo dulu harus belajar mati-matian agar dapat peringkat pertama dan baru dibeliin motor?”
“Luthfi!”
“Gue benar, ‘kan?”
Mendengar penuturanku itu, Paijo langsung memutar setir dan menepikan mobilnya.
“Oh, shit,” umpatku kasar saat dia mengerem mendadak.
“Turun lo!”
Aku tersentak. Kutatap pria beralis tebal itu dengan alis yang terangkat. Pria itu tampak sedang menahan amarah. Tak sedikit pun balas menatapku.
“Gue bilang turun!”
“Oke, gue akan turun.”
Hanya kakak yang seperti dia-lah yang tega menurunkan adik kandungnya sendiri di pinggir jalanan.
Aku pun turun dari mobil. Tak lupa untuk menutup pintu mobil dengan sangat keras. Aku tidak peduli dia marah dan mengadu kepada Mama dan Papa. Aku memiliki alibi yang cukup kuat untuk membuktikan bahwa yang bersalah adalah dia. Aku selalu berkata jujur kepada Papa dan Mama. Jadi, mereka akan percaya kalau aku adalah korban di sini.
Mobil yang dikendarai oleh Paijo mulai melaju meninggalkanku. Bodoh amat! Aku tidak peduli! Bukankah kemarin aku juga pulang sendiri? Tak pulang bersamanya pun tak membuat aku akur dengannya.
Aku menatap bangunan di sekitarku. Ini masih di pertengahan jalan menuju rumahku. Oke, aku tak begitu ambil pusing. Banyak kendaraan umum yang lewat, dan uangku juga masih cukup kalau hanya untuk membayar ongkos pulang. Namun, saat ini aku masih belum berniat menghentikan kendaraan umum yang lewat. Aku ingin mengurangi kadar emosi dalam diriku dulu. Jadi, aku memutuskan untuk pergi ke rumah sepupuku, Rey. Kebetulan rumahnya dekat dengan tempatku berada sekarang.
~dear you~
“Jadi, Bang Fadli nurunin elo di pinggir jalan, hanya gara-gara dia kalah adu bacot sama lo, gitu?”
“Ya.”
“Mungkin lo-nya aja yang bacotnya udah keterlaluan banget.”
“Rey! Lo kenal gue, ‘kan? Gue nggak mungkin nyubit kalau nggak dicubit duluan.”
Rey menatapku serius. Aku yang ditatap seperti itu pun hanya bisa mendengus kesal. “Ya, gue tahu itu,” ucap cowok berperawakan pendek itu.
“Entahlah. Gue lagi bad mood banget dua hari ini. Dan, penyebabnya hanya satu orang.”
“Bang Fadli?” tebak Rey, dan benar.
Aku mengangguk sebagai tanda kebenaran akan jawabannya tersebut.
Rey lalu berdecak lidah. Kuharap kali ini dia pro denganku, bukan kepada si Paijo.
“Rey, menurut lo, salah nggak kalau gue minta dibeliin motor?” tanyaku padanya.
Rey menggeleng. “Kalau lo minta dibeliin helikopter, baru salah,” jawabnya nyeleneh. “Tapi, lo, ‘kan, nggak bisa naik motor.”
Aku mendengus mendengarnya. Apa aku harus mengulang kalimat yang sudah pernah dua kali kuucapkan semalam? Ya, sepertinya harus. “Lo punya Kamus Besar Bahasa Indonesia nggak, Rey?” tanyaku pada Rey.
“Punya,” jawabnya. “Emangnya kenapa?”
“Ada kata belajar, ‘kan, di sana?”
Rey mengangguk.
“Lo tahu apa makna dari kata belajar itu, ‘kan?”
Rey mengangguk lagi. “Ya, lo bisa belajar naik motor.”
Itu dia tahu.
“Semalam gue sudah ngadu ke Mama dan Papa. Tapi nggak direspons. Tsk, menyebalkan.”
“Itu karena mereka nggak mau kejadian satu tahun yang lalu terulang lagi.”
“Rey!” aku meninggikan volume suaraku. Ini juga termasuk salah satu hal yang kubenci. Aku paling tidak suka jika tragedi satu tahun yang lalu dibawa-bawa ke masa sekarang. Bukankah takdir seseorang sudah ada yang mengaturnya? Kita tak pernah tahu, kapan Tuhan akan mengirimkan tragedi tersebut kepada kita. “Lo jangan ungkit-ungkit lagi tentang itu. Gue nggak suka! Lo tahu, gara-gara kejadian itu, bokap sama nyokap jadi over protective banget ke gue!”
“Ya, karena mereka nggak mau lo bernasib sama kayak Dinda.”
“Nasib gue beda sama Dinda!” teriakku emosi. Aku lalu mendesah. “Jangan pernah lo samain gue dengan Dinda. Nasib kami jelas aja beda.”
“Ya, gue tahu itu! Pantes aja Bang Fadli nurunin lo di pinggir jalan. Lo-nya aja kayak gini, Luth.”
Aku menatap Rey tak percaya. Kenapa dia menjadi seperti ini? Kenapa dia tidak pro kepadaku? Kenapa?
Aku kemudian bangkit dari dudukku. “Terserah lo aja,” tukasku, lalu melangkah pergi.
“Gue nggak mau nganterin elo pulang!” seru Rey di belakang.
“Nggak ada yang nyuruh lo buat nganterin gue,” sahutku.
Hari ini adalah hari yang begitu buruk. Tidak ada yang spesial sama sekali. Dua orang itu sudah membuat mood-ku semakin buruk.
.
.
.
TBC
Asique ๐
Comment on chapter Awal PertemuanGak bisa naik motor tapi minta motor wkwkw Luthfi memang dan best lah