πππ
Namanya Dinda. Dua tahun lebih tua dariku. Cewek cerdas yang hobinya membuat bangga kedua orangtua.
Kehidupan Dinda selalu dikelilingi oleh orang-orang yang menyukainya. Ah, semua orang menyukainya. Pintar, cantik, berprestasi, easy going, tidak sombong, dan mungkin saja suka menolong.
Di sini, aku akan menceritakan bagaimana sebenarnya Dinda itu, di balik kata 'pintar, cantik, berprestasi, easy going, tidak sombong' itu.
Papa dan Mama sangat menyayangi Dinda. Ya, mereka menyayangi ketiga anaknya, walaupun yang paling mencolok rasa sayangnya itu lebih prefer ke Dinda. Aku merasakan itu. Ingin apa saja pasti langsung dituruti. Tinggal menunjukkan nilai sempurnanya saja, semua beres. Tidak sepertiku yang harus merengek dan menangis dulu jika ingin meminta sesuatu.
Dinda ....
Cewek dengan segala kesempurnaannya, hingga dia terjebak dalam zona keburukan. Itu ulahnya sendiri. Tapi kenapa aku harus tahu? Hingga pada akhirnya, aku sendirilah yang sampai saat ini masih menyimpannya di memori. Tanpa sekali pun melupakannya.
Aku tidak membencinya. Biar bagaimanapun, Dinda tetap kakakku, saudara kandungku. Kami memang berbeda, tetapi aku merasa bahwa aku jauh lebih baik daripada dirinya.
Terutama dalam hal pergaulan bebas.
Sepertinya inilah saatnya aku menceritakan semuanya. Tentang aib yang selama ini kusembunyikan rapat-rapat. Kali ini, aku tidak peduli dianggap jahat karena sudah dengan lancangnya menyebarkan aib seseorang. Tak masalah. Seseorang itu sudah lama tiada. Tidak mungkin dia akan datang untuk menuntutku. Oh, itu hanya ada di film-film.
Baiklah, mari kita mulai saja sekarang. Silakan membaca dengan tenang.
πππ
Saat itu, hujan turun dengan derasnya. Ini hampir mirip dengan saat pertama kali aku bertemu Rayyan di halte. Namun, kala itu aku tidak bertemu cowok ganteng seperti Rayyan, melainkan bertemu dengan Maya. Hh ....
Aku menunggu bus yang lewat lumayan lama. Hari sudah sore, dan hujan belum juga reda dari tadi siang. Jangan mengharapkan Paijo menjemputku, sebab dia lagi ada kegiatan di luar kota. Mama dan Papa juga lagi di luar kota. Sudah ada dua hari aku hanya berdua dengan Dinda di rumah. Cukup bahaya bagi anak perempuan. Namun, Papa dan Mama cukup tega.
Aku tidak pernah menyuruh Dinda untuk menjemputku. Sebab, cewek itu selalu menolaknya, dengan alasan lagi kerja kelompok di rumah teman. Kakak yang munafik.
"Luthfi!"
Seorang cewek berambut ikal memanggilku. Itu Maya, berselimutkan jas hujan sembari duduk di atas motor matic-nya yang masih menyala. "Gue anter pulang, yuk!"
"Hah?" Aku menimbang ajakannya. Rumah kami berbeda arah. Dia termasuk salah satu teman baikku. Merepotkannya sekali tak masalah, kan?
"Ayo! Daripada di sini nunggu bus yang nggak tahu kapan lewatnya, lebih baik pulang bareng gue. Ya ... meskipun lo akan basah kuyup. Gue cuman bawa satu jas hujan. Nggak masalah, kan?"
Aku akhirnya mengangguk. Perihal basah kuyup, bodoh amat. Yang penting tas tidak basah (aku menitipkannya di bagasi motor Maya) dan aku bisa sampai di rumah tidak sampai Magrib.
πππ
"Makasih, ya, May," ucapku ke Maya begitu aku turun dari motornya.
"Sama-sama, Luth," balas Maya.
"Lo nggak pengin singgah ke rumah gue dulu, May?" tawarku.
"Enggak, Luth. Udah sore, nih. Mana hujannya masih deras aja, nih," tolak Maya. "Masuk, gih. Udah basah kuyup gitu."
Aku mengangguk. Kebetulan juga badanku sudah menggigil kedinginan. Beruntung, aku cewek yang tidak mudah sakit jika terkena air hujan. Tapi, entah jika Tuhan besok berkehendak lain. "Tas gue, besok aja, ya, lo bawa ke sekolah."
"Oke. Kalo gitu, gue pulang dulu. Cepet masuk sana!" Maya pun mulai melajukan motornya.
"Sekali lagi makasih, May!" seruku yang entah dia dengar atau tidak. Aku lalu buru-buru memasuki rumah. Di garasi yang terbuka, aku tak sengaja melihat dua unit motor yang salah satunya tampak asing. Ah, mungkin itu motor milik pacarnya Dinda.
"Assalamualaikum!" ucapku memberi salam sembari membuka pintu rumah yang tidak terkunci.
Sunyi.
Hanya bunyi hujanlah yang kudengar.
Aku melangkah semakin masuk ke dalam rumah, tak peduli dengan lantai keramik yang kini tercetak dengan jelas jejak kakiku.
"Dinda!" Aku memanggil Dinda. Seperti biasa, aku memanggilnya tanpa embel-embel 'kakak' di depan namanya. Sudah menjadi kebiasaanku dari dulu. Kupanggil kakak pun, sama sekali tak ada yang berubah juga dalam hidupku. "Din!"
Tak ada sahutan sama sekali. Ah, mungkin anak itu sedang di belakang. Aku pun memutuskan berjalan menuju kamar kami, kamarku dan Dinda. Kami tidur di ruangan yang sama, tentunya dengan ranjang yang berbeda.
Namun, baru membuka pintu, aku sudah disuguhi oleh sebuah pemandangan yang tak sepatutnya aku lihat. Tubuhku menegang, jantungku berdegup kencang. Sementara dua orang yang ada di dalam sana tampak terkejut melihat kedatanganku. Langsung saja aku berbalik, tanpa ingin berlama-lama melihatnya.
Aku berjalan menjauh. Tak terasa air mataku mulai mengalir ke permukaan pipi.
"Luthfi! Luth!"
Suara Dinda memasuki gendang telingaku. Namun, aku mengabaikannya. Tetap melangkah menjauh. Bahkan, kini aku sudah sampai di teras rumah.
"Luthfi!"
Aku berhenti melangkah.
"Please ... apa yang lo lihat tadi ... jangan kasih tahu bokap dan nyokap, ya. Gue mohon."
Aku terisak. Bagaimana bisa Dinda dengan mudahnya berkata seperti itu? Dia sudah mempertontonkan adegan tak senonoh yang tak seharusnya anak di bawah umur sepertiku melihatnya.
"Luthfi ...." Dinda meraih tanganku, dengan aku yang masih membelakanginya. "Please ...."
Ingin rasanya aku menghujaninya dengan berbagai kalimat yang mungkin bisa membuatnya merasa berdosa. Namun, kenapa lidah ini rasanya begitu kelu?
"Anggap saja apa yang lo lihat tadi nggak pernah terjadi, oke?"
Begitu enteng kalimatnya.
Aku tak berani berbalik. Segera kuhempaskan tangannya. Lalu, aku berlari pergi meninggalkannya. Menerjang hujan yang masih enggan untuk menyudahi aktivitasnya.
Aku tak berlari tanpa arah. Aku pergi ke rumah Rey. Cowok itu cukup terkejut melihat kedatanganku yang basah kuyup dengan kedua mata yang berair. Dia bertanya kenapa aku bisa seperti itu. Tentunya aku menjawabnya dengan kebohongan. Jika aku menjawab dengan sebenar-benarnya, bisa kupastikan bahwa Rey tak akan memercayainya.
"Gue tadi lihat bayangan seram di pohon cemara depan sekolah. Jadinya gue lari. Gue takut, Rey."
Itulah kalimat bohong yang kupaksakan keluar dari mulutku.
πππ
Bukan hanya sekali aku melihat Dinda melakukan perbuatan nista seperti itu. Sebulan kemudian, dia berulah kembali. Dengan cowok yang berbeda, dan di tempat yang sama.
Sejak saat itu, aku memohon kepada Papa dan Mama agar membuatkanku kamar baru. Aku tidak ingin lagi sekamar dengan Dinda. Beruntung, mereka mengabulkan keinginanku, tanpa bertanya yang aneh-aneh.
Selama dua bulan lamanya, aku menyembunyikan aib Dinda. Aku takut memberitahukannya kepada Papa dan Mama. Mereka tak akan memercayaiku. Aku sangat yakin itu.
Hingga sebulan kemudian, Dinda datang padaku, itu pun di saat orang-orang rumah sementara pergi. Dia menangis, tersedu-sedu. Aku pun bingung. Apa dia baru saja putus dengan pacarnya? Tidak mungkin. Dia cewek yang bodoh amat apabila diputuskan cowok. Gugur 1 tumbuh 1000, prinsipnya.
"Luth ... gue ... gue ... gue hamil."
Aku tertegun. Tak cukupkah dia membebaniku dengan adegan tak senonohnya? Apalagi sekarang? Dia hamil?
"Gue harus gimana, Luth? Gimana nasib gue kalo sampai bokap dan nyokap tahu? Sekolah gue? Masa depan gue? Luthfi ... please, bantuin gue ...."
Aku hanya bisa diam saja mendengar rengekannya. Itu sudah menjadi risikonya. Siapa suruh berbuat hal yang belum waktunya.
"Luthfi ...."
Aku mulai menatapnya serius. "Itu risiko dari perbuatan lo selama ini, Din. Gue hanya bisa bantu lo nutupin dari Mama dan Papa untuk saat ini. Biar bagaimanapun lo nyembunyiin bangkai, lama kelamaan bakal tercium juga. Biar lo sembunyiin bagaimanapun, perut elo bakal membesar."
"Luthfi ...."
Tangisan Dinda semakin menjadi. Dia bahkan sampai berlutut, memegangi sebelah kakiku.
"Luthfi ... gue takut."
"Kenapa lo ngelakuin itu kalo lo nggak bisa ngadepin risikonya?"
"Luthfi ...."
"Sori, Din. Gue ada janji sama temen. Gue harus pergi."
Aku terpaksa berbohong. Masih banyak sebenarnya kalimat yang ingin aku ucapkan padanya. Namun, melihatnya yang seperti itu, membuatku urung melakukannya. Biarlah dia meratapi risiko dari apa yang sudah diperbuatnya.
Seminggu kemudian, aku mendengar kabar bahwa Dinda mengalami kecelakaan. Semua orang di rumah tentu saja syok mendengarnya. Nyawanya tak tertolong. Anak kesayangan Papa dan Mama, kini telah tiada.
Keluarga tak ada yang mengetahui kalau Dinda tengah mengandung. Jadi, sampai detik ini, hanya aku dan Tuhan sajalah yang mengetahuinya.
.
.
.
TBC
Asique π
Comment on chapter Awal PertemuanGak bisa naik motor tapi minta motor wkwkw Luthfi memang dan best lah