๐๐๐
Mungkinkah hanya karena masa lalu dia sampai tega melakukan itu?
~dear you~
Embusan angin sepoi-sepoi tak berhasil membuat bibirku tersenyum. Di depan sana, tepatnya di depan pintu gerbang sekolah, aku melihat pemandangan yang begitu memuakkan. Sebuah keramaian yang berhasil membuatku mengepalkan tangan karena kesal.
Aku melihatnya. Seseorang yang aku kenali tengah memukuli seseorang yang aku kenali pula, sementara beberapa orang lainnya hanya berdiri mengamati, tanpa sekali pun melerai.
Aku pun segera berjalan mendekat. Tak lupa untuk merutuki satpam sekolah yang tidak ada di tempatnya. Ini memang sudah lewat dua jam sejak bel tanda pulang sekolah berbunyi. Namun, berhubung ada tugas kelompok yang harus kukerjakan bersama teman di perpustakaan, aku pun jadi pulang agak telat. Guru-guru pun juga sudah pada pulang.
"Jeremy!" Aku berteriak begitu tiba di tempat kejadian.
Perbuatan buruk di hadapanku itu pun berhenti. Banyak pasang mata yang langsung menatap ke arahku. "Apa yang lo lakuin, hah?!" lanjutku. Aku lalu menghampiri si korban. Kemudian berjongkok untuk melihat lebih jelas seberapa parah luka yang timbul di wajah tampannya itu.
"Luthfi, lo tahu, gara-gara dia kakak lo meninggal!" Jeremy membela diri.
Cih!
Aku langsung saja menatapnya tajam. "Gara-gara dia?"
"Ya! Dia siswa SMA hina itu, kan?!"
Aku berdecih, lalu bangkit dan menghampiri cowok yang kukira introvert itu. "Ya, dia emang siswa SMA hina itu. SMA yang menurut orang-orang penyebab matinya kakak gue!"
"Jauhi dia. Nggak seharusnya lo berteman sama dia."
Tak ada yang mau ikut campur dalam pembicaraanku dengan Jeremy. Ya, sebab mereka tak begitu tahu masalahnya.
"Tsk. Jer, bokap lo dosen di Universitas Handayani, kan?" Aku memelankan volume suaraku. "Lantas, jika salah satu dosen di Universitas Handayani membunuh orang, apa bokap lo termasuk tersangkanya juga?"
Jeremy terdiam.
"ENGGAK, KAN!" Aku berteriak tepat di depan wajahnya. "Jadi, nggak usah sok tahu." Aku kemudian menghampiri si korban lagi.
Jeremy bergeming. Dia sepertinya kalah telak, tak mampu membalas ucapanku. Aku tahu alasan kenapa Jeremy peduli dengan perihal Dinda, sebab cowok itu menaruh hati pada kakakku tersebut. Ini fakta. Ya, meskipun dia lebih muda dari Dinda.
Aku kemudian melangkah menghampiri korban. "Ayo, Ray, kita pergi dari sini," ajakku, lalu membantunya berdiri dan beranjak pergi.
~dear you~
"Eh, Luthfi! Yang sakit siapa, yang ngobatin siapa, kenapa malah elo yang nangis?"
Teguran dari Rey tak berhasil membuat mataku untuk berhenti memproduksi air mata. Ya, aku menangis. Aku membawa Rayyan ke rumah Rey, dan menyuruh sepupuku itu untuk mengobatinya. Aku tidak bisa jika harus aku yang melakukannya, sebab sedari tadi aku terus menangis. Aku tidak tega melihat wajah Rayyan yang kini tampak lebam di beberapa bagian.
"Maafin aku, Ray. Gara-gara aku, kamu jadi kayak gini, hiks. Harusnya aku keluar lebih awal tadi. Hiks, ini semua gara-gara Jeremy!"
Kulihat Rayyan menggeleng. "Kamu nggak salah, kok, Luth. Aku aja yang terlalu gegabah buat nunggu kamu di depan sekolah. Seharusnya, kan, aku nungguin kamu di halte," ucapnya, lalu dia tampak meringis menahan sakit saat kapas yang dipegang Rey berhasil menyentuh wajahnya yang terluka.
"Tuh, Luth. Dia aja santai. Kenapa lo yang rempong pakai acara nangis segala, sih?" tutur Rey yang diangguki oleh Rayyan, dan berhasil membuatku melempar bantal sofa ke arahnya.
"Lo sebaiknya diem, deh! Lo nggak tahu sejarahnya, sih!"
"Mangkanya kasih tahu gue, biar gue tahu!"
Aku terdiam. Tidak, Rey tidak boleh tahu sekarang. Masih ada Rayyan di sini. "Ray, kamu ingat nggak, apa yang dikatakan cowok tadi waktu mukul kamu?"
Rayyan tampak berpikir sejenak, sebelum ia berkata, "Gara-gara elo, Dinda jadi mati."
Aku berdecak mendengarnya. "Tuh, kan. Plis, deh. Dinda itu mati karena kecelakaan lalu lintas, bukan karena dibunuh."
"Kalau boleh tahu, Dinda itu siapa?" tanya Rayyan.
"Kakaknya si Luthfi," jawab Rey.
Rayyan lalu menatapku serius, seakan meminta kejelasan lebih lanjut. Apa aku harus menceritakan tentang Dinda padanya sekarang? Sepertinya tak harus. Namun, dia seperti menuntut agar aku menceritakannya.
"Dinda itu kakak aku. Dia meninggal dunia setahun yang lalu. Karena kecelakaan waktu sepulang dari sekolah. Dia punya pacar, namanya Ben, siswa di SMA Mekar Jaya. Banyak saksi yang bilang bahwa sebelum kecelakaan terjadi, Dinda pergi sama Ben. Mereka sempat terlibat cekcok."
"Terus?" tanya Rey. Bukannya dia sudah tahu jalan ceritanya? Kenapa pakai berlagak kayak belum tahu saja?
"Waktu kecelakaan, dia tidak bersama Ben. Dugaan sementara, sih, Ben kabur. Itu para teman Dinda yang bilang. Padahal, mereka tidak berada di TKP."
"Jadi, kakakmu kecelakaan sendiri?" tanya Rayyan.
Aku mengangguk. "Kata polisi, dia kecelakaan karena mengendarai motornya dengan kecepatan tinggi. Dan sepertinya dia habis menangis." Aku melihat kedua cowok di hadapanku ini sedang serius menyimak setiap perkataan yang keluar dari mulutku. "Udah, ah, ceritanya. Aku lagi malas membahasnya. Katanya nggak baik ngebicarain orang yang udah mati."
"Tapi aku masih penasaran," Rayyan berujar.
"Intinya, Dinda mati karena kecelakaan. Jasadnya juga nggak diautopsi. Mama dan Papa ngelarangnya."
"Terus, Ben gimana?" Ini lagi si Rey. Kenapa kepo amat, sih?
"Minggat, entah ke mana. Udah, ah. Lain kali aja ceritanya lagi."
"Baiklah. Aku akan menunggu."
"Ya?"
~dear you~
Aku masih merasa kesal atas kejadian tadi siang. Masih tak habis pikir, kenapa Jeremy tega melakukan itu kepada Rayyan. Kukira Jeremy cowok baik-baik, dalam artian berpikir dulu sebelum bertindak. Namun nyatanya, bertindak dulu sebelum berpikir.
To : Rayyan
Gimana keadaanmu?
Aku memutuskan untuk mengirimi Rayyan SMS. Sekadar bertanya mengenai keadaannya.
Namun, tiga puluh menit telah berlalu, SMS-ku tak kunjung dibalasnya. Aku pun memutuskam untuk meneleponnya. Namun, bukan suara Rayyan yang terdengar, melainkan suara operator yang mengatakan bahwa nomor yang kutuju sedang tidak aktif. Pantas saja SMS-ku tidak dibalas.
Aku beralih melihat jam di ponselku, pukul 21.12. Sebaiknya aku tidur saja. Ya, meskipun mata ini belum sepenuhnya mengantuk.
.
.
.
TBC
Asique ๐
Comment on chapter Awal PertemuanGak bisa naik motor tapi minta motor wkwkw Luthfi memang dan best lah